Share

Bab 5

Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung. Dan ... yess terbuka.

Mataku membelalak melihat chat dari Yuyun berada paling atas. Langsung aku buka, ternyata hanya ada satu chat dan  belum di baca.

[ oke. sampai besok ya, Mas ]

Ini seperti pesan balasan. Berarti sebelumnya mereka saling berkirim pesan. Tapi sepertinya  sudah dihapus lebih dulu oleh Mas Agung. Sungguh licik suamiku itu.

Aku membuang nafas kasar. Kecurigaanku belum terbukti. Tapi aku tidak akan berhenti sampai disini. Aku akan bongkar semua kebohonganmu, Mas.

"Dek, matikan lampunya. Sudah malam."

Aku terlonjak mendengar suara Mas Agung. Perlahan aku letakkan kembali ponselnya ketempat semula, lalu mematikan lampu.  Aku pun berbaring di samping Mas Agung yang sepertinya sudah kembali berada di alam mimpi.

-----

Pagi ini seperti biasa kegiatan rutinku sudah menanti.  Memasak, merapikan rumah, mengurus Giska dan Mas Agung.

Mungkin mulai bulan depan aku akan mencari asisten rumah tangga. Agar ada yang lebih fokus untuk mengurus Giska.  Aku tak mau sampai Giska tak terurus gara-gara aku terjun ke perusahaan.  Setidaknya aku bisa bekerja lebih tenang di kantor jika Giska ada yang menemani dan memenuhi kebutuhannya.

Aku mendengar ibu sedang berbincang dengan Mas Agung di ruang makan. Sepertinya sangat serius. Jiwa kekepoanku semakin meronta-ronta. Akhirnya aku mendekat dengan membawa nasi goreng saus tiram untuk mereka  sarapan.

"Kamu masih ingat dengan tante Sania sahabat ibu yang di bandung, Gung?"

" Ya bu. Ingat."

"Anak perempuannya ternyata kerja di jakarta ini. Kemarin kost di dekat kantornya tidak betah. Tante Sania mau menitipkan anaknya di sini," jelas ibu kepada Mas Agung.

"Kalau aku terserah Ibu aja," sahut Mas Agung sambil terus mengunyah makanannya.

"Tapi kan tidak baik kalau ada perempuan tinggal di sini, Bu. Bukan muhrim dengan Mas Agung," sela aku keberatan.

"Eh, Sera, kamu kok bisa-bisanya ngomong begitu. Ini rumah Ibu dan Agung. Kamu tuh di sini cuma menantu yang numpang!" protes ibu tidak terima.

Aku menghela napas panjang.

Selalu saja begitu jawabannya. Mentang-mentang aku numpang di sini. Sebenarnya bisa saja aku segera pindah ke apartemen mewahku yang berada di lokasi segitiga emas kota ini. Tapi belum saatnya aku membuka siapa diriku sebenarnya.

"Lagian anaknya Tante Sania akan tinggal di paviliun samping. Bukan satu rumah dengan kita. Sore ini dia akan membawa barang-barangnya ke sini," jelas ibu lagi.

Syukurlah kalau memang tinggalnya di paviliun. Namun entah kenapa, tetap saja perasaanku tidak enak. Firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Ya bu. Nanti sore saya usahakan pulang lebih cepat," sahut Mas Agung.

"Buat apa pulang cepat, Mas?" tanyaku heran.

"Kamu kenapa sih, Dek? Curiga terus. Aku cuma mau temani ibu menerima tamu." Mas Agung nampak kesal. Matanya melotot menatapku.

Ya sudah biar saja kalau dia mau pulang cepat. Justru bagus. Jadi tidak ada kesempatan untuk bertemu dengan Yuyun di luar.

"Dek, Giska sekarang naik jemputan, kenapa kamu tidak kompromi dulu denganku?" Tiba-tiba Mas Agung bertanya saat ia selesai sarapan.

"Oh, ya Mas. Mulai bulan depan aku akan bekerja. Lebih aman jika Giska pakai mobil antar jemput sekolah," jawabku, membuat Mas Agung menaikkan alisnya, seakan tak percaya dengan yang aku katakan.

"Sebenarnya aku mau membicarakannya padamu. Tapi akhir-akhir ini kamu selalu pulang larut malam," lanjutku.

"Halaahh sok-sok mau kerja segala. Kamu iri ya dengan Lastri?  Kalau si Lastri wajar dia kerja. Dia pernah kursus setelah lulus SMK. Jadi bisa diterima di kantoran. Lah kamu? Nggak jelas lulusan apa? Gaya-gayaan mau kerja." Ibu dan Mas Agung tertawa terbahak-bahak.

Silahkan tertawa yang puas kalian sekarang. Awal bulan depan kalian akan ternganga melihat siapa aku. Gemes aku.

"Terserah kamu, Dek. Asalkan kamu sendiri yang bayar ongkos antar jemput Giska nanti."

Dasar! Jadi suami perhitungan banget.

"Aku berangkat dulu. Pamit ya, Bu." Mas Agung pun menaiki mobilnya dan berlalu.

-----

Sejak siang tadi Ibu begitu repot mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan tamunya. Aku diminta masak makanan lebih banyak. Juga membersihkan paviliun samping yang telah lama kosong.

Beberapa macam masakan sudah siap aku hidangkan di meja makan. Tak lupa dua macam kue sebagai kudapan aku siapkan di dalam toples.

Alas tempat tidur di paviliun pun sudah aku ganti dengan yang baru. Lantainya juga sudah aku pel dan wangi.

"Assalamualaikum."

Sepertinya tamu yang di tunggu-tunggu ibu sudah datang.

Aku masih di dapur mendengar ibu yang begitu senang menerima tamunya. Aku jadi penasaran. Perlahan aku ke depan dengan membawa dua gelas teh dan dua toples cemilan.

"Bagaimama kabar mama?"

"Alhamdulilah baik, Tante. Mama kirim salam buat Tante," sahut wanita itu.

Kenapa Aku merasa sangat familyar dengan wajah wanita itu ? Seperti kenal. Tapi di mana?

"Jangan panggi Tante. Panggil Ibu saja. Biar lebih akrab. Sera, kenalkan ini anak tante Sania. Namanya Yuyun."

A-paaa ...? Yuyun ...? 

Pantas saja aku kok seperti pernah lihat.

"Kok malah diam kamu Sera? Nggak sopan banget kamu sama tamu !" Ujar Ibu kesal  melihatku terdiam karena terkejut.

Oke baiklah. Sepertinya aku harus lebih waspada menghadapi pelakor seperti Yuyun ini.

Komen (19)
goodnovel comment avatar
Yustien Ekowati
semakin menarik
goodnovel comment avatar
Syafri Anti
makin asyik
goodnovel comment avatar
Gio Fani
Bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status