"Aku membutuhkanmu. Menginginkanmu. Jadilah milikku, Kintan Larasati."Iqbal masih memeluk erat Kintan tanpa melepaskannya, seakan ia takut wanita itu akan pergi dan menghilang selamanya dari pandangannya.Kintan pun diam, otaknya seketika kosong dan maniknya masih membelalak kaget atas ucapan Iqbal barusan. Iqbal telah menyebut nama panjangnya--mungkin ia mengetahuinya dari Yessi--dan meminta Kintan menjadi istrinya?Apa dia sedang melamarku?? Benarkah??Kintan membuka mulutnya. "Iqbal..." dan ucapan Kintan pun terputus, karena ia bingung harus berkata apa.Setelah beberapa lama, Iqbal pun akhirnya melepaskan dekapannya dan menatap mata Kintan dalam-dalam, seakan berusaha untuk mencari jawaban Kintan di situ."Iqbal, ini... terlalu terburu-buru. Kita bahkan baru kenal beberapa minggu! Apa yang membuatmu yakin untuk melamarku?" Kintan akhirnya bisa mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat sebelumnya tenggorokannya seperti tercekat."Aku sangat yakin," ucap Iqbal sambil memegang er
19. DendamKintan semakin terhanyut pada permainan panas yang sengaja diciptakan Iqbal untuk memompa hasratnya. Sentuhan demi sentuhan, kecupan demi kecupan dilakukan lelaki itu terus-menerus tanpa jeda, seakan ingin menghukum Kintan yang telah menolak kehadiran Iqbal dalam hidupnya.Iqbal memang bertekad untuk balas dendam. Ia akan terus memancing gairah Kintan hingga hampir meledak, kemudian akan ia tinggalkan begitu saja saat wanita itu sudah panas dan mulai terbakar."Iqbal.." Kintan menatap sayu pada kepala Iqbal yang masih sibuk melahap tubuhnya.Iqbal tidak menghiraukan panggilan Kintan dan terus bergerak ke bawah tubuh wanita itu, membuat Kintan menggigil membayangkan apa saja yang akan dilakukan lelaki itu dengan mulutnya.Hingga akhirnya wanita itu pun menjerit. Iqbal telah sampai pada bagian bawah tubuhya, dan pria itu pun melumat kelembutan Kintan dengan ganas serta tanpa ampun dari balik celana panjangnya. Tanpa sadar Kintan pun menarik kuat rambut Iqbal karena terbaw
"Gea suka sama mama Kintan, pa. Orangnya baik, lembut dan jago masak. Gea juga sudah menganggapnya... seperti mama kedua."Iqbal pun hanya terdiam mendengar perkataan Gea. Sebenarnya ia sangat sedih mendengarnya. Di usia 11 tahun, Gea memang sudah tidak tinggal lagi dengan ibu kandungnya sendiri, Rani. Mungkin itu yang menyebabkan Gea menyukai Kintan yang keibuan, karena ia memang butuh sosok seorang ibu di sisinya."Terus, apa Kintan nggak keberatan kamu memanggilnya seperti itu?""Sama sekali nggak keberatan kok. Mama Kintan kan baik hati," kilah Gea. "Tapi Papa nggak marah kan?" tanya Gea lagi.Iqbal kembali terdiam. Apakah ia harus marah? Tidak. Hanya saja, itu terasa tidak benar. "Gea, Kintan itu hanya tetangga kita. Sebaiknya kamu tidak memanggilnya mama. Coba kamu pikirkan bagaimana perasaan mamamu Rani jika ia sampai tahu. Dia pasti sedih."Gea tercenung sesaat. "Jadi, menurut papa sebaiknya Gea kembali memanggil Tante Kintan saja ya?"Iqbal mengangguk. "Lebih baik begitu,"
21. Kesepakatan "Tidak. Jangan pergi, Kintan. Tetaplah di sini." Iqbal menatap Kintan dalam-dalam, seakan mampu menembus isi kepalanya. Kintan pun terpaku. Pada binar indah dengan bola mata coklat itu, serta suara lembut yang penuh dengan permohonan itu. Seketika hatinya terasa perih kembali. Wanita itu pun menunduk, tak sanggup untuk terus bersitatap dengan pemilik mata terindah yang pernah ia lihat. Iqbal mengulurkan tangannya untuk memegang dagu Kintan, lalu mengangkatnya agar mereka bisa saling menatap kembali. "Jangan pindah. Please..." ucapnya lagi. Tiba-tiba Kintan merasakan gelitik rasa panas yang tidak biasa di dagunya, yang sedang didekap Iqbal dengan tangannya. Ia pun mengernyit bingung. Dengan sedikit ragu, Kintan mengulurkan dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Iqbal. Panas. Sangat Panas. "Iqbal, kamu demam?!" Kintan bertanya kaget. "Dahimu panas sekali!" Iqbal melepaskan tangannya dari dagu Kintan untuk memegang dahinya sendiri. "Hm... mungkin. Aku me
Kintan terdiam sebentar. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Mbok Yani kan selalu bangun jam lima subuh dan buang sampah ke tempat pembuangan di lantai bawah kira-kira jam setengah enam. Jadi ia bisa mencegat wanita itu saat keluar apartemen. Tapi... yakin, mau bermalam di sini? Di apartemen Iqbal? Hanya berdua saja?? Yakin?? Ah, tapi kan ia tidur di kamar Gea... Jadi, tidak apa-apa kan? "Hmm... oke. Tapi janji ya, NO TOUCHING. Dan jangan pernah masuk ke kamar Gea," ucap Kintan tegas. Iqbal mengangguk. "Iya, aku tahu. Ya sudah, sekarang istirahatlah. Sudah hampir jam 1 malam juga nih. Selamat tidur, Kintan," ucap Iqbal pada Kintan sambil tersenyum. DEG. Eehm... disenyumin oleh makhluk rupawan dan diucapkan 'Selamat Tidur' itu ternyata tidak baik untuk kesehatan jantung, sist... percaya deh. Nih si Kintan buktinya. Sekarang ia malah berdebar parah dan kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan Iqbal. Untung saja lelaki itu tidak menghiraukannya, dan langsung ma
Iqbal pun sontak menelan ludah, saat Gea mengatakan bahwa anak itu tetap di sini dan berangkat ke sekolah dengannya. APAA??!!! Tidak, tidak. Gea tidak boleh berangkat dengannya!! Kintan bagaimana? Bisa-bisa nanti Gea sadar kalau saat ini ada Kintan di dalam kamarnya! "Gea... sepertinya hari ini Papa nggak ke kantor dulu karena masih belum sehat. Tadi malam Papa demam. Kamu berangkat dengan Mamamu saja ya?" pinta Iqbal akhirnya setelah mencari akal. Gea pun seketika terkejut mendengar penuturan Iqbal. "Papa demam??" lalu ia melangkah cepat mendekati Iqbal dan menempelkan punggung tangannya di kening Papanya. "Eh iya nih, Papa masih anget gitu badannya!" seru Gea khawatir. "Udah minum obat belum?" Iqbal mengangguk seraya tersenyum hangat merasakan perhatian tulus putrinya. "Udah kok, sudah jauh lebih mendingan juga sekarang. Cuma rasanya Papa mau istirahat saja hari ini. Kamu nggak apa-apa kan, kalau Papa nggak bisa antar ke sekolah?" "Iya, nggak apa-apa." Gea lalu mengalihka
Iqbal menghembuskan napas lega saat ia menutup pintu. Akhirnya Gea dan Rani pergi juga!Tapi hatinya jadi tidak tenang mendengar bisikan Gea padanya tadi. Apa Gea tahu kalau Kintan… menginap di sini?Kacau.Iqbal mengacak-acak rambutnya dengan perasaan kalut. Orang tua macam apa dirinya, memberikan contoh yang buruk untuk anak gadisnya yang sedang beranjak dewasa itu!Iqbal berjalan menuju kamarnya, dan merasa bersalah pada Kintan karena sekarang mood nya sudah hilang untuk meneruskan aktivitas panas mereka tadi. Apa yang harus ia katakan pada wanita itu?Saat Iqbal membuka pintu kamarnya, ia pun seketika terkejut karena tidak melihat Kintan di ranjangnya. Dimana dia?"Kintan?" Iqbal pun masuk ke dalam kamarnya dan memanggil Kintan.Wanita itu keluar dari kamar mandi dan tersenyum pada Iqbal. Rambutnya yang sebelumnya digelung ke atas, sudah tergerai ke bawah, mungkin untuk menutupi jejak kecupan Iqbal. Piyama yang tadi kancing-kancingnya dibuka oleh Iqbal, sekarang sudah tertutup r
"Ma, sore ini Jayden ulang tahun dan katanya mau dirayakan di rumahnya. Aku kepengen datang Ma, boleh ya?" pinta Khalil, anak sulung Kintan sambil mengunyah sandwich tunanya. Jayden adalah teman sekelasnya di sekolah.Mereka semua sedang berkumpul untuk sarapan bersama di meja makan. Khalil sudah rapi memakai seragam sekolahnya, sementara Khafi masih tertidur pulas. Mungkin dia kelelahan kemarin setelah bermain dengan kakaknya.Kintan memasak sandwich tuna, milkshake coklat untuk Khalil dan Khafi, serta orange juice untuknya. "Rumahnya di mana?" tanya Kintan pada putra sulungnya itu."Katanya Jayden, nanti akan di share lokasinya ke Mama," sahut Khalil lagi. "Boleh kan Ma?"Kintan mengangguk ragu. "Ya, nanti Mama anterin ke rumah Jayden. Tapi sore ini Mama ada pekerjaan di panti asuhan. Khalil nggak apa-apa kan, kalau Mama tinggal sendiri di rumah Jayden? Mama nggak bisa ikut menemani di sana."Khalil mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Kan Khalil nggak sendirian, ada Jayden dan teman
"Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s
Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam
Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah
Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs
Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram
'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang
Ibram terdiam, namun tubuhnya tetap saja memunggungi Katya. 'Hahh... gadis ini benar-benar keras kepala! Sepertinya dia hanya ingin menggangguku saja.''Meskipun... yah, tidak bisa disalahkan juga karena diriku yang dulu sangat bodoh karena telah memberikan harapan pada gadis ini.' Seketika ada setitik rasa kasihan terbit di dada Ibram saat mengingat ekspresi wajahnya pada acara pertunangan melalui Youtube tadi. Pantas saja gadis ini salah paham, karena Ibram memang bersikap seakan benar-benar mencintainya! 'Apa itu benar? Apa aku pernah mencintainya? AKU?? IBRAM MAHESA??' Perlahan Ibram pun membalikkan badannya menatap Katya. "Apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" cetus Ibram. "Tidak akan ikut campur urusanku, tidak mengharapkan apa pun dariku, dan hanya merawatku hingga sembuh lalu pergi dari hadapanku?" Ibram mengulang ucapan Katya tadi. Katya mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat yakin dengan semua ucapanku, Ibram." Hmm... menarik. "Baiklah. Kau boleh melakukannya. Tapi
Katya menangis dalam kesendirian di teras rumah sakit yang sepi. Ia ingin sekali menjerit kuat-kuat, memuntahkan segala kesedihan yang terus menimpanya bertubi-tubi. Setelah ayahnya, Sienna, dan sekarang Ibram pun juga telah meninggalkannya. Bukan meninggalkan secara harfiah karena tubuhnya masih berada di dunia fana ini, hanya saja ingatannya pada Katya yang telah pergi. Ibram mengalami amnesia retrograde karena cedera akibat benturan keras di kepalanya, dan ingatannya hanya sampai saat ia kuliah di Amerika bersama David... Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Bahkan saat ia diberitahu bahwa Gamal, kakaknya yang telah meninggal, Ibram pun sangat terkejut dan masih tidak percaya. Lalu ketika Katya mengatakan bahwa mereka telah bertunangan, Ibram hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Seketika itu juga Katya mengerti, bahwa lelaki itu telah hilang. Lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Ibram yang Katya cintai telah pergi, tergantikan oleh Ibram lai
Katya berada di dalam ambulans yang membawa Ibram menuju rumah sakit. Sejak tadi air matanya tidak dapat berhenti mengalir, melihat tubuh kekasihnya yang diam tak bergerak serta darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Wajah dan tubuh Katya telah penuh bersimbah darah, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Ibram selamat. Katya sangat takut kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Ia telah kehilangan ayahnya dan juga adiknya Sienna, dan ia tidak akan sanggup untuk bernafas lagi jika ia juga kehilangan Ibram. Tidak! Lebih baik ia ikut ke alam yang sama dengan mereka, karena di dunia ini sudah tidak akan ada cinta lagi untuknya. Katya segera menelepon Zizi, Toni, dan David dari ponsel Ibram. Namun hanya ponsel David yang sulit dihubungi. Lagipula, ini semua karena David! Karena pesan dari David yang membingungkan itu, membuat Katya terperangkap sebagai umpan untuk menjebak Ibram. Apakah ponsel David telah di hack? Ibram harus segera dioperasi, kare