Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya.
"Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya. "Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir. Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?" Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang. "Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang telah meninggal," ucap Kintan tanpa sadar. Yang ia maksud sesungguhnya adalah, ia tidak bisa melupakan kenangan buruk kehidupan rumah tangganya yang suram bersama Kemal, hal yang membuatnya tidak bisa menerima semua sentuhan Iqbal yang membuatnya teringat. Namun Iqbal menganggapnya lain. Ia mengira Kintan masih mencintai suaminya, sehingga Kintan pun merasa bersalah untuk bermesraan dengan lelaki lain. Dan entah kenapa, sekarang pria itu merasa benar-benar cemburu. Cemburu yang tidak sepantasnya, mengingat ia bukan siapa-siapa bagi Kintan. Cemburu buta, pada seseorang yang bahkan telah tiada! Padahal Iqbal tahu suaminya Kintan baru saja meninggal enam bulan yang lalu, jadi adalah hal yang wajar jika Kintan masih belum bisa melupakannya. Enam bulan adalah waktu yang sangat sebentar dibandingkan waktu beberapa tahun rumah tangganya dengan Kemal. Dengan perlahan Iqbal pun bangkit dan berdiri di samping tempat tidur Kintan. "Akulah yang seharusnya meminta maaf. Maafkan aku," tukas Iqbal pelan, mengikuti Kintan yang telah mengganti penyebutan ‘saya’ menjadi ‘aku’. "Aku seharusnya tidak menciummu tadi. Dan juga perbuatanku sesudahnya tadi itu sungguh keterlaluan. Tapi kali ini jangan pernah memintaku untuk melupakannya, Kintan. Sia-sia saja, karena aku tidak akan pernah bisa lupa." Lalu Iqbal pun berjalan menuju pintu kamar Kintan dan membukanya. "Selamat tidur," ucapnya pada Kintan tanpa menoleh lagi pada wanita itu, sebelum keluar dari kamar Kintan dan menutup pintu. *** "Geaa... ayo sarapan dulu," teriak Iqbal, sambil menyiapkan roti bakar green tea dan segelas susu almond untuk anaknya. Sedangkan untuknya sendiri adalah roti bakar polos, dua butir telur dan secangkir kopi. Iqbal telah bersiap untuk berangkat ke kantor, tapi sebelumnya ia akan mengantar putrinya dulu ke sekolah. Gea keluar kamarnya dengan telah berpakaian rapi mengenakan seragam sekolah, lalu ia menatap heran ke arah meja makan. "Kok papa tumben banget hari ini siapin sarapan? Biasanya kan Gea?" Iqbal tersenyum pada putrinya. "Ya boleh dong sekali-sekali papa yang menyiapkan?" Gea mengangguk sambil menggigit rotinya. "Iya sih, boleh banget kok. Kalau bisa malah tiap hari aja. Hehe..." tukasnya sambil nyengir. Iqbal sengaja menyiapkan sarapan pagi ini karena sejujurnya… semalam itu ia sama sekali tidak bisa tidur. Pikirannya terus dan terus melayang kepada Kintan. Ia merasa bersalah karena telah mengikuti hawa nafsunya dan membuat Kintan terluka, bukan secara fisik tapi secara psikis. Kintan jadi mengingat kenangan dengan suaminya yang telah tiada. Tiba-tiba Iqbal merasakan tusukan nyeri di perutnya. Tanpa sadar ia mengernyit, dan memegang area ulu hati dengan satu tangan. ‘Perutku kenapa ya?’ Iqbal pun menarik napas dalam-dalam, seiring dengan rasa nyeri yang dia rasakan malah semakin hebat "Papa kenapa?" tanya Gea yang khawatir melihat ekspresi kesakitan yang terlukis di sana. Iqbal pun menoleh dan tersenyum. "Nggak apa-apa kok. Mungkin kemarin cuma salah makan saja." "Oh iya, gimana project sekolah yang kemarin?" Iqbal ingat, kemarin Gea bercerita kalau guru sainsnya menugaskan untuk membuat miniatur PLTA. "Iya pa. Hari ini rencananya pulang sekolah juga mau kerja kelompok bareng di rumah Sisil buat project sains itu. Boleh ya pa?" Iqbal mengangguk. "Nanti pas pulangnya telpon papa aja. Biar Pak Dimas yang jemput Gea." Pak Dimas adalah supir dinas Iqbal yang didapat dari fasilitas kantor, namun ia sendiri jarang menggunakan supir karena merasa lebih nyaman menyetir sendiri. "Tapi pa, Sisil juga mengajak ke mal untuk makan malam dan jalan-jalan bersama keluarganya setelah kerja kelompok... Gea boleh ikut ya? Kan sekarang hari Jumat dan besok juga sekolah libur?" pinta Gea kemudian. "Ke mal? Mal mana?" Gea menyebutkan sebuah mal di pusat kota yang terkenal dengan jajanan kulinernya. "Hmm... terus mau pulang jam berapa sampai rumah?" "Nggak lewat dari jam 9 malam kok! Gea janji." Iqbal menghela napas. Gini deh kalau punya anak yang mulai remaja, sukanya jalan ke mal. "Ya sudah, hati-hati ya. Kalau sudah mau berangkat ke mal telpon papa dulu." "Iyaa... papa juga pasti lembur lagi malam ini, kan?" Iqbal menaruh cangkir kopinya dan menatap Gea yang barusan bertanya. "Gea keberatan ya kalau papa sering lembur? Maaf ya, akhir-akhir ini memang pekerjaan papa lagi banyak-banyaknya." "Nggak apa-apa kok, pa. Gea ngerti. Apalagi kan kalo Gea libur sekolah, pasti papa juga suka ambil cuti dan ajak Gea traveling." "Nanti hari minggu papa ajak Gea jalan-jalan deh. Terserah Gea mau kemana, Gea yang putuskan." "Hah? Beneran pa?" seru Gea girang. "Horee!" Iqbal hanya tersenyum melihat kegembiraan anak semata wayangnya. Sudah sepantasnya ia lebih fokus kepada Gea, satu-satunya hal di dunia ini yang benar-benar harus ia perhatikan, didik, dan beri kasih sayang yang seluas samudra. Lupakan saja Kintan dan semua wanita yang hanya akan membuat rumit hidupnya. "Udah yuk, cepat habiskan sarapanmu. Kita harus segera berangkat," ucap Iqbal sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tidak berapa lama kemudian, mereka pun selesai sarapan dan sama-sama membereskan peralatan makan. Saat Iqbal hendak mengunci pintu apartemennya bersama Gea, seketika suara pintu apartemen sebelah pun ikut terbuka, diiringi dengan suara-suara riang anak-anak yang berceloteh serta bernyanyi-nyanyumi. "Khalil, Khafi!" Gea berseru gembira melihat anak-anaknya Kintan. Tanpa rikuh sama sekali, ia pun beranjak mendekati pintu apartemen sebelah untuk memeluk dan menciumi mereka dengan gemas. Pandangan Iqbal seketika bersirobok dengan Kintan yang sedang menggendong Khafi. Damned. Baru saja ia bermaksud melupakan Kintan, tapi bagaimana bisa jika wanita itu secantik ini? Kintan mengenakan sweater oversize lengan panjang krem dengan kerah tinggi menutupi lehernya--mungkin ingin menutupi jejak ciuman panas Iqbal tadi malam--dan celana jeans di atas mata kaki berwarna pudar yang membalut kaki jenjangnya. Sepatu pantofel mary jane hitam membuat penampilannya tambah manis. Baju yang Kintan kenakan memang jauh dari kata seksi, tapi Iqbal tahu penampilan seseorang bisa sangat menipu. Karena sesungguhnya Kintan itu… sangat, sangat seksi. Namun seketika Iqbal pun kembali merasakan tusukan nyeri dari perutnya. ‘Kemarin aku makan apa ya? Kenapa tiba-tiba sakit perut begini?’ "Tante mau mengantarkan Khalil sekolah ya? Kok Khafi juga ikut?" tanya Gea penasaran, karena yang ia tahu biasanya Khafo ditinggal di apartemen dengan ART. "Iya. Mbok Yani sedang kurang enak badan, biar dia istirahat dulu. Kasian kalau disuruh jagain Khafi," terang Kintan dalam senyum manisnya yang secerah matahari pagi. "Gea mau berangkat sekolah?" "Iya, Tan. Yuk, turun bareng!" Ajak Gea. "Kak Gea, endooongg!" seru Khafi manja sambil mengulurkan kedua tangannya, meminta Gea untuk menggendongnya. "Sama mama saja ya, kasian kalau Kak Gea gendong Khafi kan berat," ujar Kintan pada anaknya, merasa tidak enak dengan Iqbal yang sedari tadi terus menatapnya datar tanpa ekspresi. "Sama Gea aja, tante. Nggak berat kok!" ucap Gea yang langsung mengambil Khafi dari gendongan Kintan. "Selamat pagi, Bu Kintan," sapa Iqbal pada Kintan dengan senyum manisnya. Kintan sedikit tercekat karena Iqbal kembali memanggilnya dengan sebutan 'Bu', padahal semalam pria itu hanya menyebut namanya tanpa embel-embel itu. Tapi kemudian Kintan sadar kalau semalam itu hanyalah sebuah mimpi yang indah, dan pagi ini adalah kenyataan hidup yang sebenarnya. Mereka pun kembali menjadi Bu Kintan dan Pak Iqbal yang bertetangga. "Pagi juga, Pak Iqbal. Mau berangkat ke kantor?" Tanya Kintan berbasa-basi. Iqbal terlihat sangat tampan dengan padanan jas, dasi dan celana biru tua, serta kemejanya biru laut garis-garis. Aroma parfumnya pun sangat maskulin, sesuai dengan tubuh tinggi dan atletisnya. Kintan tersenyum dalam hati, berpikir kalau pria ini pasti sudah membuat banyak wanita jatuh hati di kantornya, karena ketampanannya yang memang jauh di atas rata-rata. Iqbal hanya menjawab dengan sebuah anggukan ringan. Kemudian mereka pun berjalan bersama ke dalam lift yang telah terbuka. ***Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon
**BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir
Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid
Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Mereka semua sibuk mengunyah dan menikmati bekal makanan yang Kintan bawa sambil mengobrol dan bersenda gurau.Setelahnya makan dan berberes-beres, Kintan langsung melanjutkan pekerjaannya melukis mural, sementara Khalil dan Khafi asyik menonton film kartun kesukaan mereka di youtube dari ponsel Kintan.Gea sendiri sibuk memotret diam-diam Kintan yang sedang melukis, kemudian mengeditnya sedikit dan mempostingnya di instagram miliknya.Sedangkan Iqbal baru saja kembali dari membeli minuman untuk mereka semua. Boba milk tea untuk anak-anak, Ice matcha untuk Kintan, dan kopi untuknya. Khalil dan Khafi sangat antusias dan berterima kasih dengan heboh pada Iqbal saat mereka menerima minuman kesukaannya."Minum dulu, Kintan," ucap Iqbal sambil menyodorkan gelas hitam pada Kintan, yang disambut dengan ceria oleh wanita itu."Terima kasih ya. Kamu nggak perlu repot-repot beliin," tukas Kintan sambil tersenyum."Nggak masalah. Terima kasih juga sudah capek-capek bikin bekal makan siang yang
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut
Kintan menengadah menatap gedung apartemen yang berada di depannya. Cuaca yang cukup terik siang ini, membuat wanita itu menyipitkan mata dan menangkup satu tangan di atas kepala, untuk menghalau sinar matahari yang menyilaukan mata.“Halo, tempat tinggal yang baru! Be nice with us, okay?” Gumannya sembari menyunggingkan senyum. Sambil menghela napas pelan, wanita itu pun berjalan dengan penuh semangat memasuki gedung 23 lantai itu.Kintan memiliki alasan tersendiri saat pindah dari rumah yang selama ini ia tingggali selama bertahun-tahun ke gedung apartemen ini, yaitu agar tidak terganggu dengan tetangga-tetangganya yang mendadak berubah rese dan julid. Terutama, sejak status dirinya yang tiba-tiba menjanda, karena kematian suaminya 6 bulan yang lalu.Ck. Memangnya kenapa sih dengan status janda?? Nggak ngerti deh dengan pemikiran picik mereka, yang seolah alergi dengannya dan merasa kalau Kintan adalah sebuah ancaman bagi suami-suami mereka.Padahal Kintan pun sama sekali tidak
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut
Mereka semua sibuk mengunyah dan menikmati bekal makanan yang Kintan bawa sambil mengobrol dan bersenda gurau.Setelahnya makan dan berberes-beres, Kintan langsung melanjutkan pekerjaannya melukis mural, sementara Khalil dan Khafi asyik menonton film kartun kesukaan mereka di youtube dari ponsel Kintan.Gea sendiri sibuk memotret diam-diam Kintan yang sedang melukis, kemudian mengeditnya sedikit dan mempostingnya di instagram miliknya.Sedangkan Iqbal baru saja kembali dari membeli minuman untuk mereka semua. Boba milk tea untuk anak-anak, Ice matcha untuk Kintan, dan kopi untuknya. Khalil dan Khafi sangat antusias dan berterima kasih dengan heboh pada Iqbal saat mereka menerima minuman kesukaannya."Minum dulu, Kintan," ucap Iqbal sambil menyodorkan gelas hitam pada Kintan, yang disambut dengan ceria oleh wanita itu."Terima kasih ya. Kamu nggak perlu repot-repot beliin," tukas Kintan sambil tersenyum."Nggak masalah. Terima kasih juga sudah capek-capek bikin bekal makan siang yang
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid
**BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir
Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon
Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya."Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya."Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir.Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?"Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang."Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang te
Seharusnya Kintan belajar dari kejadian tadi sore. Seharusnya ia yang sudah berpengalaman pernah menikah dan berumah tangga, tidak dengan begitu mudahnya terbuai seperti gadis remaja.Namun perlakuan Iqbal yang lembut serta permainan perpaduan bibir dan lidah pria itu yang sangat terampil tak pelak membuat wanita itu terbawa suasana, saat Iqbal tiba-tiba mendekatkan wajah untuk menciumnya.Sebagai seorang wanita, tentu saja Kintan memiliki perasaan untuk menolak demi harga dirinya. Namun sebagai seorang wanita juga, ia pun tak bisa menampik perasaan menggebu yang tiba-tiba hadir dan perasaan meremang yang menyenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir Iqbal. Ini adalah kedua kalinya Iqbal menciumnya. Namun untuk kali ini entah kemana akal sehatnya berada, karena Kintan tak lagi menolaknya. Sial. Iqbal sangat ahli berciuman!Berulang kali ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan hasratnya agar tidak mendesah, merasakan nikmat yang diberikan pria itu padanya.Rasa menerima dan menolak