Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya.
Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu. Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau. "Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?" Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup. Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendongan Gea, saat mereka semua telah keluar dari lift. "Bu Kintan parkir di sebelah mana? Biar kami antarkan." Iqbal pun menawarkan diri. Sebenarnya ia senang melihat raut bahagia putrinya saat menggendong Khafi sambil bercanda dengan Khalil. Iqbal masih ingin melihat Gea yang tampak berbinar di tengah anak-anaknya Kintan. Dan jujur saja… ia pun juga masih ingin memandangi sosok Kintan yang sangat manis lebih lama lagi. "Iya Tante, kita anterin ya! Masih kepengen gendong Khafi, sih!" ucap Gea mencium pipi Khafi gemas. Kintan tersenyum dan mengangguk pada Gea. Mereka pun berjalan menuju mobil Kintan yang ternyata tidak begitu jauh dari pintu keluar basement. "Byee Tante Kintan, Khalil, Khafi... Sampai jumpa!" seru Gea sambil melambaikan tangan dengan penuh semangat. Ia dan Iqbal masih memandangi mobil Kintan berlalu pergi hingga hilang di belokan keluar apartemen. Gea mendesah pelan ketika kesunyian kembali menyergapnya, dan ketika kerinduan mendengarkan celoteh lucu Khafi membuatnya nelangsa. Betapa menyenangkannya memiliki adik seperti mereka. Seandainya saja... Tiba-tiba Gea mengalihkan tatapan kepada papanya dengan raut jengkel. "Papa! Apa kurangnya sih Tante Kintan? Udah cantik, baik, jago masak, jago melukis, seksi lagi! Papa kok bisa sih nggak tertarik sama bidadari kayak gitu?" semprotnya kesal, sambil berjalan dengan menghentakkan kaki menuju ke arah mobil mereka. Dan Iqbal pun hanya bisa bengong melihat Gea yang moodnya tiba-tiba saja berubah dari ibu peri menjadi medusa Nih anak kenapa ya? Dan… siapa juga yang bilang kalau Iqbal tidak tertarik kepada Kintan? Gea, Gea... seandainya anak itu tahu betapa mempesonanya sosok Kintan di mata Iqbal... *** Setelah mengantarkan Khalil ke sekolahnya, Kintan pun menyetir kembali menuju daycare atau tempat penitipan anak langganannya. Karena hari ini ia harus bekerja, maka Khafi akan dititipkan di sana sampai Mbok Yani jauh lebih sehat dan bisa menjaga anak bungsunya itu. Mulai hari ini Kintan akan melukis mural di tempat Bimo. Temannya itu meminta Kintan untuk melukis di toko bunga miliknya yang rencananya akan dibuka bulan depan. Itu salah satu poin yang dibicarakan oleh Bimo sewaktu makan malam dengan Kintan semalam. Bimo memakai jasa Kintan untuk melukis langit-langit tokonya dengan lukisan bunga-bunga. Ini adalah pekerjaan yang cukup besar dengan bayaran yang sesuai. Kintan tentu saja tidak akan melewatkannya. Ia kembali mengendarai mobilnya dari daycare sampai di toko bunga Bimo, dan ternyata tempatnya cukup luas meskipun tidak terlalu besar. Kintan masuk ke dalam bangunan yang masih kosong itu, lalu menatap ke seluruh penjuru ruangan. Bimo memberi waktu satu minggu untuk menyelesaikan lukisannya. Karena ia harus mulai menata perabotan sebelum grand opening tokonya. Kintan harus mulai menggambar sketsa sekarang juga supaya pekerjaannya cepat selesai. Ia mengambil tangga di pojok ruangan dan mulai memanjatnya perlahan. Lalu dengan hati-hati, ia pun mulai menggambar. Tak terasa, waktu sudah hampir menunjukkan jam makan siang, namun Kintan saja masih serius mengerjakan sketsa lukisannya. Banyak ornamen bunga kecil yang ia tambahkan, karena menyesuaikan dengan luasnya langit-langit toko itu. Tiba-tiba ponsel Kintan berbunyi di tengah keasyikannya melukis. "Halo, Bimo," sahut Kintan setelah melihat sejenak siapa yang meneleponnya. "Hai, Kintan. Masih melukis?" "Ya, aku masih di toko nih. Ada apa?" "Nggak sih, aku cuma mau ngajak makan siang aja. Sekarang aku jemput di toko ya? Kamu bisa kan?" "Okay. Aku beresin peralatan dulu." Lalu Kintan pun turun dengan hati-hati dari tangga. Sesaat ketika dia telah sampai di bawah, Kintan pun menengadah, mengamati hasil torehan gambar kasar dari pensil di langit-langit. Sepertinya cukup. Nanti setelah makan siang, ia akan mulai memberi warna dasar. Beberapa saat kemudian Bimo pun datang. Kintan langsung keluar toko dan memasuki mobilnya. "Hai, Bim," sapa Kintan riang. "Hei, Kintan. Alergi kamu gimana? Sudah sembuh?" tanya Bimo langsung sambil menatap Kintan lekat-lekat. "Aku jadi nggak enak dan merasa bersalah banget deh semalem ninggalin kamu begitu aja," sesalnya. Sebenarnya Bimo sama sekali tidak meninggalkannya, tapi justru Kintan lah yang menyuruhnya pulang, lalu meminta Iqbal yang kebetulan ada di lobby untuk mengantarkannya ke apartemen Kintan dan... Ehem. ‘Lupakan kejadian semalam, Kintan. Plisss... kenapa kamu masih ingat terus, sih??’ Tanpa sadar, Kintan pun mengetuk kepalanya sendiri, berusaha untuk menghukum otaknya yang terus saja mengulang kejadian semalam di kamarnya bersama Iqbal. "Kamu kenapa, Kintan?" tanya Bimo heran melihat kelakuan absurd wanita itu. Kintan menoleh pada Bimo sambil nyengir malu. "Eh, nggak apa-apa Bim, uhm... ngomong-ngomong kita makan siang dimana nih?" "Gimana kalau di cafenya Yessie? Tadi dia nelpon dan nyuruh mampir ke tempatnya. Kamu belum pernah ke sana, kan?" "Yessie punya cafe?" Kintan benar-benar kaget, seketika ia merasa bersalah pada temannya itu karena tidak update kabar terbaru soal Yessie, padahal beberapa bulan ini Kintan sering curhat ke temannya itu. Kintan hanya fokus bercerita tentang masalahnya, tanpa bertanya soal keadaan Yessie. Yessie yang baik hati, ia selalu mendengarkan keluh kesah Kintan dan berusaha mencarikan solusi untuk Kintan. "Iya, aku nggak tau..." ucap Kintan pelan. Ia kembali menatap Bimo. "Pengunjungnya rame nggak?" Bimo mendesah. "Ya, gitu... agak susah kayaknya sih kalau di lokasi itu. Agak kurang strategis lokasinya, jadi lumayan sulit mendapatkan banyak pelanggan. Padahal cita rasa masakannnya cukup enak lho!" Kintan pun mengangguk sambil melamun. Pasti Yessie bingung, punya usaha baru tapi sepi pengunjung. Kasian Yessie. Sesampainya di cafe, Kintan melihat Yessie yang masih sibuk berkutat dengan laptopnya dan duduk di salah satu kursi pengunjung. Ketika Yessie akhirnya mengangkat kepalanya dan melihat Kintan yang berjalan masuk bersama Bimo, ia pun melambaikan tangannya. Kintan langsung menghampiri temannya dan cipika-cipiki, lalu duduk. Tiba-tiba wajah Yessie berubah cemberut. "Kamu tuh ya, kenapa sih pindah ke apartemen nggak bilang-bilang?" tukasnya jengkel sambil menunjuk Kintan. "Aku aja taunya dari Bimo!" "Maaf ya, Yess. Aku bener-bener lupa banget karena pengen cepet-cepet kelar urusannya," sesal Kintan sambil meraih tangan Yessie dan menggenggamnya. "Kamu kok nggak bilang-bilang sih kalau buka cafe?" tanya balik Kintan. Yessie memutar bola matanya kesal. "Yaaa... ngapain juga aku bilang-bilang! Kamu aja diem-diem juga pindah..." Yessie terlihat masih agak marah pada Kintan. "Cieee... balas dendam nih ceritanya?" Kintan pun terkikik geli. "Jangan ngambek gitu dong, cintaa..." "Ya udah. Awas aja kalo lain kali nggak cerita. Aku gendong dan tinggalin di antartika biar tau rasa!" "Yaah, antartika doang sih deket, Yess! Yang jauhan dikit dong, antariksa gitu!" sambar Bimo, yang disahut dengan tawa lepas Kintan. Yessie menonjok pelan lengan Bimo sambil ikut terkikik bersama Kintan. "Kamu kira aku alien, hah!" Tiba-tiba bunyi pesan masuk terdengar dari ponsel Bimo. "Aduh, girls! Sorry banget nih. Adikku kecelakaan di jalan, aku cabut dulu ya!" Bimo langsung berdiri dan bergegas cepat menuju mobilnya. "Eh, Bim! Kecelakaan gimana maksudnya? Adikmu nggak apa-apa?" Teriak Kintan panik sambil ikut berdiri menatap Bimo yang sudah di dekat mobilnya. "Nggak apa-apa. Cuman mobilnya aja yang penyok, tapi dia sekarang lagi di kantor polisi. Kintan, sorry ya aku tinggal dulu. Kamu bisa balik ke toko sendiri kan?" Kintan mengangguk. "Aku bisa naik transportasi online. Kamu hati-hati ya! Semoga urusannya cepat kelar." "Iya, makasih. Aku cabut dulu ya, Yessie, Kintan. Nanti kapan-kapan ngumpul lagi." Lalu Bimo pun menghilang masuk ke dalam mobilnya dan melajukan kendaraannnya pergi dari situ. Yessie pun hanya terdiam melihat interaksi Kintan dan Bimo di depannya. Ada rasa kecewa terbersit di dadanya saat Bimo pergi begitu saja. Ia berharap pria itu bisa tinggal lebih lama agar Yessie bisa ngobrol santai dengannya. Yah, sudahlah. "Kasian banget adiknya Bimo. Mudah-mudahan beneran nggak terjadi apa-apa," ucap Kintan. Yessie mengangguk setuju, lalu melirik sekilas jam tangannya, sebelum meraih ponselnya. "Kok belum datang juga, ya?" gumannya pelan sambil menatap layar ponselnya. "Siapa yang belum datang, Yess?" tanya Kintan sambil menyesap cofee latte yang baru dihidangkan oleh waitress. Yessie mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Kintan. "Sepupu aku. Aku mengundang dia juga sekalian ke sini. Orangnya ganteng, baik, karirnya juga sukses. Pokoknya husband material deh!" Kintang pun sontak tersedak oleh kopinya. "Apa nih maksudny? Jangan bilang kalau kamu mau jodohin aku?" todong langsung wanita itu curiga, sambil mengambil tissue untuk mengelap bibirnya. "Yaaa kenalan doang juga nggak apa-apa dong? Siapa tau aja jodoh kan?" Celetuk Yessi sambil nyengir. Kintan pun memejamkan matanya sambil mendesah. Jodoh? Gila ni anak! “Yess, aku baru ditinggal Kemal 6 bulan. 6 bulan! Belum juga setahun. Lagipula aku juga nggak minat cari jodoh lagi. Cukup Kemal aja yang selamanya selalu jadi papanya anak-anak,” tandas Kintan tegas. "Aku tahu kalau kamu masih trauma untuk berumah tangga lagi, ya kan? Kemal yang sudah bikin kamu nggak percaya lagi sama lelaki. Jangan gitu, Ntan. Anak-anak kamu masih kecil, masih butuh figur laki-laki di rumah. Dan agar kamu bisa berbagi kerepotan mengurus anak dengan seseorang." Kintan melengos. "Nggak. Mending aku jadi single parent yang repot, tapi happy. Happy mother, happy children, tau!" tukasnya. Ia ingat kalau semasa Kemal masih ada, hidup Kintan tidak pernah bahagia. Kemal bukannya KDRT padanya, tapi sangat cuek dan tidak pedulian. Sering menyakiti hati Kintan dengan cemoohannya, tidak peduli dengan perasaan Kintan sebagai seorang istri, dan mudah marah hanya pada hal kecil saja. Dan kalau Kemal marah, hobinya adalah menendang semua barang di rumah sambil membentak Kintan dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang sungguh menyakitkan. Khalil dan Khafi pasti langsung menangis ketakutan dan bersembunyi di bawah tempat tidur jika papanya begitu. Sebenarnya Kemal adalah ayah yang cukup baik bagi anak-anaknya, namun suami yang payah untuk istrinya. Kintan hanya diperlakukan lembut soal urusan ranjang, setelah itu Kemal akan kembali ke tabiat aslinya. Kintan tetap bertahan untuk anak-anaknya. Ia rela setiap hari dalam perasaan was-was, memastikan segalanya sempurna karena takut Kemal marah. Hanya karena mainan yang sedikit berserakan saja, suaminya itu sudah membentak Kintan. Padahal semasa pacaran, Kemal selalu lembut dan perhatian padanya. Masa pacaran yang mereka lalui pun tidak sebentar, empat tahun. Rasanya waktu yang cukup untuk saling mengenal, tapi ternyata Kintan salah. Lama tidaknya masa pacaran sangat tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai karakter seseorang yang sebenarnya. Kemal begitu berubah, selalu menuntut Kintan menjadi istri dan ibu yang sempurna, selalu menyalahkan Kintan untuk semua masalah yang terjadi tanpa mau sama-sama berkaca dan introspeksi. Kintan lelah, mental dan tubuhnya menghadapi sikap Kemal selama pernikahan mereka. "Issshhh! Malah ngelamun lagi nih anak!" omel Yessie sambil mencolek lengan Kintan. "Tuh, orangnya udah datang juga. Kak Iqbal, sebelah sini!" teriak Yessie sambil melambaikan tangan dengan semangat pada seseorang di belakang Kintan. ‘Apaa? Iqbal?? IQBAL??’ Sontak, Kintan pun menoleh, menatap seseorang yang semalam telah membuatnya lupa sejenak pada janji hatinya untuk tidak akan pernah tertarik lagi pada seorang pria. Seseorang yang membuatnya merasakan debaran yang tidak semestinya. Seseorang yang membuatnya mendadak lupa tentang bagaimana cara untuk bernapas. Yaitu Iqbal, tetangga di sebelah apartemennya. *****BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir
Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid
Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Mereka semua sibuk mengunyah dan menikmati bekal makanan yang Kintan bawa sambil mengobrol dan bersenda gurau.Setelahnya makan dan berberes-beres, Kintan langsung melanjutkan pekerjaannya melukis mural, sementara Khalil dan Khafi asyik menonton film kartun kesukaan mereka di youtube dari ponsel Kintan.Gea sendiri sibuk memotret diam-diam Kintan yang sedang melukis, kemudian mengeditnya sedikit dan mempostingnya di instagram miliknya.Sedangkan Iqbal baru saja kembali dari membeli minuman untuk mereka semua. Boba milk tea untuk anak-anak, Ice matcha untuk Kintan, dan kopi untuknya. Khalil dan Khafi sangat antusias dan berterima kasih dengan heboh pada Iqbal saat mereka menerima minuman kesukaannya."Minum dulu, Kintan," ucap Iqbal sambil menyodorkan gelas hitam pada Kintan, yang disambut dengan ceria oleh wanita itu."Terima kasih ya. Kamu nggak perlu repot-repot beliin," tukas Kintan sambil tersenyum."Nggak masalah. Terima kasih juga sudah capek-capek bikin bekal makan siang yang
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut
Iqbal dan Rani telah berada di dalam lift menuju ke lobby lantai dasar, dan Rani masih terus menatap Iqbal dengan lekat."Jadi dia ya?" tanya Rani pada Iqbal."Dia siapa?" tanya balik Iqbal tidak mengerti."Si pelukis mural yang ada di insta*gram Gea? Dia itu tetanggamu kan?"Iqbal tidak mengerti apa maksud Rani, karena dia tidak punya satu pun akun medsos. "Mungkin," jawabnya singkat sambil mengedikkan bahu.Rani tertawa sinis. "Kamu suka sama dia?"Iqbal menatap sekilas namun tajam pada wanita di sampingnya. "Bukan urusanmu.""Iqbal!" jerit Rani frustasi, mengagetkan Iqbal dan membuatnya terlonjak. Untung saja di dalam lift itu hanya ada mereka berdua."Apaan sih? Berisik banget!" sentak Iqbal jengkel."Bisa nggak, jangan irit-irit kalau kasih jawaban?! Aku kan cuma mau ngobrol santai dengan kamu, apa sulitnya sih?" Rani menghentakkan kakinya dengan kesal."Ya sudah. Ngobrol," sahut Iqbal tidak peduli."Aku kangen kamu, tahu!" Guman Rani manja.“Aku nggak.” "Iqbal!" Rani kembali be
Yessi bermaksud untuk menginap di apartemen Kintan selama dua hari, dari hari Minggu sampai hari Senin. Tadinya Yessi berkeinginan tinggal sampai Rabu saja sesuai dengan permintaan Iqbal, namun masalahnya hari Senin malam orang tua Kintan akan datang berkunjung dan menginap, sehingga Yessi pun memutuskan untuk pulang saja.Kintan sedikit bernapas lega karena Khalil dan Khafi juga terlihat gembira dengan kehadiran opa dan omanya yang sering mengajak jalan-jalan dan bermain, sehingga Khafi tidak rewel lagi.Karena Khafi yang selalu dekat dengan opanya, membuat Kintan sekarang memiliki kesempatan lebih untuk memperhatikan Khalil, anak sulungnya,Kintan masih teringat saat Khalil mengira Iqbal adalah Kemal dalam tidurnya, dan memeluknya erat serta mengatakan kangen pada papanya.Padahal selama ini Khalil tidak pernah terlihat sedih atau murung memikirkan papanya, namun jauh di dalam hatinya, anak sulung Kintan itu ternyata menyimpan rasa luka yang begitu dalam.Kintan tidak dapat berbuat
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,