Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Mereka semua sibuk mengunyah dan menikmati bekal makanan yang Kintan bawa sambil mengobrol dan bersenda gurau.Setelahnya makan dan berberes-beres, Kintan langsung melanjutkan pekerjaannya melukis mural, sementara Khalil dan Khafi asyik menonton film kartun kesukaan mereka di youtube dari ponsel Kintan.Gea sendiri sibuk memotret diam-diam Kintan yang sedang melukis, kemudian mengeditnya sedikit dan mempostingnya di instagram miliknya.Sedangkan Iqbal baru saja kembali dari membeli minuman untuk mereka semua. Boba milk tea untuk anak-anak, Ice matcha untuk Kintan, dan kopi untuknya. Khalil dan Khafi sangat antusias dan berterima kasih dengan heboh pada Iqbal saat mereka menerima minuman kesukaannya."Minum dulu, Kintan," ucap Iqbal sambil menyodorkan gelas hitam pada Kintan, yang disambut dengan ceria oleh wanita itu."Terima kasih ya. Kamu nggak perlu repot-repot beliin," tukas Kintan sambil tersenyum."Nggak masalah. Terima kasih juga sudah capek-capek bikin bekal makan siang yang
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut
Iqbal dan Rani telah berada di dalam lift menuju ke lobby lantai dasar, dan Rani masih terus menatap Iqbal dengan lekat."Jadi dia ya?" tanya Rani pada Iqbal."Dia siapa?" tanya balik Iqbal tidak mengerti."Si pelukis mural yang ada di insta*gram Gea? Dia itu tetanggamu kan?"Iqbal tidak mengerti apa maksud Rani, karena dia tidak punya satu pun akun medsos. "Mungkin," jawabnya singkat sambil mengedikkan bahu.Rani tertawa sinis. "Kamu suka sama dia?"Iqbal menatap sekilas namun tajam pada wanita di sampingnya. "Bukan urusanmu.""Iqbal!" jerit Rani frustasi, mengagetkan Iqbal dan membuatnya terlonjak. Untung saja di dalam lift itu hanya ada mereka berdua."Apaan sih? Berisik banget!" sentak Iqbal jengkel."Bisa nggak, jangan irit-irit kalau kasih jawaban?! Aku kan cuma mau ngobrol santai dengan kamu, apa sulitnya sih?" Rani menghentakkan kakinya dengan kesal."Ya sudah. Ngobrol," sahut Iqbal tidak peduli."Aku kangen kamu, tahu!" Guman Rani manja.“Aku nggak.” "Iqbal!" Rani kembali be
Yessi bermaksud untuk menginap di apartemen Kintan selama dua hari, dari hari Minggu sampai hari Senin. Tadinya Yessi berkeinginan tinggal sampai Rabu saja sesuai dengan permintaan Iqbal, namun masalahnya hari Senin malam orang tua Kintan akan datang berkunjung dan menginap, sehingga Yessi pun memutuskan untuk pulang saja.Kintan sedikit bernapas lega karena Khalil dan Khafi juga terlihat gembira dengan kehadiran opa dan omanya yang sering mengajak jalan-jalan dan bermain, sehingga Khafi tidak rewel lagi.Karena Khafi yang selalu dekat dengan opanya, membuat Kintan sekarang memiliki kesempatan lebih untuk memperhatikan Khalil, anak sulungnya,Kintan masih teringat saat Khalil mengira Iqbal adalah Kemal dalam tidurnya, dan memeluknya erat serta mengatakan kangen pada papanya.Padahal selama ini Khalil tidak pernah terlihat sedih atau murung memikirkan papanya, namun jauh di dalam hatinya, anak sulung Kintan itu ternyata menyimpan rasa luka yang begitu dalam.Kintan tidak dapat berbuat
"Aku membutuhkanmu. Menginginkanmu. Jadilah milikku, Kintan Larasati."Iqbal masih memeluk erat Kintan tanpa melepaskannya, seakan ia takut wanita itu akan pergi dan menghilang selamanya dari pandangannya.Kintan pun diam, otaknya seketika kosong dan maniknya masih membelalak kaget atas ucapan Iqbal barusan. Iqbal telah menyebut nama panjangnya--mungkin ia mengetahuinya dari Yessi--dan meminta Kintan menjadi istrinya?Apa dia sedang melamarku?? Benarkah??Kintan membuka mulutnya. "Iqbal..." dan ucapan Kintan pun terputus, karena ia bingung harus berkata apa.Setelah beberapa lama, Iqbal pun akhirnya melepaskan dekapannya dan menatap mata Kintan dalam-dalam, seakan berusaha untuk mencari jawaban Kintan di situ."Iqbal, ini... terlalu terburu-buru. Kita bahkan baru kenal beberapa minggu! Apa yang membuatmu yakin untuk melamarku?" Kintan akhirnya bisa mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat sebelumnya tenggorokannya seperti tercekat."Aku sangat yakin," ucap Iqbal sambil memegang er
19. DendamKintan semakin terhanyut pada permainan panas yang sengaja diciptakan Iqbal untuk memompa hasratnya. Sentuhan demi sentuhan, kecupan demi kecupan dilakukan lelaki itu terus-menerus tanpa jeda, seakan ingin menghukum Kintan yang telah menolak kehadiran Iqbal dalam hidupnya.Iqbal memang bertekad untuk balas dendam. Ia akan terus memancing gairah Kintan hingga hampir meledak, kemudian akan ia tinggalkan begitu saja saat wanita itu sudah panas dan mulai terbakar."Iqbal.." Kintan menatap sayu pada kepala Iqbal yang masih sibuk melahap tubuhnya.Iqbal tidak menghiraukan panggilan Kintan dan terus bergerak ke bawah tubuh wanita itu, membuat Kintan menggigil membayangkan apa saja yang akan dilakukan lelaki itu dengan mulutnya.Hingga akhirnya wanita itu pun menjerit. Iqbal telah sampai pada bagian bawah tubuhya, dan pria itu pun melumat kelembutan Kintan dengan ganas serta tanpa ampun dari balik celana panjangnya. Tanpa sadar Kintan pun menarik kuat rambut Iqbal karena terbaw
"Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s
Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam
Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah
Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs
Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram
'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang
Ibram terdiam, namun tubuhnya tetap saja memunggungi Katya. 'Hahh... gadis ini benar-benar keras kepala! Sepertinya dia hanya ingin menggangguku saja.''Meskipun... yah, tidak bisa disalahkan juga karena diriku yang dulu sangat bodoh karena telah memberikan harapan pada gadis ini.' Seketika ada setitik rasa kasihan terbit di dada Ibram saat mengingat ekspresi wajahnya pada acara pertunangan melalui Youtube tadi. Pantas saja gadis ini salah paham, karena Ibram memang bersikap seakan benar-benar mencintainya! 'Apa itu benar? Apa aku pernah mencintainya? AKU?? IBRAM MAHESA??' Perlahan Ibram pun membalikkan badannya menatap Katya. "Apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" cetus Ibram. "Tidak akan ikut campur urusanku, tidak mengharapkan apa pun dariku, dan hanya merawatku hingga sembuh lalu pergi dari hadapanku?" Ibram mengulang ucapan Katya tadi. Katya mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat yakin dengan semua ucapanku, Ibram." Hmm... menarik. "Baiklah. Kau boleh melakukannya. Tapi
Katya menangis dalam kesendirian di teras rumah sakit yang sepi. Ia ingin sekali menjerit kuat-kuat, memuntahkan segala kesedihan yang terus menimpanya bertubi-tubi. Setelah ayahnya, Sienna, dan sekarang Ibram pun juga telah meninggalkannya. Bukan meninggalkan secara harfiah karena tubuhnya masih berada di dunia fana ini, hanya saja ingatannya pada Katya yang telah pergi. Ibram mengalami amnesia retrograde karena cedera akibat benturan keras di kepalanya, dan ingatannya hanya sampai saat ia kuliah di Amerika bersama David... Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Bahkan saat ia diberitahu bahwa Gamal, kakaknya yang telah meninggal, Ibram pun sangat terkejut dan masih tidak percaya. Lalu ketika Katya mengatakan bahwa mereka telah bertunangan, Ibram hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Seketika itu juga Katya mengerti, bahwa lelaki itu telah hilang. Lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Ibram yang Katya cintai telah pergi, tergantikan oleh Ibram lai
Katya berada di dalam ambulans yang membawa Ibram menuju rumah sakit. Sejak tadi air matanya tidak dapat berhenti mengalir, melihat tubuh kekasihnya yang diam tak bergerak serta darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Wajah dan tubuh Katya telah penuh bersimbah darah, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Ibram selamat. Katya sangat takut kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Ia telah kehilangan ayahnya dan juga adiknya Sienna, dan ia tidak akan sanggup untuk bernafas lagi jika ia juga kehilangan Ibram. Tidak! Lebih baik ia ikut ke alam yang sama dengan mereka, karena di dunia ini sudah tidak akan ada cinta lagi untuknya. Katya segera menelepon Zizi, Toni, dan David dari ponsel Ibram. Namun hanya ponsel David yang sulit dihubungi. Lagipula, ini semua karena David! Karena pesan dari David yang membingungkan itu, membuat Katya terperangkap sebagai umpan untuk menjebak Ibram. Apakah ponsel David telah di hack? Ibram harus segera dioperasi, kare