Seharusnya Kintan belajar dari kejadian tadi sore.
Seharusnya ia yang sudah berpengalaman pernah menikah dan berumah tangga, tidak dengan begitu mudahnya terbuai seperti gadis remaja. Namun perlakuan Iqbal yang lembut serta permainan perpaduan bibir dan lidah pria itu yang sangat terampil tak pelak membuat wanita itu terbawa suasana, saat Iqbal tiba-tiba mendekatkan wajah untuk menciumnya. Sebagai seorang wanita, tentu saja Kintan memiliki perasaan untuk menolak demi harga dirinya. Namun sebagai seorang wanita juga, ia pun tak bisa menampik perasaan menggebu yang tiba-tiba hadir dan perasaan meremang yang menyenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir Iqbal. Ini adalah kedua kalinya Iqbal menciumnya. Namun untuk kali ini entah kemana akal sehatnya berada, karena Kintan tak lagi menolaknya. Sial. Iqbal sangat ahli berciuman! Berulang kali ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan hasratnya agar tidak mendesah, merasakan nikmat yang diberikan pria itu padanya. Rasa menerima dan menolak sentuhan lidah basah Iqbal seakan sedang berperang di dalam otaknya, menggetarkan seluruh tubuhnya yang kini berada dalam kungkungan dekapan Iqbal. Ini... tidak benar! Kintan pun bermaksud untuk mendorong dada bidang Iqbal agar menghentikan ini semua, sebelum segalanya menjadi terlambat. Tapi bertentangan dengan perintah dari logikanya, beberapa saat kemudian Kintan malah meraup bagian dada kemeja pria itu, seakan tidak ingin cumbuan yang menyenangkan ini berhenti. Dan Kintan pun akhirnya menyerah. Membiarkan hasratnya mengambil alih seluruh tubuhnya yang telah panas dan meletup karena hasrat. Sementara itu, Iqbal tahu kalau Kintan akhirnya mulai terpancing pada umpan yang ia lemparkan. Ia pun tersenyum diam-diam untuk merayakan keberhasilannya memancing hasrat wanita itu. Wanita yang membuatnya penasaran setengah mati. Yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan tetangganya yang janda ini sepanjang hari. Kintan terlihat seperti gadis polos jika pertama kali melihatnya. Bahkan, Iqbal sempat mengira wanita ini masih berada di bangku kuliah! Tapi siapa yang menyangka, kalau Kintan yang tampak polos ternyata menyimpan gairah panas yang sangat ingin dilihat oleh Iqbal ketika meledak ke permukaan. Pasti sangat menakjubkan. Meskipun Iqbal tidak tahu, kenapa harus Kintan yang membuatnya menjadi seperti anak remaja yang sedang puber seperti ini... Sudah tiga tahun Iqbal menduda, dan selama ini tidak ada satu pun wanita yang membuatnya tertarik. Bukan karena mereka tidak cantik, hanya saja Iqbal benar-benar tidak berselera pada mereka. Gea juga sering menjodohkan Iqbal dengan wanita yang menarik, tapi tetap saja pria itu tidak berminat. Sedangkan Kintan... Bahkan saat pertama kalinya ia bertemu wanita itu di depan lift, diam-diam Iqbal sudah tertarik. Pria itu ingat saat Kintan yang terlihat kerepotan membawa kardus besar berisi mainan anak-anak, dan di tengah jalan ia malah terjungkal oleh tali sepatunya sendiri. Menggemaskan sekali. Iqbal benar-benar tidak menyangka kalau wanita yang telah membuatnya mabuk kepayang adalah tetangganya sendiri. Darah Iqbal pun semakin berdesir dengan cepat, saat Kintan mencari-cari bibirnya dan membalas ciumannya dengan lembut. Awalnya Iqbal membalasnya dengan kelembutan yang sama, namun lama-kelamaan pagutan itu menjadi sengit dan keras, seakan berubah menjadi pertunjukan adu gairah yang sangat panas. Karena mereka telah sama-sama terseret dalam kencangnya arus yang telah membenturkan logika dan hasrat. “Iqbal…” Kintan lirih melenguhkan nama Iqbal, saat ia merasa badannya telah sepanas api yang ingin segera dipadamkan. Ia tidak mengerti, ia sungguh bingung, kenapa tubuhnya bisa sepanas ini?! Meskipun enggan, namun Kintan diam-diam mengakui, bahwa baru kalau ini ia bisa mereguk rasa yang sedahsyat ini. Bahkan dengan Kemal pun Kintan belum pernah merasakannya. Iqbal yang mengerti akan kebutuhan Kintan, segera bergerak lebih jauh. Perlahan ia mengusap lembut leher Kintan dengan telapak tangannya yang hangat, lalu turun ke tulang selangka wanita itu. “Mmhh…” Sial. Kintan serasa gila ketika kehangatan tangan Iqbal kini berada di dadanya, dan menangkup bukit menakjubkan wanita itu untuk dimanjakan. Aarghh… terkutuklah gairahnya yang merindukan sentuhan pria! "Kintan, boleh aku melihatnya?" Iqbal mungkin tahu pada kebutuhan Kintan yang tak tak dapat lagi ia bendung. Sakit di sekujur tubuhnya akibat reaksi alergi, kini telah berkurang akibat efek obat. Dan kini, godaan Iqbal telah berhasil membuatnya tenggelam dalam gelora. Manik coklat Iqbal pun sama sepertinya, telah berkabut dalam bayang-bayang hasrat. Kintan hanya bisa menjawab dalam gumanan lirih tak jelas, saat Iqbal bertanya sambil mengelus lembut gundukan yang terlihat penuh itu. Namun satu hal yang Iqbal tahu pasti, bahwa Kintan telah mengizinkannya untuk bertindak lebih jauh. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Iqbal pun melucuti gaun hitam itu dari tubuh Kintan, sehingga yang tertinggal hanyalah pakaian dalamnya. Keindahan yang seketika terpampang di hadapannya pun membuat Iqbal terkesima. Kintan... dia terlalu menakjubkan. Tubuhnya sangat ramping, namun memiliki lekukan yang begitu menggoda dan penuh di bagian yang tepat. Sempurna, dan tanpa cela. Sepertinya Kintan sangat merawat tubuhnya. Kulitnya yang putih sehalus sutra, lembut bagaikan mentega, dan rasanya manis seperti madu. Iqbal pun menelan ludah. Kintan terlalu menggiurkan baginya. Pria itu tidak yakin akan bisa menahan keinginannya untuk segera melampiaskan hasratnya dengan cepat dan keras bersama Kintan. Ia sudah lama tidak melakukannya, semenjak ia bercerai. Selama ini Iqbal hanya tenggelam dalam kesibukan pekerjaan dan mengurus kebutuhan Gea. Tidak pernah ada sekalipun niatnya untuk dekat dengan lawan jenis, meskipun keluarga serta teman-temannya menyuruh Iqbal untuk segera menikah lagi. Hanya saja, ia belum bisa melupakan rasa sakitnya dikhianati oleh orang yang pernah ia cinta segenap rasa. Perihnya saat kesetiaannya tidak dihargai dengan timbal balik. Kehormatan keluarga dan harga dirinya telah dinodai oleh Rani, mantan istrinya. Ia belum bisa melupakan itu. Tapi entah sejak kapan, untuk sejenak Kintan telah membuatnya lupa pada rasa sakit itu. Wanita inilah yang membuatnya ingin menyentuh tubuh wanita lagi, ingin merasakan kehangatan berbalut kelembutan yang feminin dan membuatnya serasa mabuk. Ia memang pernah mencintai Rani. Tapi saat mereka bersama dulu… Iqbal tidak pernah merasakan panasnya kobaran api yang membakar seluruh tubuhnya seperti ini. Kintan benar-benar telah membuatnya gila. Iqbal menyentuh dan merasakan sensasi yang lezat di sana dengan bibirnya. Merasakan sekujur tubuh Kintan begitu menggiurkan, begitu menggoda. Dan membuatnya tidak ingin berhenti. Kintan pun hanya bisa merintih, saat Iqbal menggigit lembut lekukan menonjol di dadanya dari balik bra. Kedua matanya terpejam dan kepalanya menengadah ke atas. Ia mencengkram kuat rambut tebal dan hitam milik Iqbal, seakan memohon dalam kebisuan untuk tidak berhenti. Kecupan Iqbal pun kemudian turun ke bawah, ke perut rata Kintan. Bagian yang juga begitu sempurna di mata Iqbal. "Perut kamu sangat indah, Kintan. Sudah punya dua anak, tapi kok masih rata saja, sih?" tanya pria itu kagum. Pujian Iqbal yang tampal tulus itu membuat Kintan tersenyum malu, namun tiba-tiba saja bayangan Kemal terbersit kembali di pikirannya. Kemal, suaminya, yang tidak pernah memujinya sekali pun dalam hal apa pun. Yang sering membuatnya kesal dengan ketidak-pedulian suaminya itu pada Kintan dan anak-anak mereka. Kemal juga sangat pemarah dan sensitif. Terkadang dari yang cuma bercanda, tiba-tiba saja jadi bertengkar karena Kemal yang mudah tersinggung. Jujur saja, Kintan sebenarnya sudah tidak tahan dengan sikap Kemal yang egois dan pemarah itu. Jika saja tidak ada Khalil dan Khafi, mungkin Kintan sudah mengajukan cerai. Bayangan buruk pernikahan yang terlintas di benaknya itu tanpa sadar membuat Kintan melamun, dan membuat Iqbal mendongakkan wajahnya karena menyadari Kintan yang tak lagi mendesah. ***Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya."Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya."Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir.Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?"Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang."Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang te
Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon
**BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir
Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid
Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Mereka semua sibuk mengunyah dan menikmati bekal makanan yang Kintan bawa sambil mengobrol dan bersenda gurau.Setelahnya makan dan berberes-beres, Kintan langsung melanjutkan pekerjaannya melukis mural, sementara Khalil dan Khafi asyik menonton film kartun kesukaan mereka di youtube dari ponsel Kintan.Gea sendiri sibuk memotret diam-diam Kintan yang sedang melukis, kemudian mengeditnya sedikit dan mempostingnya di instagram miliknya.Sedangkan Iqbal baru saja kembali dari membeli minuman untuk mereka semua. Boba milk tea untuk anak-anak, Ice matcha untuk Kintan, dan kopi untuknya. Khalil dan Khafi sangat antusias dan berterima kasih dengan heboh pada Iqbal saat mereka menerima minuman kesukaannya."Minum dulu, Kintan," ucap Iqbal sambil menyodorkan gelas hitam pada Kintan, yang disambut dengan ceria oleh wanita itu."Terima kasih ya. Kamu nggak perlu repot-repot beliin," tukas Kintan sambil tersenyum."Nggak masalah. Terima kasih juga sudah capek-capek bikin bekal makan siang yang
Hari ini hari Minggu. Iqbal sedang bersiap-siap dengan kopernya untuk berangkat ke bandara dalam perjalanan dinas ke Jogja. Gea menatap wajah papanya yang terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kaos turtleneck coklat tua di dalamnya. Anak remaja itu pun menahan napasnya, membayangkan pasti banyak tante-tante ganjen yang akan menggoda papanya. Ck. Gea masih ingat sekali waktu mereka traveling ke bali tahun lalu. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita melirik, menatap, bahkan memandang dan menggoda dengan terang-terangan kepada papanya. Lalu saat mereka sedang makan siang di resto bandara di Bali, tiba-tiba pelayan resto itu mendatangi Iqbal dan menyerahkan sebuah note berisi nomor ponsel seseorang yang bernama Berlian, lengkap dengan cetakan bibir berlipstik merah menyala di dalamnya. Sewaktu mereka traveling ke Labuan Bajo, seorang turis domestik yang seksi bahkan mengajak papanya secara langsung untuk ikut
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya.Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel.Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa."Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara.Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!'SARAAPP!!!Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan.Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.'"Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsung seper
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan mengabarkan b
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,