Tepatnya di meja makan milik keluarga Gantara sudah duduk anggota keluarga untuk menikmati makan pagi. Bisa dilihat bahwa yang tertua disana adalah orang tua dari Bram yang datang mengunjungi putranya sekaligus kangen cucu yang telah lama tidak di tengoknya. Bram yang baru dibangunkan istrinya Sasa belum kunjung turun untuk ikut sarapan jadi Sasa menggantikan Bram menemani mertuanya sarapan terlebih dahulu.
“Kabarmu sama suamimu gimana, Sa? Pertanyaan itu terlontar dari Ima sang ibu mertua, “Ibu harap kamu dapat memaklumi kelakuan Bram ya Sa. Apalagi sekarang sudah ada Kenan pasti kamu repot kan. Sekarang sudah tau susahnya jadi ibu jadi banyakin sabar saja.” Ucap Ima membuat Sasa tersenyum kikuk, “Kalian sudah dewasa apalagi Bram yang sudah kepala tiga, kalo ada masalah selesaikan dengan kepala dingin.” Tambah Ima menasehati menantunya agar kejadian yang menimpa dirinya tidak terjadi pada orang lain. Jujur saja Ima masih tidak bisa melupakan rasa sakit akibat kegoisannya menjadikan pernikahan yang di lakukan sekali seumur hidup itu palah berantakan. Ima melirik suaminya Bima yang sedang asik bermain dengan cucu kesayanganya. Terselip rasa senang melihat Bima melebarkan senyumnya begitu merekah, “Diem aja Sa? Ada masalah memang?” Tanya Ima lagi yang melihat kesenduhan di mata Sasa. Ima bukan cenayang tapi wanita terkadang mampu mengerti perasaan wanita lain hanya bisa menerka-nerka saja.
“Kabar kita baik mah cuma mas Bram lagi sibuk banget sekarang-sekarang mungkin karna sekarang sudah tidak ada pembatasan juga. Kita jarang ngabisin waktu berdua aja sih mah.” Jawab Sasa mengingat tadi malam ada perdebatan yang cukup membuat keduanya diam-diaman. Ima mengucap syukur pelan sekali disetai senyum Sasa yang tampak sengaja di paksakan.
“Telpon siapa Bram?” Tanya Ima yang melihat anaknya begitu serius apalagi keberadaanya itu sama sekali tidak di lihat oleh Bram yang sibuk dengan perbincangan seseorang di seberang sana, “Astaga ini anak!” Ima beranjak mendekati Bram menepuk pundaknya.
“Atasan mah biasa. Baru dateng apa?” Tanya Bram sambil mencium pipi mama angkatnya.
“Udah dari tadi Bram. Nungguin kamu lama yaudah mama sarapan duluan.” Cibir Ima mengejek putra angkatnya yang terlalu sibuk bahkan hanya untuk menyapanya sedari tadi susah sekali, “Jangan terlalu maksa Bram kalo kerja, kamu sudah berkeluarga loh sekali-kali kasih waktu buat keluarga loh.” Ujar Ima yang mulai menasehati Bram.
“Aku kerja kan buat mereka mah.” Bela Bram sedikit melirik Sasa istrinya yang langsung pergi menuju dapur. Bram menghela nafas tahu jika istrinya masih ngambek padanya mengenai persoalan kemarin. Jadi kemarin Sasa mengecek ponsel Bram dan melihat chatingan dirinya dengan wanita yang tidak lain adalah Yura. Dia salah satu anak magang di kantornya. Bram sampai memblokir nomor Yura agar Sasa percaya bahwa keduanya iya hanya teman biasa walaupun jarak usia keduanya berbeda jauh. Sebenarnya Sasa sudah mengetahui chating itu dari jauh hari sebelum melabrak suaminya langsung tapi dia masih tetap diam tidak mau bertindak gegabah. Sampai hari itu tiba Sasa berani langsung bilang ke suaminya setelah menemui ayah gadis itu yang kebetulan sekali bawahan di perusahaan ayahnya, “Aku ke ayah dulu ya mah.” Ucap Bram kemudian menghampiri ayah beserta anaknya kenan.
“Gimana kerjaan, Bram?” Tanya Bima yang memang sudah menyerahkan segala tugasnya pada sang anak.
“Aman, pah. Sekarang aja lagi banyak yang musti diurus jadi ya sibuk.” Jawab Bram disertai tepukan pelan di punggung Bram oleh Bima. Bima tahu bahwa dulu dia memang mengalaminya sendiri. Bram beralih mengamati putranya yang sedang asik bermain lego,“Hello boy!” sapa Bram membuat kenan langsung bergelanyut manja. Karna jarang bertemu jadi interaksi mereka sangat jarang hanya mainan yang selalu diberikan Bram membuat anak usia 5 tahun itu manja karena tau yang selalu menuruti segala keinginanya adalah Bram.
Di sebuah tempat alat elektronik Yura ditemani Kiano menservise laptopnya yang tibia-tiba mati. Setelah Kiano mati-matian menjauhi Yura tapi nyatanya tidak bisa. Setelah hampir tiga bulan akhirnya keduanya kembali mengirim pesan. Kiano mulai menyadari bahwa sebaiknya kembali seperti awal sebelum dia dan Yura berpacaran itu lebih baik dari pada saling menjauh membuatnya tersiksa. Karna juga hanya Yura yang sering membantunya dalam tugas kuliah itu jelas menguntungkannya.
“Udah puas liburanya?” Tanya Yura sambil menyeruput minuman ditangannya. Yura tau jika Kiano habis pulang ke kampungnya di Yogyakarta. Tidak ada kabar menghilang selama tiga bulan begitu saja membuat Yura sempat memaki Kiano di benaknya. Yura memang sudah pernah bilang agar setelah putus keduanya tetap berteman layaknya dulu sebelum memulai hubungan tapi entah mengapa Kiano palah mulai menjaga jarak dengannya. Sampai disitu Yura hanya bisa bersikap biasa saja namun hari ini Kiano yang mungkin sudah sadar kembali menajadi Kiano yang Yura kenal. Teman yang selalu menemaninya saat dibutuhkan.
“Sebenernya belum. Kangen kota gue.” Jawabnya sambil terkekeh pelan, “Kangen gue apa Yur?” Candanya lagi membuat Yura bergidik jijik mendapat gombalan dari Kiano yang memang sangat receh, “Oh ya! Gimana magang lo?” Tanya Kiano yang penasaran mengenai kegiatan Yura selama tiga bulan yang dia tahu ya itu sedang magang.
“Ya gitu-gitu aja.” Jawab Yura membuat Kiano mengernyit heran dengan sikap Yura, “Hari ini lo mau kemana lagi?” Tanya Yura mengalihkan topik yang enggan ditanyai mengenai tempat magangnya.
“Engak ada. Gue cuma nganter lo doang.” Jawab Kiano dengan santainya. Mereka berbincang-bincang sambil menunggu tukang servicenya selesai membenarkan laptop Yura.
Dari trotoar terlihat wanita berjaket navy dengan celana jeans berkoyak pokoknya cantik. Wanita itu melirik jam tanganya sembari mengeluh kesal pacarnya tidak kunjung datang. Mobilnya tiba-tiba mogok membuat wanita 22 tahun itu harus menikmati rasanya menunggu. Karena selama dirinya hidup selalu dia yang membuat orang menunggu mungkin sekarang hadiah terindah balasan untuknya. Sudah hampir 30 menit menunggu Raka yang masih dijalan bilangnya tadi harus mengurus berkas kerjaanya. Raka memang sudah terjun membantu ayahnya dalam perusahaan.
“Apa gue telpon dia aja ya!” Batin Geby yang ragu sambil menggeser layar ponselnya menimang-nimang baik-buruknya,
“Ah! Jangan-jangan nanti kalo ketemu Raka gimana kan bisa berabe. Tapi jarak dari sini ngga jauh sih dari tempat dia kerja. Coba aja kali ya siapa tau bisa bantu.” Batin Geby lagi setelah itu langsung memencet tompol menghubungi seseorang yang langsung di angkat olehnya tidak butuh waktu yang lama.Sebuah mobil Avanza berhenti tepat di depan Geby. Lelaki itu tesenyum disambut pelukan dari Geby, “Lama iya?” Ucapnya mengelus kepala Geby pelan. Sebelum keduanya langsung masuk ke dalam mobil Avanza dan meninggalkan mobil Gaby yang nantinya diurus pihak dealer.
“Bentar lo tunggu sini.”Ucapnya pada Kiano. Yura berlari melihat mobil yang sudah bergerak maju meninggalkan tempat dimana tadi berhenti, “Kok gue kaya kenal. Apa mirip kali ya.” Batin Yura melihat punggung mobil yang kian menjauh. Yura hendak kembali ke tempat duduk semula namun dirinya hampir saya ditabrak oleh motor Raka. Alhasil suara decitan rem yang mendadak membuat Raka banting stir dan terjatuh.
Kiano reflex menghampiri Yura dengan wajah khawatir, “Gila! lo baik-baik aja kan, Yur?” Yura hanya menganggukan kepalanya, matanya langsung beralih pada pria yang sedang ditolong oleh pengguna jalan lain. Raka di bantu melipirkan kendaraanya yang untung saja tidak ada hal yang serius terjadi padanya hanya kaca spion yang pecah selebihnya aman.
“Laporin aja mas! mba itu kok yang salah tadi banyak kok saksinya.” Ucap salah satu warga yang menjadi saksi kejadian barusan. Beberapa orang yang berkerumun juga setuju dengan pendapat itu adapula yang menjadi penengah agar di selesaikan baik-baik dulu.
Yura berjalan mendekati Raka yang masih terduduk di trotoar, “Saya mau tanggung jawab kok! Masnya gimana?” Tanya Yura yang berusaha ingin berdamai dengan premotor yang hampir menabraknya. Raka mengarahkan pandanganya pada wanita yang berdiri cukup dekat denganya. Sempat terdiam karena kedua kalinya mereka bertemu lagi. Mata itu kembali mengingat pertemuan pertamanya di café yang terletak di Jakarta Pusat. Sedangkan Yura ingat-ingat lupa tapi kaya kenal gitu melihat wajah Raka mungkin karna waktu itu Raka menggunakan masker jadi Yura tidak terlalu jelas bahwa malam itu Rakalah yang berpapasan dengannya. Tentu saja sosok di samping Yura yang tidak kalah menjadi sorotan di mata Raka,
Kiano mendekati Raka berdalih ingin mengajak bicara, “Mas, damai aja ya. Temen saya enggak sengaja kok.” Ucap Kiano sembari meminta maaf pada Raka.
“Yasudah saya mah enggak, kita damai aja. Saya juga enggak mau ribet juga.” Ucap Raka membuat Yura yang mendengar itu menghembuskan nafas leganya.
“Tapi ganti ruginya dicicil ya mas, saya masih kuliah soalnya gajinya belum seberapa.” Nego Yura lagi membuat Raka kaget juga karena ternyata wanita di depanya kuliah sambil kerja. Biasanya kan banyak yang hanya mengandalkan uang orang tua saja apalagi melihat wajahnya seperti anak yang di manja oleh kedua orang tuanya ternyata cukup bisa dibilang mandiri, “Oh iya ada nomor telepon yang bisa dihubungi nggak ya biar gampang nanti ngabarinnya.” Tambah Yura kemudian Raka langsung mengambil kertas kecil disakunya dan langsung di berikan ke Yura.
Dengan wajah supelnya Yura masuk ke dalam gedung perkantoran yang menjadi tempat magangnya. Terlihat Dina dan Riri menampakan cengiran khas mereka sambil melambaikan tangan. Dina Yura masuk melirik ke meja Pak Bram yang masih kosong sedikit rasa lega. Pak Bram itu memang ganteng, tapi buat apa kalo ganteng udah punya istri. Yura meletakan pantatnya pada kursi di sebelah Riri. “Ditungguin tau dari tadi!” Ucap Dina melemparkan alat pengaman diri berupa rompi pada Yura. “Apaan nih? Ditungguin apa sih?” Balas Yura yang belum paham maksud ucapan Dini barusan segala main lempar rompi tepat mengenai tangan kirinya Yura. “Enggak liat grup?” Sahut Riri membuat Yura langsung menggeser layar ponselnya. “Ish apaan sih! Jangan gue lagi lah. Gantian gitu.” Ucap Yura sedikit kesal mengerucutkan bibirnya, “ Ri, lu aja sih!” Senggol Yura pada Riri agar mau menggantikannya. Yura tau bahwa Pak Bram juga ada disana, “Ayolah! “ bujuk Yura lagi. Jika dia meminta Dina
“Heh! Kemarin gimana ceritanya lo bisa diajak ngehotel sama Pak Bram?” Tanya Dini yang penasaran dengan postingan status Yura, “Jangan bilang lu buka jasa kah?” Cecar Dini sambil bergidik ngeri melihat ke Yura. “Gila aja. Lu kalo ngomong enggak pake saringan sih, Din!” Ucap Yura kesal. “Terus itu apaan udah main di kamar segala?” “Iya kan enggak selamanya main di kamar begituan kali. Lagian kita beda kamar ngaco!” Yura menyentil kening Dini membuat itu anak meringis mengusap bagian yang di sentil tadi. “Tapi kemarin tuh gue..” Ucapan Yura terputus saat kedatangan dosen pembimbing mereka, “Pagi, Pak.” Sapa Yura diikuti Dini yang menyahut menyapa sang dosen. "Mari keruangan saya." Ucap sang dosen. Yura dan Dini serempak mengekor pada sang dosen diikuti Riri berlari mengejar keduanya. Setelah selesai melakukan bimbingan mereka menuju gazebo yang ada di kantin kampus tempat biasa anak kampus nongkrong. Dari arah parkiran Kiano datang denga
“Baru pulang?”Suara terdengar saat Yura menyalakan lampu yang terlihat gelap.Yura sebisanya mengatur keterkejutanya, “Iya.” Jawab Yura pada sang ibu.Yura berjalan meletakan sepatu pada sebuah rak kecil di belakang pintu. Kemudian beralih ke posisi ayahnya yang sedang duduk disebuah bangku dekat jendela sang ayah sambil memegang buku beserta kaca mata terpasang di matanya. Menghela nafas sejenak lalu meneruskan langkahnya masuk ke dalam kamar.Yura jelas memilih menghindari pertanyaan yang akan membuat keadaan semakin panas. Ayahnya masih mendiamkannya sampai saat ini. Sedari tadi bahkan dia mengutarakan kebodohan dirinya karena hampir saja lupa jika barusan diantar oleh Pak Bram yang menjadi masalah ayahnya masih tida mau bicara denganya.“Bodoh! Semoga aja tadi enggak ada yang liat.” Ujar Yura menjambak rambutnya sebelum berhenti karna decitan pintu yang terbuka, “Kenapa, Ma?”Kepala Mama R
Dua manusia duduk berdampingan di sebuah tempat asing yang jauh dari hirup pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Sudah dua hari Yura memutuskan untuk tidak mengaktifkan ponselnya. Bukan tanpa alasan gadis itu melakukan hal tersebut. Tuduhan yang mengatas namakannya sangat tidak berdasar hanya karna sebuah foto langsung heboh sejagat raya. “Udah baikan?” Yura menyuilkan senyum dibalik topi berbentuk kucing yang menggemaskan, “Lebih baik.” “Masih betah?” “Bentar lagi iya, Ga.” “Hmm.” Elus pucak kepala Yura dengan lembut, “Gue kesana dulu ya, mau ini.” Tunjuk Gaga pada benda berbentuk kotak. Gaga sedikit menjauh dari Yura karna ingin menyalakan rokoknya. Membiarkan Yura duduk tenang di bangku panjang dan dia mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Semalam Yura memang menghubungi Gaga untuk menemaninya keluar. Gaga tentu senang bukan main tapi ternyata setelah bertemu yang di dapat hanya kesedihan dari wajah sang mantan tercinta. S
Bram pulang menapakan kakinya pada undakan kedua tangga lantai di rumahnya. Di ujung tangga atas terlihat istrinya menguncir rambut asal. Sasa turun sambil menggendong putranya Kenan yang melengkuh manja pada sang ibu.“Baru pulang mas?” Tanya Sasa dengan nada tidak suka.Bram mencium kepala putranya kemudian beralih bertatap dengan istrinya, “Mamah menginap?”“Iya, aku yang memintanya. Lagian mama pengen lebih lama sama cucunya.” Jawab Sasa dengan santainya melenggang turun kembali menuju meja makan untuk membuatkan sarapan pagi untuk Kenan.Bram menjegat tangan Sasa, “Seharusnya kamu bilang ke aku.” Ujar Bram tidak suka.“Lain kali aku akan bilang.” Jawab Sasa menepis tangan suaminya.Sasa turun dengan perasaan jengkel karena melihat goresan tanda merah di kerah sang suami. Kepalanya penuh dengan pemikiran negatif mengarah pada seseorang yang dicurigainya. Belum pasti tapi S
Yura dan Dini memasuki perkarangan rumah dengan pagar biru. Dari atas motor Yura dan Dini melambaikan tangan pada Riri. Mereka sengaja mampir setelah selesai dari tempat magang. Keduanya turun dari motor di sambut senyuman khas bangun tidur dari Riri. “Baru bangun tuh.” Ucap Yura meledek. “Tadi enggak ngapa-ngapain kan?” Tanya Riri dengan cengirannya. “Pala lu enggak ngapa-ngapain!” Ujar Dini sewot, “Tugas lo aja Yura yang ngerjain tuh, ck.” “Besok gausah masuk aja Din, biarin Riri berangkat sendiri.” “Setuju banget sih, ck.” “Lagi ada tamu iya?” Tanya Yura yang melihat deretan sepatu di undakan menuju teras rumah Riri. Dini ikut menengok ke jejeran sandal, “Eh iya, tapi ini sepatu cowok deh.” Yura dan Dini langsung menatap Riri dengan curiga. Riri menghela nafas pelan menggeser sepatu yang kedua temannya maksud. “Masuk dulu sih.” “Eh pacar lo Ri?” Tanya Dini mensejajarkan langkahnya dengan Riri sedangkan Yura dibelakang menata
Yura berpapasan dengan Riri yang baru turun dari mobil. Tanpa bertanya Yura sudah tau jika yang mengantar adalah kakaknya Riri. Yura menyapa sopan pada Abi setelahnya di gandeng Riri masuk kedalam area kantor beriringan. “Udah baikan?” Tanya Rini menatap Yura dengan saksama mengamati wajah Yura yang masih menggunakan masker. Mengenai kejadian kemarin Riri menjadi khawatir dengan keadaan temanya itu, “Kak Raka tuh sebenernya baik tapi semenjak pacaran sama tante girang jadi begitu.” “Ck, tante girang bisa aja lo. Lo deket?” Tanya Yura sembari meletakan pantatnya di kursi panjang yang ada di depan kantor. “Enggak, sebatas kenal dia temen kakak gue sih. Sekarang baru ketemu lagi juga, iya gara-gara abang pindah ke sini lagi.” “Oh iya dapet salam.” “Hah salam?” “Iya dari abang gue Abi.” Yura menyebikan bibirnya menahan senyum, “Salam balik nggak nih? Lo orang pertama yang dapet salam dari abang gue tau.” “Idih! Bohong banget
Sudah seperti pesta besar jamuan malam yang begitu besar layaknya sebuah pernikahan. Yura memilih berada di pojokan dia bagaikan pelayan yang sedang kebingungan. Pak Bram sama sekali tidak memberi tahunya mengenai acara sepenting ini apalagi yang ada di tempat itu hanya petinggi-petinggi perusahaan. Bram cukup asik menyapa kolega perusahaan sampai lupa dengan Yura. Yura meraih gelas yang memang di suguhkan untuk para tamu. Menengguknya sampai tandas menyisakan tanda merah dilidah Yura. Yura mencoba mengirim pesan kepada Pak Bram memberitahu bahwa dia akan menunggu di bawah saja. Setelah selesai mengetik pesan dan mengirimkannya Yura langsung melipir keluar ruangan. Yura berjalan sembari ditatap oleh beberapa orang yang mungkin juga bertanya mengapa anak seumuran dirinya berada di tempat yang penting seperti ini. Yura cukup cuek hingga langkahnya terhenti. Yura yang begitu penasaran mencoba mengintip. “Raka bakal kabulin kemauan papah asal papah setuju sama hu
“Pak, puter balik iya ke jalan Y.” Ujar Raka padahal sebentar lagi sudah sampai ke rumah tempat tinggal ayahnya. Sang sopir juga sedikit bingung, “Nanti saya bayar dua kali lipat, bapak tenang aja.” Ujar Raka yang tentu saja langsung di sangupkan oleh sang supir taksi.Raka langsung tersenyum senang begitu mendapat balasan dari Gebynya, belahan jiwanya. Otak Raka memang sudah terisi dengan Geby. Raka tidak memikirkan wajahnya yang terluka bahkan sampai melupakan urusanya dengan Yura. Mobil tampak melaju kencang begitu jalanan disekitar terlihat lengang. Begitu sampai yang dilakukannya yaitu memeluk erat kekasihnya tanpa berniat melepaskanya sama sekali. Geby yang terlihat sumpek langsung menjauhkan dirinya dari dekapan Raka.“Kamu masih hutang penjelasan iya sama aku.”“Iya sayang. Tapi kamu maafin aku kan? Aku janji lain kali enggak akan ditutupin dari kamu.” Jawab Raka menggandeng Geby masuk ke dalam rumah milik Geby.“Tapi pernikahan kamu…”“Udah aku bilang kalo sebentar lagi perni
Begitu turun dari mobil Yura baru berucap, “Makasih kak.” Yura tersenyum sangat-sangat berterimakasih karena Hafiz bersedia membantunya. Jika bukan karena memikirkan perasaan Abi mungkin Hafiz bisa saja membeberkan pernikahan Raka. Hafiz dengan santainya melambaikan tangan kemudian langsung pergi meninggalkan Yura tepat di depan kediaman mertuanya Gilang.“Non, sudah ditunggu tuan di dalam.” Baru saja menginjakan kakinya Yura sudah langsung disambut oleh penjaga rumah. Yura saja masih belum hapal betul asisten ada di rumah mertuanya tapi mereka tampak sudah tahu bahwa Yura adalah menantu di rumah ini.Yura seharusnya langsung menuju kantor milik Bram sesuai dengan pesan yang dikirimkan oleh atasanya itu tadi pagi. Bram memang mengontak Yura untuk masuk membantunya membereskan beberapa dokumen penting di kantor. Namun karena mertuanya memintanya datang jadi Yura memutuskan untuk mampir sebentar.Anto mengetuk pintu kamar Raka dengan pelan.
Yura yang baru mau menutup pintu langsung terdorong hingga terjatuh kebelakang. Handuk yang berada di atas kepalanya sampai ikut terlepas hingga rambut basahnya tergerai membuat bau semerbak tercium di indera penciuman Raka. Yura langsung berdiri begitu hendak mendorong Raka agar keluar dari kamarnya justru hembusan nafas berbau alkohol membuatnya ingin muntah karena terlalu bau. “Sayang.” “Sayang pala lo!” Yura langsung menjauhkan diri dari pelukan Raka yang tidak mau lepas, “Lo mabuk, sadar gila gue bukan pacar lo.” Yura semain panik karena Raka semakin membuat dirinya tidak bisa terlepas dari pelukan yang begitu erat dari Raka. “Sayang mau kabur kemana? Jangan kabur lagi iya.” Ujar Raka bak anak kecil membuat seluruh badan Yura menjadi bergidik ngeri. Yura segera mengambil jaket menutupi bagian lengan yang terbuka karena hanya menggunakan baju tidur yang memang berbentuk gaun. Yura sengaja membiarkan Raka memeluknya sebelum meninggalkanya dan meman
“Rak! Udah cok. Lo mau mati hah!” Hafiz merebut botol minuman yang berada ditangan Raka, “Lo kalo patah hati nggak gini caranya.” Hafiz lagi-lagi merebut minuman dan menjauhkanya dari jangkauan Raka. Raka sudah mulai teler sehingga kehilangan kesadaran gaya bicaranya juga ngawur. Raka menggerang sambil menangis, “Geby nggilang, ngapain gue hidup.” Ujar Raka dibalik tangisanya membuat Hafiz bergidik. “Ck, setan nih bocah.” Umpat Hafiz begitu memapah Raka masuk ke dalam mobilnya, “Rio sialan gue yang musti ngurusin bayi gede.” Umpat Hafiz lagi pada satu temanya yang mengatakan tidak bisa membantu karena sedang kencan tidak dapat diganggu sama sekali, “Bisa banget ini bocah ketempat yang beginian.” “Maaf mas, ini tadi masnya bilang sebelum mabuk buat dianter ke alamat yang ini.” Hafiz langsung mengangguk menaruhnya ke dalam saku celana. “Makasih, pak.” Hafiz mengangkat tangan sebagai lambaian salam perpisahan. Tidak lupa Hafiz memberikan tips pada petugas yang m
“Hey! Mau kemana?” Abi meraih tangan Yura yang hendak pergi. Yura berbalik melihat Abi datang dengan beberapa dokumen ditanganya. Begitu melihat ke sisi jendela lagi mobil itu sudah berlalu pergi dan Yura belum sempat mengonfirmasi apa yang baru saja di lihatnya.“Udah iya, kirain masih lama.”“Ini pipi kamu kenapa merah begini?” Tanya Abi sambil menunjuk pipi Yura yang terlihat cukup jelas berbeda dari pipi yang satunya.“Enggak kenapa kok kak, ini kelamaan diginiin pake tangan kak nanti juga ilang.” Alibi Yura yang tidak ingin memberitahu kejadian sebenarnya pada Abi. Abi masih belum percaya tentunya karena masih terlihat mengamati dengan tatapan matanya menelisik kebohongan dimata Yura. Yura jelas langsung sengaja berbalik, “Langsung pulang kan kak?” Melihat Abi masih diam ditempat Yura kembali berbalik tapi setengah menampakan wajahnya yang tidak terkena tamparan. Baru setelahnya Abi langsung mengan
“Bisa nggak jangan narik-narik lagi, tangan gue sakit.” Ujar Yura memelas sementara Raka tetap tidak peduli rasa sakit istrinya sama sekali. Pergelangan tangan Yura sampai memerah karena genggaman tangan Raka sedari tadi sehingga menciptakan rasa sedikit sensasi perih. Sedangkan kakinya juga sedikit lecet karena kebetulan Yura menggunakan sepatu sandal yang berbahan kasar. “Lo matipun gue juga enggak akan peduli.” Sinis Raka yang seakan sudah menjadi gila karena cintanya sedang hilang. Geby seakan sudah menjadi setengah tubunya sehingga rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya. “Yaudah bunuh aja sekalian biar lo puas.” Runtuk Yura karena sedari tadi dirinya selalu menurut sedari tadi diperlakukan tidak manusiawi oleh raka suaminya sendiri. Walaupun pernikahan mereka dilakukan secara paksa seharusnya Raka lebih bersikap baik terhadap Yura. Justru ini sebaliknya tidak ada kata baik untuk istrinya Yura didalam pikiran Raka yang ada hanya pikiran jahat tentang wanita
Yura menarik Kiano menuju taman belakang yang memang sepi tapi terlihat rindang dengan pohon manga besar dengan kursi dibawahnya. Kiano hanya menurut begitu ditarik tanpa adanya melawan sedikitpun. Begitu sampai Yura melepaskan tangan Kiano dan langsung menatapnya sambil berkaca pinggang.“Enggak Gaga enggak yang ini. Semua nggak ada yang waras.” Ujar Kiano membaweli Yura.“Lo tau dari mana tempat ini?” Tanya Yura tidak menggubris bawelan Kiano yang mengarah padanya.“Tau lah gue kan cenayang.”“Serisan, Ki. Tau dari mana?” Ujar Yura yang penasaran setengah mati. Bahkan Riri dan Dini sama sekali tidak diberitahunya mengenai hal ini, “Apa lo ngikutin gue?” Selidik Yura mencari jawaban dari sorot mata Kiano.“Mana ada ngikutin.”“Iya terus!”“Mau tau aja apa mau tau banget.” Ujar Kiano palah bercanda membuat Yura berujung kesal.&ldquo
Sasa melayangkan protes kepada suaminya Bram setelah mendengar bahwa Yura dipekerjakan di perusahaan milik suaminya itu. Bram yang baru saja pulang lembur karena mengurus masalah yang terjadi minggu belakangan ini menjadi masam melihat istrinya marah saat baru membuka pintu kamar. Sasa dengan kesal menuntut penjelasan pada suaminya mengapa harus wanita itu sungguh Sasa tidak habis pikir dengan pikiran suaminya.“Mas kita harus bicara.”“Yasudah bicara.” Bram memejamkan matanya namun masih belum tertidur di atas kasur. Badanya serasa remuk karena harus berkutat dengan banyak dokumen yang membengkak dan harus kejar target dalam waktu dua hari. Maka dari minggu depan Bram sudah mengontak Yura untuk masuk dan membantunya. Bram sudah lelah dan hampir terlelap namun badanya berasa gempa karena Sasa istrinya membuatnya terjaga dan bukanya membiarkan dirinya istirahat. Bram langsung mengubah posisi menjadi terduduk dengan tatapan marah, “Aku
Raka begitu memanjakan Geby begitu sampai dia langsung menggendongnya lagi masuk ke dalam rumah. Rumah kali ini adalah rumah barunya bersama Yura istrinya. Raka sengaja membawa Geby ke rumah baru karena jaraknya yang lebih dekat dari tempat acara. “Sayang, ini rumah siapa?” Tanya Geby yang berada di gendongan Raka tanganya melingkar manis di lehernya Raka. “Anggap aja rumah kita berdua.” Jawab Raka membuat Geby tersenyum senang. Jika berkaitan dengan uang tentu Geby akan senang. Apalagi melihat rumah yang sebesar dua kali lipat dari miliknya. Matanya langusung berbinar-binar seperti menatap berlian. Suti membukakan pintu untuk tuanya dan sedikit terkejut karena wanita yang di gendong bukanlah Yura istri majikanya. Raka membawa Geby masuk dan meletakanya di sofa ruang tamu. Suti menatap kemesraan dua manusia di hadapanya. “Ya gusti.” Pekiknya spontan begitu melihat adegan perselingkuhan di matanyanya langsung, “Kalo ini suami saya sudah saya potong-pot