Share

2. Adaptasi

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-10-22 12:49:43

"Khal, berenang yuk!" ajak Kintan pada si sulung yang bernama Khalil, yang sedari tadi cuma cemberut menatap ke arah jendela kaca di kamarnya.

Jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota di siang hari.

Khalil merasa kesal karena harus pindah, karena ia pun menjadi kesepian karena tidak memiliki banyak teman bermain seperti di rumah yang dulu.

"Kakaaaakk... ayoooo kita belenaaang!!" ajak Kahfi, adiknya yang masih berusia 3 tahun dengan suara cemprengnya yang bikin telinga sakit.

"Kakaaakkk dengel gak siiih? Ayooo kitaa lenaaang!"

Khalil mendengus kesal. "Iyaaa iyaaa... berisik ah! Tunggu deh, aku ganti baju renang dulu." Lalu anak laki-laki itu pun mengambil baju renang yang sudah disiapkan oleh Kintan di atas tempat tidurnya.

Ketika Khalil masuk ke kamar mandi untuk ganti baju, Kintan dan Kahfi langsung melakukan tos berdua.

"Berhasil!" bisik Kintan sambil tersenyum senang pada anak bungsunya.

Kahfi pun nyengir. Mereka memang sengaja membuat Khalil nggak tahan mendengar suara adiknya yang cempreng itu, sehingga Khalil pun akhirnya menuruti kemauan mereka untuk berenang.

Kini mereka bertiga sudah siap untuk berenang. Saat sedang berjalan menuju pintu keluar, Kintan berpapasan dengan Bi Yani asisten rumah tangganya yang sedang mengelap meja.

“Bi, saya tinggal dulu ya? Anak-anak mau berenang di bawah,” pamitnya.

Bi Yani menolehkan kepalanya dan mengangguk. "Iya, Bu."

"Bi Yani istirahat aja dulu. Pasti capek kan, habis bantu-bantu pindahan. Nanti malam nggak usah masak, kita makan di resto dekat apartemen saja ya," ucap Kintan, yang disambut dengan teriakan "HOREEE" dari anak-anaknya.

"Iya bu, makasih. Saya memang mau istirahat dulu. Oh iya, ibu juga kan capek. Nanti saya bikinkan jamu buat pegel-pegel untuk ibu, ya?"

“Boleh banget, Bi. Makasih ya,” Kintan menyahut sambil tersenyum sebelum berlalu keluar dari pintu.

***

Setelah puas bermain air dan berenang, ibu muda serta kedua putranya itu pun kembali ke apartemen dengan riang.

Celoteh lucu serta pertanyaan-pertanyaan lugu dari Khafi serta tawa Khalil mengiringi langkah mereka menuju ke lantai atas.

Namun sesampainya di depan pintu apartemennya, Kintan tiba-tiba melihat seorang anak perempuan berusia sekitar belasan tahun, yang sedang berdiri di depan pintu apartemen yang terletak persis di sebelah apartemennya.

Dan anak perempuan itu juga terlihat kebingungan.

Ketika pandangan mereka tanpa sengaja bertemu, Kintan pun sontak menguraikan senyum. "Halo. Kuncimu hilang ya?" Sapa Kintan bertanya.

Anak itu mengangguk sambil menatap Kintan lekat. "Kakak tetangga yang baru pindah di sebelah ya?" tanyanya penasaran.

‘Kakak?’ Ulang Kintan dalam hati sambil tertawa. ‘Lagi-lagi aku dikira anak sekolah!’

"Iya, saya baru masuk hari ini. Ngomong-ngomong, kalau kuncimu hilang, mau saya bantu telponkan ke pengurus apartemen?" Kintan menawarkan bantuan karena tak tega melihat raut bingung anak perempuan itu.

Anak itu pun terdiam sesaat, kemudian kepalanya mengangguk pelan. “Uhm… iya, boleh kalau tidak merepotkan.”

“Oke, kalau begitu tunggu sebentar ya?” Kintan memasukkan anak-anaknya ke dalam apartemen lebih dahulu, kemudian ia keluar lagi untuk menemui anak perempuan tadi sambil menelepon ke bagian maintenance apartemen.

"Mereka baru bisa datang setengah jam lagi, katanya. Kalau gitu, gimana kalau menunggu di tempat saya saja?" usul Kintan, karena tidak tega meninggalkan anak itu sendirian di depan pintu apartemen, menunggu orang bagian manintenance datang.

Anak itu pun mengangguk, lalu ia ikut berjalan menuju ke apartemen Kintan.

"Oh iya, nama saya Kintan. Yang tadi anak-anak saya, yang besar namanya Khalil, yang kecil Khafi," Kintan memperkenalkan diri sambil tersenyum simpul, melihat ekspresi kaget yang jelas tergambar di wajah anak perempuan itu.

"Lho, jadi kakak ini sudah punya anak ya?" tanyanya heran. "Maaf… saya kira yang tadi itu adik atau keponakannya. "

Kintan tertawa pelan. "Nggak apa-apa kok, udah biasa. Oh iya, nama kamu siapa?"

"Namaku Geandra, kak... eh, Tante Kintan. Panggil aja Gea."

Mereka berdua lalu bersama-sama memasuki apartemen Kintan, dan wanita pun memperkenalkan Gea pada Khalil dan Khafi.

"Ini lukisan siapa?" tanya Gea tiba-tiba, saat ia sedang melihat lukisan bunga yang ada di dinding ruang tamu.

"Oh, itu lukisan Tante. Tapi belum selesai sih. Tinggal finishing sedikit," jawab Kintan sambil tersenyum.

"Wow. Keren banget! Tante Kintan ternyata jago melukis ya!" puji Gea takjub.

"Ah, biasa aja kok. Kebetulan memang tante kerjanya melukis dinding, namanya mural."

Gea manggut-manggut. "Tante… lukiskan dinding di kamarku dong, boleh nggak?"

"Boleh aja. Kamu mau lukisan apa?" tanya Kintan sambil menaruh nampan berisi minuman dan cemilan ringan untuk Gea di meja tamu.

"Ayo, sini diminum dan cicip kuenya, Gea."

Gea mendekat dan duduk di sofa. Sambil minum dan memakan kue, ia terlihat berpikir. "Aku suka sama bunga lili. Tante Kintan gambar bunga lili aja deh. Gimana?"

"Boleh. Sebentar ya." Kintan berdiri dan mengambil buku sketsanya. Setelah corat coret, ia pun memperlihatkan hasil gambar sketsanya pada Gea.

"Lilinya mau seperti ini?"

"Ih... bagus banget. Iya, seperti itu tante!" seru Gea gembira. "Nanti aku bilang kepada Papa untuk biaya jasa Tante, ya."

Kintan cepat-cepat menggeleng. "Nggak usah, Gea. Tante kasih gratis khusus buat kamu, karena telah menjadi pelanggan pertama di apartemen ini," ucap Kintan sambil tersenyum.

Gea pun semakin sumringah mendengarnya. "Yang bener, tante? Gratis? Asiiik..."

Tiba-tiba terdengar suara bel yang berbunyi, dan ternyata orang bagian maintenance sudah datang.

Kintan pun berinisiatif menemani Gea sampai ia mendapatkan kunci cadangan. Anak perempuan itu terlihat sangat lega, setelah akhirnya ia bisa masuk kembali ke dalam apartemennya.

"Ok, Gea. Kalau begitu tante tinggal dulu ya," pamit Kintan setelah memastikan Gea masuk.

"Tante, tunggu!" seru Gea.

Kintan pun membalikkan badannya dan menatap Gea. "Ada apa?"

"Hmm... tante bisa masuk dulu, nggak? Lihat ke kamarku, biar tahu gimana kondisi dindingnya?"

"Memangnya muralnya mau dikerjakan sekarang?" tanya Kintan kaget.

Gea pun menganguk penuh harap.

Haduh. Padahal sekarang Kintan sudah capek banget dan ingin istirahat, tapi ia nggak tega juga melihat mata Gea yang puppy eyes penuh permohonan gitu.

"Tapi... sudah minta ijin ke papa kamu belum? Nanti beliau marah nggak, kalau dinding kamar kamu dilukis?"

"Papa nggak akan marah kok. Pliiss ya, tante," rengek Gea. Entah sejak kapan mereka berdua jadi akrab dan bicara santai seperti ini.

"Uhm, ya udah deh. Tante bikin lukisannya sekarang," ucap Kintan akhirnya.

***

Sekarang Kintan sudah berada di kamar Gea untuk melukis salah satu sisi dindingnya.

Ia sudah menyalakan musik dari ponsel dengan volume keras, memperdengarkan lagu-lagu dari Billie Ellish kesukaannya.

Salah satu kebiasaan Kintan saat melukis, adalah sambil mendengarkan musik yang ia suka. Rasanya dengan begitu ia pun bisa fokus menggerakkan kuas dengan lincah di dinding.

Kintan melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya, dan mulai mengira-ngira waktu.

Gea mengatakan kalau papanya biasa pulang kerja cukup larut, kira-kira jam 10 malam.

Jadi ia pun bisa bebas melukis dan menyetel lagu dengan keras selama kurang lebih 2 jam, karena waktu saat ini masih menunjukkan pukul 19.40.

Bibir wanita itu seketika memulas senyum, saat mengingat bagaimana Gea yang terlihat santai dan sama sekali tidak keberatan bermain bersama Khalil dan Khafi.

Gea sudah bercerita kalau papa dan mamanya sudah bercerai. Dan anak perempuan itu memilih untuk tinggal dengan papanya, karena mamanya sudah menikah lagi dan telah memiliki dua orang anak dari suami barunya.

Kintan berpikir mungkin karena Gea kesepian tinggal hanya berdua dengan papanya, makanya ia terlihat gembira bermain dengan anak-anak Kintan yang berisik dan rame itu.

Lalu sambil melamun ditemani irama musik, Kintan pun mulai melukis.

***

30 MENIT SEBELUMNYA...

Hari ini, Iqbal bermaksud untuk pulang lebih cepat.

Syukurlah, masih ada sedikit waktu yang bisa dihabiskan untuk bersama Ge, karena biasanya putrinya itu sudah terlelap saat ia baru pulang.

Lelaki itu melirik jam tangannya. Sekarang masih jam 19.30, sampai di apartemen mungkin sekitar jam 20.00 lewat sedikit.

Sip. Iqbal akan mengajak putrinya makan malam di luar.

Jarang-jarang ia pulang cepat dari kantornya, jadi sebaiknya hal ini dimanfaatkan Iqbal untuk mengajak anak satu-satunya itu jalan-jalan sekaligus makan di resto faforit.

Lelaki itu memacu mobilnya dengan kecepatan sedang sambil bersenandung.

"Ge, papa pulang!" seru Iqbal sesampainya ia di dalam apartemen.

Namun keningnya pun sontak mengernyit, ketika mendengar lagu yang disetel begitu kencang dari kamar anaknya.

Aneh. Rasanya Ge nggak pernah menyetel lagu kencang seperti itu karena ia lebih suka pakai earphone.

Lagipula, ia suka lagu-lagu K-pop, sedangkan ini... Billie Ellish sepertinya.

Iqbal berjalan perlahan menuju kamar anaknya. Pintu kamar itu terbuka, membuat Iqbal bisa melihat langsung siapa di dalam.

‘Eh? Cewek itu?’

Iqbal melongo melihat seorang wanita dengan celana hot pants biru tua yang memperlihatkan kaki jenjang dan putih, serta kaos pas badannya yang penuh dengan warna-warni cat.

Begitu pun dengan sekujur tubuhnya. Rambutnya digelung ke atas, bibirnya terlihat bersenandung lagu yang sama dengan musik di ponselnya.

Ia sedang asik melukis dinding kamar Gea, dan sama sekali tidak menyadari kehadiran Iqbal di sana.

"Kamu siapa?"

Kintan menjerit kaget dan tanpa sadar menjatuhkan kuas catnya ke lantai, membuat noda berwarna hijau di sana. Lalu ia pun menoleh ke arah sumber suara yang mengejutkannya tadi.

Dan maniknya pun membelalak.

Loh? Pria ini... yang tadi menolongnya mengambilkan mainan dan yang memanggilnya ‘adik’??

Pria jangkung tinggi, berkulit putih dan tampan...

"Eh? Kamu sendiri siapa?" tanya Kintan balik.

Lelaki itu terlihat bingung dan kesal. "Saya? Saya adalah pemilik apartemen ini! Kamu siapa? Apa yang kamu lakukan di kamar anak saya?"

Mulut Kintan pun membentuk huruf O. "Ya ampun, jadi kamu... Papanya Gea?"

Kening Iqbal pun mengernyit semakin dalam. "Darimana kamu kenal anak saya?"

Kintan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tanpa ia sadari malah membuat cat di tangannya ikut menempel di rambutnya.

“Uhm, ceritanya panjang sih...,” ringis Kintan, tak menyangka ada kejadian yang se-kebetulan ini.

“Gea kehilangan kunci apartemennya, lalu saya bantu untuk menghubungi pihak maintanance apartemen. Kemudian, Gea juga meminta saya untuk melukis kamarnya. Menurut Gea, papanya pulang jam 10 malam. Jadi dia meminta saya untuk melukis hari ini juga,” tutur Kintan sembari melirik jam di tangannya.

‘Sekarang kan masih jam setengah 9, kenapa dia sudah pulang sih? Bikin kaget aja,' batinnya menggerutu.

"Lalu dimana Gea?" tanya pria itu.

"Ada di sebelah, di apartemen saya."

Iqbal pun menghela napas seraya mengomeli putrinya itu dalam hati. ‘Dasar Ge! Seenaknya saja memasukkan orang asing ke dalam rumah!’

"Maaf, tapi bisakah kamu rapikan semua? Saya akan jemput Ge."

Kintan mengangguk, dan dengan cepat merapikan semua peralatannya. Ia sadar sebagai orang tua, jika dia berada di posisi papanya Gea juga pasti kesal sekali.

Ck. Ini semua gara-gara ia tidak tega melihat Gea yang memohon padanya.

Sudahlah. Toh, ia juga tidak melakukan kejahatan.

Kintan keluar dari apartemen itu bersama papanya Gea dalam diam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara.

Wanita itu lalu memencet bel apartemennya karena ia memang tidak bawa kunci.

Saat pintu terbuka, tampak raut gembira Gea pun muncul melihat Kintan, namun ekspresi itu sontak menghilang ketika melihat seseorang yang berdiri di sebelah Kintan.

"Papa?" Gea terlihat kaget. "Kok papa sudah pulang?"

Iqbal lagi-lagi menghela napas pelan. "Coba jelaskan ada apa ini sebenarnya, Ge?" tanya lelaki itu dengan nada dingin.

"Mamaaa!!!" seruan riang dan tiba-tiba terdengar menyeruak di antara mereka. Suara girang Khalil dan Khafi yang melihat Kintan yang berdiri di depan pintu. Mereka pun berebutan memeluk Kintan.

"Tadi kak Gea main tembak-tembakan sama Khalil. Seru banget!" ucap si anak sulung penuh semangat.

"Kak Gea seluuu bangeett!" Khafi pun tidak mau kalah dengan suara cemprengnya.

Iqbal terlihat kaget mendengar panggilan anak-anak itu kepada Kintan.

"Mama??" ulangnya sambil mengerjap dan menatap heran kepada Kintan. "Jadi, kamu sudah punya anak?" tanya pria itu kepada Kintan antara percaya dan tidak percaya.

Kintan tersenyum bangga. "Iya. Dua orang," ucapnya sambil memberi tanda dengan telunjuk dan ibu jari.

Suara tawa yang menyembur tiba-tiba terdengar dari bibir Gea. "Maaf ya, Tante Kintan. Rupanya papa juga sudah salah paham. Kirain cuma Gea doang yang mengira kalau Tante Kintan masih kuliah!" serunya di sela tawa.

Iqbal tampak terlihat malu. Tadinya ia memang mengira wanita ini masih muda, jadi dia bersikap layaknya seperti orang tua... eh, ternyata wanita ini juga orang tua!

Pria itu pun mendehem pelan. “Ayo kita pulang, Ge,” ucapnya kepada Gea yang mendadak cemberut.

"Setengah jam lagi deh, pa. Gea lagi asik main sama Khalil dan Khafi," pintanya.

Kintan merasa tidak enak melihat ekspresi papanya Gea yang makin terlihat kesal. Ia pasti ingin pulang cepat untuk bertemu dengan anaknya, begitu pikir Kintan.

"Gea, besok-besok masih bisa main lagi kok sama Khalil dan Khafi. Pulang dulu aja ya? Kasian papanya pasti kangen sama Gea," bujuk Kintan sambil tersenyum.

Iqbal kembali mendehem pelan melihat keengganan yang tertera di wajah putrinya. "Ya udah, kalau gitu papa tunggu di rumah. Jangan lama-lama," ucapnya kemudian sambil berjalan kembali menuju apartemennya.

Kintan menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh, lalu ia pun mengalihkan tatapan ke arah Gea.

“Tante tahu bagaimana perasaan orang tua yang lelah bekerja. Lalu ketika pulang, perasaan lelah itu akan serta merta sirna saat melihat wajah anaknya yang tersenyum menyambut,” ucap Kintan lembut.

Gea terdiam sesaat, meresapi perkataan Kintan yang membuatnya jadi merasa kasihan dengan Papanya. "Iyaa… Gea pamit dulu, tante. Tapi kalau besok-besok Gea sering ke sini boleh kan?"

Kintan terenyuh melihat permintaan penuh harap dari pertanyaan Gea. Anak ini kesepian. Dia butuh teman, dan terlebih lagi, sebenarnya dia juga butuh papanya.

Kintan memeluk Gea tanpa sadar dan mengecup sayang pada puncak kepalanya. "Tentu saja, sayang. Kamu bebas datang kapan saja. Tapi pulanglah saat papamu sudah di rumah ya?"

Seketika wajah anak itu pun bersinar, dan ia pun membalas pelukan Kintan dengan erat.

"Kalau nggak ada papa, Gea akan panggil tante dengan sebutan 'mama', boleh ya?" bisiknya di telinga Kintan, dan Gea pun langsung berlari ke apartemennya, tanpa merasa perlu untuk menunggu jawaban dari Kintan.

***

Related chapters

  • Duda dan Janda Bertetangga    3. Tetangga Yang Baik Hati

    "Kok sudah pulang?" tegur Iqbal pada Gea, yang tampak baru saja masuk apartemen tak begitu lama darinya.Gea menghempaskan tubuhnya di atas sofa di samping papanya. “Tante Kintan yang meminta aku pulang. Katanya orang tua yang setelah lelah bekerja, ketika pulang perasaan lelah itu akan sirna saat melihat wajah anaknya yang tersenyum menyambut,” ucap Gea sambil menatap papanya."Ck. Tante Kintan bikin aku baper aja!" Gea mencebik sambil memeluk Iqbal manja. “Pa.” “Hm?”"Menurut papa, Tante Kintan cantik kan?""Kamu yang cantik," elak Iqbal sambil mencubit gemas pipi putrinya. "Jangan mulai deh, Ge!" Dengusnya, yang tahu kalau anaknya ini pasti berniat menjodohkan dirinya dengan Kintan.Gea pun nyengir lebar karena taktiknya ketahuan. "Pa, aku boleh main ke rumah Tante Kintan ya, kalau papa sedang bekerja? Aku seneng banget bisa bermain dengan Khalil dan Khafi. Rasanya seperti punya adik sendiri."Iqbal menatap putrinya sambil membelai rambut Gea. Ia tahu Gea kesepian sendirian di ap

    Last Updated : 2024-10-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    4. POV Kintan

    Kintan senang sekali, karena sedikit lagi lukisan bunga lili kamar Gea akan selesai lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya. Sebelum jam 5 sore juga sepertinya bisa selesai nih, jadi sepertinya dia nggak perlu balik lagi ke apartemen ini. Yah, mudah-mudahan saja Gea suka dengan hasilnya nanti. Saking senangnya, dia pun menari sesuka hati mengikuti irama musik yang menghentak. Sesekali ia mengangkat kedua tangannya yang memegang kuas ke atas, menggoyangkan pinggul dan kepalanya dengan gaya yang seksi. Kintan masih terus saja menggerakkan seluruh tubuhnya, merasa menjadi diri sendiri dan melupakan segalanya untuk saat ini. Hanya menari, mengikuti alunan musik yang dinamis. Tapi… ada yang aneh. Sekilas, ia seperti melihat bayangan seseorang yang tinggi berdiri di depan pintu kamar Gea. Seketika ia pun menoleh, dan terkesiap saat melihat Pak Iqbal yang berdiri diam di sana, menatapnya dengan raut datar dan sukar terbaca. "Aaaaaaaaa!!!" Kintan pun berteriak kaget. ‘

    Last Updated : 2024-10-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    5. Mengikuti Kintan

    Saat ini Iqbal menunggu di dalam mobilnya terparkir di dekat lobby apartemen. Matanya awas menatap orang-orang yang berseliweran di sekitar, mencari-cari keberadaan Kintan di antara mereka.‘Itu dia!’Iqbal melihat Kintan yang baru saja keluar dari pintu lobby, dan wanita itu tampak berdiri seperti sedang menunggu seseorang.Iqbal pun mendesah lega. Syukurlah Kintan belum dijemput. Rencana pria itu untuk mengikutinya diam-diam malam ini pun tampaknya bisa berjalan lancar.Penampilan Kintan yang terlihat sangat cantik, sepertinya menarik perhatian beberapa pria yang berjalan melewatinya. Tatapan kagum dan siulan pelan para lelaki itu tak pelak membuat Iqbal geram dan ingin turun dari mobilnya, namun untung sebuah mobil silver tiba-tiba datang dan berhenti tepat di tempat Kintan berdiri. Naluri kompetisi seorang lelaki pun mendadak muncul, saat Iqbal melihat jenis mobil yang menjemput Kintan dan serta merta mencemoohnya. “Ck. Ternyata tipe mobilnya masih jauh di bawah mobilku. Haha.

    Last Updated : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    6. Di Kamar Kintan

    “Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!” protes Kintan kaget dengan pipi yang telah cerah merona, tak pelak membuat Iqbal mengamati wanita itu dengan ekspresi tertarik. ‘Hei, apa wanita ini malu? Hm, lucu juga ekspresinya...’ Iqbal menahan senyumnya melihat rona di wajah Kintan yang semakin tampak benderang, mungkin juga karena Iqbal yang semakin mempererat dekapannya. Kalau sudah begini, Kintan malah tidak terlihat seperti wanita yang sudah pernah menikah, tapi seperti gadis muda polos yang masih perawan. “Lebih cepat dengan cara yang seperti ini. Lagian nggak ada yang lihat kok, jadi santai saja,” sahut Iqbal kalem. Kintan pun menggeleng lemah. "Ta-tapi..." "Tutup mata saja kalau malu," tukas Iqbal dengan nada perintah yang tidak mau dibantah. Kintan mendelik kesal mendengar saran nggak nyambung yang di luar prediksi BMKG itu. Apa hubungannya malu dengan tutup mata coba?! Tapi kemudian tak pelak Kintan pun malah benar-benar menutup kedua matanya, ketika merasakan ke

    Last Updated : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    7. Bersamamu

    Seharusnya Kintan belajar dari kejadian tadi sore. Seharusnya ia yang sudah berpengalaman pernah menikah dan berumah tangga, tidak dengan begitu mudahnya terbuai seperti gadis remaja.Namun perlakuan Iqbal yang lembut serta permainan perpaduan bibir dan lidah pria itu yang sangat terampil tak pelak membuat wanita itu terbawa suasana, saat Iqbal tiba-tiba mendekatkan wajah untuk menciumnya.Sebagai seorang wanita, tentu saja Kintan memiliki perasaan untuk menolak demi harga dirinya. Namun sebagai seorang wanita juga, ia pun tak bisa menampik perasaan menggebu yang tiba-tiba hadir dan perasaan meremang yang menyenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir Iqbal. Ini adalah kedua kalinya Iqbal menciumnya. Namun untuk kali ini entah kemana akal sehatnya berada, karena Kintan tak lagi menolaknya. Sial. Iqbal sangat ahli berciuman!Berulang kali ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan hasratnya agar tidak mendesah, merasakan nikmat yang diberikan pria itu padanya.Rasa menerima dan menolak

    Last Updated : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    8. Belum Bisa Melupakan

    Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya."Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya."Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir.Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?"Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang."Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang te

    Last Updated : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    9. Perjodohan

    Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon

    Last Updated : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    10. Perjodohan Part 2

    **BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir

    Last Updated : 2024-11-22

Latest chapter

  • Duda dan Janda Bertetangga    127. My Personal Asisstant

    Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela

  • Duda dan Janda Bertetangga    126. Gathering

    Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta

  • Duda dan Janda Bertetangga    125. Ciuman Strawberry Cheesecake

    Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999

  • Duda dan Janda Bertetangga    124. Telepon Tengah Malam

    Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari

  • Duda dan Janda Bertetangga    123. Kolektor

    Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas

  • Duda dan Janda Bertetangga    122. Out Of The Box

    Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi

  • Duda dan Janda Bertetangga    121. Pantas Mendapatkan 1000 Tamparan

    Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya.Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel.Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa."Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara.Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!'SARAAPP!!!Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan.Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.'"Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsung seper

  • Duda dan Janda Bertetangga    120. Kamu Hot Banget

    "Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan mengabarkan b

  • Duda dan Janda Bertetangga    119. Buram

    “Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,

DMCA.com Protection Status