Bagai mendengar petir di siang bolong, Sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja Om Beni katakan. Mana mungkin aku bisa menikah dengan laki-laki yang baru saja aku kenal dalam satu hari. "Maaf Om Beni, apa Om bisa jelaskan tentang wasiat itu?" tanyaku, berharap jika ini hanyalah prank saja. "Begini Sera, ... Saya, almarhum Ayahmu dan almarhum Ayah Pras bersahabat sejak kami kuliah." Om Beni mulai menjelaskan."Ayahmu dan Ayah Pras sukses berhasil mendirikan perusahaan. Mereka berdua sepakat menggabungkan perusahaan mereka dengan cara menikahkan anak-anak mereka nantinya. Dan ..., mereka berdua akhirnya membuat surat wasiat." Om Beni menjelaskan panjang lebar. Aku melihat Pras yang senyum-senyum sejak tadi. "Pras, sepertinya kamu sudah tahu hal ini sebelumnya?" tebakku menatap curiga pada Pras. "Ya, memang benar. Dan sudah sejak lama aku menyelidiki calon istriku ini. Sera, sudah saatnya kamu bahagia. Setelah sekian lama kamu menderita hidup bersama laki-laki tidak berguna
"Kamu pusing banget ya? Kok kalem banget?" Punggung tanganku meraba kening Arief. Namun suhunya normal. "Udah nggak usah pegang-pegang." Laki-laki blasteran Padang Belanda itu menepiskan tanganku. "Tumben banget jutek gini. Salah minum obat, ya?" Aku masih berusaha bercanda. Walau sebenarnya aku melihat keseriusan dari wajah laki-laki yang baru kusadari ketampanannya saat berdekatan sekarang ini. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya. Arief membuang nafas kasar. Kemudian tiba-tiba mata hazel itu menatap dalam padaku. "Rani ..., mengapa kamu tidak pernah mengerti akan perasaanku?" lirihnya. "M-maksudmu ...?" Aku mulai menduga-duga arah pembicaraan ini. Sekali lagi Arief membuang nafas kasar, kali ini lebih panjang. Mengalihkan pandangan sejenak. Lalu kembali menatap mataku. Tatapan kami bertemu. Seakan-akan terkunci. Hingga aku tak kuasa mengalihkan pandangan dari mata hazelnya yang tegas dan tajam. "Rani ..., Aku telah berjanji pada diriku sendiri. Aku tidak mau
Arief menolak untuk aku antar sampai rumahnya. Karena ternyata supir pribadinya menjemput ke rumahsakit. "Sudah sore, sebaiknya kamu pulang." Arief mengusap bagian atas hijabku. Aku jadi salah tingkah karena sikapnya itu. "Makasih sudah perhatian sama aku," lanjutnya lagi seraya tersenyum-senyum berusaha menggodaku. " Ya ampuuun! Siapa yang perhatian? Nggak usah kepedean deh!" sahutku pura-pura jengkel. Arief kembali terbahak-bahak. Kami berpisah di lobby rumahsakit. Pak Yono sudah menjemputku. Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Bik Sum? Ada apa gerangan. Tidak biasanya Asisten rumah tanggaku itu menghubungiku. "Halo, Bik. Ada apa?" "Bu ... sa-saya minta maaf ..." "Ada apa Bik? Tolong cepat katakan!" Aku yang langsung panik karena takut mendengar kabar yang tidak baik tentang Giska anakku. "Maaf, Bu. Pulang sekolah tadi Giska minta di antar ke rumah neneknya. Saya mencoba menghubungi ibu tapi tidak bisa. Karena Giska memaksa, akhirnya kami ke sana, Bu." Aku bernafas lega.
Dalam beberapa hari ini banyak masalah yang harus aku pikirkan. Penggabungan perusahaan dengan Tirta Group masih menjadi pertimbangan bagiku. "Sebaiknya kamu pikirkan kembali untuk bekerjasama dengan Tirta Group. Jangan gegabah dan terburu-buru membuat keputusan," ujar Arief saat makan siang kemarin. "Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan itu, Rief? "Sebaiknya kamu dan Dido menyelidikinya dengan baik. Tirta terkenal kerap bersaing dengan cara kotor." Aku tersentak mendengar keterangan dari Arief. Benarkah Pras demikian? Jika benar, Aku akan menolak mentah-mentah bekerjasama dengan Tirta Group. Juga tentang perjodohan dan penggabungan perusahaan. Aku harus menyelidikinya sendiri. Seperti biasa aku menghubungi Corri sahabatku sekaligus mitra bisnis pribadiku. Sebetulnya corri mempunyai wawasan sangat luas mengenai bisnis, khususnya bisnis properti yang aku geluti. "Corrie, aku minta tolong cari semua keterangan menyangkut perusahaanTirta Group. Hasilnya segera email ke aku."
"Luar biasa perusahaanmu, Pras." Aku membuka percakapan. "Ya! Ini semua berkat kerja kerasku selama ini," sahut Pras dengan bangganya, seraya pura-pura membetulkan dasi. "Sera, apakah kamu sudah membuat keputusan untuk perjodohan ini?" "M-maaf ...! Aku tidak bisa membicarakannya saat ini. Perusahaanku sedang dalam masalah." Aku sengaja memancing Pras. "Masalah Apa? Apa yang bisa aku bantu?" "Sepertinya ada yang ingin membuatku bangkrut," jawabku tegas seraya memperhatikan respon dari laki-laki sok tampan ini. "Oh, ya? Kalau begitu aku akan kirim orang-orangku untuk menyelidikinya." Pras memandangku dengan cemas. Tersirat rasa khawatir dari wajahnya. Ah, entahlah. "Sebaiknya saat ini untuk urusan intern perusahaanmu jangan di campuri oleh orang luar." "Apa maksudmu?" sanggahku. Pras hanya tersenyum miring. Apakah yang dia maksud orang luar itu adalah Arief? Ah ..., aku jadi pusing. Kenapa mereka berdua ini justru saling mencurigai. "Jangan percaya penuh pada siapapun Sera! D
"Ayo aku antar pulang!" ajak Arief. Dengan langkah gontai aku mengikuti laki-laki yang berjalan di sampingku ini. Kejadian tadi masih membuatku tegang dan sedikit emosi. Aku masuk dan duduk di sebelah Arief setelah Ia membukakan pintu mobil untukku. Sesudah memakai sabuk pengaman, Arief melajukan mobilnya. "Rani, kamu benar-benar bikin aku takut." "Hah? takut kenapa?" tanyaku heran. "Takut untuk kehilangan kamu. Eeaaaaa ..." "Apaan siiih," sahutku malu. "Kamu tau nggak? Ada penemuan baru bahwa bumi itu tidak bulat," ujar Arief dengan wajah serius. "Ah masa sih? Kok aku nggak denger?" tanyaku bingung. "Karena sejak ketemu kamu, bumi berubah menjadi bentuk hati. Hahaha ..." Ya ampuun Arief. Aku tersenyum malu tanpa berani melihat wajahnya. tiba-tiba hatiku menghangat. Entah perasaan apa ini. "Ran, kamu tau nggak malam apa yang paling indah?" "Hmmm ... malam pertama?" "Salah." "Malam takbiran?" "Bukan" " Malam apa dooong?" "Malamar kamuuu." "Arie.....f !" teriakku sambi
[Sera, Sepertinya kita harus ikut turun tangan mengusir keluarga Agung]Sebuah pesan dari Corri baru masuk di ponselku pagi ini. Aku yang sudah bersiap akan berangkat ke kantor, terpaksa menunda sejenak. [Setuju. Aku memang ingin sekali mengusir mereka secara langsung. Kapan para penagih itu ke sana lagi?][Pagi ini][Oke kita ketemu di sana pagi ini. Bawa semua surat2 penting][Siap, Bos]Aku menunggu Pak Yono di lobby, seraya mengirim pesan pada Dido bahwa aku datang siang hari ini. "Pak kita tidak ke kantor ya. Kita ke rumah neneknya Giska sekarang.""Baik, Bu."Mobilpun melaju menuju rumah Mas Agung. Tak perlu waktu lama, kamipun tiba di tujuan."Pak, kita parkir di sini saja dulu ya." Mobil berhenti beberapa meter tak jauh dari rumah Mas Agung. Di depan sana aku melihat mobil Corri terparkir. Pasti Corri dan beberapa penagih sekarang berada di rumah itu.Sebaiknya aku menunggu beberapa saat, sebelum menyusul Corri ke sana.Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Biasanya Mas A
POV AUTHOR Agung kesal melihat Sera mengacuhkan dirinya .Mantan istrinya itu pergi begitu saja setelah mengusir keluarganya. "Dasar perempuan sombong!" teriak Agung masih di depan pagar. Kemudian Ia kembali masuk karena para penagih itu masih saja belum pergi. "Kalian saya beri waktu sampai besok untuk mengosongkan rumah ini! Paham ??Bentak salah satu penagih yang badannya paling besar dan wajahnya cukup seram. "Pak, tega amat sih cuma kasih waktu satu hari. Barang-barang kita kan banyak!" protes Yuyun seraya melotot. "Bos kalian itu benar-benar nggak punya hati!" lanjutnya lagi "Jangan macam-macam kalian!" Bentak penagih lainnya. "Saya bisa saja mengusir kalian semua sekarang juga!" Para penagih itu emosi dengan sikap Yuyun. Sementara Corri gemas melihat Yuyun yang berani berbicara setelah Sera tidak ada. "Awas! Besok rumah ini harus sudah kosong!" tegas penagih itu sekali lagi. Corri dan para penagih itu pergi meninggalkan mereka. "Ya Ampun Aguuung ...! Bagaimana ini .