Hari ini adalah pertama kalinya aku masuk kantor. Aku harus datang lebih awal. Karena pagi ini akan ada briefing dengan segenap kepala divisi dari berbagai cabang. Dengan riasan nuansa natural, atasan kemeja tunik berwarna hijau toska serta celana kulot berbahan wafels putih, tampilanku hari ini terlihat lebih elegan dan berkelas. Tak lupa aku kenakan hijab segiempat berbahan velvet berwarna putih tulang. Dengan hiasan bros berbatu swarovsky. Aku tersenyum puas melihat penampilanku di cermin. "Bunda ..." "Ya sayang." "Ayah kok nggak ikut tinggal di sini sama kita?" Deg.Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Giska. "Ayah harus menemani nenek, sayang." "Bunda ..., aku kangen Ayah sama Nenek." Wajah Giska nampak sedih . "Nanti kalau Bunda ada waktu, kita ke rumah nenek ya," bujukku. "Sekarang Giska berangkat sekolah dulu ya." lanjutku. Seketika wajah Giska nampak berbinar. Dia memang sangat dekat dengan neneknya. "Bik Sum. Nanti siang jemput Giska di lobby. Jangan sampai
POV Agung "Pokoknya aku nggak suka Mas sering-sering ketemu sama perempuan sadis itu." Yuyun merajuk setelah kami keluar dari ruangan Sera. Wanita itu berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. "Tapi dia mantan istriku, Yun. Kami pasti akan sering bertemu. Karena di antara kami ada Giska, anak kami," jelasku sembari mengikuti berjalan di sebelahnya. "Halaah alasan aja. Mas Agung pasti mau minta rujuk lagi, karena dia sekarang sudah kaya raya. Yaa kaaan??" Yuyun berkata setengah berteriak. Sehingga spontan orang disekitar ruangan menoleh pada kami. "Hey, pelankan suaramu. Ingat ini kantor !" Setengah berbisik aku melotot pada wanita yang sungguh sikapnya tak pernah bisa di kontrol. Aneh, kenapa aku bisa suka dengan perempuan bernama Yuyun ini. Wajahnya bisa di bilang biasa-biasa saja. Mungkin karena dia pandai bersolek dan berpakaian seksi , sehingga jiwa kelaki-lakianku tergoda. Jika dilihat-lihat mantan istriku Sera jauh lebih cantik dan terawat. Tubuh Sera sangat mulus d
Pov Agung "Lalu bagaimana caranya menebus sertifikat rumah ini, Lastri ...? Bagaimana ini, Gung?" Ibu terduduk lemas. Wajahnya terlihat sangat panik."Dari awal Aku sudah tidak yakin sama suamimu itu, Mbak. Sekarang bagaimana kalau sudah begini. Kamu harus cari suamimu itu!" Akupun panik sekaligus emosi dibuatnya."Gung, kamu kan bisa minta tolong sama Sera. Katanya kamu mau rujuk." Seenaknya saja Mbakku ini kalau bicara. "Iya Gung, Sera sekarang kan sudah jadi orang kaya. Pasti uangnya banyak," timpal Ibu."Bu, kenapa sekarang masalah ini dibebankan padaku sih? Suruh aja Mbak Lastri yang mikir," sahutku kesal."Tapi kalau bulan depan kita tidak bisa bayar, rumah ini akan disitaaa," pekik Mbak Lastri."Bagaimana ini, Gung ?"suara ibu mulai bergetar. Dan tiba-tiba ....BRUGGH !! "IBU ... IBU ...!" Tiba-tiba tubuh ibu luruh ke lantai. Spontan aku dan Mbak Lastri meraih tubuh ibu. Dan membaringkannya di sofa. Bersyukur ibu masih sadar."Ibu lemes Gung. Kalau rumah ini di sita, kita
Hari ini sangat melelahkan. Aku baru saja sampai di apartement. Peninjauan salah satu proyek yang berlokasi di luar kota siang tadi, maembuatku tiba hingga larut malam di unitku. Aku terheran melihat Bik Sum dan Giska belum juga tidur. "Loh, Giska kenapa belum bobok, sayang?" tanyaku ketika masuk ke kamarnya. "Aku nungguin Bunda." "Kenapaa ...? Kan Bunda sudah bilang nggak usah ditungguin." Aku membelai sayang anak perempuanku satu-satunya. "Bunda ... Giska mau ketemu nenek. Ayah bilang nenek lagi sakit." Aku terkejut mendengar perkataan anakku. "Kapan Giska ketemu Ayah ?" "Nggak ketemu, Bunda. Tapi Ayah tadi telphon." Sedikit lega rasanya. Ternyata Mas Agung hanya telphon. Tapi apa benar ibu sakit? Aku tidak sampai hati menolak permintaan Giska untuk bertemu Ayah dan neneknya."Baiklah. Karena besok libur, kita ke rumah nenek besok ya." Giska tersenyum bahagia. --------Pagi ini aku sudah berjanji dengan Giska akan mengunjungi Ibu. Mengingat hari ini adalah hari libur,
"Dek, Mas minta maaf ya. Sebenarnya aku nggak beneran mau pisah. Kemarin itu aku khilaf." Mas Agung mulai ngegombal. Kamu pikir aku sama dengan wanita-wanita murahan yang kamu kencani di luar sana Mas. Mudah sekali percaya mulut busukmu itu."Aku mau rujuk, Dek," lanjutnya. Matanya menatap dalam padaku.Aku diam. Pura-pura berpikir. Padahal sama sekali nggak sudi kembali berhubungan dengan laki-laki penghianat ini. Bertahun-tahun aku dihianati olehnya."Aku pikir-pikir dulu deh, Mas." jawabku malas sambil melirik pada Yuyun.Yuyun terus melotot ke arah kami. Wajahnya nampak sangat kesal. Rasain kamu pelakor murahan. Mbak Lastri datang membawa minum. Wajahnya masih saja di tekuk. Dia membawa dua gelas es sirup. "Mbak! Mbak kan tahu Aku nggak suka es sirup. Tolong ganti teh panas ya. Tapi tehnya yang di masak sampai mendidih," protesku dengan suara ditinggikan.Mbak Lastri melotot namun langsung tertunduk ketika aku membalas dengan tatapan tajam. "Iyaaa ... iyaa!" jawabnya kesal.Ak
Tak lama kemudian, ojek online datang membawa pesanan makanan kami. Sementara Mas Agung dan Yuyun sudah tidak terdengar berdebat. Namun mereka masih berduaan di dalam paviliun. Entah apa yang mereka lakukan. Sungguh tidak tahu malu pasangan mesum itu. Aku memutuskan untuk tidak jadi makan. Nafsu makanku lenyap sudah. Bayangan saat mereka berduaan di kamar paviliun beberapa waktu lalu masih membekas di ingatanku. Mbak Lastri sejak tadi juga tidak terlihat batang hidungnya. Mungkin pulang menemui anak-anaknya. Wanita itupun malasnya sungguh keterlaluan. Rumah ibu sangat berantakan dan tak terurus sejak aku tinggal. Mengurus orang tua sendiripun ia tidak mau. Padahal mereka harus bersyukur masih punya ibu yang mendoakan mereka. Tidak seperti aku yang sejak kecil hidup sebatang kara. Setelah menemani ibu makan, aku berencana untuk kembali ke apartement. "Bu, Aku dan Giska pamit pulang ya." Ibu terdiam. Bola matanya tak lepas terus memandangku. Raut kesedihan jelas terlihat dari waja
Aku mematut diri di depan cermin. Gaun berundak model Malaysia motif polka, berwarna soft pink yang menawan. Terasa sangat pas dan nyaman di tubuhku. Dengan paduan hijab segiempat berwarna polos senada, riasan wajah yang natural namun berkelas. Membuat tampilanku semakin anggun memukau malam ini. Tiba-tiba aku teringat akan seseorang. Astaga, Arief ...! Kenapa sejak tadi tidak terpikirkan untuk menanyakan Arief pada Dido? Segera aku menghubungi Dido. "Halo! Do, Arief apakah sudah dihubungi? " "Bapak Tirta minta lo datang sendiri, Ra. Tanpa Asisten atau pendamping." Aku gemetar mendengar penjelasan Dido. "A-APA?? Lo serius, Do?" "Udah tenang aja. Gue dapat bocoran dari asistennya, Pak Tirta itu santai kok orangnya. Apalagi sama perempuan. Paling-paling ntar lo betah beduaan sama dia dan nggak mau pulang. Hahahaha ...!" "Dido ! Nggak lucu tau !" Aku berusaha untuk tenang. Semoga saja aku tidak grogi nanti. Dengan menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan. Aku memanta
Pagi ini aku sudah siap akan berangkat ke kantor. Giska pun sudah pamit padaku hendak pergi ke sekolah dan diantar Bik Sum sampai di lobby. Saat sarapan tadi aku sudah pastikan agar Arief bisa datang ke kantor hari ini. Suaranya masih terdengar lemah. Sepertinya dia masih sakit. Sebenarnya aku masih tidak tega. Mungkin nanti aku akan mengantarnya ke dokter setelah meeting berakhir. Karena menurut asistennya, Arief memang belum berobat ke dokter karena takut. Ganteng-ganteng tapi takut ke dokter. Hihihi ... Aku berjalan menuju lobby apartemen, saat di dalam lift ponselku berbunyi. Sontak aku ternganga melihat nama Tirta Prasetya di sana. Ada apa laki-laki itu pagi-pagi sudah menelponku? "Halo cantik, apa sudah siap? Aku menunggumu di bawah." Astaga! Pras ada di lobby apartemen ini ? "Aku ada mobil dan supir yang antar jemput. Nanti merepotkan," tolakku secara halus. "Tapi aku tidak terima penolakan, Nona Sera," sahutnya tegas. Aku membuang nafas kasar. Jujur aku kurang menyukai