bener ya Kintan 🥲 siap2 konflik gaes ☹️
Iqbal menepati janjinya.Entah bagaimana ia bisa mempengaruhi Direksi perusahaan, dan membuat mereka setuju untuk mengganti dirinya dengan orang lain yang akan ditempatkan di Abu Dhabi.Namun, Iqbal harus tetap harus berangkat dalam rangka dinas selama selama tiga minggu, untuk melatih penggantinya tersebut serta untuk menghadap dan melapor langsung kepada CEO di sana.Gea yang lebih dahulu mengetahui kabar tersebut dari Papanya, langsung berlari ke apartemen sebelah untuk menemui Kintan dan memeluk tubuhnya erat. Kemudian sambil mengecup pipi wanita itu, anak remaja itu pun berbisik, "Tante, tau nggak? Sekarang Papa yang malah menyuruh Gea untuk memanggil dengan sebutan ‘Mama Kintan’, bukan ‘Tante Kintan’ lagi. Katanya, Papa mau secepatnya menikahi Tante Kintan sepulangnya dari Abu Dhabi."Kintan merasa wajahnya pun merah bagaikan tomat mendengar ucapan Gea. Ia merasa malu tapi sekaligus juga berbunga-bunga.Kintan bahagia ketika mendengar Iqbal yang hanya dinas ke Abu Dhabi selama
Iqbal sangat gelisah.Sudah seharian ini Kintan tidak menjawab telepon atau pun video call darinya. Bahkan puluhan pesan yang ia kirim pun masih bertanda centang dua abu-abu, yang artinya belum dibaca.Apa yang terjadi?Oh iya. Ia akan coba menelepon Yessita untuk meminta tolong agar memeriksa keadaan Kintan. Iqbal pun melihat jam yang melingkar di tangannya. Masih jam 12 siang waktu Abu Dhabi, berarti sekitar jam 3 sore di Jakarta. Perbedaan waktu antara dua negara ini hanya tiga jam.Iqbal pun menelepon Yessita, beberapa kali deringan terdengar namun tidak diangkat, sampai akhirnya terdengar suara operator yang meminta maaf karena nomor tersebut tidak dapat dihibungi.Iqbal pun mendesah keras. Baru tiga hari ia berada di Abu Dhabi, dan sekarang tiba-tiba Kintan sudah menghilang begitu saja. Apa sebaiknya dia menelepon Gea? Ah, tidak. Nanti anak itu akan khawatir. Apalagi dia sedang bersama Rani.Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan?***Kintan terbangun di rumah sakit dengan
"Kintan, perkenalkan pria ini namanya Kak Iqbal…" Yessita sedang memperkenalkanku dengan wanita yang sangat cantik. Yang selalu membuatku ingin meletakkan seluruh dunia di kakinya, dan seluruh hatiku di tangannya. Entah untuk di jaga atau pun dihancurkan, itu terserah padanya. Toh, hatiku pun telah hancur berkeping-keping saat ini. Wanita itu pun mengangguk dan tersenyum padaku. Bukan senyum menggoda seperti yang biasa ia berikan hanya untukku. Bukan pula senyum manis seperti saat dia melepasku untuk menjalankan dinas ke Abu Dhabi. Tapi senyuman asing yang diberikan oleh seseorang sebagai rasa hormat. Aku pun merasa tidak sanggup melihatnya. Kenapa ia tersenyum? Bukankah tubuhnya penuh luka? "Halo," ucap wanita cantik itu dengan suara yang begitu kurindukan. Aku ingin sekali merengkuh tubuhnya untuk menghirup aroma bunga dari kulit dan rambutnya, tapi amnesia sialan itu telah menghalangiku untuk melakukannya. "Halo," jawabku singkat. Aku terus menatapnya dengan leka
***Beberapa saat sebelumnya*** Kintan sedang bermimpi. Memimpikan seorang lelaki yang sedang tersenyum cerah padanya, dan menggandeng tangannya sambil berjalan menyusuri pantai di sore hari. Mereka berjalan bertelanjang kaki, merasakan pasir lembut yang membelai telapak dan air laut yang kadang menyapa mereka dengan ombaknya. Suasananya begitu indah, namun sunset yang berada dibelakang lelaki itu membuat bayangan gelap, sehingga Kintan tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Kintan hanya bisa melihat dan merasakan tubuhnya yang tinggi dan kokoh, genggaman eratnya yang hangat dan senyumnya yang menawan. Lelaki itu membisikkan sesuatu padanya, entah apa, tapi membuat Kintan tersenyum dan tertawa bahagia. Lalu lelaki itu pun mencium bibirnya dengan lembut, membuat Kintan seakan terbang melayang. Dan Kintan pun membalasnya dengan kelembutan yang sama, memberikan dirinya utuh untuk dicintai dan mencintai. Namun setelah beberapa saat, ciuman lembut itu tiba-tiba berubah menjad
Hah?? Memberikan bukti?? “Aku yang akan menilai apa kamu benar-benar mencintai Yessi,” tambah Kintan lagi seraya melipat tangannya di dada.“Oke. Kamu mau bukti apa?” Iqbal pun akhirnya mengalah dan memutuskan untuk mengikuti permainan ini walaupun terasa sangat menggelikan baginya, yang terpenting Kintan tidak membenci dan menjauhinya.“Coba cium Yessi,” ucap wanita itu mengejutkan. Kali ini Iqbal yang menatap Kintan seakan wanita itu sudah gila. Ya benar saja!!! Hei, harus bagaimana ini???Iqbal tersenyum hambar pada Kintan yang sedang melipat tangannya di dada. “Masa iya, aku harus mencium Yessita di depan kamu? Nanti dia jadi malu, Kintan.”"Cih. Malu sih sudah pasti. Tapi sebagai seorang wanita, pasti juga ada perasaan berbunga-bunga jika dicium secara spontan dan penuh cinta di hadapan orang lain," tukas Kintan dengan sangat yakinnya.“Dan Yessi pasti juga senang kalau kamu tiba-tiba menciumnya di depanku,” tambahnya lagi.Iqbal pun seketika tertawa dalam hati mendengarnya. ‘A
"Putus?" tanya Iqbal bingung. Entah ngide apalagi si Yessita ini! Semula jadi pacar pura-pura, terus sekarang malah tiba-tiba putus. Yessi mengangguk. "Tugasku menjaga Kintan di rumah sakit akan selesai sebentar lagi kalau dia sudah dibolehkan pulang ke apartemen. Jadi Kak Iqbal sudah nggak butuh aku lagi kan? Kalian kan bertetangga? Maka selanjutnya akan tergantung pada perjuangan Kak Iqbal sendiri untuk mendekati Kintan. Lalu bukankah lebih baik jika Kintan mengetahui kita sudah putus sebelumnya?" ujar Yessi panjang lebar. Benar juga sih… Ah, kenapa Iqbal tidak berpikir ke sana? Peristiwa yang menimpa Kintan tampaknya telah membuat otak jeniusnya mendadak jadi lemot. "Jadi, bagaimana cara kita putus?" tanya Iqbal. Yessi pun tersenyum jahil penuh arti. "Caranya, aku akan menampar Kak Iqbal." "APA?!" seru Iqbal kaget sekaligus nggak terima. Kenapa jadi dia malah yang ditampar?? Yessi melirik diam-diam Kintan melalui ekor matanya, dan bersorak dalam hati ketika melihat w
"PAPA IQBAAALLL!!!" teriak Khafi riang, mengabaikan peringatan Gea yang pernah disampaikan sebelumnya, untuk tidak memanggil Iqbal dengan sebutan "Papa".Kintan melotot kaget pada ucapan anak bungsunya itu, yang sekarang mulutnya sedang dibekap oleh kakaknya. "Khafi? Tadi bilang apa?" tanya Kintan sambil mengernyit."Khafi nggak bilang apa-apa kok, Ma," sahut Khalil yang masih saja menutup mulut adiknya dengan tangannya.Iqbal yang sudah pasrah, akhirnya pun hanya bisa diam saja. ‘Hahh... Kintan pasti mulai curiga nih. Belum juga ada sehari, udah nyaris ketahuan!!’"Khalil, lepaskan tangan kamu. Kasian adikmu dong!" seru Kintan. Khalil pun melepaskan tangan yang membekap mulut adiknya sambil nyengir, lalu menarik tangan Khafi masuk ke dalam kamar.‘Syukurlah ada Khalil yang bereaksi cukup cepat demi menyelamatkan situasi,' desah Iqbal dalam hati.Setelah anak-anaknya menghilang ke dalam kamar, Kintan pun lalu kembali mengalihkan tatapannya pada Iqbal. "Uhm... kamu mau masuk dulu?"
Iqbal pun benar-benar terkesima. Ia sungguh tak menyangka jika ucapan provokatif seperti itu akan keluar dari bibir manis Kintan, yang juga sekaligus berdampak pada kinerja otak Iqbal yang mendadak kacau. Dengan cepat, ia pun meraih tubuh Kintan dan menyentaknya keras ke arah tubuhnya, membuat Kintan terpekik kaget. Mata wanita itu melebar menatap wajah Iqbal yang sekarang begitu dekat dengan wajahnya. "Tersenyum seperti ini, Kintan?" tanya Iqbal sambil kembali memamerkan senyumnya yang membuat Kintan semakin berdebar keras. Senyum itu amat sangat tampan dan memiliki efek yang membuat Kintan kembali terpaku. Seperti dalam pengaruh hipnotis dan tanpa wanita itu bisa cegah lagi, tubuhnya pun sudah mengambil alih seluruh kendali diri. Membuat Kintan tanpa sadar malah semakin mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibir Iqbal dengan lembut. Satu kecupan, diikuti oleh satu kecupan lagi. Iqbal masih belum bereaksi. Ia sengaja membiarkan Kintan-lah yang memulai semuanya, karena ia tid
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,