“APA INI? HAH!” Suara gebrakan meja membuat gadis yang asik menikmati tontonan televisi itu langsung terdiam melihat salah satu bagian isi map yang menyembul keluar, “KETERLALUAN SEKALI KAMU, YUR!” Leher Yuda menampakan guratan otot sambil menatap nyalang kearah putri kebanggaanya. Ya dulu, bukan sekarang yang membuat dirinya harus kehilangan harga dirinya. Kesalahanya hanya satu tapi resikonya membuat Yuda ingin melenyapkan putrinya sendiri sekarang juga. “PAPAH UDAH INGETIN KAMU UNTUK JAGA KELAKUAN TAPI APA HAH!!” bentak Yuda menggertakan gigi-giginya.
Ratna tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah meninggalkan belanjaanya di depan teras setelah mendengar teriakan dari suaminya Yuda. Ratna berjalan mendekati putrinya memegang pundaknya yang terlihat bergetar. “Ada apa sih pah? Kamu enggak biasanya marah sampai suaramu udah kaya pake toa masjid. Kalo ada masalah mbok ya jangan pake emosi begitu nggak baik. Anakmu ini sampe gemeter lo ini, di apain sama kamu?” Tanya Ratna menuntut penjelasan pada suaminya. Ratna sebagai ibu yang baik kembali menenangkan putrinya yang mulai menangis.
“Aku marah itu buat kebaikan Yura ngerti nggak mah. Anakmu ini kelakuanya sudah keterlaluan. Aku merasa gagal jadi ayahmu Yur. Papah ini mati-matian sekolahin kamu tinggi-tinggi buat jadi wanita sukses bukan jadi..” Ucapan Yuda berhenti menghela nafas kasar.
“Jadi apa pah? Kamu tuh kalo ngomong jangan setengah-setengah gitu. Mamah kan nggak paham apa yang lagi kamu marahin ke anakmu ini.” Ratna mendekati Yuda menuntut penjelasan, “Kalo masalah pacaran ya biarin dong pah. Yura tuh udah gede jangan dikekang mulu kamu tuh nggak pernah abg ya pah!” Ujar Ratna yang mengira suaminya memarahi anaknya karena sedang menjalin kasih. Karena selama beberapa minggu ini Ratna sering memergoki putrinya di antar pulang dengan mobil tapi Ratna sendiri enggan menanyai putrinya biarkan saja sang anak jujur tanpa harus dirinya tanyai.
“Liat sendiri saja mah.” Tunjuk Yuda pada map coklat diatas meja, “Anakmu ini sudah mempermalukan kita sebagai orang tua. Kebangetan banget jadi anak! Papah sampe nggak habis pikir kurang apa papah ngedidik kamu Yur…yur.” Yuda menghembuskan nafas kasar membuang muka tidak ingin menatap putrinya yang sesenggukan menangis.
Ratna langsung menyambar map coklat kemudian membukanya, “Foto begini aja Pah kamu kok marahnya sampe begitu? Ini enggak ada yang aneh loh. Kalo liat dari umurnya memang keliatan sudah dewasa dari pada Yura toh jodoh nggak mandang umur kan. Kamu kebiasaan Pah masalah begini kamu gede-gedein.” Semprot Ratna dengan segala ketidaktahuannya.
Mama Ratna kembali ke posisi putrinya berdiri menarik lengan putrinya yang masih terisak untuk duduk, “Yang di foto itu pacarmu tah Yur?” Tanya mama Ratna di jawab gelengan oleh Yura. Mendapat jawaban yang tidak seperti perkiraanya mama Ratna memasang wajah penuh pertanyaan di kepalanya, “Terus laki itu siapamu yur?”
“Wes gausah nanya anakmu itu Mah, mana bisa dia jawab.” Ujar Yuda yang sudah kadung dongkol melihat istrinya yang masih saja memperlihatkan pembelaanya kepada putrinya, “Kamu tau nggak kalo Istrinya datang ke saya langsung tadi, minta saya buat nasehatin Yura. Muka saya sampai nggak berani liat wajahnya mah saking malunya, malu saya mah malu!” Tambah Yuda penuh penekanan diujung ucapannya. Yuda menggeser kursi dengan kasar duduk menatap istrinya yang masih belum paham apa yang barusan dikatakanya. Dia bahkan tidak mau menatap iba putrinya yang sedari tadi tangisanya memenuhi ruangan tanpa henti.
“Maksudmu istri siapa?” Tanya mama Ratna sedikit menaikan nada suaranya. Kembali menatap intens suaminya yang belum menjawab pertanyaanya barusan, “Jangan bilang..” mama Ratna menutup mulutnya sambil menatap lembaran foto yang berserakan di atas meja kemudian kembali menatap putrinya dengan ekspresi tidak percaya, “Astagfirullah, Yur. Apa bener yang di foto sama kamu itu sudah bersuami? Dijawab Yur jangan cuma nangis mamah cuma butuh kamu jelasin! Mamah masih percaya kamu Yur masa iya anak mama bisa-bisanya jadi apa tuh namanya jaman sekarang. PE..pe.. Pelakor ah itu maksud mamah. Kamu tuh anak perempuan mamah yang berharga Yur jangan bikin mamah hilang kepercayaan sama kamu Yur.” Tatap mama Ratna mengarah ke putrinya menunggu jawaban tentunya. Sebisa mungkin dirinya menghilangkan prasangka buruk mengenai anak yang dia besarkan penuh kasih sayang. Perjuangan mengandung sembilan bulan masih teringat jelas bagi mama Ratna mengingat anaknya yang merupakan perempuan akan sangat terluka hatinya jika benar anaknya mengambil jalan yang tidak semestinya, “Jangan diem aja Yur, mau bunuh mama pelan-pelan kamu!” Ratna kembali bersuara cukup membuat Yura tidak sanggup melihat sang mama marah.
“Astagfirullah istigfar mah kalo ngomong jangan bawa-bawa mati.” Papah Yuda mendekati istrinya yang matanya sudah terlihat kilatan amarah. Tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan, Yuda segera menggenggam tangan istrinya Ratna, “Kamu tau mah istrinya sampai memohon sama saya, sebagai ayah hati saya hancur. Umurnya masih sangat muda kalo dilihat tidak jauh beda dengan Yura.” Jelas Papah Yuda kembali menceritakan kejadian siang tadi di tempat kerjanya. Sekali lagi mama Ratna menghela nafas agar melegakan dadanya yang terasa sesak.
“Mah Yura sama Pak Bram cuma sebatas atasan sama bawahan enggak lebih. Pak Bram manager ditempat magang Yura. Dia sering anter Yura cuma karna dia kasian ke Yura rumahnya jauh kan lumayan hemat ongkos juga.” Ucap Yura lirih masih di barengi dengan tangisnya yang tidak kunjung mau berhenti, “mamah percaya kan sama Yura?” ujar Yura meyakinkan hati mamah Ratna.
“Istrinya sampai datang loh Yur ketemu sama bapakmu. Kalopun kamu emang enggak ada apa-apa mana mungkin istrinya sampe segitunya loh nyamperin bapakmu. Jujur Yur sama mamah kamu ngapain aja sama dia?” Tanya mama Ratna lagi terus mengintrogasi putrinya.
“Ya Allah mah, Yura enggak pernah macem-macem. Pak Bram sering minta bantuan ke Yura itu doang enggak lebih masa iya Yura nolak kan gimanapun dia atasan Yura di tempat magang.” Ujar Yura membantah segala yang di pojokan mengenai dirinya.
“Bantuin apa Yur jelasin ke mamah? Yang sering telponan sama kamu malem–malem mama liat itu siapa?” Lagi- lagi Yura dibuat terdiam. Kepalanya yang tadi menunduk seketika terangkat menatap mamanya. Melihat putrinya yang terdiam mama Ratna cukup peka akan hal itu, “Jadi itu yang kamu bilang bantuan! Mamah enggak habis pikir sama kamu, Yur.” Helaan nafas kembali terdengar. Disitu memang sudah tidak ada suaminya karena barusan ada panggilan dadakan yang mengharuskan dia kembali ke tempat kerjanya. Kalo ada mungkin peralatan rumah sudah dipastikan hancur akan amukanya.
“Enggak gitu mah.” Ujar Yura kembali mencari cela agar dirinya tidak disalahkan atas tindakanya yang memang tidak dibenarkan itu.
“Kamu ngebela seribu kalipun Yur kamu tetap salah, salah ngerti nggak! Mama juga seorang istri sekaligus ibu sudah pasti tau perasaan istrinya Yur. Kamu bisa-bisanya hal begitu kamu anggap enteng! Kamu juga perempuan harusnya dipikir kalo mau ngapa-ngapain tuh, kalo udah tau punya istri jaga jarak. Lah ini bukanya jaga jarak malah sengaja ngasih tempat. Gimana enggak seneng dia dikasih respon sama kamu yang masih muda seger gini. Walaupun sekarang enggak ada apa-apa takutnya kamu yang palah nyaman sama dia.” Ucapan mama Ratna bagai hantaman batu besar mengisi dada Yura, “Disini sudah jelas kamu yang salah. Biarin bapakmu nanti yang ngurus apa yang baik buat kamu Yur. Mama cuma pesen jangan sampai kamu ngecewain mamah. Sampai kamu ngelakuin itu sudah mamah lepas tangan.” Tambah mama Ratna sambil berdiri yang teringat dengan belanjaanya yang dia tinggal saking kalutnya suasana tadi.
Setelah kepergian mama Ratna mengarah ke pintu depan, Yura mendadak menghentikan tangisanya mengambil ponsel yang berdering di lantai. Tadi ponselnya memang diletakan di atas pangkuanya sampai tidak sadar entah bagaimana posisi ponsel itu sudah dilantai, untung saja tidak ada retak sedikitpun. Yura sedikit menatap lega melihat ponselnya sedikit mengerutkan dahinya sebelum tanganya menggeser tombol hijau di layar.
“Aku menunggumu sayang.” Suara berat dari seorang pria terdengar di sertai bunyi pembicaraan mereka berdua terputus.
Raka mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi menembus jalan kota Jakarta yang cukup padat. Rakaza Dwi Putra Raharja anak yang kini telah tumbuh menjadi pria bebas semenjak kedua orang tuanya berpisah. Mungkin sekitar lima tahun belakang dia mulai memilih jalan mengikuti pergaulan anak muda jaman sekarang. Baju warna hitam jelana jeans kesukaanya beserta jaket kulit hadiah dari sang pacar membuat penampilanya semakin memanjakan mata wanita jomblo. Raka memang memiliki wajah perpaduan orang tuanya namun kebih dominan wajah ibunya Ami yang memang sangat cantik selebihnya tentu saja mencontoh sang ayah Gilang Raharja.“Akhirnya Rak keluar kandang juga lo.” Seru Abi salah satu teman kampus Raka yang melihat kedatangan Raka setelah memarkirkan motornya. Seruan layak anak tongkrongan menggema disaat Raka sudah sampai pada meja tempat mereka bertemu. Bagaimana bisa sang bucin Raka datang tanpa membawa Geby sang pacar yang hampir setahun menemaninya kemanapun.
Tepatnya di meja makan milik keluarga Gantara sudah duduk anggota keluarga untuk menikmati makan pagi. Bisa dilihat bahwa yang tertua disana adalah orang tua dari Bram yang datang mengunjungi putranya sekaligus kangen cucu yang telah lama tidak di tengoknya. Bram yang baru dibangunkan istrinya Sasa belum kunjung turun untuk ikut sarapan jadi Sasa menggantikan Bram menemani mertuanya sarapan terlebih dahulu. “Kabarmu sama suamimu gimana, Sa? Pertanyaan itu terlontar dari Ima sang ibu mertua, “Ibu harap kamu dapat memaklumi kelakuan Bram ya Sa. Apalagi sekarang sudah ada Kenan pasti kamu repot kan. Sekarang sudah tau susahnya jadi ibu jadi banyakin sabar saja.” Ucap Ima membuat Sasa tersenyum kikuk, “Kalian sudah dewasa apalagi Bram yang sudah kepala tiga, kalo ada masalah selesaikan dengan kepala dingin.” Tambah Ima menasehati menantunya agar kejadian yang menimpa dirinya tidak terjadi pada orang lain. Jujur saja Ima masih tidak bisa melupakan rasa sakit akibat kegoisannya me
Dengan wajah supelnya Yura masuk ke dalam gedung perkantoran yang menjadi tempat magangnya. Terlihat Dina dan Riri menampakan cengiran khas mereka sambil melambaikan tangan. Dina Yura masuk melirik ke meja Pak Bram yang masih kosong sedikit rasa lega. Pak Bram itu memang ganteng, tapi buat apa kalo ganteng udah punya istri. Yura meletakan pantatnya pada kursi di sebelah Riri. “Ditungguin tau dari tadi!” Ucap Dina melemparkan alat pengaman diri berupa rompi pada Yura. “Apaan nih? Ditungguin apa sih?” Balas Yura yang belum paham maksud ucapan Dini barusan segala main lempar rompi tepat mengenai tangan kirinya Yura. “Enggak liat grup?” Sahut Riri membuat Yura langsung menggeser layar ponselnya. “Ish apaan sih! Jangan gue lagi lah. Gantian gitu.” Ucap Yura sedikit kesal mengerucutkan bibirnya, “ Ri, lu aja sih!” Senggol Yura pada Riri agar mau menggantikannya. Yura tau bahwa Pak Bram juga ada disana, “Ayolah! “ bujuk Yura lagi. Jika dia meminta Dina
“Heh! Kemarin gimana ceritanya lo bisa diajak ngehotel sama Pak Bram?” Tanya Dini yang penasaran dengan postingan status Yura, “Jangan bilang lu buka jasa kah?” Cecar Dini sambil bergidik ngeri melihat ke Yura. “Gila aja. Lu kalo ngomong enggak pake saringan sih, Din!” Ucap Yura kesal. “Terus itu apaan udah main di kamar segala?” “Iya kan enggak selamanya main di kamar begituan kali. Lagian kita beda kamar ngaco!” Yura menyentil kening Dini membuat itu anak meringis mengusap bagian yang di sentil tadi. “Tapi kemarin tuh gue..” Ucapan Yura terputus saat kedatangan dosen pembimbing mereka, “Pagi, Pak.” Sapa Yura diikuti Dini yang menyahut menyapa sang dosen. "Mari keruangan saya." Ucap sang dosen. Yura dan Dini serempak mengekor pada sang dosen diikuti Riri berlari mengejar keduanya. Setelah selesai melakukan bimbingan mereka menuju gazebo yang ada di kantin kampus tempat biasa anak kampus nongkrong. Dari arah parkiran Kiano datang denga
“Baru pulang?”Suara terdengar saat Yura menyalakan lampu yang terlihat gelap.Yura sebisanya mengatur keterkejutanya, “Iya.” Jawab Yura pada sang ibu.Yura berjalan meletakan sepatu pada sebuah rak kecil di belakang pintu. Kemudian beralih ke posisi ayahnya yang sedang duduk disebuah bangku dekat jendela sang ayah sambil memegang buku beserta kaca mata terpasang di matanya. Menghela nafas sejenak lalu meneruskan langkahnya masuk ke dalam kamar.Yura jelas memilih menghindari pertanyaan yang akan membuat keadaan semakin panas. Ayahnya masih mendiamkannya sampai saat ini. Sedari tadi bahkan dia mengutarakan kebodohan dirinya karena hampir saja lupa jika barusan diantar oleh Pak Bram yang menjadi masalah ayahnya masih tida mau bicara denganya.“Bodoh! Semoga aja tadi enggak ada yang liat.” Ujar Yura menjambak rambutnya sebelum berhenti karna decitan pintu yang terbuka, “Kenapa, Ma?”Kepala Mama R
Dua manusia duduk berdampingan di sebuah tempat asing yang jauh dari hirup pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Sudah dua hari Yura memutuskan untuk tidak mengaktifkan ponselnya. Bukan tanpa alasan gadis itu melakukan hal tersebut. Tuduhan yang mengatas namakannya sangat tidak berdasar hanya karna sebuah foto langsung heboh sejagat raya. “Udah baikan?” Yura menyuilkan senyum dibalik topi berbentuk kucing yang menggemaskan, “Lebih baik.” “Masih betah?” “Bentar lagi iya, Ga.” “Hmm.” Elus pucak kepala Yura dengan lembut, “Gue kesana dulu ya, mau ini.” Tunjuk Gaga pada benda berbentuk kotak. Gaga sedikit menjauh dari Yura karna ingin menyalakan rokoknya. Membiarkan Yura duduk tenang di bangku panjang dan dia mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Semalam Yura memang menghubungi Gaga untuk menemaninya keluar. Gaga tentu senang bukan main tapi ternyata setelah bertemu yang di dapat hanya kesedihan dari wajah sang mantan tercinta. S
Bram pulang menapakan kakinya pada undakan kedua tangga lantai di rumahnya. Di ujung tangga atas terlihat istrinya menguncir rambut asal. Sasa turun sambil menggendong putranya Kenan yang melengkuh manja pada sang ibu.“Baru pulang mas?” Tanya Sasa dengan nada tidak suka.Bram mencium kepala putranya kemudian beralih bertatap dengan istrinya, “Mamah menginap?”“Iya, aku yang memintanya. Lagian mama pengen lebih lama sama cucunya.” Jawab Sasa dengan santainya melenggang turun kembali menuju meja makan untuk membuatkan sarapan pagi untuk Kenan.Bram menjegat tangan Sasa, “Seharusnya kamu bilang ke aku.” Ujar Bram tidak suka.“Lain kali aku akan bilang.” Jawab Sasa menepis tangan suaminya.Sasa turun dengan perasaan jengkel karena melihat goresan tanda merah di kerah sang suami. Kepalanya penuh dengan pemikiran negatif mengarah pada seseorang yang dicurigainya. Belum pasti tapi S
Yura dan Dini memasuki perkarangan rumah dengan pagar biru. Dari atas motor Yura dan Dini melambaikan tangan pada Riri. Mereka sengaja mampir setelah selesai dari tempat magang. Keduanya turun dari motor di sambut senyuman khas bangun tidur dari Riri. “Baru bangun tuh.” Ucap Yura meledek. “Tadi enggak ngapa-ngapain kan?” Tanya Riri dengan cengirannya. “Pala lu enggak ngapa-ngapain!” Ujar Dini sewot, “Tugas lo aja Yura yang ngerjain tuh, ck.” “Besok gausah masuk aja Din, biarin Riri berangkat sendiri.” “Setuju banget sih, ck.” “Lagi ada tamu iya?” Tanya Yura yang melihat deretan sepatu di undakan menuju teras rumah Riri. Dini ikut menengok ke jejeran sandal, “Eh iya, tapi ini sepatu cowok deh.” Yura dan Dini langsung menatap Riri dengan curiga. Riri menghela nafas pelan menggeser sepatu yang kedua temannya maksud. “Masuk dulu sih.” “Eh pacar lo Ri?” Tanya Dini mensejajarkan langkahnya dengan Riri sedangkan Yura dibelakang menata