Yura berpapasan dengan Riri yang baru turun dari mobil. Tanpa bertanya Yura sudah tau jika yang mengantar adalah kakaknya Riri. Yura menyapa sopan pada Abi setelahnya di gandeng Riri masuk kedalam area kantor beriringan. “Udah baikan?” Tanya Rini menatap Yura dengan saksama mengamati wajah Yura yang masih menggunakan masker. Mengenai kejadian kemarin Riri menjadi khawatir dengan keadaan temanya itu, “Kak Raka tuh sebenernya baik tapi semenjak pacaran sama tante girang jadi begitu.” “Ck, tante girang bisa aja lo. Lo deket?” Tanya Yura sembari meletakan pantatnya di kursi panjang yang ada di depan kantor. “Enggak, sebatas kenal dia temen kakak gue sih. Sekarang baru ketemu lagi juga, iya gara-gara abang pindah ke sini lagi.” “Oh iya dapet salam.” “Hah salam?” “Iya dari abang gue Abi.” Yura menyebikan bibirnya menahan senyum, “Salam balik nggak nih? Lo orang pertama yang dapet salam dari abang gue tau.” “Idih! Bohong banget
Sudah seperti pesta besar jamuan malam yang begitu besar layaknya sebuah pernikahan. Yura memilih berada di pojokan dia bagaikan pelayan yang sedang kebingungan. Pak Bram sama sekali tidak memberi tahunya mengenai acara sepenting ini apalagi yang ada di tempat itu hanya petinggi-petinggi perusahaan. Bram cukup asik menyapa kolega perusahaan sampai lupa dengan Yura. Yura meraih gelas yang memang di suguhkan untuk para tamu. Menengguknya sampai tandas menyisakan tanda merah dilidah Yura. Yura mencoba mengirim pesan kepada Pak Bram memberitahu bahwa dia akan menunggu di bawah saja. Setelah selesai mengetik pesan dan mengirimkannya Yura langsung melipir keluar ruangan. Yura berjalan sembari ditatap oleh beberapa orang yang mungkin juga bertanya mengapa anak seumuran dirinya berada di tempat yang penting seperti ini. Yura cukup cuek hingga langkahnya terhenti. Yura yang begitu penasaran mencoba mengintip. “Raka bakal kabulin kemauan papah asal papah setuju sama hu
Yura sengaja bangun pagi menuju ke lantai bawah depan rumah sakit yang kebetulan banyak deretan makanan. Niatnya Yura akan pulang sendiri menggunakan taksi online namun ditunda untuk mengisi makanan terlebih dahulu. Yura juga berpikiran untuk membungkus makanan untuk Gilang dan Raka. Yura tidak mau egois mengisi perutnya saja tidak memikirkan yang lainnya juga. Setelah menyelesaikan urusan perutnya Yura menenteng satu keresek berisi makanan dan kembali menuju ruangan rawat Gilang. Di gerbang masuk tampak sebuah mobil milik Yuda memasuki area rumah sakit tidak sendiri karna Ratna turut serta di dalam mobil. Yura masuk duluan ke dalam rumah sakit setelahnya baru kedua orang tua Yura menyusul masuk namun terlebih dahulu menanyakan ke dalam resepsionis rumah sakit. Yuda dan Ratna bergegas setelah mendapatkan nomor ruangan dimana sahabatnya itu berada. Sebenarnya tadi malam Yuda mencoba menghubungi Gilang namun ternyata di jawab oleh pembantu rumah tangganya memberitahu b
Sebuah mobil mewah meninggalkan perkarangan rumah. Sembari menatap layar ponselnya yang menunjukan peta online untuk mendapat arahan menuju ke tempat yang dituju. Mengenakan kaos santai beserta jeans terlihat pantas melekat di tubuh lelaki itu. Lelaki itu tampak serius mengendarai mobilnya. Setelah mendapatkan kabar dia langsung menunda pekerjaanya.Matahari mulai menunjukan atensinya, terlihat menembus kaca mobil milik Abi, lelaki itu ialah Abi. Abi mengendarai mobilnya cukup santai menuju rumah sakit tempat ayah dari Raka. Gilang sudah di anggap ayahnya sendiri setelah kematian kedua orang tuanya. Selama sekolah sampai dia berhasil itu juga berkat dukungan dari Gilang ayah dari Raka yang menyokong biaya sekolahnya. Sehingga dia mampu membiayai adiknya hinga perguruan tinggi. Abi datang sendiri karena dua teman Raka lainnya sedang pergi keluar kota.Sebelum menuju ke rumah sakit dia membeli buah-buahan serta kue ringan. Hanya 10 menit untuk sampai di rumah sakit dari
“Kerja bagus, tetap ikuti dan kumpulkan bukti aku ingin secepatnya masalah ini selesai dan hidup bahagia.” Wanita itu tersenyum puas kemudian mematikan sambungan telepon setelah mendapat kabar dari orang kepercayaanya dan meletakan benda pipih itu ke sebuah laci bercat putih. Kembali ke rumah sakit tempat Gilang berada sekarang. Pria tua itu cukup senang setelah di jenguk kebugarannya juga semakin stabil. “Aku sudah semakin tua. Keinginanku hanya menimang cucu sembari menikmati masa tuaku. Abi kamu kan tahu Raka sangat keras kepala. Tolong nasehati dia, kamu sudah seperti saudara baginya kan. Maaf kalo om merepotkanmu kali ini.” Ujar Gilang sembari meredakan batuk kecilnya. “Tenang saja om. Abi akan berusaha membujuk Raka.” “Kamu memang bisa diandalkan.” Bangga Gilang sembari tersenyum dengan rasa sayang layaknya anak dan ayah, “Lalu bagaimana denganmu apakah sudah memiliki calon?” Abi sedikit canggung mengatakannya, “Mungkin seb
“Yura duluan.” Dini menyubit pipi Yura yang masih berkutat didepan laptopnya, “Jangan iri loh.” Sudah berjalan tiga hari Yura harus pulang paling terakhir dibanding teman-temanya. “Yah masa gue sendiri.” “Dah! Semangat.” Ucap Riri “Hm.” Jawab Yura dengan nada lemahnya. Yura kini ditinggal sendiri menunggu jam pulangnya yang sedikit lebih lama di bandingkan kedua temannya. Bram menugaskan banyak hal kepada Yura. Yura mudah diandalkan jadi Bram memilihnya untuk membantu pekerjaanya. Banyak hal yang diurus membuat kepalanya sakit. Yura melirik kursi yang sudah ditinggalkan oleh karyawan kantor. Hanya tersisa dirinya, Pak Bram dan dua orang bawahan dari Bram. Tapi mereka memisah ruanganya berada di sebelah dari ruangan Yura berada. Yura hanya satu ruangan dengan Bram dan terhalang kaca saja. Yura segera menyelesaikan tugasnya dan segera pulang tentunya. “Hampir selesai. Satu lagi beres.” Ucap Yura dengan nada girangnya. Set
Yura menyetuh kalender tepat di meja riasnya, “Tanggal merah ternyata.” Gumamnya sendiri meletakan kembali kalender berbentuk kerucut itu. Setelah sedikit merias diri, Yura menyambar tas selempang beserta ponsel memilih keluar untuk menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Tring [Lima menit gue tunggu] Terbaca Dari arah dapur Ratna berjalan membawa piring berisi hasil masakannya. Yuda sudah terlihat duduk di meja makan. Tanggal merah adalah hari bebas bagi seorang pekerja seperti Yuda. Yura tampak turun tanpa sarapan pagi dan tanpa menyapa kedua orang tuanya. Menatap putrinya yang sudah rapih dengan sedikit kelihatan berdandan. Ratna menghampiri putrinya langsung bertanya, “Mau kemana sepagi ini, Yur?” Sedangkan Yuda hanya diam sudah tau jika putrinya sedang merajuk padanya. “Main.” Jawab Yura singkat “Enggak ijin dulu?” Ujar Ratna masih menatap putrinya sedang mengikatkan tali sepatunya.
Hujan cukup deras dan keadaan penerangan yang hanya mengandalkan lampu mobil membuat Abi mengendarai mobilnya cukup pelan. Setelah menghabiskan waktunya seharian penuh ketiganya memutuskan untuk kembali pulang. Namun baru setengah jalan mobilnya mendadak mati. Abi keluar dari mobil dengan kondisi hujan cukup deras sementara Yura dan Riri menunggu di dalam mobil. Merasa tidak ada pergerakan dari Abi yang tidak kunjung masuk ke dalam mobil Yura memutuskan untuk ikut keluar untuk mencoba membantu meninggalkan Riri yang sedang tidur itu. “Masuk aja ujan ini.” “Santai aja kak ujan cuma bikin basah kok enggak bikin langsung mati.” Abi terkekeh di sela tetesan hujan yang menerpa seluruh badanya. Yura menengadah ke langit, “Main deres kak, mending cari bantuan aja kalo enggak bisa.” “Tanggung ini siapa tau bisa.” “Dikasih tau juga.” Ucap Yura masih melihat gerakan Abi yang begitu fokus. Yura dan Abi sudah kelihatan tidak secanggung waktu pertama bertemu. Keduanya sud
“Pak, puter balik iya ke jalan Y.” Ujar Raka padahal sebentar lagi sudah sampai ke rumah tempat tinggal ayahnya. Sang sopir juga sedikit bingung, “Nanti saya bayar dua kali lipat, bapak tenang aja.” Ujar Raka yang tentu saja langsung di sangupkan oleh sang supir taksi.Raka langsung tersenyum senang begitu mendapat balasan dari Gebynya, belahan jiwanya. Otak Raka memang sudah terisi dengan Geby. Raka tidak memikirkan wajahnya yang terluka bahkan sampai melupakan urusanya dengan Yura. Mobil tampak melaju kencang begitu jalanan disekitar terlihat lengang. Begitu sampai yang dilakukannya yaitu memeluk erat kekasihnya tanpa berniat melepaskanya sama sekali. Geby yang terlihat sumpek langsung menjauhkan dirinya dari dekapan Raka.“Kamu masih hutang penjelasan iya sama aku.”“Iya sayang. Tapi kamu maafin aku kan? Aku janji lain kali enggak akan ditutupin dari kamu.” Jawab Raka menggandeng Geby masuk ke dalam rumah milik Geby.“Tapi pernikahan kamu…”“Udah aku bilang kalo sebentar lagi perni
Begitu turun dari mobil Yura baru berucap, “Makasih kak.” Yura tersenyum sangat-sangat berterimakasih karena Hafiz bersedia membantunya. Jika bukan karena memikirkan perasaan Abi mungkin Hafiz bisa saja membeberkan pernikahan Raka. Hafiz dengan santainya melambaikan tangan kemudian langsung pergi meninggalkan Yura tepat di depan kediaman mertuanya Gilang.“Non, sudah ditunggu tuan di dalam.” Baru saja menginjakan kakinya Yura sudah langsung disambut oleh penjaga rumah. Yura saja masih belum hapal betul asisten ada di rumah mertuanya tapi mereka tampak sudah tahu bahwa Yura adalah menantu di rumah ini.Yura seharusnya langsung menuju kantor milik Bram sesuai dengan pesan yang dikirimkan oleh atasanya itu tadi pagi. Bram memang mengontak Yura untuk masuk membantunya membereskan beberapa dokumen penting di kantor. Namun karena mertuanya memintanya datang jadi Yura memutuskan untuk mampir sebentar.Anto mengetuk pintu kamar Raka dengan pelan.
Yura yang baru mau menutup pintu langsung terdorong hingga terjatuh kebelakang. Handuk yang berada di atas kepalanya sampai ikut terlepas hingga rambut basahnya tergerai membuat bau semerbak tercium di indera penciuman Raka. Yura langsung berdiri begitu hendak mendorong Raka agar keluar dari kamarnya justru hembusan nafas berbau alkohol membuatnya ingin muntah karena terlalu bau. “Sayang.” “Sayang pala lo!” Yura langsung menjauhkan diri dari pelukan Raka yang tidak mau lepas, “Lo mabuk, sadar gila gue bukan pacar lo.” Yura semain panik karena Raka semakin membuat dirinya tidak bisa terlepas dari pelukan yang begitu erat dari Raka. “Sayang mau kabur kemana? Jangan kabur lagi iya.” Ujar Raka bak anak kecil membuat seluruh badan Yura menjadi bergidik ngeri. Yura segera mengambil jaket menutupi bagian lengan yang terbuka karena hanya menggunakan baju tidur yang memang berbentuk gaun. Yura sengaja membiarkan Raka memeluknya sebelum meninggalkanya dan meman
“Rak! Udah cok. Lo mau mati hah!” Hafiz merebut botol minuman yang berada ditangan Raka, “Lo kalo patah hati nggak gini caranya.” Hafiz lagi-lagi merebut minuman dan menjauhkanya dari jangkauan Raka. Raka sudah mulai teler sehingga kehilangan kesadaran gaya bicaranya juga ngawur. Raka menggerang sambil menangis, “Geby nggilang, ngapain gue hidup.” Ujar Raka dibalik tangisanya membuat Hafiz bergidik. “Ck, setan nih bocah.” Umpat Hafiz begitu memapah Raka masuk ke dalam mobilnya, “Rio sialan gue yang musti ngurusin bayi gede.” Umpat Hafiz lagi pada satu temanya yang mengatakan tidak bisa membantu karena sedang kencan tidak dapat diganggu sama sekali, “Bisa banget ini bocah ketempat yang beginian.” “Maaf mas, ini tadi masnya bilang sebelum mabuk buat dianter ke alamat yang ini.” Hafiz langsung mengangguk menaruhnya ke dalam saku celana. “Makasih, pak.” Hafiz mengangkat tangan sebagai lambaian salam perpisahan. Tidak lupa Hafiz memberikan tips pada petugas yang m
“Hey! Mau kemana?” Abi meraih tangan Yura yang hendak pergi. Yura berbalik melihat Abi datang dengan beberapa dokumen ditanganya. Begitu melihat ke sisi jendela lagi mobil itu sudah berlalu pergi dan Yura belum sempat mengonfirmasi apa yang baru saja di lihatnya.“Udah iya, kirain masih lama.”“Ini pipi kamu kenapa merah begini?” Tanya Abi sambil menunjuk pipi Yura yang terlihat cukup jelas berbeda dari pipi yang satunya.“Enggak kenapa kok kak, ini kelamaan diginiin pake tangan kak nanti juga ilang.” Alibi Yura yang tidak ingin memberitahu kejadian sebenarnya pada Abi. Abi masih belum percaya tentunya karena masih terlihat mengamati dengan tatapan matanya menelisik kebohongan dimata Yura. Yura jelas langsung sengaja berbalik, “Langsung pulang kan kak?” Melihat Abi masih diam ditempat Yura kembali berbalik tapi setengah menampakan wajahnya yang tidak terkena tamparan. Baru setelahnya Abi langsung mengan
“Bisa nggak jangan narik-narik lagi, tangan gue sakit.” Ujar Yura memelas sementara Raka tetap tidak peduli rasa sakit istrinya sama sekali. Pergelangan tangan Yura sampai memerah karena genggaman tangan Raka sedari tadi sehingga menciptakan rasa sedikit sensasi perih. Sedangkan kakinya juga sedikit lecet karena kebetulan Yura menggunakan sepatu sandal yang berbahan kasar. “Lo matipun gue juga enggak akan peduli.” Sinis Raka yang seakan sudah menjadi gila karena cintanya sedang hilang. Geby seakan sudah menjadi setengah tubunya sehingga rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya. “Yaudah bunuh aja sekalian biar lo puas.” Runtuk Yura karena sedari tadi dirinya selalu menurut sedari tadi diperlakukan tidak manusiawi oleh raka suaminya sendiri. Walaupun pernikahan mereka dilakukan secara paksa seharusnya Raka lebih bersikap baik terhadap Yura. Justru ini sebaliknya tidak ada kata baik untuk istrinya Yura didalam pikiran Raka yang ada hanya pikiran jahat tentang wanita
Yura menarik Kiano menuju taman belakang yang memang sepi tapi terlihat rindang dengan pohon manga besar dengan kursi dibawahnya. Kiano hanya menurut begitu ditarik tanpa adanya melawan sedikitpun. Begitu sampai Yura melepaskan tangan Kiano dan langsung menatapnya sambil berkaca pinggang.“Enggak Gaga enggak yang ini. Semua nggak ada yang waras.” Ujar Kiano membaweli Yura.“Lo tau dari mana tempat ini?” Tanya Yura tidak menggubris bawelan Kiano yang mengarah padanya.“Tau lah gue kan cenayang.”“Serisan, Ki. Tau dari mana?” Ujar Yura yang penasaran setengah mati. Bahkan Riri dan Dini sama sekali tidak diberitahunya mengenai hal ini, “Apa lo ngikutin gue?” Selidik Yura mencari jawaban dari sorot mata Kiano.“Mana ada ngikutin.”“Iya terus!”“Mau tau aja apa mau tau banget.” Ujar Kiano palah bercanda membuat Yura berujung kesal.&ldquo
Sasa melayangkan protes kepada suaminya Bram setelah mendengar bahwa Yura dipekerjakan di perusahaan milik suaminya itu. Bram yang baru saja pulang lembur karena mengurus masalah yang terjadi minggu belakangan ini menjadi masam melihat istrinya marah saat baru membuka pintu kamar. Sasa dengan kesal menuntut penjelasan pada suaminya mengapa harus wanita itu sungguh Sasa tidak habis pikir dengan pikiran suaminya.“Mas kita harus bicara.”“Yasudah bicara.” Bram memejamkan matanya namun masih belum tertidur di atas kasur. Badanya serasa remuk karena harus berkutat dengan banyak dokumen yang membengkak dan harus kejar target dalam waktu dua hari. Maka dari minggu depan Bram sudah mengontak Yura untuk masuk dan membantunya. Bram sudah lelah dan hampir terlelap namun badanya berasa gempa karena Sasa istrinya membuatnya terjaga dan bukanya membiarkan dirinya istirahat. Bram langsung mengubah posisi menjadi terduduk dengan tatapan marah, “Aku
Raka begitu memanjakan Geby begitu sampai dia langsung menggendongnya lagi masuk ke dalam rumah. Rumah kali ini adalah rumah barunya bersama Yura istrinya. Raka sengaja membawa Geby ke rumah baru karena jaraknya yang lebih dekat dari tempat acara. “Sayang, ini rumah siapa?” Tanya Geby yang berada di gendongan Raka tanganya melingkar manis di lehernya Raka. “Anggap aja rumah kita berdua.” Jawab Raka membuat Geby tersenyum senang. Jika berkaitan dengan uang tentu Geby akan senang. Apalagi melihat rumah yang sebesar dua kali lipat dari miliknya. Matanya langusung berbinar-binar seperti menatap berlian. Suti membukakan pintu untuk tuanya dan sedikit terkejut karena wanita yang di gendong bukanlah Yura istri majikanya. Raka membawa Geby masuk dan meletakanya di sofa ruang tamu. Suti menatap kemesraan dua manusia di hadapanya. “Ya gusti.” Pekiknya spontan begitu melihat adegan perselingkuhan di matanyanya langsung, “Kalo ini suami saya sudah saya potong-pot