Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya.
"Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya. "Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir. Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?" Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang. "Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang telah meninggal," ucap Kintan tanpa sadar. Yang ia maksud sesungguhnya adalah, ia tidak bisa melupakan kenangan buruk kehidupan rumah tangganya yang suram bersama Kemal, hal yang membuatnya tidak bisa menerima semua sentuhan Iqbal yang membuatnya teringat. Namun Iqbal menganggapnya lain. Ia mengira Kintan masih mencintai suaminya, sehingga Kintan pun merasa bersalah untuk bermesraan dengan lelaki lain. Dan entah kenapa, sekarang pria itu merasa benar-benar cemburu. Cemburu yang tidak sepantasnya, mengingat ia bukan siapa-siapa bagi Kintan. Cemburu buta, pada seseorang yang bahkan telah tiada! Padahal Iqbal tahu suaminya Kintan baru saja meninggal enam bulan yang lalu, jadi adalah hal yang wajar jika Kintan masih belum bisa melupakannya. Enam bulan adalah waktu yang sangat sebentar dibandingkan waktu beberapa tahun rumah tangganya dengan Kemal. Dengan perlahan Iqbal pun bangkit dan berdiri di samping tempat tidur Kintan. "Akulah yang seharusnya meminta maaf. Maafkan aku," tukas Iqbal pelan, mengikuti Kintan yang telah mengganti penyebutan ‘saya’ menjadi ‘aku’. "Aku seharusnya tidak menciummu tadi. Dan juga perbuatanku sesudahnya tadi itu sungguh keterlaluan. Tapi kali ini jangan pernah memintaku untuk melupakannya, Kintan. Sia-sia saja, karena aku tidak akan pernah bisa lupa." Lalu Iqbal pun berjalan menuju pintu kamar Kintan dan membukanya. "Selamat tidur," ucapnya pada Kintan tanpa menoleh lagi pada wanita itu, sebelum keluar dari kamar Kintan dan menutup pintu. *** "Geaa... ayo sarapan dulu," teriak Iqbal, sambil menyiapkan roti bakar green tea dan segelas susu almond untuk anaknya. Sedangkan untuknya sendiri adalah roti bakar polos, dua butir telur dan secangkir kopi. Iqbal telah bersiap untuk berangkat ke kantor, tapi sebelumnya ia akan mengantar putrinya dulu ke sekolah. Gea keluar kamarnya dengan telah berpakaian rapi mengenakan seragam sekolah, lalu ia menatap heran ke arah meja makan. "Kok papa tumben banget hari ini siapin sarapan? Biasanya kan Gea?" Iqbal tersenyum pada putrinya. "Ya boleh dong sekali-sekali papa yang menyiapkan?" Gea mengangguk sambil menggigit rotinya. "Iya sih, boleh banget kok. Kalau bisa malah tiap hari aja. Hehe..." tukasnya sambil nyengir. Iqbal sengaja menyiapkan sarapan pagi ini karena sejujurnya… semalam itu ia sama sekali tidak bisa tidur. Pikirannya terus dan terus melayang kepada Kintan. Ia merasa bersalah karena telah mengikuti hawa nafsunya dan membuat Kintan terluka, bukan secara fisik tapi secara psikis. Kintan jadi mengingat kenangan dengan suaminya yang telah tiada. Tiba-tiba Iqbal merasakan tusukan nyeri di perutnya. Tanpa sadar ia mengernyit, dan memegang area ulu hati dengan satu tangan. ‘Perutku kenapa ya?’ Iqbal pun menarik napas dalam-dalam, seiring dengan rasa nyeri yang dia rasakan malah semakin hebat "Papa kenapa?" tanya Gea yang khawatir melihat ekspresi kesakitan yang terlukis di sana. Iqbal pun menoleh dan tersenyum. "Nggak apa-apa kok. Mungkin kemarin cuma salah makan saja." "Oh iya, gimana project sekolah yang kemarin?" Iqbal ingat, kemarin Gea bercerita kalau guru sainsnya menugaskan untuk membuat miniatur PLTA. "Iya pa. Hari ini rencananya pulang sekolah juga mau kerja kelompok bareng di rumah Sisil buat project sains itu. Boleh ya pa?" Iqbal mengangguk. "Nanti pas pulangnya telpon papa aja. Biar Pak Dimas yang jemput Gea." Pak Dimas adalah supir dinas Iqbal yang didapat dari fasilitas kantor, namun ia sendiri jarang menggunakan supir karena merasa lebih nyaman menyetir sendiri. "Tapi pa, Sisil juga mengajak ke mal untuk makan malam dan jalan-jalan bersama keluarganya setelah kerja kelompok... Gea boleh ikut ya? Kan sekarang hari Jumat dan besok juga sekolah libur?" pinta Gea kemudian. "Ke mal? Mal mana?" Gea menyebutkan sebuah mal di pusat kota yang terkenal dengan jajanan kulinernya. "Hmm... terus mau pulang jam berapa sampai rumah?" "Nggak lewat dari jam 9 malam kok! Gea janji." Iqbal menghela napas. Gini deh kalau punya anak yang mulai remaja, sukanya jalan ke mal. "Ya sudah, hati-hati ya. Kalau sudah mau berangkat ke mal telpon papa dulu." "Iyaa... papa juga pasti lembur lagi malam ini, kan?" Iqbal menaruh cangkir kopinya dan menatap Gea yang barusan bertanya. "Gea keberatan ya kalau papa sering lembur? Maaf ya, akhir-akhir ini memang pekerjaan papa lagi banyak-banyaknya." "Nggak apa-apa kok, pa. Gea ngerti. Apalagi kan kalo Gea libur sekolah, pasti papa juga suka ambil cuti dan ajak Gea traveling." "Nanti hari minggu papa ajak Gea jalan-jalan deh. Terserah Gea mau kemana, Gea yang putuskan." "Hah? Beneran pa?" seru Gea girang. "Horee!" Iqbal hanya tersenyum melihat kegembiraan anak semata wayangnya. Sudah sepantasnya ia lebih fokus kepada Gea, satu-satunya hal di dunia ini yang benar-benar harus ia perhatikan, didik, dan beri kasih sayang yang seluas samudra. Lupakan saja Kintan dan semua wanita yang hanya akan membuat rumit hidupnya. "Udah yuk, cepat habiskan sarapanmu. Kita harus segera berangkat," ucap Iqbal sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tidak berapa lama kemudian, mereka pun selesai sarapan dan sama-sama membereskan peralatan makan. Saat Iqbal hendak mengunci pintu apartemennya bersama Gea, seketika suara pintu apartemen sebelah pun ikut terbuka, diiringi dengan suara-suara riang anak-anak yang berceloteh serta bernyanyi-nyanyumi. "Khalil, Khafi!" Gea berseru gembira melihat anak-anaknya Kintan. Tanpa rikuh sama sekali, ia pun beranjak mendekati pintu apartemen sebelah untuk memeluk dan menciumi mereka dengan gemas. Pandangan Iqbal seketika bersirobok dengan Kintan yang sedang menggendong Khafi. Damned. Baru saja ia bermaksud melupakan Kintan, tapi bagaimana bisa jika wanita itu secantik ini? Kintan mengenakan sweater oversize lengan panjang krem dengan kerah tinggi menutupi lehernya--mungkin ingin menutupi jejak ciuman panas Iqbal tadi malam--dan celana jeans di atas mata kaki berwarna pudar yang membalut kaki jenjangnya. Sepatu pantofel mary jane hitam membuat penampilannya tambah manis. Baju yang Kintan kenakan memang jauh dari kata seksi, tapi Iqbal tahu penampilan seseorang bisa sangat menipu. Karena sesungguhnya Kintan itu… sangat, sangat seksi. Namun seketika Iqbal pun kembali merasakan tusukan nyeri dari perutnya. ‘Kemarin aku makan apa ya? Kenapa tiba-tiba sakit perut begini?’ "Tante mau mengantarkan Khalil sekolah ya? Kok Khafi juga ikut?" tanya Gea penasaran, karena yang ia tahu biasanya Khafo ditinggal di apartemen dengan ART. "Iya. Mbok Yani sedang kurang enak badan, biar dia istirahat dulu. Kasian kalau disuruh jagain Khafi," terang Kintan dalam senyum manisnya yang secerah matahari pagi. "Gea mau berangkat sekolah?" "Iya, Tan. Yuk, turun bareng!" Ajak Gea. "Kak Gea, endooongg!" seru Khafi manja sambil mengulurkan kedua tangannya, meminta Gea untuk menggendongnya. "Sama mama saja ya, kasian kalau Kak Gea gendong Khafi kan berat," ujar Kintan pada anaknya, merasa tidak enak dengan Iqbal yang sedari tadi terus menatapnya datar tanpa ekspresi. "Sama Gea aja, tante. Nggak berat kok!" ucap Gea yang langsung mengambil Khafi dari gendongan Kintan. "Selamat pagi, Bu Kintan," sapa Iqbal pada Kintan dengan senyum manisnya. Kintan sedikit tercekat karena Iqbal kembali memanggilnya dengan sebutan 'Bu', padahal semalam pria itu hanya menyebut namanya tanpa embel-embel itu. Tapi kemudian Kintan sadar kalau semalam itu hanyalah sebuah mimpi yang indah, dan pagi ini adalah kenyataan hidup yang sebenarnya. Mereka pun kembali menjadi Bu Kintan dan Pak Iqbal yang bertetangga. "Pagi juga, Pak Iqbal. Mau berangkat ke kantor?" Tanya Kintan berbasa-basi. Iqbal terlihat sangat tampan dengan padanan jas, dasi dan celana biru tua, serta kemejanya biru laut garis-garis. Aroma parfumnya pun sangat maskulin, sesuai dengan tubuh tinggi dan atletisnya. Kintan tersenyum dalam hati, berpikir kalau pria ini pasti sudah membuat banyak wanita jatuh hati di kantornya, karena ketampanannya yang memang jauh di atas rata-rata. Iqbal hanya menjawab dengan sebuah anggukan ringan. Kemudian mereka pun berjalan bersama ke dalam lift yang telah terbuka. ***Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon
**BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir
Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid
Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Mereka semua sibuk mengunyah dan menikmati bekal makanan yang Kintan bawa sambil mengobrol dan bersenda gurau.Setelahnya makan dan berberes-beres, Kintan langsung melanjutkan pekerjaannya melukis mural, sementara Khalil dan Khafi asyik menonton film kartun kesukaan mereka di youtube dari ponsel Kintan.Gea sendiri sibuk memotret diam-diam Kintan yang sedang melukis, kemudian mengeditnya sedikit dan mempostingnya di instagram miliknya.Sedangkan Iqbal baru saja kembali dari membeli minuman untuk mereka semua. Boba milk tea untuk anak-anak, Ice matcha untuk Kintan, dan kopi untuknya. Khalil dan Khafi sangat antusias dan berterima kasih dengan heboh pada Iqbal saat mereka menerima minuman kesukaannya."Minum dulu, Kintan," ucap Iqbal sambil menyodorkan gelas hitam pada Kintan, yang disambut dengan ceria oleh wanita itu."Terima kasih ya. Kamu nggak perlu repot-repot beliin," tukas Kintan sambil tersenyum."Nggak masalah. Terima kasih juga sudah capek-capek bikin bekal makan siang yang
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut
Iqbal dan Rani telah berada di dalam lift menuju ke lobby lantai dasar, dan Rani masih terus menatap Iqbal dengan lekat."Jadi dia ya?" tanya Rani pada Iqbal."Dia siapa?" tanya balik Iqbal tidak mengerti."Si pelukis mural yang ada di insta*gram Gea? Dia itu tetanggamu kan?"Iqbal tidak mengerti apa maksud Rani, karena dia tidak punya satu pun akun medsos. "Mungkin," jawabnya singkat sambil mengedikkan bahu.Rani tertawa sinis. "Kamu suka sama dia?"Iqbal menatap sekilas namun tajam pada wanita di sampingnya. "Bukan urusanmu.""Iqbal!" jerit Rani frustasi, mengagetkan Iqbal dan membuatnya terlonjak. Untung saja di dalam lift itu hanya ada mereka berdua."Apaan sih? Berisik banget!" sentak Iqbal jengkel."Bisa nggak, jangan irit-irit kalau kasih jawaban?! Aku kan cuma mau ngobrol santai dengan kamu, apa sulitnya sih?" Rani menghentakkan kakinya dengan kesal."Ya sudah. Ngobrol," sahut Iqbal tidak peduli."Aku kangen kamu, tahu!" Guman Rani manja.“Aku nggak.” "Iqbal!" Rani kembali be
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya.Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel.Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa."Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara.Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!'SARAAPP!!!Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan.Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.'"Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsung seper
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan mengabarkan b
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,