Iqbal terbangun dari tidur lelapnya, dan baru menyadari bahwa Kintan ternyata sudah tidak ada lagi di sampingnya. Ia memukul keningnya sendiri sambil mengerang kesal, mengutuk diri kenapa malah tidak terbangun saat wanitanya pergi. Sial, padahal ia ingin sekali memandangi wajah mempesona Kintan setelah puas bercinta. Pasti pipinya yang lembut itu bersemu merah jika Iqbal menatapnya dengan lekat. Haha. Kintannya yang pemalu seperti anak perawan, namun ternyata sangat panas dan menggairahkan di atas ranjang. Iqbal pun melamun sambil senyum-senyum sendiri saat visual dan semua momen-momen panas tadi terbersit kembali di dalam otaknya. Seketika ia membenamkan wajahnya di atas bantal untuk meredam tawa bahagianya yang konyol. Ia tak peduli, meski kini dirinya pun merasa kembali seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta. Aah... Kintan. Kintannya yang cantik, sensual dan seharum bunga. *** Jam 11.30 siang. Kintan sedang bersiap-siap untuk menjemput Khalil dari sekolah, saat bel
Iqbal pun menatap kembali anak itu, yang masih saja mengamatinya secara seksama dengan mata sipitnya yang polos.Pria itu pun tersenyum kecil. "Nama kamu siapa, gadis kecil?""Namaku Jemma, om. Aku adiknya Jayden. Umurku 5 tahun," ucapnya sambil membuat angka dengan kelima jarinya."Nanti kalau sudah besar aku mau menikah dengan Khalil," tambahnya lagi dengan informasi yang mengagetkan, membuat Iqbal sulit menahan tawanya.‘Haah... dasar anak jaman sekarang. Kecil-kecil sudah bilang nikah aja.’"Oh ya?" Iqbal makin tertarik untuk bercakap-cakap dengan anak ini.Jemma mengangguk dengan penuh semangat, membuat kuncirannya ikut bergoyang mengikuti gerakan kepalanya. "Kalau sekarang kami masih tunangan dulu." Ia menunjukkan cincin ungu pink berglitter emas dengan figur my little pony di atasnya. "Nanti kami akan menikah di Disneyland. Terus kami punya anak dua saja. Satu laki-laki, satu lagi perempuan," lanjutnya panjang lebar."Kalau Om jadi Papanya Khalil, berarti Om adalah mertua Jem
"Iqbaal!!" pekik lirik Kintan, saat lelaki itu membaringkan tubuh wanitanya di atas ranjang, lalu naik ke atas tubuh Kintan."Hmm... jadi sudah mulai berani nge-prank calon suami kamu ya?? Sekarang terima hukumanmu, Sayang..." tukas Iqbal sambil menggigit dan menghisap leher seharum bunga yang dari tadi ia impikan.‘Ha?? Calon suami??’Kintan mendesah nikmat, melupakan sejenak keinginan untuk protesnya atas ucapan Iqbal barusan."Iqbal... uh... jangaan... nanti ketahuan.. mmm.... anak-anak... " sekuat tenaga Kintan berusaha untuk menolak gairah meluap-luap yang ditawarkan Iqbal. Bukannya Kintan tidak mau, tapi ia hanya takut kalau sampai anak-anak dan Mbok Yani tahu."Jangan buang-buang waktu lagi kalau begitu, kita quickie saja, Sayang," bisik Iqbal penuh hasrat di telinga Kintan, dengan jemarinya yang menyusuri rok selutut yang dikenakan Kintan dan langsung menyibaknya. Iqbal menatap lekat pada kain kecil penutup inti gairah Kintan. Ingin sekali ia bermain-main dahulu di situ, mem
Iqbal sedang sarapan santai di hari Sabtu. Pagi ini mereka berencana akan ikut ke sekolah Khalil untuk mengantarnya ikut lomba pidato Bahasa Inggris."Pa. Kalau nanti Tante Kintan jadi istri papa, Gea mau panggil mommy aja ah. Biar keren, hehe," celutuk Gea sambil berandai-andai. Ia nyengir sendiri membayangkan saat mereka berlima berada dalam satu rumah. Huuft... semoga hal itu cepat terjadi! Gea sudah tidak sabar bisa mendapatkan seorang ibu seperti Kintan, dan adik laki-laki yang lucu dan menggemaskan seperti Khalil dan Khafi.Yang pasti, ia tidak akan kesepian lagi, begitu pun dengan papanya. Mengingat kembali ke belakang, membuat Gea menarik napas pelan. Mengingat Papanya sudah banyak menderita karena Mama. Gea ingat sekali saat mereka baru bercerai. Berminggu-minggu Papa terlihat pucat dan tidak berselera untuk makan, namun selalu tersenyum pada Gea seakan semua baik-baik saja."Doain ya, Ge. Supaya Kintan mau menjadi istri Papa segera," ucap Iqbal sebelum menghirup kopinya
Khalil, Iqbal, Gea dan Khafi sedang berada di atas podium, merayakan kemenangan Khalil yang gemilang sebagai juara 1 pada lomba pidato Bahasa Inggris. Mereka meloncat-loncat dan mengayunkan satu tangan dengan gaya serempak sambil bernyanyi lagunya Queen 'We are the champion' dengan heboh, membuat semua orang tertawa dan bahkan banyak yang merekam kejadian itu dengan ponsel. Sementara Kintan yang duduk di kursi penonton hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua tangan karena malu. Bahkan sekarang sang MC yang juga salah satu guru di sekolah pun ikut-ikutan bernyanyi dan mengayunkan tangan bersama mereka! Saat tadi Khalil menerima piala sebagai juara 1, Iqbal dan Gea yang sedang menggendong Khafi langsung berteriak heboh, dan tiba-tiba saja mereka ikut naik ke atas panggung. Kintan kaget sekali, saat melihat bapak dan anak perempuannya yang sama-sama tengil itu dengan santainya ikut merayakan kemenangan Khalil di sana. Puas bernyanyi, Iqbal pun menyerahkan mic kembali kepada MC.
"Pakai itu, dan jangan pakai apa-apa lagi di dalamnya," ucap Iqbal dengan nada semanis madu, namun dengan sorot mata sepanas bara api yang berkobar dengan liar. Lalu ia pun mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku, dan menaruhnya di atas meja rias di sebelah pintu kamar Kintan. "Ini kunci apartemenku. Jangan lama-lama, Kintan. Dan jangan membuatku rindu," ucapnya sambil menyunggingkan senyum tampan yang mempesona sekaligus menggoda, seraya menatap sekujur tubuh Kintan yang mulai merona. Damned. Ia ingin sekali melahap Kintan sekarang juga, namun sayangnya kamar wanita itu tidak kedap suara seperti kamarnya. Kintan menelan ludah yang terasa berat, serta mengerjap-kerjapkan matanya yang mulai berkabut karena karena hasrat. Sial. Bahkan ucapan Iqbal yang seperti itu saja sudah membuat tubuhnya menggigil penuh antisipasi. Kintan tidak tahu kenapa ia menjadi seperti ini, begitu mudah terpicu hanya dengan ucapan provokatif atau sentuhan kecil dari Iqbal. Bahkan kini sekujur tubuh
Kintan terbangun dengan perasaan yang campur-aduk, setelah percintaannya yang begitu panas dan penuh gelora dengan Iqbal semalam. Tubuhnya terasa kacau dan tulangnya seperti hancur berantakan, namun hatinya serasa meledak dalam kebahagiaan. Ia tidak pernah merasakan kegiatan bercinta yang bisa sedahsyat itu, dan bahkan bisa berkali-kali seperti itu dalam semalam! Perlahan ia pun mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas ranjang, dan merasakan sedikit nyeri di area kewanitaannya. Uh. Iqbal dan tubuhnya yang besar itu membuatnya seperti seorang perawan lagi, merasakan nyeri sehabis bercinta. Untung sekarang hari minggu, sehingga ia bersantai dulu pagi ini. Kintan menoleh pada nakas di samping tempat tidurnya, dan mengernyit saat melihat ada beberapa obat dan secarik kertas di situ. Ia meraih kertas serta membaca tulisan di dalamnya. 'Maaf kalau aku sedikit kasar padamu, sayang. Minumlah obat anti nyeri ini kalau ada keluhan, ya? Semalam begitu menakjubkan, Kintan. I lov
Jam 09.50 malam Kintan kembali ke apartemennya dan melihat Khalil serta Khafi yang belum juga tidur. Mereka tampak masih asik main dan menonton televisi. "Khalil, Khafi kok belum tidur? Sudah hampir jam sepuluh," tegurnya. "Mama dari mana?" tanya Khalil tiba-tiba. "Dari... bawah. Ada perlu sebentar," bohong Kintan. "Mama, Khafi mau donat," seru Khafi ketika ia melihat iklan donat di televisi. "Besok ya, Sayang. Sekarang tidur dulu, yuk," ajak Kintan sambil mencium puncak kepala anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Setelah mencuci muka, sikat gigi, dan memakai piyama, Khalil dan Khafi pun segera menuju tempat tidur. "Ma, besok kita ke makam Papa yuk," cetus Khalil tiba-tiba, sambil menutupi dirinya dengan selimut bergambar bola. Kintan yang sedang menyelimuti Khafi, sontak menoleh dan menatap anak sulungnya itu. "Khalil kangen Papa, ya?" Khalil hanya membalas pertanyaan Mamanya dengan senyuman tipis di bibirnya, membuat jantung Kintan tiba-tiba berdetak keras. ‘Pasti Khal
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,