Yeaay, boom 4 bab hari ini! yuk lemparkan gems atau ulasan bintang 5 biar aku makin semangat 🥰❤️
Kintan terdiam sebentar. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Mbok Yani kan selalu bangun jam lima subuh dan buang sampah ke tempat pembuangan di lantai bawah kira-kira jam setengah enam. Jadi ia bisa mencegat wanita itu saat keluar apartemen. Tapi... yakin, mau bermalam di sini? Di apartemen Iqbal? Hanya berdua saja?? Yakin?? Ah, tapi kan ia tidur di kamar Gea... Jadi, tidak apa-apa kan? "Hmm... oke. Tapi janji ya, NO TOUCHING. Dan jangan pernah masuk ke kamar Gea," ucap Kintan tegas. Iqbal mengangguk. "Iya, aku tahu. Ya sudah, sekarang istirahatlah. Sudah hampir jam 1 malam juga nih. Selamat tidur, Kintan," ucap Iqbal pada Kintan sambil tersenyum. DEG. Eehm... disenyumin oleh makhluk rupawan dan diucapkan 'Selamat Tidur' itu ternyata tidak baik untuk kesehatan jantung, sist... percaya deh. Nih si Kintan buktinya. Sekarang ia malah berdebar parah dan kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan Iqbal. Untung saja lelaki itu tidak menghiraukannya, dan langsung ma
Iqbal pun sontak menelan ludah, saat Gea mengatakan bahwa anak itu tetap di sini dan berangkat ke sekolah dengannya. APAA??!!! Tidak, tidak. Gea tidak boleh berangkat dengannya!! Kintan bagaimana? Bisa-bisa nanti Gea sadar kalau saat ini ada Kintan di dalam kamarnya! "Gea... sepertinya hari ini Papa nggak ke kantor dulu karena masih belum sehat. Tadi malam Papa demam. Kamu berangkat dengan Mamamu saja ya?" pinta Iqbal akhirnya setelah mencari akal. Gea pun seketika terkejut mendengar penuturan Iqbal. "Papa demam??" lalu ia melangkah cepat mendekati Iqbal dan menempelkan punggung tangannya di kening Papanya. "Eh iya nih, Papa masih anget gitu badannya!" seru Gea khawatir. "Udah minum obat belum?" Iqbal mengangguk seraya tersenyum hangat merasakan perhatian tulus putrinya. "Udah kok, sudah jauh lebih mendingan juga sekarang. Cuma rasanya Papa mau istirahat saja hari ini. Kamu nggak apa-apa kan, kalau Papa nggak bisa antar ke sekolah?" "Iya, nggak apa-apa." Gea lalu mengalihka
Kintan menengadah menatap gedung apartemen yang berada di depannya. Cuaca yang cukup terik siang ini, membuat wanita itu menyipitkan mata dan menangkup satu tangan di atas kepala, untuk menghalau sinar matahari yang menyilaukan mata.“Halo, tempat tinggal yang baru! Be nice with us, okay?” Gumannya sembari menyunggingkan senyum. Sambil menghela napas pelan, wanita itu pun berjalan dengan penuh semangat memasuki gedung 23 lantai itu.Kintan memiliki alasan tersendiri saat pindah dari rumah yang selama ini ia tingggali selama bertahun-tahun ke gedung apartemen ini, yaitu agar tidak terganggu dengan tetangga-tetangganya yang mendadak berubah rese dan julid. Terutama, sejak status dirinya yang tiba-tiba menjanda, karena kematian suaminya 6 bulan yang lalu.Ck. Memangnya kenapa sih dengan status janda?? Nggak ngerti deh dengan pemikiran picik mereka, yang seolah alergi dengannya dan merasa kalau Kintan adalah sebuah ancaman bagi suami-suami mereka.Padahal Kintan pun sama sekali tidak
"Khal, berenang yuk!" ajak Kintan pada si sulung yang bernama Khalil, yang sedari tadi cuma cemberut menatap ke arah jendela kaca di kamarnya. Jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota di siang hari.Khalil merasa kesal karena harus pindah, karena ia pun menjadi kesepian karena tidak memiliki banyak teman bermain seperti di rumah yang dulu."Kakaaaakk... ayoooo kita belenaaang!!" ajak Kahfi, adiknya yang masih berusia 3 tahun dengan suara cemprengnya yang bikin telinga sakit. "Kakaaakkk dengel gak siiih? Ayooo kitaa lenaaang!"Khalil mendengus kesal. "Iyaaa iyaaa... berisik ah! Tunggu deh, aku ganti baju renang dulu." Lalu anak laki-laki itu pun mengambil baju renang yang sudah disiapkan oleh Kintan di atas tempat tidurnya.Ketika Khalil masuk ke kamar mandi untuk ganti baju, Kintan dan Kahfi langsung melakukan tos berdua."Berhasil!" bisik Kintan sambil tersenyum senang pada anak bungsunya.Kahfi pun nyengir. Mereka memang sengaja membuat Khalil nggak tahan mendengar suara
"Kok sudah pulang?" tegur Iqbal pada Gea, yang tampak baru saja masuk apartemen tak begitu lama darinya.Gea menghempaskan tubuhnya di atas sofa di samping papanya. “Tante Kintan yang meminta aku pulang. Katanya orang tua yang setelah lelah bekerja, ketika pulang perasaan lelah itu akan sirna saat melihat wajah anaknya yang tersenyum menyambut,” ucap Gea sambil menatap papanya."Ck. Tante Kintan bikin aku baper aja!" Gea mencebik sambil memeluk Iqbal manja. “Pa.” “Hm?”"Menurut papa, Tante Kintan cantik kan?""Kamu yang cantik," elak Iqbal sambil mencubit gemas pipi putrinya. "Jangan mulai deh, Ge!" Dengusnya, yang tahu kalau anaknya ini pasti berniat menjodohkan dirinya dengan Kintan.Gea pun nyengir lebar karena taktiknya ketahuan. "Pa, aku boleh main ke rumah Tante Kintan ya, kalau papa sedang bekerja? Aku seneng banget bisa bermain dengan Khalil dan Khafi. Rasanya seperti punya adik sendiri."Iqbal menatap putrinya sambil membelai rambut Gea. Ia tahu Gea kesepian sendirian di ap
Kintan senang sekali, karena sedikit lagi lukisan bunga lili kamar Gea akan selesai lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya. Sebelum jam 5 sore juga sepertinya bisa selesai nih, jadi sepertinya dia nggak perlu balik lagi ke apartemen ini. Yah, mudah-mudahan saja Gea suka dengan hasilnya nanti. Saking senangnya, dia pun menari sesuka hati mengikuti irama musik yang menghentak. Sesekali ia mengangkat kedua tangannya yang memegang kuas ke atas, menggoyangkan pinggul dan kepalanya dengan gaya yang seksi. Kintan masih terus saja menggerakkan seluruh tubuhnya, merasa menjadi diri sendiri dan melupakan segalanya untuk saat ini. Hanya menari, mengikuti alunan musik yang dinamis. Tapi… ada yang aneh. Sekilas, ia seperti melihat bayangan seseorang yang tinggi berdiri di depan pintu kamar Gea. Seketika ia pun menoleh, dan terkesiap saat melihat Pak Iqbal yang berdiri diam di sana, menatapnya dengan raut datar dan sukar terbaca. "Aaaaaaaaa!!!" Kintan pun berteriak kaget. ‘
Saat ini Iqbal menunggu di dalam mobilnya terparkir di dekat lobby apartemen. Matanya awas menatap orang-orang yang berseliweran di sekitar, mencari-cari keberadaan Kintan di antara mereka.‘Itu dia!’Iqbal melihat Kintan yang baru saja keluar dari pintu lobby, dan wanita itu tampak berdiri seperti sedang menunggu seseorang.Iqbal pun mendesah lega. Syukurlah Kintan belum dijemput. Rencana pria itu untuk mengikutinya diam-diam malam ini pun tampaknya bisa berjalan lancar.Penampilan Kintan yang terlihat sangat cantik, sepertinya menarik perhatian beberapa pria yang berjalan melewatinya. Tatapan kagum dan siulan pelan para lelaki itu tak pelak membuat Iqbal geram dan ingin turun dari mobilnya, namun untung sebuah mobil silver tiba-tiba datang dan berhenti tepat di tempat Kintan berdiri. Naluri kompetisi seorang lelaki pun mendadak muncul, saat Iqbal melihat jenis mobil yang menjemput Kintan dan serta merta mencemoohnya. “Ck. Ternyata tipe mobilnya masih jauh di bawah mobilku. Haha.
“Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!” protes Kintan kaget dengan pipi yang telah cerah merona, tak pelak membuat Iqbal mengamati wanita itu dengan ekspresi tertarik. ‘Hei, apa wanita ini malu? Hm, lucu juga ekspresinya...’ Iqbal menahan senyumnya melihat rona di wajah Kintan yang semakin tampak benderang, mungkin juga karena Iqbal yang semakin mempererat dekapannya. Kalau sudah begini, Kintan malah tidak terlihat seperti wanita yang sudah pernah menikah, tapi seperti gadis muda polos yang masih perawan. “Lebih cepat dengan cara yang seperti ini. Lagian nggak ada yang lihat kok, jadi santai saja,” sahut Iqbal kalem. Kintan pun menggeleng lemah. "Ta-tapi..." "Tutup mata saja kalau malu," tukas Iqbal dengan nada perintah yang tidak mau dibantah. Kintan mendelik kesal mendengar saran nggak nyambung yang di luar prediksi BMKG itu. Apa hubungannya malu dengan tutup mata coba?! Tapi kemudian tak pelak Kintan pun malah benar-benar menutup kedua matanya, ketika merasakan ke
Iqbal pun sontak menelan ludah, saat Gea mengatakan bahwa anak itu tetap di sini dan berangkat ke sekolah dengannya. APAA??!!! Tidak, tidak. Gea tidak boleh berangkat dengannya!! Kintan bagaimana? Bisa-bisa nanti Gea sadar kalau saat ini ada Kintan di dalam kamarnya! "Gea... sepertinya hari ini Papa nggak ke kantor dulu karena masih belum sehat. Tadi malam Papa demam. Kamu berangkat dengan Mamamu saja ya?" pinta Iqbal akhirnya setelah mencari akal. Gea pun seketika terkejut mendengar penuturan Iqbal. "Papa demam??" lalu ia melangkah cepat mendekati Iqbal dan menempelkan punggung tangannya di kening Papanya. "Eh iya nih, Papa masih anget gitu badannya!" seru Gea khawatir. "Udah minum obat belum?" Iqbal mengangguk seraya tersenyum hangat merasakan perhatian tulus putrinya. "Udah kok, sudah jauh lebih mendingan juga sekarang. Cuma rasanya Papa mau istirahat saja hari ini. Kamu nggak apa-apa kan, kalau Papa nggak bisa antar ke sekolah?" "Iya, nggak apa-apa." Gea lalu mengalihka
Kintan terdiam sebentar. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Mbok Yani kan selalu bangun jam lima subuh dan buang sampah ke tempat pembuangan di lantai bawah kira-kira jam setengah enam. Jadi ia bisa mencegat wanita itu saat keluar apartemen. Tapi... yakin, mau bermalam di sini? Di apartemen Iqbal? Hanya berdua saja?? Yakin?? Ah, tapi kan ia tidur di kamar Gea... Jadi, tidak apa-apa kan? "Hmm... oke. Tapi janji ya, NO TOUCHING. Dan jangan pernah masuk ke kamar Gea," ucap Kintan tegas. Iqbal mengangguk. "Iya, aku tahu. Ya sudah, sekarang istirahatlah. Sudah hampir jam 1 malam juga nih. Selamat tidur, Kintan," ucap Iqbal pada Kintan sambil tersenyum. DEG. Eehm... disenyumin oleh makhluk rupawan dan diucapkan 'Selamat Tidur' itu ternyata tidak baik untuk kesehatan jantung, sist... percaya deh. Nih si Kintan buktinya. Sekarang ia malah berdebar parah dan kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan Iqbal. Untung saja lelaki itu tidak menghiraukannya, dan langsung ma
21. Kesepakatan "Tidak. Jangan pergi, Kintan. Tetaplah di sini." Iqbal menatap Kintan dalam-dalam, seakan mampu menembus isi kepalanya. Kintan pun terpaku. Pada binar indah dengan bola mata coklat itu, serta suara lembut yang penuh dengan permohonan itu. Seketika hatinya terasa perih kembali. Wanita itu pun menunduk, tak sanggup untuk terus bersitatap dengan pemilik mata terindah yang pernah ia lihat. Iqbal mengulurkan tangannya untuk memegang dagu Kintan, lalu mengangkatnya agar mereka bisa saling menatap kembali. "Jangan pindah. Please..." ucapnya lagi. Tiba-tiba Kintan merasakan gelitik rasa panas yang tidak biasa di dagunya, yang sedang didekap Iqbal dengan tangannya. Ia pun mengernyit bingung. Dengan sedikit ragu, Kintan mengulurkan dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Iqbal. Panas. Sangat Panas. "Iqbal, kamu demam?!" Kintan bertanya kaget. "Dahimu panas sekali!" Iqbal melepaskan tangannya dari dagu Kintan untuk memegang dahinya sendiri. "Hm... mungkin. Aku me
"Gea suka sama mama Kintan, pa. Orangnya baik, lembut dan jago masak. Gea juga sudah menganggapnya... seperti mama kedua."Iqbal pun hanya terdiam mendengar perkataan Gea. Sebenarnya ia sangat sedih mendengarnya. Di usia 11 tahun, Gea memang sudah tidak tinggal lagi dengan ibu kandungnya sendiri, Rani. Mungkin itu yang menyebabkan Gea menyukai Kintan yang keibuan, karena ia memang butuh sosok seorang ibu di sisinya."Terus, apa Kintan nggak keberatan kamu memanggilnya seperti itu?""Sama sekali nggak keberatan kok. Mama Kintan kan baik hati," kilah Gea. "Tapi Papa nggak marah kan?" tanya Gea lagi.Iqbal kembali terdiam. Apakah ia harus marah? Tidak. Hanya saja, itu terasa tidak benar. "Gea, Kintan itu hanya tetangga kita. Sebaiknya kamu tidak memanggilnya mama. Coba kamu pikirkan bagaimana perasaan mamamu Rani jika ia sampai tahu. Dia pasti sedih."Gea tercenung sesaat. "Jadi, menurut papa sebaiknya Gea kembali memanggil Tante Kintan saja ya?"Iqbal mengangguk. "Lebih baik begitu,"
19. DendamKintan semakin terhanyut pada permainan panas yang sengaja diciptakan Iqbal untuk memompa hasratnya. Sentuhan demi sentuhan, kecupan demi kecupan dilakukan lelaki itu terus-menerus tanpa jeda, seakan ingin menghukum Kintan yang telah menolak kehadiran Iqbal dalam hidupnya.Iqbal memang bertekad untuk balas dendam. Ia akan terus memancing gairah Kintan hingga hampir meledak, kemudian akan ia tinggalkan begitu saja saat wanita itu sudah panas dan mulai terbakar."Iqbal.." Kintan menatap sayu pada kepala Iqbal yang masih sibuk melahap tubuhnya.Iqbal tidak menghiraukan panggilan Kintan dan terus bergerak ke bawah tubuh wanita itu, membuat Kintan menggigil membayangkan apa saja yang akan dilakukan lelaki itu dengan mulutnya.Hingga akhirnya wanita itu pun menjerit. Iqbal telah sampai pada bagian bawah tubuhya, dan pria itu pun melumat kelembutan Kintan dengan ganas serta tanpa ampun dari balik celana panjangnya. Tanpa sadar Kintan pun menarik kuat rambut Iqbal karena terbaw
"Aku membutuhkanmu. Menginginkanmu. Jadilah milikku, Kintan Larasati."Iqbal masih memeluk erat Kintan tanpa melepaskannya, seakan ia takut wanita itu akan pergi dan menghilang selamanya dari pandangannya.Kintan pun diam, otaknya seketika kosong dan maniknya masih membelalak kaget atas ucapan Iqbal barusan. Iqbal telah menyebut nama panjangnya--mungkin ia mengetahuinya dari Yessi--dan meminta Kintan menjadi istrinya?Apa dia sedang melamarku?? Benarkah??Kintan membuka mulutnya. "Iqbal..." dan ucapan Kintan pun terputus, karena ia bingung harus berkata apa.Setelah beberapa lama, Iqbal pun akhirnya melepaskan dekapannya dan menatap mata Kintan dalam-dalam, seakan berusaha untuk mencari jawaban Kintan di situ."Iqbal, ini... terlalu terburu-buru. Kita bahkan baru kenal beberapa minggu! Apa yang membuatmu yakin untuk melamarku?" Kintan akhirnya bisa mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat sebelumnya tenggorokannya seperti tercekat."Aku sangat yakin," ucap Iqbal sambil memegang er
Yessi bermaksud untuk menginap di apartemen Kintan selama dua hari, dari hari Minggu sampai hari Senin. Tadinya Yessi berkeinginan tinggal sampai Rabu saja sesuai dengan permintaan Iqbal, namun masalahnya hari Senin malam orang tua Kintan akan datang berkunjung dan menginap, sehingga Yessi pun memutuskan untuk pulang saja.Kintan sedikit bernapas lega karena Khalil dan Khafi juga terlihat gembira dengan kehadiran opa dan omanya yang sering mengajak jalan-jalan dan bermain, sehingga Khafi tidak rewel lagi.Karena Khafi yang selalu dekat dengan opanya, membuat Kintan sekarang memiliki kesempatan lebih untuk memperhatikan Khalil, anak sulungnya,Kintan masih teringat saat Khalil mengira Iqbal adalah Kemal dalam tidurnya, dan memeluknya erat serta mengatakan kangen pada papanya.Padahal selama ini Khalil tidak pernah terlihat sedih atau murung memikirkan papanya, namun jauh di dalam hatinya, anak sulung Kintan itu ternyata menyimpan rasa luka yang begitu dalam.Kintan tidak dapat berbuat
Iqbal dan Rani telah berada di dalam lift menuju ke lobby lantai dasar, dan Rani masih terus menatap Iqbal dengan lekat."Jadi dia ya?" tanya Rani pada Iqbal."Dia siapa?" tanya balik Iqbal tidak mengerti."Si pelukis mural yang ada di insta*gram Gea? Dia itu tetanggamu kan?"Iqbal tidak mengerti apa maksud Rani, karena dia tidak punya satu pun akun medsos. "Mungkin," jawabnya singkat sambil mengedikkan bahu.Rani tertawa sinis. "Kamu suka sama dia?"Iqbal menatap sekilas namun tajam pada wanita di sampingnya. "Bukan urusanmu.""Iqbal!" jerit Rani frustasi, mengagetkan Iqbal dan membuatnya terlonjak. Untung saja di dalam lift itu hanya ada mereka berdua."Apaan sih? Berisik banget!" sentak Iqbal jengkel."Bisa nggak, jangan irit-irit kalau kasih jawaban?! Aku kan cuma mau ngobrol santai dengan kamu, apa sulitnya sih?" Rani menghentakkan kakinya dengan kesal."Ya sudah. Ngobrol," sahut Iqbal tidak peduli."Aku kangen kamu, tahu!" Guman Rani manja.“Aku nggak.” "Iqbal!" Rani kembali be
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut