Arief menolak untuk aku antar sampai rumahnya. Karena ternyata supir pribadinya menjemput ke rumahsakit. "Sudah sore, sebaiknya kamu pulang." Arief mengusap bagian atas hijabku. Aku jadi salah tingkah karena sikapnya itu. "Makasih sudah perhatian sama aku," lanjutnya lagi seraya tersenyum-senyum berusaha menggodaku. " Ya ampuuun! Siapa yang perhatian? Nggak usah kepedean deh!" sahutku pura-pura jengkel. Arief kembali terbahak-bahak. Kami berpisah di lobby rumahsakit. Pak Yono sudah menjemputku. Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Bik Sum? Ada apa gerangan. Tidak biasanya Asisten rumah tanggaku itu menghubungiku. "Halo, Bik. Ada apa?" "Bu ... sa-saya minta maaf ..." "Ada apa Bik? Tolong cepat katakan!" Aku yang langsung panik karena takut mendengar kabar yang tidak baik tentang Giska anakku. "Maaf, Bu. Pulang sekolah tadi Giska minta di antar ke rumah neneknya. Saya mencoba menghubungi ibu tapi tidak bisa. Karena Giska memaksa, akhirnya kami ke sana, Bu." Aku bernafas lega.
Dalam beberapa hari ini banyak masalah yang harus aku pikirkan. Penggabungan perusahaan dengan Tirta Group masih menjadi pertimbangan bagiku. "Sebaiknya kamu pikirkan kembali untuk bekerjasama dengan Tirta Group. Jangan gegabah dan terburu-buru membuat keputusan," ujar Arief saat makan siang kemarin. "Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan itu, Rief? "Sebaiknya kamu dan Dido menyelidikinya dengan baik. Tirta terkenal kerap bersaing dengan cara kotor." Aku tersentak mendengar keterangan dari Arief. Benarkah Pras demikian? Jika benar, Aku akan menolak mentah-mentah bekerjasama dengan Tirta Group. Juga tentang perjodohan dan penggabungan perusahaan. Aku harus menyelidikinya sendiri. Seperti biasa aku menghubungi Corri sahabatku sekaligus mitra bisnis pribadiku. Sebetulnya corri mempunyai wawasan sangat luas mengenai bisnis, khususnya bisnis properti yang aku geluti. "Corrie, aku minta tolong cari semua keterangan menyangkut perusahaanTirta Group. Hasilnya segera email ke aku."
"Luar biasa perusahaanmu, Pras." Aku membuka percakapan. "Ya! Ini semua berkat kerja kerasku selama ini," sahut Pras dengan bangganya, seraya pura-pura membetulkan dasi. "Sera, apakah kamu sudah membuat keputusan untuk perjodohan ini?" "M-maaf ...! Aku tidak bisa membicarakannya saat ini. Perusahaanku sedang dalam masalah." Aku sengaja memancing Pras. "Masalah Apa? Apa yang bisa aku bantu?" "Sepertinya ada yang ingin membuatku bangkrut," jawabku tegas seraya memperhatikan respon dari laki-laki sok tampan ini. "Oh, ya? Kalau begitu aku akan kirim orang-orangku untuk menyelidikinya." Pras memandangku dengan cemas. Tersirat rasa khawatir dari wajahnya. Ah, entahlah. "Sebaiknya saat ini untuk urusan intern perusahaanmu jangan di campuri oleh orang luar." "Apa maksudmu?" sanggahku. Pras hanya tersenyum miring. Apakah yang dia maksud orang luar itu adalah Arief? Ah ..., aku jadi pusing. Kenapa mereka berdua ini justru saling mencurigai. "Jangan percaya penuh pada siapapun Sera! D
"Ayo aku antar pulang!" ajak Arief. Dengan langkah gontai aku mengikuti laki-laki yang berjalan di sampingku ini. Kejadian tadi masih membuatku tegang dan sedikit emosi. Aku masuk dan duduk di sebelah Arief setelah Ia membukakan pintu mobil untukku. Sesudah memakai sabuk pengaman, Arief melajukan mobilnya. "Rani, kamu benar-benar bikin aku takut." "Hah? takut kenapa?" tanyaku heran. "Takut untuk kehilangan kamu. Eeaaaaa ..." "Apaan siiih," sahutku malu. "Kamu tau nggak? Ada penemuan baru bahwa bumi itu tidak bulat," ujar Arief dengan wajah serius. "Ah masa sih? Kok aku nggak denger?" tanyaku bingung. "Karena sejak ketemu kamu, bumi berubah menjadi bentuk hati. Hahaha ..." Ya ampuun Arief. Aku tersenyum malu tanpa berani melihat wajahnya. tiba-tiba hatiku menghangat. Entah perasaan apa ini. "Ran, kamu tau nggak malam apa yang paling indah?" "Hmmm ... malam pertama?" "Salah." "Malam takbiran?" "Bukan" " Malam apa dooong?" "Malamar kamuuu." "Arie.....f !" teriakku sambi
[Sera, Sepertinya kita harus ikut turun tangan mengusir keluarga Agung]Sebuah pesan dari Corri baru masuk di ponselku pagi ini. Aku yang sudah bersiap akan berangkat ke kantor, terpaksa menunda sejenak. [Setuju. Aku memang ingin sekali mengusir mereka secara langsung. Kapan para penagih itu ke sana lagi?][Pagi ini][Oke kita ketemu di sana pagi ini. Bawa semua surat2 penting][Siap, Bos]Aku menunggu Pak Yono di lobby, seraya mengirim pesan pada Dido bahwa aku datang siang hari ini. "Pak kita tidak ke kantor ya. Kita ke rumah neneknya Giska sekarang.""Baik, Bu."Mobilpun melaju menuju rumah Mas Agung. Tak perlu waktu lama, kamipun tiba di tujuan."Pak, kita parkir di sini saja dulu ya." Mobil berhenti beberapa meter tak jauh dari rumah Mas Agung. Di depan sana aku melihat mobil Corri terparkir. Pasti Corri dan beberapa penagih sekarang berada di rumah itu.Sebaiknya aku menunggu beberapa saat, sebelum menyusul Corri ke sana.Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Biasanya Mas A
POV AUTHOR Agung kesal melihat Sera mengacuhkan dirinya .Mantan istrinya itu pergi begitu saja setelah mengusir keluarganya. "Dasar perempuan sombong!" teriak Agung masih di depan pagar. Kemudian Ia kembali masuk karena para penagih itu masih saja belum pergi. "Kalian saya beri waktu sampai besok untuk mengosongkan rumah ini! Paham ??Bentak salah satu penagih yang badannya paling besar dan wajahnya cukup seram. "Pak, tega amat sih cuma kasih waktu satu hari. Barang-barang kita kan banyak!" protes Yuyun seraya melotot. "Bos kalian itu benar-benar nggak punya hati!" lanjutnya lagi "Jangan macam-macam kalian!" Bentak penagih lainnya. "Saya bisa saja mengusir kalian semua sekarang juga!" Para penagih itu emosi dengan sikap Yuyun. Sementara Corri gemas melihat Yuyun yang berani berbicara setelah Sera tidak ada. "Awas! Besok rumah ini harus sudah kosong!" tegas penagih itu sekali lagi. Corri dan para penagih itu pergi meninggalkan mereka. "Ya Ampun Aguuung ...! Bagaimana ini .
Aku bersyukur bisa membeli rumah ini. Akhirnya aku bisa mengabulkan permintaan Giska. Corri mengurus semuanya sebelum 1keberangkatannya ke Medan. Rumah ini aku renovasi sedemikian rupa, hingga Giska merasa nyaman dan bisa mengajak teman-temannya bermain ke rumah. Ibu dan Mas Agung ternyata mengontrak di samping rumah ini. Pelakor murahan itu juga ada di sana. "Giska, Bunda berangkat ke kantor dulu, ya sayang. Kamu sudah mulai libur kenaikan kelas kan?" "Iya Bunda. Hati-hati di jalan ya ...!" "Ya sayang." Aku mencium kedua pipinya yang menggemaskan. "Bik Sum, tolong jaga Giska ya. Jangan sampai di biarkan keluar rumah sendiri. Kalau dia mau main dan mengaji, tolong di antar ya." "Baik, Bu." Akupun melangkah memasuki mobil yang sudah disiapkan sejak tadi oleh Pak Yono. Pak Budi security baru di rumahku berlari membukakan pagar. Namun saat pagar terbuka Ia ternganga, karena banyak ibu-ibu tetangga yang berkumpul persis di depan pagar. Ternyata mereka sedang berbelanja pada tukan
Pov Agung"Keluarga Ibu Sera." Seorang suster keluar dari ruang tindakan Unit Gawat Darurat. "Saya suaminya, Dok," sahutku penuh keyakinan. "Silahkan masuk, Pak. Dokter mau bicara. " "Baik suster." Aku memasuki ruang dokter yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" "Sementara tidak ada yang serius, Pak. Kita tunggu pasien sadar. Karena Ada benturan yang keras di kepalanya. "Apa boleh saya melihat pasien, Dok? "Silahkan, Pak." Aku beruntung sedang berada di rumah kontrakan saat ada polisi datang mengabarkan berita kecelakaan ini. Bik Sum terpaksa meminta tolong padaku untuk melihat keadaan Sera ke rumah sakit. Aku memang sengaja tidak ke kantor hari ini. Kesempatan ini tidak akan aku sia-sia kan. Sera kecelakaan. Tapi sayangnya dokter bilang tidak ada luka yang serius. Sebaiknya aku lihat dulu keadaannya. Mungkin aku bisa memanfaatkan keadaan ini untuk dapat merebut semua harta milik mantan istriku itu. Sera terbaring lemah dengan ke