Pagi ini aku sudah siap akan berangkat ke kantor. Giska pun sudah pamit padaku hendak pergi ke sekolah dan diantar Bik Sum sampai di lobby. Saat sarapan tadi aku sudah pastikan agar Arief bisa datang ke kantor hari ini. Suaranya masih terdengar lemah. Sepertinya dia masih sakit. Sebenarnya aku masih tidak tega. Mungkin nanti aku akan mengantarnya ke dokter setelah meeting berakhir. Karena menurut asistennya, Arief memang belum berobat ke dokter karena takut. Ganteng-ganteng tapi takut ke dokter. Hihihi ... Aku berjalan menuju lobby apartemen, saat di dalam lift ponselku berbunyi. Sontak aku ternganga melihat nama Tirta Prasetya di sana. Ada apa laki-laki itu pagi-pagi sudah menelponku? "Halo cantik, apa sudah siap? Aku menunggumu di bawah." Astaga! Pras ada di lobby apartemen ini ? "Aku ada mobil dan supir yang antar jemput. Nanti merepotkan," tolakku secara halus. "Tapi aku tidak terima penolakan, Nona Sera," sahutnya tegas. Aku membuang nafas kasar. Jujur aku kurang menyukai
Bagai mendengar petir di siang bolong, Sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja Om Beni katakan. Mana mungkin aku bisa menikah dengan laki-laki yang baru saja aku kenal dalam satu hari. "Maaf Om Beni, apa Om bisa jelaskan tentang wasiat itu?" tanyaku, berharap jika ini hanyalah prank saja. "Begini Sera, ... Saya, almarhum Ayahmu dan almarhum Ayah Pras bersahabat sejak kami kuliah." Om Beni mulai menjelaskan."Ayahmu dan Ayah Pras sukses berhasil mendirikan perusahaan. Mereka berdua sepakat menggabungkan perusahaan mereka dengan cara menikahkan anak-anak mereka nantinya. Dan ..., mereka berdua akhirnya membuat surat wasiat." Om Beni menjelaskan panjang lebar. Aku melihat Pras yang senyum-senyum sejak tadi. "Pras, sepertinya kamu sudah tahu hal ini sebelumnya?" tebakku menatap curiga pada Pras. "Ya, memang benar. Dan sudah sejak lama aku menyelidiki calon istriku ini. Sera, sudah saatnya kamu bahagia. Setelah sekian lama kamu menderita hidup bersama laki-laki tidak berguna
"Kamu pusing banget ya? Kok kalem banget?" Punggung tanganku meraba kening Arief. Namun suhunya normal. "Udah nggak usah pegang-pegang." Laki-laki blasteran Padang Belanda itu menepiskan tanganku. "Tumben banget jutek gini. Salah minum obat, ya?" Aku masih berusaha bercanda. Walau sebenarnya aku melihat keseriusan dari wajah laki-laki yang baru kusadari ketampanannya saat berdekatan sekarang ini. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya. Arief membuang nafas kasar. Kemudian tiba-tiba mata hazel itu menatap dalam padaku. "Rani ..., mengapa kamu tidak pernah mengerti akan perasaanku?" lirihnya. "M-maksudmu ...?" Aku mulai menduga-duga arah pembicaraan ini. Sekali lagi Arief membuang nafas kasar, kali ini lebih panjang. Mengalihkan pandangan sejenak. Lalu kembali menatap mataku. Tatapan kami bertemu. Seakan-akan terkunci. Hingga aku tak kuasa mengalihkan pandangan dari mata hazelnya yang tegas dan tajam. "Rani ..., Aku telah berjanji pada diriku sendiri. Aku tidak mau
Arief menolak untuk aku antar sampai rumahnya. Karena ternyata supir pribadinya menjemput ke rumahsakit. "Sudah sore, sebaiknya kamu pulang." Arief mengusap bagian atas hijabku. Aku jadi salah tingkah karena sikapnya itu. "Makasih sudah perhatian sama aku," lanjutnya lagi seraya tersenyum-senyum berusaha menggodaku. " Ya ampuuun! Siapa yang perhatian? Nggak usah kepedean deh!" sahutku pura-pura jengkel. Arief kembali terbahak-bahak. Kami berpisah di lobby rumahsakit. Pak Yono sudah menjemputku. Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Bik Sum? Ada apa gerangan. Tidak biasanya Asisten rumah tanggaku itu menghubungiku. "Halo, Bik. Ada apa?" "Bu ... sa-saya minta maaf ..." "Ada apa Bik? Tolong cepat katakan!" Aku yang langsung panik karena takut mendengar kabar yang tidak baik tentang Giska anakku. "Maaf, Bu. Pulang sekolah tadi Giska minta di antar ke rumah neneknya. Saya mencoba menghubungi ibu tapi tidak bisa. Karena Giska memaksa, akhirnya kami ke sana, Bu." Aku bernafas lega.
Dalam beberapa hari ini banyak masalah yang harus aku pikirkan. Penggabungan perusahaan dengan Tirta Group masih menjadi pertimbangan bagiku. "Sebaiknya kamu pikirkan kembali untuk bekerjasama dengan Tirta Group. Jangan gegabah dan terburu-buru membuat keputusan," ujar Arief saat makan siang kemarin. "Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan itu, Rief? "Sebaiknya kamu dan Dido menyelidikinya dengan baik. Tirta terkenal kerap bersaing dengan cara kotor." Aku tersentak mendengar keterangan dari Arief. Benarkah Pras demikian? Jika benar, Aku akan menolak mentah-mentah bekerjasama dengan Tirta Group. Juga tentang perjodohan dan penggabungan perusahaan. Aku harus menyelidikinya sendiri. Seperti biasa aku menghubungi Corri sahabatku sekaligus mitra bisnis pribadiku. Sebetulnya corri mempunyai wawasan sangat luas mengenai bisnis, khususnya bisnis properti yang aku geluti. "Corrie, aku minta tolong cari semua keterangan menyangkut perusahaanTirta Group. Hasilnya segera email ke aku."
"Luar biasa perusahaanmu, Pras." Aku membuka percakapan. "Ya! Ini semua berkat kerja kerasku selama ini," sahut Pras dengan bangganya, seraya pura-pura membetulkan dasi. "Sera, apakah kamu sudah membuat keputusan untuk perjodohan ini?" "M-maaf ...! Aku tidak bisa membicarakannya saat ini. Perusahaanku sedang dalam masalah." Aku sengaja memancing Pras. "Masalah Apa? Apa yang bisa aku bantu?" "Sepertinya ada yang ingin membuatku bangkrut," jawabku tegas seraya memperhatikan respon dari laki-laki sok tampan ini. "Oh, ya? Kalau begitu aku akan kirim orang-orangku untuk menyelidikinya." Pras memandangku dengan cemas. Tersirat rasa khawatir dari wajahnya. Ah, entahlah. "Sebaiknya saat ini untuk urusan intern perusahaanmu jangan di campuri oleh orang luar." "Apa maksudmu?" sanggahku. Pras hanya tersenyum miring. Apakah yang dia maksud orang luar itu adalah Arief? Ah ..., aku jadi pusing. Kenapa mereka berdua ini justru saling mencurigai. "Jangan percaya penuh pada siapapun Sera! D
"Ayo aku antar pulang!" ajak Arief. Dengan langkah gontai aku mengikuti laki-laki yang berjalan di sampingku ini. Kejadian tadi masih membuatku tegang dan sedikit emosi. Aku masuk dan duduk di sebelah Arief setelah Ia membukakan pintu mobil untukku. Sesudah memakai sabuk pengaman, Arief melajukan mobilnya. "Rani, kamu benar-benar bikin aku takut." "Hah? takut kenapa?" tanyaku heran. "Takut untuk kehilangan kamu. Eeaaaaa ..." "Apaan siiih," sahutku malu. "Kamu tau nggak? Ada penemuan baru bahwa bumi itu tidak bulat," ujar Arief dengan wajah serius. "Ah masa sih? Kok aku nggak denger?" tanyaku bingung. "Karena sejak ketemu kamu, bumi berubah menjadi bentuk hati. Hahaha ..." Ya ampuun Arief. Aku tersenyum malu tanpa berani melihat wajahnya. tiba-tiba hatiku menghangat. Entah perasaan apa ini. "Ran, kamu tau nggak malam apa yang paling indah?" "Hmmm ... malam pertama?" "Salah." "Malam takbiran?" "Bukan" " Malam apa dooong?" "Malamar kamuuu." "Arie.....f !" teriakku sambi
[Sera, Sepertinya kita harus ikut turun tangan mengusir keluarga Agung]Sebuah pesan dari Corri baru masuk di ponselku pagi ini. Aku yang sudah bersiap akan berangkat ke kantor, terpaksa menunda sejenak. [Setuju. Aku memang ingin sekali mengusir mereka secara langsung. Kapan para penagih itu ke sana lagi?][Pagi ini][Oke kita ketemu di sana pagi ini. Bawa semua surat2 penting][Siap, Bos]Aku menunggu Pak Yono di lobby, seraya mengirim pesan pada Dido bahwa aku datang siang hari ini. "Pak kita tidak ke kantor ya. Kita ke rumah neneknya Giska sekarang.""Baik, Bu."Mobilpun melaju menuju rumah Mas Agung. Tak perlu waktu lama, kamipun tiba di tujuan."Pak, kita parkir di sini saja dulu ya." Mobil berhenti beberapa meter tak jauh dari rumah Mas Agung. Di depan sana aku melihat mobil Corri terparkir. Pasti Corri dan beberapa penagih sekarang berada di rumah itu.Sebaiknya aku menunggu beberapa saat, sebelum menyusul Corri ke sana.Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Biasanya Mas A
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.