**BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**
Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon. "Halo, Yessita?" "Halo, kak Iqbal. Apa kabar?" "Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?" "Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?" "Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?" “Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi. "Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir." "Sip. Ditunggu ya kak, byeee." "Ok bye." *** Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan? Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya. ‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran. "Kak Iqbal, akhirnya sampai juga," seru Yessi dengan senyuman gembira. "Oh iya, kenalin ini teman Yessita waktu kuliah dulu, namanya..." "Kintan. Namanya Kintan," sambung Iqbal sambil terus menatap Kintan lekat tanpa ia sadari. Mata Yessi pun membulat kaget. "Loh? Kalian saling kenal?" tanyanya pada Kintan. Kintan mengangguk pelan. "Pak Iqbal tetanggaku di apartemen," jelas wanita itu kemudian. Tawa meledak pun keluar dari mulut Yessi. "Ya ampun, kebetulan macam apa ini? Jadi... kalian ini bertetangga??" Yessi kembali bertanya, seakan benar-benar ingin meyakinkan apa yang ia dengar tadi. Iqbal dan Kintan pun sama-sama mengangguk dengan kompak. ‘Ih. Bisa barengan gitu anggukannya, hahah... Fix mereka jodoh. Duda dan janda, bertetangga pula!’ Yessi membatin sambil tersenyum dalam hati. "Kak Iqbal, duduk yuk. Aku ambil menunya dulu ya, sebentar." Lalu sepupunya Iqbal itu pun beranjak berdiri untuk mengambil buku menu di meja kasir. Iqbal memutuskan untuk mengambil tempat duduk di samping Kintan. Meskipun keterkejutannya belum juga reda, namun ia berusaha untuk nampak biasa saja. "Kamu dan Yessita sejak kapan berteman?" tanya Iqbal penasaran setelah duduk. "Mm... sejak kuliah semester 2 kalau nggak salah sih. Yessi dan aku kebetulan ambil kelas yang sama, terus ya... kita dekat," terang Kintan. Iqbal mengangguk paham. "Kalau di keluarga besar kami, semua orang memanggilnya Yessita. Dia sepupuku. Dulu aku sering mengantar-jemput ke tempat kuliahnya juga," ucap Iqbal. "Sayang sekali waktu itu aku belum mengenal kamu," timpalnya kemudian tanpa sadar. Kintan pun hanya diam. Apa yang harus ia katakan untuk merespon kalimat Iqbal barusan? "Kelihatannya kalian akrab ya? Menyenangkan juga punya kakak sepupu yang bisa diandalkan." Dan akhirnya Kintan pun memilih untuk mengubah topik pembicaraan. Iqbal mengedikkan bahu sambil mencomot french fries yang ada di depan Kintan. "Kami sama-sama anak tunggal, mungkin itu yang menyebabkan kami bisa dekat. Lagipula rumah orang tua kami juga tinggal di komplek yang sama. Jadi intensitas bertemunya makin sering," jelasnya, sambil mengunyah french fries. Bahkan sewaktu Iqbal masih SD dan SMP, ia sering menginap di rumah sepupunya itu. Orang tua Yessita juga sudah menganggap Iqbal seperti anaknya sendiri, bahkan ia pun memiliki kamar khusus untuknya di rumah Yessita. Namun semenjak SMU dan seterusnya hingga sekarang, mereka tidak terlalu sering bertemu lagi karena kesibukan masing-masing. Apalagi ketika kuliah, Iqbal mendapatkan beasiswa ke Kanada, sehingga bisa dibilang kalau mereka sempat lost contact. Saat Iqbal kembali ke Indonesia karena kuliahnya telah selesai, barulah ia mulai sering bertemu kembali dengan Yessita, karena ia memutuskan untuk rehat selama 1 bulan sebelum ia mulai melamar kerja. Karena itu, selama 1 bulan itu Iqbal sering mengantar-jemput sepupunya itu ke kampus untuk mengisi waktu rehatnya. "Nih, menunya kak!" seru Yessi sambil memberikan sebuah buku dengan kertas tebal yang didominasi dengan warna hijau dan krem. "Silahkan, bebas mau pesan apa aja di sini, dan gratis! Tapi... ada syaratnya," Yessi mengerling pada Iqbal dan Kintan. "Harus selfie dengan makanan dari sini, terus posting di medsos. Okay? Hitung-hitung promosi," ujarnya sambil nyengir. Iqbal akhirnya memesan Iga bakar, sementara Kintan memesan beef steak untuk dirinya, dan salad ukuran besar untuk dimakan bersama-sama. Kintan juga memesan fried chicken untuk Khalil dan Khafi. Tak lupa mereka selfie dengan berbagai pesanan mereka untuk dipajang di sosmed masing-masing. Sementara Yessie sengaja dengan sembunyi-sembumyi memotret Kintan dan Iqbal yang sedang asik ngobrol berdua. Setelahnya, ia posting di sosmed miliknya. Saat mereka selesai makan, Kintan pun berpura-pura hendak ke toilet. Padahal sesungguhnya ia menuju Kasir dan diam-diam membayar semua pesanan mereka. Dari awal ia memang ingin membayar sendiri, namun saat Yessi bilang gratis, ia hanya diam saja karena tidak ingin membuat temannya itu tersinggung. Tapi mana mungkin ia setega itu sama Yessi, dengan santainya makan gratis padahal cafenya sepi pengunjung begini. Ketika Kintan hendak berjalan kembali menuju meja mereka, langkahnya tiba-tiba terhenti. Iqbal dan Yessi sudah berdiri dari kursi mereka, dan terlihat sepertinya mereka terlibat dalam pembicaraan yang serius. Kintan pun menimang-nimang, apakah ia tetap menuju ke sana ataukah menunggu dulu? Dan akhirnya ia pun memutuskan untuk menunggu, karena tidak ingin mengganggu pembicaraan Iqbal dan Yessi yang terlihat makin serius itu. Kintan berdiri sambil bersender pada pilar putih yang berada tak jauh dari Yessi dan Iqbal berdiri, namun cukup tersembunyi sehingga mereka tidak akan bisa melihat dirinya. Dan Kintan pun sangat terkejut, ketika tiba-tiba ia melihat Yessi memeluk erat tubuh Iqbal… dan lelaki itu pun membalasnya! Kintan membelalakkan matanya tak percaya. Apa mereka benar-benar sepupu? Kenapa pelukannya begitu lama dan mesra? Yah, kalau dipikir-pikir Yessi itu sangat cantik dan Iqbal juga benar-benar tampan. Mereka bisa jadi pasangan yang sangat serasi, kalau saja bukan bersaudara sepupu. Lalu, apakah ini yang namanya cinta terlarang? Seketika ada rasa nyeri hang menusuk di perut Kintan. Aduh. Apa gara-gara saos sambel yang kebanyakan ia makan ya? Uh. Kintan pun cepat-cepat mengambil obat maag dari tas dan buru-buru menelannya. Selain obat alergi, ia juga selalu menyimpan obat maag dalam tas yang ia bawa kemana-mana, untuk jaga-jaga. Kintan kembali mengintip, dan sekarang Yessi sudah melepaskan pelukannya dari tubuh Iqbal. Hufft. Aman, sekarangia bisa keluar. "Eh, Kintan. Baru aja kak Iqbal nanyain tuh. Kok katanya lama banget ke toilet. Ciyeee... khawatir ya Kak?" usil Yessi sambil menyikut lengan Iqbal yang terus saja menatap Kintan tanpa putus. Kintan hanya tersenyum membalasnya. "Maaf lama. Tadi ada telepon masuk, jadi ya kuterima dulu," sahutnya berbohong. "Yessita, kita pulang dulu ya," pamit Iqbal, kemudian ia kembali menatap Kintan. "Aku antar ya?" tawarnya. Kintan menggeleng. Dadanya berdesir mendengar kata 'kita' yang diucapkan Iqbal dengan begitu ringannya. Ia pun berusaha menghalau perasaan gundah setelah mendengar kata itu. ‘Jangan berlebihan, Kintan. Itu cuma kata tanpa arti apapun.’ "Terima kasih, tapi kebetulan hari ini aku bukan kembali ke apartemen, tapi ke daerah Selatan untuk mengurus pekerjaan," tolaknya. "Aku naik transport online saja dari sini." "Pekerjaan? Melukis mural ya?" tanya Iqbal penuh minat, yang dibalas anggukan oleh Kintan. "Oke. Nggak masalah kok, kantorku juga nggak jauh dari situ. Jadi bisa sekalian jalan," ujar Iqbal santai. Setelah berpikir sejenak, Kintan pun memutuskan untuk mengiyakan ajakan pria itu. Yah, nggak apa-apa deh. Lumayanlah irit ongkos, karena tadi dia nebeng Bimo ke cafe Yessi dan meninggalkan mobilnya di toko bunga Bimo. Setelah berpamitan pada Yessi, Kintan pun masuk ke dalam mobil Iqbal bersama lelaki itu dan berlalu dari cafe. Selama di dalam mobil, Kintan dan Iqbal sama sekali tidak sempat mengobrol, karena Kintan yang sibuk menelepon daycare tempatnya menitipkan Khafi. Kintan meminta bantuan pemilik daycare yang juga adalah temannya, untuk menjemput Khalil anak sulungnya di sekolah dan ikut membawa Khalil ke daycare, karena dia masih belum selesai bekerja. "Ini tempatnya ya?" tanya Iqbal setelah mereka sampai di depan toko bunga milik Bimo. "Iya, benar. Berhenti di situ saja." Kintan pun meminta Iqbal untuk menepi di depan toko. "Terima kasih banyak untuk tumpangannya," ucap wanita itu sambil tersenyum dan membuka pintu mobil. Namun ekor matanya menatap gerakan dari pintu pengemudi. Sesosok tubuh tinggi atletis dengan wajah yang sangat tampan yang juga mengikutinya keluar dari mobil. "Pak Iqbal?" tanya Kintan dengan dahi mengernyit heran. Kenapa lelaki ini juga ikut turun dari mobilnya? "Uhm...," Iqbal terlihat bingung seperti sedang mencari sesuatu. "Aku mau beli kopi dulu," ucap pria itu sambil menunjuk kedai kopi kecil di samping toko, merasa lega karena akhirnya ia menemukan apa yang ia cari, yaitu alasan. "Kamu mau juga?" tawarnya pada Kintan. "Tidak, aku tidak minum kopi, terima kasih," tolaknya halus, sambil tetap tersenyum. "Baiklah, kalau begitu aku masuk dulu ya!" ucap Kintan pada Iqbal yang sedang menutup pintu mobilnya dan masih menatap wanita itu dalam diam. Sepuluh menit kemudian, Kintan yang sedang sibuk melukis dan memberi warna dasar pada lukisan bunganya, tiba-tiba mendengar suara pintu toko dibuka dari luar. "Kintan?" Wanita itu pun sontak menoleh pada sumber suara yang memanggil namanya. Kintan melihat Iqbal berjalan masuk ke dalam toko dengan dua gelas kertas di tangannya. "Pak Iqbal?" Kintan segera menuruni tangga dan berjalan menghampiri pria itu. "Masih di sini?" tanya Kintan tanpa sadar. "Eh maaf, maksudnya... kirain tadi Pak Iqbal langsung ke kantor," ralatnya sambil nyengir. Iqbal tertawa perlahan melihat ekspresi Kintan yang merasa tidak enak karena telah berbicara seperti itu tadi. "Ini baru mau ke kantor. Cuma mau kasih kamu ice matcha. Suka nggak? Katanya nggak mau kopi, kan?" Iqbal mengulurkan gelas kertas berwarna hitam pada Kintan. "Wah, terima kasih!" ucap Kintan gembira, menyambut gelas itu dan langsung meminumnya. Manis. Aroma khas matcha mengalir membasahi tenggorokannya, membuat tubuhnya terasa lebih segar dan berenergi. Iqbal melihat-lihat lukisan Kintan di langit-langit toko sementara Kintan sedang asik menikmati minumannya. Lelaki itu terlihat terkesima melihat hasil karya Kintan yang baru setengah jadi. "Keren banget lukisan kamu," ucapnya takjub, sambil terus menengadah ke langit ruangan. Sambil menyeruput ice matchanya, Kintan tersenyum diam-diam, entah kenapa merasa begitu senang karena Iqbal memuji hasil kerjanya. "Ini masih berantakan dan belum selesai sih, tapi terima kasih." Iqbal mengalihkan tatapannya kembali ke wajah Kintan. "Kamu mulai melukis sejak kapan?" tanyanya sambil duduk di lantai, yang diikuti oleh Kintan yang duduk di sebelahnya. "Sejak SMP aku suka iseng melukis di scrapbook. Terus lama-kelamaan mulai berani di atas kanvas. Waktu kuliah, dinding kamar deh yang jadi korban," sahut Kintan. "Jadi dari situ mulainya belajar melukis mural ya?" “Hu-um,” sahut Kintan mengangguk. "Terus, kalau melukisnya pakai kostum seksi tank top dan hot pants, sejak kapan?" Kintan langsung tersedak ice matchanya sendiri mendengar pertanyaan konyol dari Iqbal, sementara lelaki itu malah tergelak. "Pak Iqbal!" serunya kesal. Dan juga malu, karena lelaki itu mengungkit kejadian yang sampai sekarang masih membuat Kintan merinding. "Maaf, maaf. Habisnya aku sengaja datang ke sini dan membayangkan melihat kamu dengan kostum itu. Eh, ternyata..." Iqbal mengerling nakal pada sweater longgar yang dikenakan Kintan. Bibir Kintan pun sontak cemberut. "Huh. Jangan suka mancing-mancing deh, pak! Kali ini aku tidak akan semudah itu terpengaruh lagi," tukasnya penuh percaya diri. "Yakin?" Iqbal menaikkan alisnya sambil menahan senyum. Sekarang ia mulai merasakan hawa panas di seluruh tubuhnya. Ucapan Kintan tadi seperti sebuah tantangan yang membuatnya tergoda untuk menyentuh wanita itu. ‘Hm... bercanda sedikit saja boleh kan?’ Iqbal pun mulai mengangkat tangannya hendak menyentuh wajah Kintan. Kintan segera menghindar dengan gerakan secepat kecepatan cahaya. "Eitss... Jangan pegang-pegang! Nanti nyetrum gimana?" kelakar Kintan, berusaha menghindari situasi dimana Iqbal dan dirinya akan kembali terjebak hasrat dan terseret arusnya, hingga sulit untuk menemukan jalan kembali. Iqbal tampak seperti pura-pura berpikir dengan keras. "Gimana ya? Daripada bertanya-tanya, ayo langsung saja kita coba!" ucapnya sambil membuka dan melemparkan jasnya ke samping. Lalu dengan gaya yang seksi, ia membuka ikatan dasi dan menyampirkannya ke leher Kintan yang diam terpaku dengan mata membelalak nanar. Kemudian Iqbal membuka kancing kemejanya satu-persatu, dengan perlahan-lahan, namun sedikit demi sedikit memperlihatkan dadanya bidangnya yang berotot. Senyum tampan dan menggoda pun tersungging di bibirnya. GLEK! Kintan pun sontak menelan ludahnya melihat pesona dada Iqbal yang sangat maskulin dan raba-able. Gilaaa!! ‘Dia memang enggak senggol-senggol aku lagi sih... tapi kenapa juga malah disuguhin tarian striptis ginii?? Kan nggak kuat...’ jeritnya dalam hati. ‘Tunggu. Ingat, Kintan. Dia dan Yessi sepertinya ada hubungan terlarang, jadi menjauhlah dan jangan ikut campur dalam masalah mereka!!’ Kintan pun menutup wajahnya dengan kedua tangan sebelum ia benar-benar khilaf. "Pak Iqbal! Jangan gila deh! Kalau dilihat orang lain, gimanaa?" teriaknya kesal. "Yaa... nggak apa-apa juga.Paling-paling kita disuruh nikah. Aku sih, mau-mau aja nikah sama kamu, Kintan." Iqbal sengaja merendahkan suara seraknya agar Kintan semakin terganggu. Lucu banget lihat ekspresi janda cantik ini yang malu-malu seperti itu. Haha. Kintan menunjuk dada Iqbal sambil tetap menutup matanya. "Tutup nggak? Kalau nggak ditutup, aku telepon Yessi, nih!" ancam Kintan kesal. Iqbal pun seketika mengerutkan keningnya. "Yessita? Memangnya apa hubungannya dengan dia?" tanyanya tidak mengerti. Kintan membuka matanya. Sekarang malah ia yang menatap heran Iqbal. "Kalian sebenarnya ada hubungan kan? Karena tadi… tanpa sengaja aku melihat kalian berpelukan seperti sepasang kekasih," tukas Kintan. Raut Iqbal terlihat sangat terkejut mendengar ucapan Kintan, tapi detik selanjutnya tawa membahana pun keluar dari mulutnya. "Yessita? Aku? Hahaha..." dia pun kembali tertawa terbahak-bahak. Sudah dua kali Kintan meihat tawa lebar dan lepas Iqbal, dan mau tidak mau Kintan mengakui kalau lelaki ini bahkan masih saja terlihat sangat tampan meskipun ia sedang tertawa seperti itu. Tapi Kintan masih tidak mengerti kenapa Iqbal menertawai ucapannya barusan? ***Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid
Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Mereka semua sibuk mengunyah dan menikmati bekal makanan yang Kintan bawa sambil mengobrol dan bersenda gurau.Setelahnya makan dan berberes-beres, Kintan langsung melanjutkan pekerjaannya melukis mural, sementara Khalil dan Khafi asyik menonton film kartun kesukaan mereka di youtube dari ponsel Kintan.Gea sendiri sibuk memotret diam-diam Kintan yang sedang melukis, kemudian mengeditnya sedikit dan mempostingnya di instagram miliknya.Sedangkan Iqbal baru saja kembali dari membeli minuman untuk mereka semua. Boba milk tea untuk anak-anak, Ice matcha untuk Kintan, dan kopi untuknya. Khalil dan Khafi sangat antusias dan berterima kasih dengan heboh pada Iqbal saat mereka menerima minuman kesukaannya."Minum dulu, Kintan," ucap Iqbal sambil menyodorkan gelas hitam pada Kintan, yang disambut dengan ceria oleh wanita itu."Terima kasih ya. Kamu nggak perlu repot-repot beliin," tukas Kintan sambil tersenyum."Nggak masalah. Terima kasih juga sudah capek-capek bikin bekal makan siang yang
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut
Iqbal dan Rani telah berada di dalam lift menuju ke lobby lantai dasar, dan Rani masih terus menatap Iqbal dengan lekat."Jadi dia ya?" tanya Rani pada Iqbal."Dia siapa?" tanya balik Iqbal tidak mengerti."Si pelukis mural yang ada di insta*gram Gea? Dia itu tetanggamu kan?"Iqbal tidak mengerti apa maksud Rani, karena dia tidak punya satu pun akun medsos. "Mungkin," jawabnya singkat sambil mengedikkan bahu.Rani tertawa sinis. "Kamu suka sama dia?"Iqbal menatap sekilas namun tajam pada wanita di sampingnya. "Bukan urusanmu.""Iqbal!" jerit Rani frustasi, mengagetkan Iqbal dan membuatnya terlonjak. Untung saja di dalam lift itu hanya ada mereka berdua."Apaan sih? Berisik banget!" sentak Iqbal jengkel."Bisa nggak, jangan irit-irit kalau kasih jawaban?! Aku kan cuma mau ngobrol santai dengan kamu, apa sulitnya sih?" Rani menghentakkan kakinya dengan kesal."Ya sudah. Ngobrol," sahut Iqbal tidak peduli."Aku kangen kamu, tahu!" Guman Rani manja.“Aku nggak.” "Iqbal!" Rani kembali be
Yessi bermaksud untuk menginap di apartemen Kintan selama dua hari, dari hari Minggu sampai hari Senin. Tadinya Yessi berkeinginan tinggal sampai Rabu saja sesuai dengan permintaan Iqbal, namun masalahnya hari Senin malam orang tua Kintan akan datang berkunjung dan menginap, sehingga Yessi pun memutuskan untuk pulang saja.Kintan sedikit bernapas lega karena Khalil dan Khafi juga terlihat gembira dengan kehadiran opa dan omanya yang sering mengajak jalan-jalan dan bermain, sehingga Khafi tidak rewel lagi.Karena Khafi yang selalu dekat dengan opanya, membuat Kintan sekarang memiliki kesempatan lebih untuk memperhatikan Khalil, anak sulungnya,Kintan masih teringat saat Khalil mengira Iqbal adalah Kemal dalam tidurnya, dan memeluknya erat serta mengatakan kangen pada papanya.Padahal selama ini Khalil tidak pernah terlihat sedih atau murung memikirkan papanya, namun jauh di dalam hatinya, anak sulung Kintan itu ternyata menyimpan rasa luka yang begitu dalam.Kintan tidak dapat berbuat
"Aku membutuhkanmu. Menginginkanmu. Jadilah milikku, Kintan Larasati."Iqbal masih memeluk erat Kintan tanpa melepaskannya, seakan ia takut wanita itu akan pergi dan menghilang selamanya dari pandangannya.Kintan pun diam, otaknya seketika kosong dan maniknya masih membelalak kaget atas ucapan Iqbal barusan. Iqbal telah menyebut nama panjangnya--mungkin ia mengetahuinya dari Yessi--dan meminta Kintan menjadi istrinya?Apa dia sedang melamarku?? Benarkah??Kintan membuka mulutnya. "Iqbal..." dan ucapan Kintan pun terputus, karena ia bingung harus berkata apa.Setelah beberapa lama, Iqbal pun akhirnya melepaskan dekapannya dan menatap mata Kintan dalam-dalam, seakan berusaha untuk mencari jawaban Kintan di situ."Iqbal, ini... terlalu terburu-buru. Kita bahkan baru kenal beberapa minggu! Apa yang membuatmu yakin untuk melamarku?" Kintan akhirnya bisa mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat sebelumnya tenggorokannya seperti tercekat."Aku sangat yakin," ucap Iqbal sambil memegang er
"Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s
Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam
Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah
Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs
Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram
'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang
Ibram terdiam, namun tubuhnya tetap saja memunggungi Katya. 'Hahh... gadis ini benar-benar keras kepala! Sepertinya dia hanya ingin menggangguku saja.''Meskipun... yah, tidak bisa disalahkan juga karena diriku yang dulu sangat bodoh karena telah memberikan harapan pada gadis ini.' Seketika ada setitik rasa kasihan terbit di dada Ibram saat mengingat ekspresi wajahnya pada acara pertunangan melalui Youtube tadi. Pantas saja gadis ini salah paham, karena Ibram memang bersikap seakan benar-benar mencintainya! 'Apa itu benar? Apa aku pernah mencintainya? AKU?? IBRAM MAHESA??' Perlahan Ibram pun membalikkan badannya menatap Katya. "Apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" cetus Ibram. "Tidak akan ikut campur urusanku, tidak mengharapkan apa pun dariku, dan hanya merawatku hingga sembuh lalu pergi dari hadapanku?" Ibram mengulang ucapan Katya tadi. Katya mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat yakin dengan semua ucapanku, Ibram." Hmm... menarik. "Baiklah. Kau boleh melakukannya. Tapi
Katya menangis dalam kesendirian di teras rumah sakit yang sepi. Ia ingin sekali menjerit kuat-kuat, memuntahkan segala kesedihan yang terus menimpanya bertubi-tubi. Setelah ayahnya, Sienna, dan sekarang Ibram pun juga telah meninggalkannya. Bukan meninggalkan secara harfiah karena tubuhnya masih berada di dunia fana ini, hanya saja ingatannya pada Katya yang telah pergi. Ibram mengalami amnesia retrograde karena cedera akibat benturan keras di kepalanya, dan ingatannya hanya sampai saat ia kuliah di Amerika bersama David... Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Bahkan saat ia diberitahu bahwa Gamal, kakaknya yang telah meninggal, Ibram pun sangat terkejut dan masih tidak percaya. Lalu ketika Katya mengatakan bahwa mereka telah bertunangan, Ibram hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Seketika itu juga Katya mengerti, bahwa lelaki itu telah hilang. Lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Ibram yang Katya cintai telah pergi, tergantikan oleh Ibram lai
Katya berada di dalam ambulans yang membawa Ibram menuju rumah sakit. Sejak tadi air matanya tidak dapat berhenti mengalir, melihat tubuh kekasihnya yang diam tak bergerak serta darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Wajah dan tubuh Katya telah penuh bersimbah darah, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Ibram selamat. Katya sangat takut kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Ia telah kehilangan ayahnya dan juga adiknya Sienna, dan ia tidak akan sanggup untuk bernafas lagi jika ia juga kehilangan Ibram. Tidak! Lebih baik ia ikut ke alam yang sama dengan mereka, karena di dunia ini sudah tidak akan ada cinta lagi untuknya. Katya segera menelepon Zizi, Toni, dan David dari ponsel Ibram. Namun hanya ponsel David yang sulit dihubungi. Lagipula, ini semua karena David! Karena pesan dari David yang membingungkan itu, membuat Katya terperangkap sebagai umpan untuk menjebak Ibram. Apakah ponsel David telah di hack? Ibram harus segera dioperasi, kare