“Heh! Kemarin gimana ceritanya lo bisa diajak ngehotel sama Pak Bram?” Tanya Dini yang penasaran dengan postingan status Yura, “Jangan bilang lu buka jasa kah?” Cecar Dini sambil bergidik ngeri melihat ke Yura.
“Gila aja. Lu kalo ngomong enggak pake saringan sih, Din!” Ucap Yura kesal.
“Terus itu apaan udah main di kamar segala?”
“Iya kan enggak selamanya main di kamar begituan kali. Lagian kita beda kamar ngaco!” Yura menyentil kening Dini membuat itu anak meringis mengusap bagian yang di sentil tadi.
“Tapi kemarin tuh gue..” Ucapan Yura terputus saat kedatangan dosen pembimbing mereka, “Pagi, Pak.” Sapa Yura diikuti Dini yang menyahut menyapa sang dosen.
"Mari keruangan saya." Ucap sang dosen. Yura dan Dini serempak mengekor pada sang dosen diikuti Riri berlari mengejar keduanya.
Setelah selesai melakukan bimbingan mereka menuju gazebo yang ada di kantin kampus tempat biasa anak kampus nongkrong. Dari arah parkiran Kiano datang dengan teng-tengan di tanganya. Dia membawa makanan yang memang di pesan Yura karena kebetulan Kiano sedang menuju ke arah kampus.
“Eh Yur, yang tadi terusin.” Ucap Dini.
“Ih kalian ngobrolin apaan sih? Ulang dong gue kan belum ikutan tadi.” Timpal Riri yang ingin ikut bergosip.
“Ikutan!” Ujar Kiano dengan nada bercanda.
“Hus!” Usir Dini, "Lo tuh gak kenal!” Tambah Dini sembari mendorong Kiano agar menjauh.
“Emang iya cewek ribet kalo udah ngerumpi.” Ucap Kiano beranjak dari bangku pindah posisi. Mengambil sepuntung rokok lalu menyalakannya.
“Nanti aja gue juga lupa mau ngomong apa tadi.” Ujar Yura yang sibuk membuka makanan seblak kesukaanya. Menghirup aromanya sambil tersenyum, “Thanks loh, Ki.” Senyum Yura dibalas deheman oleh Kiano yang asik dengan rokok ditangannya.
“Nah gitu dong!” Ujar Dini menaikan alisnya dengan senyum menggoda, “Sekarang kan jadi gue nggak harus memihak ke siapapun lagi disini.” Ucapan Dini disambut toyoran dikepalanya membuat desisan kecil tapi mulutnya tetap mengunyah dengan santainya, “Lo berdua nggak tau aja gue susahnya gimana, hah! Satu minta begini satu begino. Untung temen kalo bukan gue kawinin aja lo berdua ribet!”
“Mau dong dikawinin sama Yura.” Ujar Kiano dengan muka seimut-imutnya.
“Najiss!” Ujar ketiganya serempak.
“Pantes aja diputusin.” Ucap Riri sekalinya bersuara langsung triple kill.
“Riri kalo ngomong ya setajam silet asli dah!” Ujar Kiano mengelus dadanya memperagakan rasa nyeri di hati memang tidak sepenuhnya sakit. Sedikit melirik ke Yura yang ikut menoyor Riri membuat Kiano ikut juga memberikan satu pukulan membuat yang punya badan berlari menjauh dari tempatnya duduk.
“Sakit tauk!” Ucap Riri mengelus bagian yang kena pukulan barusan.
Suara deringan ponsel membuat tawa mereka terhenti. Riri langsung kembali ke tempat duduknya melihat siapa yang menelponya diikuti Yura dan Dini yang langsung melirik ke ponsel yang menyala memperlihatkan nama sang penelpon. Sebelum itu Riri menatap kedua temannya, “Angkat enggak nih?”
“Udah angkat aja siapa tau penting.” Ujar Yura disertai anggukan dari Dini membuat layar itu dengan sekali geseran langsung tersambung dengan si penelpon.
“Siapa emang? Muka kalian kaya tegang banget gitu.”
“Gausah kepo.” Jawab Dini dengan nada meledek.
“Gue engga kepo cuma sekedar ingin tau aja, ck.” Ucap Kiano di barengi Riri yang kembali setelah sang penelpon mematikan sambunganya.
Yura dan Dini merapatkan tubuhnya mendengarkan apa yang dibicarakan keduanya ditelpon tadi. Sedangkan Kiano tentu saja ikut menguping walaupun tidak tau alur ceritanya dari awal.
“Liat besok aja lah! Mager juga bahas gituan di sini.”
“Betul, Yur. Gue juga rada mager sih.”
“Jadi gimana? Masalahnya gue nih yang tanggung jawab nanti soalnya gue udah iyain ke dianya.” Ujar Riri sambil menggigit satu kukunya.
“Sini gue ketikin.” Pinta Dini pada ponsel yang ada di genggaman Riri. Dini mulai mengetik balasan pada pak Bram sang penelpon barusan.
Yura melirik jam tanganya kemudian beralih ke Kiano yang baru saja kembali setelah memebeli minuman, “Jadi gak?” Tanya Yura membuat Kiano mmbuka layar ponselnya untuk melihat jam.
“Oiya, untung lo inget.” Jawab Kiano mengambil kunci motor, “Nih anak dua?” Tanya Kiano ke Yura sambil menunjuk pada Dini dan Riri.
“Mereka masih betah di kampus biarin aja.” Jawab Yura berjalan menuju parkiran diikuti Kiano menyusul dibelakangnya.
Baru saja melewati gerbang kampus suara decitan rem terdengar membuat sang penumpang yakni Yura beralih melihat sosok yang berjalan ke arahnya. Kiano menatap tidak suka memilih membuang muka ke arah yang lain.
“Ngapain?” Tanya Yura yang dibuat terkejut akan kehadiran Gaga.
Gaga meraih tangan Yura dan memberikan dompet kecil berwarna pink, “Takutnya penting makanya gue mampir kesini dulu. Gue tadi kerumah kata mama kamu lagi di kampus.”
“Nungguin dari tadi?” Gaga mengangguk mengiyakan, “Ish kenapa gak telpon aja sih?”
“Gak aktif.”
“Oh iya lupa gue nggak online data.” Yura tersenyum kikuk.
“Udah apa belom nih!” Sindir Kiano yang kesal menunggu keduanya bicara. Dalam hati Kiano memang masih kesal atas pukulan yang pernah mendarat di pipinya waktu itu.
“Ish..” Yura menoyor helm Kiano yang tau jika ini anak masih punya dendam kesumat dengan Gaga, “Makasih ya, Ga. Gue musti cabut nih, gue tinggal enggak apa-apa kan?”
Gaga memilih melepaskan Yura untuk jalan dengan Kiano walaupun dalem hati dia ingin lagi memukul Kiano yang masih saja bersikap songong di depannya, “Ah sial! Awas aja lo Ki.” Ujar Gaga sembari menendang kerikil untuk meluapkan emosinya kembali ke motornya berada dan sebelum melajukan motor sekali lagi Gaga menatap punggung Yura yang kian menjauh.
Sesampainya di tempat tujuan muka kusut Kiano masih saja terlihat jelas di mata Yura. Yura memilih diam saja malas juga membahas yang sudah berlalu menambah masalah yang sudah menumpuk di otaknya.
“Ki?”
“Paan?”
"Gue nunggu lo diluar aja ya. Gabut gue pasti."
"Mau kemana emang?"
“Cafe Kenangan, situ. Deket kok dari sini. Gue mau nemuin temen kerja. Lo juga pasti lumayan lama kan survey ini tempat juga.” Ucap Yura langsung beralih ke ponselnya yang berdering, “Dah! Nanti telpon. Okey!”
“Dasar!” Umpat Kiano sepergianya Yura keluar dari gedung yang saat ini dia berada.
Seperginya Yura Kiano melangkah masuk ke dalam gedung tinggi namun seketika langkahnya terhenti, “Misi mas, cari siapa?” Tanya lelaki berumur yang tidak lain seorang petugas keamanan di gedung itu. Sedikit melirik penampilan Kiano yang memang masih seorang anak kuliahan yang tentu saja sangat berbeda dengan penampilan karyawan yang bekerja di gedung itu.
“Cari Pak Raka.” Jawab Kiano dengan tenang.
“Sudah janjian sebelumnya?”
“Sudah pak.” Kiano menunjukan bukti melalui ponselnya.
“Oh mari saya antar.”
Yura memilih berjalan karena jaraknya yang kebetulan tidak terlalu jauh dari lokasinya saat ini. Sembari memainkan games di ponselnya agar perjalananya tidak membosankan. Bunyi klincing dari arah pintu membuat Yura langsung memasukan ponselnya ke saku dan memasuki bagian dalam café kenangan. Ini kedua kalinya dia kesini jadi sudah tidak asing lagi dengan tempat itu. Baru saja mendaratkan pantatnya di sebuah kursi bermodel huruf U yang ada di dekat jendela sebuah sapaan terdengar di telinga Yura.
“Katanya di kampus?” Yura langsung refles mencari sumber suara dan hampir terlonjak kaget jika tangan pria itu mencoba menahan dengan tangan Yura yang ditahan olehnya.
Yura tersenyum kikuk, “Eh itu pak.” Diam sebentar sambil memikirkan alasan yang logis, “Tadi bimbingan beneran kok, pak. Saya jujur kok.”
“Bentar.” Ujar Bram sembari berjalan menjauh untuk menerima telpon. Dari tempat duduk Yura mengamati gerak-gerik Pak Bram namun setelah rasa penasarannya terpuaskan dia memilih untuk pergi memesan minuman. Sekembalinya dari arah kasir Yura menatap heran karena Pak Bram justru duduk di meja yang dia tempati.
“Saya kira bapak udah pergi. Ada urusan pekerjaan iya pak?” Tanya Yura sebagai basa basi agar kecanggungan disitu terlibas oleh pertanyaan yang tidak bermutu dari Yura.
“Kalo diluar enggak usah panggil saya Bapak, berasa tua banget saya.” Ujar Bram membuat Yura menghentikan seruputanya.
“Biar sopan aja, masa iya saya panggil nama ke atasan saya. Bapak nih kalo ngelawak bisa aja.”
“Ih serius saya.”
“Nanti istri bapak marah sama saya lagi. Jangan lah pak, saya kapok.” Ujar Yura menggembungkan pipinya sehingga terlihat menggemaskan.
“Ck. Jadi kamu takut sama istri saya?”
“Iya lah. Istri bapak galak!” Canda Yura yang sepenuhnya memang kenyataan bahwa istri dari Pak Bram mengerikan, “Jangan di liatin gitu pak, naksir nanti.” Canda Yura.
“Nanti saya coret kamu dari tempat magang kalo masih panggil saya dengan embel-embel Bapak.” Gertak Bram seolah menekan sedikit gemas melihat tingkat wanita di depannya.
“Iya deh saya ikut aja lah kata bos saya.” Ujar Yura pasrah.
Hampir cukup lama mereka berdua bercengkerama. Mata Yura tertuju pada tetesan hujan yang mulai membasahi tanah dari mulai gerimis saat masih di dalam café sampai sekarang Yura sudah keluar bersama Pak Bram untuk segera pulang karena sudah cukup sore menjelang malam.
“Udah bareng aja sama saya, teman kamu juga masih lama kan?”
Yura baru ingat jika dia memang berbohong bahwa akan bertemu teman kerja padahal menjauh karena takut bertemu seseorang. Terdiam cukup lama Yura akhirnya menyetujui Pak Bram untuk ikut pulang dengan mobilnya. Sebelum itu dia sudah mengirim pesan pada Kiano. Dari samping trotoar Kiano sempat melihat Yura bersama lelaki yang berumur yang tentu saja tidak dia kenal sama sekali.
“Akrab banget.” Ujar Kiano menatap heran setelah melihat kepergian mobil yang ditumpangi oleh Yura tanpa menatap curiga hubungan keduanya.
“Baru pulang?”Suara terdengar saat Yura menyalakan lampu yang terlihat gelap.Yura sebisanya mengatur keterkejutanya, “Iya.” Jawab Yura pada sang ibu.Yura berjalan meletakan sepatu pada sebuah rak kecil di belakang pintu. Kemudian beralih ke posisi ayahnya yang sedang duduk disebuah bangku dekat jendela sang ayah sambil memegang buku beserta kaca mata terpasang di matanya. Menghela nafas sejenak lalu meneruskan langkahnya masuk ke dalam kamar.Yura jelas memilih menghindari pertanyaan yang akan membuat keadaan semakin panas. Ayahnya masih mendiamkannya sampai saat ini. Sedari tadi bahkan dia mengutarakan kebodohan dirinya karena hampir saja lupa jika barusan diantar oleh Pak Bram yang menjadi masalah ayahnya masih tida mau bicara denganya.“Bodoh! Semoga aja tadi enggak ada yang liat.” Ujar Yura menjambak rambutnya sebelum berhenti karna decitan pintu yang terbuka, “Kenapa, Ma?”Kepala Mama R
Dua manusia duduk berdampingan di sebuah tempat asing yang jauh dari hirup pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Sudah dua hari Yura memutuskan untuk tidak mengaktifkan ponselnya. Bukan tanpa alasan gadis itu melakukan hal tersebut. Tuduhan yang mengatas namakannya sangat tidak berdasar hanya karna sebuah foto langsung heboh sejagat raya. “Udah baikan?” Yura menyuilkan senyum dibalik topi berbentuk kucing yang menggemaskan, “Lebih baik.” “Masih betah?” “Bentar lagi iya, Ga.” “Hmm.” Elus pucak kepala Yura dengan lembut, “Gue kesana dulu ya, mau ini.” Tunjuk Gaga pada benda berbentuk kotak. Gaga sedikit menjauh dari Yura karna ingin menyalakan rokoknya. Membiarkan Yura duduk tenang di bangku panjang dan dia mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Semalam Yura memang menghubungi Gaga untuk menemaninya keluar. Gaga tentu senang bukan main tapi ternyata setelah bertemu yang di dapat hanya kesedihan dari wajah sang mantan tercinta. S
Bram pulang menapakan kakinya pada undakan kedua tangga lantai di rumahnya. Di ujung tangga atas terlihat istrinya menguncir rambut asal. Sasa turun sambil menggendong putranya Kenan yang melengkuh manja pada sang ibu.“Baru pulang mas?” Tanya Sasa dengan nada tidak suka.Bram mencium kepala putranya kemudian beralih bertatap dengan istrinya, “Mamah menginap?”“Iya, aku yang memintanya. Lagian mama pengen lebih lama sama cucunya.” Jawab Sasa dengan santainya melenggang turun kembali menuju meja makan untuk membuatkan sarapan pagi untuk Kenan.Bram menjegat tangan Sasa, “Seharusnya kamu bilang ke aku.” Ujar Bram tidak suka.“Lain kali aku akan bilang.” Jawab Sasa menepis tangan suaminya.Sasa turun dengan perasaan jengkel karena melihat goresan tanda merah di kerah sang suami. Kepalanya penuh dengan pemikiran negatif mengarah pada seseorang yang dicurigainya. Belum pasti tapi S
Yura dan Dini memasuki perkarangan rumah dengan pagar biru. Dari atas motor Yura dan Dini melambaikan tangan pada Riri. Mereka sengaja mampir setelah selesai dari tempat magang. Keduanya turun dari motor di sambut senyuman khas bangun tidur dari Riri. “Baru bangun tuh.” Ucap Yura meledek. “Tadi enggak ngapa-ngapain kan?” Tanya Riri dengan cengirannya. “Pala lu enggak ngapa-ngapain!” Ujar Dini sewot, “Tugas lo aja Yura yang ngerjain tuh, ck.” “Besok gausah masuk aja Din, biarin Riri berangkat sendiri.” “Setuju banget sih, ck.” “Lagi ada tamu iya?” Tanya Yura yang melihat deretan sepatu di undakan menuju teras rumah Riri. Dini ikut menengok ke jejeran sandal, “Eh iya, tapi ini sepatu cowok deh.” Yura dan Dini langsung menatap Riri dengan curiga. Riri menghela nafas pelan menggeser sepatu yang kedua temannya maksud. “Masuk dulu sih.” “Eh pacar lo Ri?” Tanya Dini mensejajarkan langkahnya dengan Riri sedangkan Yura dibelakang menata
Yura berpapasan dengan Riri yang baru turun dari mobil. Tanpa bertanya Yura sudah tau jika yang mengantar adalah kakaknya Riri. Yura menyapa sopan pada Abi setelahnya di gandeng Riri masuk kedalam area kantor beriringan. “Udah baikan?” Tanya Rini menatap Yura dengan saksama mengamati wajah Yura yang masih menggunakan masker. Mengenai kejadian kemarin Riri menjadi khawatir dengan keadaan temanya itu, “Kak Raka tuh sebenernya baik tapi semenjak pacaran sama tante girang jadi begitu.” “Ck, tante girang bisa aja lo. Lo deket?” Tanya Yura sembari meletakan pantatnya di kursi panjang yang ada di depan kantor. “Enggak, sebatas kenal dia temen kakak gue sih. Sekarang baru ketemu lagi juga, iya gara-gara abang pindah ke sini lagi.” “Oh iya dapet salam.” “Hah salam?” “Iya dari abang gue Abi.” Yura menyebikan bibirnya menahan senyum, “Salam balik nggak nih? Lo orang pertama yang dapet salam dari abang gue tau.” “Idih! Bohong banget
Sudah seperti pesta besar jamuan malam yang begitu besar layaknya sebuah pernikahan. Yura memilih berada di pojokan dia bagaikan pelayan yang sedang kebingungan. Pak Bram sama sekali tidak memberi tahunya mengenai acara sepenting ini apalagi yang ada di tempat itu hanya petinggi-petinggi perusahaan. Bram cukup asik menyapa kolega perusahaan sampai lupa dengan Yura. Yura meraih gelas yang memang di suguhkan untuk para tamu. Menengguknya sampai tandas menyisakan tanda merah dilidah Yura. Yura mencoba mengirim pesan kepada Pak Bram memberitahu bahwa dia akan menunggu di bawah saja. Setelah selesai mengetik pesan dan mengirimkannya Yura langsung melipir keluar ruangan. Yura berjalan sembari ditatap oleh beberapa orang yang mungkin juga bertanya mengapa anak seumuran dirinya berada di tempat yang penting seperti ini. Yura cukup cuek hingga langkahnya terhenti. Yura yang begitu penasaran mencoba mengintip. “Raka bakal kabulin kemauan papah asal papah setuju sama hu
Yura sengaja bangun pagi menuju ke lantai bawah depan rumah sakit yang kebetulan banyak deretan makanan. Niatnya Yura akan pulang sendiri menggunakan taksi online namun ditunda untuk mengisi makanan terlebih dahulu. Yura juga berpikiran untuk membungkus makanan untuk Gilang dan Raka. Yura tidak mau egois mengisi perutnya saja tidak memikirkan yang lainnya juga. Setelah menyelesaikan urusan perutnya Yura menenteng satu keresek berisi makanan dan kembali menuju ruangan rawat Gilang. Di gerbang masuk tampak sebuah mobil milik Yuda memasuki area rumah sakit tidak sendiri karna Ratna turut serta di dalam mobil. Yura masuk duluan ke dalam rumah sakit setelahnya baru kedua orang tua Yura menyusul masuk namun terlebih dahulu menanyakan ke dalam resepsionis rumah sakit. Yuda dan Ratna bergegas setelah mendapatkan nomor ruangan dimana sahabatnya itu berada. Sebenarnya tadi malam Yuda mencoba menghubungi Gilang namun ternyata di jawab oleh pembantu rumah tangganya memberitahu b
Sebuah mobil mewah meninggalkan perkarangan rumah. Sembari menatap layar ponselnya yang menunjukan peta online untuk mendapat arahan menuju ke tempat yang dituju. Mengenakan kaos santai beserta jeans terlihat pantas melekat di tubuh lelaki itu. Lelaki itu tampak serius mengendarai mobilnya. Setelah mendapatkan kabar dia langsung menunda pekerjaanya.Matahari mulai menunjukan atensinya, terlihat menembus kaca mobil milik Abi, lelaki itu ialah Abi. Abi mengendarai mobilnya cukup santai menuju rumah sakit tempat ayah dari Raka. Gilang sudah di anggap ayahnya sendiri setelah kematian kedua orang tuanya. Selama sekolah sampai dia berhasil itu juga berkat dukungan dari Gilang ayah dari Raka yang menyokong biaya sekolahnya. Sehingga dia mampu membiayai adiknya hinga perguruan tinggi. Abi datang sendiri karena dua teman Raka lainnya sedang pergi keluar kota.Sebelum menuju ke rumah sakit dia membeli buah-buahan serta kue ringan. Hanya 10 menit untuk sampai di rumah sakit dari