Eaa... keringat dingin gak tuh Pak Iqbal wkwkwk...
Iqbal pun sontak menelan ludah, saat Gea mengatakan bahwa anak itu tetap di sini dan berangkat ke sekolah dengannya. APAA??!!! Tidak, tidak. Gea tidak boleh berangkat dengannya!! Kintan bagaimana? Bisa-bisa nanti Gea sadar kalau saat ini ada Kintan di dalam kamarnya! "Gea... sepertinya hari ini Papa nggak ke kantor dulu karena masih belum sehat. Tadi malam Papa demam. Kamu berangkat dengan Mamamu saja ya?" pinta Iqbal akhirnya setelah mencari akal. Gea pun seketika terkejut mendengar penuturan Iqbal. "Papa demam??" lalu ia melangkah cepat mendekati Iqbal dan menempelkan punggung tangannya di kening Papanya. "Eh iya nih, Papa masih anget gitu badannya!" seru Gea khawatir. "Udah minum obat belum?" Iqbal mengangguk seraya tersenyum hangat merasakan perhatian tulus putrinya. "Udah kok, sudah jauh lebih mendingan juga sekarang. Cuma rasanya Papa mau istirahat saja hari ini. Kamu nggak apa-apa kan, kalau Papa nggak bisa antar ke sekolah?" "Iya, nggak apa-apa." Gea lalu mengalihka
Iqbal menghembuskan napas lega saat ia menutup pintu. Akhirnya Gea dan Rani pergi juga!Tapi hatinya jadi tidak tenang mendengar bisikan Gea padanya tadi. Apa Gea tahu kalau Kintan… menginap di sini?Kacau.Iqbal mengacak-acak rambutnya dengan perasaan kalut. Orang tua macam apa dirinya, memberikan contoh yang buruk untuk anak gadisnya yang sedang beranjak dewasa itu!Iqbal berjalan menuju kamarnya, dan merasa bersalah pada Kintan karena sekarang mood nya sudah hilang untuk meneruskan aktivitas panas mereka tadi. Apa yang harus ia katakan pada wanita itu?Saat Iqbal membuka pintu kamarnya, ia pun seketika terkejut karena tidak melihat Kintan di ranjangnya. Dimana dia?"Kintan?" Iqbal pun masuk ke dalam kamarnya dan memanggil Kintan.Wanita itu keluar dari kamar mandi dan tersenyum pada Iqbal. Rambutnya yang sebelumnya digelung ke atas, sudah tergerai ke bawah, mungkin untuk menutupi jejak kecupan Iqbal. Piyama yang tadi kancing-kancingnya dibuka oleh Iqbal, sekarang sudah tertutup r
"Ma, sore ini Jayden ulang tahun dan katanya mau dirayakan di rumahnya. Aku kepengen datang Ma, boleh ya?" pinta Khalil, anak sulung Kintan sambil mengunyah sandwich tunanya. Jayden adalah teman sekelasnya di sekolah.Mereka semua sedang berkumpul untuk sarapan bersama di meja makan. Khalil sudah rapi memakai seragam sekolahnya, sementara Khafi masih tertidur pulas. Mungkin dia kelelahan kemarin setelah bermain dengan kakaknya.Kintan memasak sandwich tuna, milkshake coklat untuk Khalil dan Khafi, serta orange juice untuknya. "Rumahnya di mana?" tanya Kintan pada putra sulungnya itu."Katanya Jayden, nanti akan di share lokasinya ke Mama," sahut Khalil lagi. "Boleh kan Ma?"Kintan mengangguk ragu. "Ya, nanti Mama anterin ke rumah Jayden. Tapi sore ini Mama ada pekerjaan di panti asuhan. Khalil nggak apa-apa kan, kalau Mama tinggal sendiri di rumah Jayden? Mama nggak bisa ikut menemani di sana."Khalil mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Kan Khalil nggak sendirian, ada Jayden dan teman
Kintan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Apa? Beli apartemen? "Kamu sudah gila ya? Buat apa beli apartemen lagi?" Cicit Kintan tak habis pikir. "Karena aku tidak suka jika nanti dia menggunakan apartemen ini sebagai alasan untuk menemuimu. Dan aku juga tidak suka membayangkan bahwa dia punya kunci cadangan sehingga setiap saat bisa masuk ke sini sesuka hatinya!" bentak Iqbal tanpa sadar. "Mama?? Om Iqbal??" Seketika Kintan dan Iqbal menoleh cepat pada suara kecil yang memanggil mereka. Itu Khafi, yang sedang manyun karena terbangun sambil menggosok-gosokkan matanya. "Khafi," Kintan langsung menghampiri anak itu dan menggendongnya. "Khafi jadi bangun, ya? Maaf ya." Khafi pun kemudian menatap Iqbal yang masih membisu. "Om Iqbal, malah ya sama Mama?" *maksudnya "marah", Khafi masih cadel nggak bisa bilang R* Iqbal menggeleng dan seketika memaksakan untuk mengulas senyum di bibirnya. "Om Iqbal nggak marah kok. Om kan sayang sama Mamanya Khafi," terang Iqbal dengan
Wajah Kintan yang menyentuh seprai halus tertoleh ke arah samping, dan kedua tangannya berada di atas kepalanya yang dikunci oleh tangan Iqbal. Tubuhnya terperangkap di bawah tubuh lelaki itu, membuatnya benar-benar tidak dapat bergerak.Iqbal mengusap pelan rambut panjang Kintan yang wangi, merasakan teksturnya yang begitu halus lalu menghirupnya dalam-dalam sambil memejamkan mata.‘Hmm... wanita ini, seluruh tubuhnya benar-benar beraroma bunga, sama seperti object yang sering ia lukis.’Kintan yang sangat cantik dan beraroma bunga. Apa wanita seperti ini nyata?Iqbal menghirup serta mengecup daun telinga Kintan, lalu mengulum bagian lembutnya, membuat wanita itu terkesiap dan merasa geli. "Iqbal...," desahnya, parau dan pelan."Hm..?" Iqbal hanya menjawab dengan mengguman, karena sekarang sibuk menghirup dan menyecap aroma leher Kintan."Please... aku juga ingin menyentuhmu..." ucapan lirih yang penuh permohonan itu sama sekali tidak membuat Iqbal merasa ingin mengabulkannya. Kin
Kintan pun seketika terdiam. Apakah ia harus menjawab ucapan Iqbal barusan? Namun sejujurnya, Kintan tidak tahu apakah cinta yang ia rasakan kepada Iqbal, ataukah hal lain... meskipun ia tidak menampik bahwa ia memang sangat menginginkan Iqbal. Apakah karena gairah? Atau karena lelaki ini yang luar biasa tampan?Seketika Kintan mengingat momen-momen saat anak-anaknya begitu akrab dengan Iqbal. Saat Khafi rewel, Iqbal hanya memeluk dan membelikannya es krim, lalu anak itu pun tertidur pulas dalam pelukan Iqbal.Lalu saat Khalil mengira Iqbal adalah Kemal dan memeluk lelaki itu dengan erat dalam tidurnya. Juga saat anak sulungnya itu begitu antusias saat Iqbal mengantarnya ke sekolah.Kintan sungguh bersyukur dan terharu pada kebaikan dan kasih sayang tulus dari Iqbal kepada anak-anaknya.Tapi… apakah dia mencintai Iqbal??Tidak.Sayangnya… belum ada cinta di hatinya, dan Kintan pun seketika merasa bersalah karenanya.Melihat Kintan yang mendadak terdiam seperti melamun, Iqbal pun me
Iqbal terbangun dari tidur lelapnya, dan baru menyadari bahwa Kintan ternyata sudah tidak ada lagi di sampingnya. Ia memukul keningnya sendiri sambil mengerang kesal, mengutuk diri kenapa malah tidak terbangun saat wanitanya pergi. Sial, padahal ia ingin sekali memandangi wajah mempesona Kintan setelah puas bercinta. Pasti pipinya yang lembut itu bersemu merah jika Iqbal menatapnya dengan lekat. Haha. Kintannya yang pemalu seperti anak perawan, namun ternyata sangat panas dan menggairahkan di atas ranjang. Iqbal pun melamun sambil senyum-senyum sendiri saat visual dan semua momen-momen panas tadi terbersit kembali di dalam otaknya. Seketika ia membenamkan wajahnya di atas bantal untuk meredam tawa bahagianya yang konyol. Ia tak peduli, meski kini dirinya pun merasa kembali seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta. Aah... Kintan. Kintannya yang cantik, sensual dan seharum bunga. *** Jam 11.30 siang. Kintan sedang bersiap-siap untuk menjemput Khalil dari sekolah, saat bel
Iqbal pun menatap kembali anak itu, yang masih saja mengamatinya secara seksama dengan mata sipitnya yang polos.Pria itu pun tersenyum kecil. "Nama kamu siapa, gadis kecil?""Namaku Jemma, om. Aku adiknya Jayden. Umurku 5 tahun," ucapnya sambil membuat angka dengan kelima jarinya."Nanti kalau sudah besar aku mau menikah dengan Khalil," tambahnya lagi dengan informasi yang mengagetkan, membuat Iqbal sulit menahan tawanya.‘Haah... dasar anak jaman sekarang. Kecil-kecil sudah bilang nikah aja.’"Oh ya?" Iqbal makin tertarik untuk bercakap-cakap dengan anak ini.Jemma mengangguk dengan penuh semangat, membuat kuncirannya ikut bergoyang mengikuti gerakan kepalanya. "Kalau sekarang kami masih tunangan dulu." Ia menunjukkan cincin ungu pink berglitter emas dengan figur my little pony di atasnya. "Nanti kami akan menikah di Disneyland. Terus kami punya anak dua saja. Satu laki-laki, satu lagi perempuan," lanjutnya panjang lebar."Kalau Om jadi Papanya Khalil, berarti Om adalah mertua Jem
"Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s
Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam
Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah
Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs
Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram
'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang
Ibram terdiam, namun tubuhnya tetap saja memunggungi Katya. 'Hahh... gadis ini benar-benar keras kepala! Sepertinya dia hanya ingin menggangguku saja.''Meskipun... yah, tidak bisa disalahkan juga karena diriku yang dulu sangat bodoh karena telah memberikan harapan pada gadis ini.' Seketika ada setitik rasa kasihan terbit di dada Ibram saat mengingat ekspresi wajahnya pada acara pertunangan melalui Youtube tadi. Pantas saja gadis ini salah paham, karena Ibram memang bersikap seakan benar-benar mencintainya! 'Apa itu benar? Apa aku pernah mencintainya? AKU?? IBRAM MAHESA??' Perlahan Ibram pun membalikkan badannya menatap Katya. "Apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" cetus Ibram. "Tidak akan ikut campur urusanku, tidak mengharapkan apa pun dariku, dan hanya merawatku hingga sembuh lalu pergi dari hadapanku?" Ibram mengulang ucapan Katya tadi. Katya mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat yakin dengan semua ucapanku, Ibram." Hmm... menarik. "Baiklah. Kau boleh melakukannya. Tapi
Katya menangis dalam kesendirian di teras rumah sakit yang sepi. Ia ingin sekali menjerit kuat-kuat, memuntahkan segala kesedihan yang terus menimpanya bertubi-tubi. Setelah ayahnya, Sienna, dan sekarang Ibram pun juga telah meninggalkannya. Bukan meninggalkan secara harfiah karena tubuhnya masih berada di dunia fana ini, hanya saja ingatannya pada Katya yang telah pergi. Ibram mengalami amnesia retrograde karena cedera akibat benturan keras di kepalanya, dan ingatannya hanya sampai saat ia kuliah di Amerika bersama David... Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Bahkan saat ia diberitahu bahwa Gamal, kakaknya yang telah meninggal, Ibram pun sangat terkejut dan masih tidak percaya. Lalu ketika Katya mengatakan bahwa mereka telah bertunangan, Ibram hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Seketika itu juga Katya mengerti, bahwa lelaki itu telah hilang. Lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Ibram yang Katya cintai telah pergi, tergantikan oleh Ibram lai
Katya berada di dalam ambulans yang membawa Ibram menuju rumah sakit. Sejak tadi air matanya tidak dapat berhenti mengalir, melihat tubuh kekasihnya yang diam tak bergerak serta darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Wajah dan tubuh Katya telah penuh bersimbah darah, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Ibram selamat. Katya sangat takut kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Ia telah kehilangan ayahnya dan juga adiknya Sienna, dan ia tidak akan sanggup untuk bernafas lagi jika ia juga kehilangan Ibram. Tidak! Lebih baik ia ikut ke alam yang sama dengan mereka, karena di dunia ini sudah tidak akan ada cinta lagi untuknya. Katya segera menelepon Zizi, Toni, dan David dari ponsel Ibram. Namun hanya ponsel David yang sulit dihubungi. Lagipula, ini semua karena David! Karena pesan dari David yang membingungkan itu, membuat Katya terperangkap sebagai umpan untuk menjebak Ibram. Apakah ponsel David telah di hack? Ibram harus segera dioperasi, kare