Tak lama kemudian, ojek online datang membawa pesanan makanan kami. Sementara Mas Agung dan Yuyun sudah tidak terdengar berdebat. Namun mereka masih berduaan di dalam paviliun. Entah apa yang mereka lakukan. Sungguh tidak tahu malu pasangan mesum itu. Aku memutuskan untuk tidak jadi makan. Nafsu makanku lenyap sudah. Bayangan saat mereka berduaan di kamar paviliun beberapa waktu lalu masih membekas di ingatanku. Mbak Lastri sejak tadi juga tidak terlihat batang hidungnya. Mungkin pulang menemui anak-anaknya. Wanita itupun malasnya sungguh keterlaluan. Rumah ibu sangat berantakan dan tak terurus sejak aku tinggal. Mengurus orang tua sendiripun ia tidak mau. Padahal mereka harus bersyukur masih punya ibu yang mendoakan mereka. Tidak seperti aku yang sejak kecil hidup sebatang kara. Setelah menemani ibu makan, aku berencana untuk kembali ke apartement. "Bu, Aku dan Giska pamit pulang ya." Ibu terdiam. Bola matanya tak lepas terus memandangku. Raut kesedihan jelas terlihat dari waja
Aku mematut diri di depan cermin. Gaun berundak model Malaysia motif polka, berwarna soft pink yang menawan. Terasa sangat pas dan nyaman di tubuhku. Dengan paduan hijab segiempat berwarna polos senada, riasan wajah yang natural namun berkelas. Membuat tampilanku semakin anggun memukau malam ini. Tiba-tiba aku teringat akan seseorang. Astaga, Arief ...! Kenapa sejak tadi tidak terpikirkan untuk menanyakan Arief pada Dido? Segera aku menghubungi Dido. "Halo! Do, Arief apakah sudah dihubungi? " "Bapak Tirta minta lo datang sendiri, Ra. Tanpa Asisten atau pendamping." Aku gemetar mendengar penjelasan Dido. "A-APA?? Lo serius, Do?" "Udah tenang aja. Gue dapat bocoran dari asistennya, Pak Tirta itu santai kok orangnya. Apalagi sama perempuan. Paling-paling ntar lo betah beduaan sama dia dan nggak mau pulang. Hahahaha ...!" "Dido ! Nggak lucu tau !" Aku berusaha untuk tenang. Semoga saja aku tidak grogi nanti. Dengan menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan. Aku memanta
Pagi ini aku sudah siap akan berangkat ke kantor. Giska pun sudah pamit padaku hendak pergi ke sekolah dan diantar Bik Sum sampai di lobby. Saat sarapan tadi aku sudah pastikan agar Arief bisa datang ke kantor hari ini. Suaranya masih terdengar lemah. Sepertinya dia masih sakit. Sebenarnya aku masih tidak tega. Mungkin nanti aku akan mengantarnya ke dokter setelah meeting berakhir. Karena menurut asistennya, Arief memang belum berobat ke dokter karena takut. Ganteng-ganteng tapi takut ke dokter. Hihihi ... Aku berjalan menuju lobby apartemen, saat di dalam lift ponselku berbunyi. Sontak aku ternganga melihat nama Tirta Prasetya di sana. Ada apa laki-laki itu pagi-pagi sudah menelponku? "Halo cantik, apa sudah siap? Aku menunggumu di bawah." Astaga! Pras ada di lobby apartemen ini ? "Aku ada mobil dan supir yang antar jemput. Nanti merepotkan," tolakku secara halus. "Tapi aku tidak terima penolakan, Nona Sera," sahutnya tegas. Aku membuang nafas kasar. Jujur aku kurang menyukai
Bagai mendengar petir di siang bolong, Sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja Om Beni katakan. Mana mungkin aku bisa menikah dengan laki-laki yang baru saja aku kenal dalam satu hari. "Maaf Om Beni, apa Om bisa jelaskan tentang wasiat itu?" tanyaku, berharap jika ini hanyalah prank saja. "Begini Sera, ... Saya, almarhum Ayahmu dan almarhum Ayah Pras bersahabat sejak kami kuliah." Om Beni mulai menjelaskan."Ayahmu dan Ayah Pras sukses berhasil mendirikan perusahaan. Mereka berdua sepakat menggabungkan perusahaan mereka dengan cara menikahkan anak-anak mereka nantinya. Dan ..., mereka berdua akhirnya membuat surat wasiat." Om Beni menjelaskan panjang lebar. Aku melihat Pras yang senyum-senyum sejak tadi. "Pras, sepertinya kamu sudah tahu hal ini sebelumnya?" tebakku menatap curiga pada Pras. "Ya, memang benar. Dan sudah sejak lama aku menyelidiki calon istriku ini. Sera, sudah saatnya kamu bahagia. Setelah sekian lama kamu menderita hidup bersama laki-laki tidak berguna
"Kamu pusing banget ya? Kok kalem banget?" Punggung tanganku meraba kening Arief. Namun suhunya normal. "Udah nggak usah pegang-pegang." Laki-laki blasteran Padang Belanda itu menepiskan tanganku. "Tumben banget jutek gini. Salah minum obat, ya?" Aku masih berusaha bercanda. Walau sebenarnya aku melihat keseriusan dari wajah laki-laki yang baru kusadari ketampanannya saat berdekatan sekarang ini. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya. Arief membuang nafas kasar. Kemudian tiba-tiba mata hazel itu menatap dalam padaku. "Rani ..., mengapa kamu tidak pernah mengerti akan perasaanku?" lirihnya. "M-maksudmu ...?" Aku mulai menduga-duga arah pembicaraan ini. Sekali lagi Arief membuang nafas kasar, kali ini lebih panjang. Mengalihkan pandangan sejenak. Lalu kembali menatap mataku. Tatapan kami bertemu. Seakan-akan terkunci. Hingga aku tak kuasa mengalihkan pandangan dari mata hazelnya yang tegas dan tajam. "Rani ..., Aku telah berjanji pada diriku sendiri. Aku tidak mau
Arief menolak untuk aku antar sampai rumahnya. Karena ternyata supir pribadinya menjemput ke rumahsakit. "Sudah sore, sebaiknya kamu pulang." Arief mengusap bagian atas hijabku. Aku jadi salah tingkah karena sikapnya itu. "Makasih sudah perhatian sama aku," lanjutnya lagi seraya tersenyum-senyum berusaha menggodaku. " Ya ampuuun! Siapa yang perhatian? Nggak usah kepedean deh!" sahutku pura-pura jengkel. Arief kembali terbahak-bahak. Kami berpisah di lobby rumahsakit. Pak Yono sudah menjemputku. Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Bik Sum? Ada apa gerangan. Tidak biasanya Asisten rumah tanggaku itu menghubungiku. "Halo, Bik. Ada apa?" "Bu ... sa-saya minta maaf ..." "Ada apa Bik? Tolong cepat katakan!" Aku yang langsung panik karena takut mendengar kabar yang tidak baik tentang Giska anakku. "Maaf, Bu. Pulang sekolah tadi Giska minta di antar ke rumah neneknya. Saya mencoba menghubungi ibu tapi tidak bisa. Karena Giska memaksa, akhirnya kami ke sana, Bu." Aku bernafas lega.
Dalam beberapa hari ini banyak masalah yang harus aku pikirkan. Penggabungan perusahaan dengan Tirta Group masih menjadi pertimbangan bagiku. "Sebaiknya kamu pikirkan kembali untuk bekerjasama dengan Tirta Group. Jangan gegabah dan terburu-buru membuat keputusan," ujar Arief saat makan siang kemarin. "Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan itu, Rief? "Sebaiknya kamu dan Dido menyelidikinya dengan baik. Tirta terkenal kerap bersaing dengan cara kotor." Aku tersentak mendengar keterangan dari Arief. Benarkah Pras demikian? Jika benar, Aku akan menolak mentah-mentah bekerjasama dengan Tirta Group. Juga tentang perjodohan dan penggabungan perusahaan. Aku harus menyelidikinya sendiri. Seperti biasa aku menghubungi Corri sahabatku sekaligus mitra bisnis pribadiku. Sebetulnya corri mempunyai wawasan sangat luas mengenai bisnis, khususnya bisnis properti yang aku geluti. "Corrie, aku minta tolong cari semua keterangan menyangkut perusahaanTirta Group. Hasilnya segera email ke aku."
"Luar biasa perusahaanmu, Pras." Aku membuka percakapan. "Ya! Ini semua berkat kerja kerasku selama ini," sahut Pras dengan bangganya, seraya pura-pura membetulkan dasi. "Sera, apakah kamu sudah membuat keputusan untuk perjodohan ini?" "M-maaf ...! Aku tidak bisa membicarakannya saat ini. Perusahaanku sedang dalam masalah." Aku sengaja memancing Pras. "Masalah Apa? Apa yang bisa aku bantu?" "Sepertinya ada yang ingin membuatku bangkrut," jawabku tegas seraya memperhatikan respon dari laki-laki sok tampan ini. "Oh, ya? Kalau begitu aku akan kirim orang-orangku untuk menyelidikinya." Pras memandangku dengan cemas. Tersirat rasa khawatir dari wajahnya. Ah, entahlah. "Sebaiknya saat ini untuk urusan intern perusahaanmu jangan di campuri oleh orang luar." "Apa maksudmu?" sanggahku. Pras hanya tersenyum miring. Apakah yang dia maksud orang luar itu adalah Arief? Ah ..., aku jadi pusing. Kenapa mereka berdua ini justru saling mencurigai. "Jangan percaya penuh pada siapapun Sera! D