Beranda / Romansa / Duda dan Janda Bertetangga / 3. Tetangga Yang Baik Hati

Share

3. Tetangga Yang Baik Hati

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-22 12:50:47

"Kok sudah pulang?" tegur Iqbal pada Gea, yang tampak baru saja masuk apartemen tak begitu lama darinya.

Gea menghempaskan tubuhnya di atas sofa di samping papanya. “Tante Kintan yang meminta aku pulang. Katanya orang tua yang setelah lelah bekerja, ketika pulang perasaan lelah itu akan sirna saat melihat wajah anaknya yang tersenyum menyambut,” ucap Gea sambil menatap papanya.

"Ck. Tante Kintan bikin aku baper aja!" Gea mencebik sambil memeluk Iqbal manja.

“Pa.”

“Hm?”

"Menurut papa, Tante Kintan cantik kan?"

"Kamu yang cantik," elak Iqbal sambil mencubit gemas pipi putrinya. "Jangan mulai deh, Ge!" Dengusnya, yang tahu kalau anaknya ini pasti berniat menjodohkan dirinya dengan Kintan.

Gea pun nyengir lebar karena taktiknya ketahuan. "Pa, aku boleh main ke rumah Tante Kintan ya, kalau papa sedang bekerja? Aku seneng banget bisa bermain dengan Khalil dan Khafi. Rasanya seperti punya adik sendiri."

Iqbal menatap putrinya sambil membelai rambut Gea. Ia tahu Gea kesepian sendirian di apartemen ini, tidak ada yang menemaninya karena Iqbal sibuk bekerja.

Asisten rumah tangga juga hanya datang 3x dalam seminggu, karena hanya mengurus dua orang sehingga tak banyak yang dikerjakan.

"Pa... kok diem aja sih? Boleh nggak, Gea main ke apartemen sebelah kalau papa sedang kerja?" ulang Gea.

Iqbal masih mengelus rambut sebahu anak gadisnya sambil berpikir sejenak, lalu akhirnya ia pun mengangguk.

"Iya, boleh. Tapi kamu jangan sampai merepotkan Tante Kintan, ya?"

"YES!!" seru Gea girang. "Oh iya pa, Tante Kintan itu kan profesinya pelukis mural. Terus Gea minta dia untuk melukis kamar Gea. Boleh kan? Katanya gratis kok kalau buat Gea."

'Pelukis?'

Sontak, Iqbal pun kembali teringat pada pemandangan yang ia lihat sebelumnya tadi.

Kintan dengan tampilan celana pendek hot pants yang menggoda, dan kaus ketat yang membuat kedua bulatan penuh di dadanya itu terlihat menggiurkan.

Juga bibir merah merekah yang sedang bersenandung pelan, mengundang untuk di...

‘Ehem. Aku mikir apa sih??’

Iqbal pun mendehem pelan untuk mengusir bayangan wanita itu dari pikirannya yang mulai kemana-mana.

Duh, kenapa malah wanita dari apartemen sebelah yang membuat otaknya jadi travelling??

"Ya, boleh saja kalau kamu mau," jawab Iqbal akhirnya kepada Gea, membuat anak remaja itu pun seketika tersenyum gembira.

"Yeaayy!! Papa lihat saja nanti, lukisan Tante Kintan tuh pasti bagus banget!"

***

Besoknya sama seperti kemarin, Gea pum kembali mengunjungi apartemen Kintan sepulang sekolah.

Kintan bahkan juga mengajaknya untuk makan siang bersama, agar Gea tidak perlu lagi repot-repot masak sendiri.

"Hm... enaaak banget, Ma!" seru Gea dengan maniknya yang berbinar-binar menikmati masakan Kintan yang sangat lezat.

Menyenangkan sekali ketika pulang sekolah dan makanan telah tersedia tanpa harus memasak sendiri.

Gea pun sudah mulai berani memanggil Kintan dengan sebutan ‘Mama’, dan ia juga senang karena melihat wanita itu yang juga tidak tampak keberatan.

Kintan memang tidak terlalu menganggap serius panggilan itu, lagi pula sebenarnya ia pun tak tega jika menolak melihat bagaimana senangnya Gea.

"Oh iya Gea, gimana kalau mural kamarmu dikerjakan siang ini saja? Mumpung Pak Iqbal sedang di kantor?" usul Kintan, saat mereka telah selesai makan dan sedang bersantai di depan televisi.

Kintan tidak mau kepergok lelaki itu lagi karena malu. Kemarin pakaiannya sedikit kurang sopan, dan perilakunya yang menyetel lagu dengan volume keras pasti telah membuat tetangganya itu kesal.

Kintan tidak ingin punya musuh di sini.

"Iya, boleh saja, Ma. Hm… gimana kalau aku juga ikut bantuin?" Usul Gea.

"Eh, nggak boleeh! Kak Gea main sama Khafi aja...," rengek Khafi manja sambil memegang tangan Gea kuat.

Gea pun tertawa dan mencubit gemas pipi gembil anak kecil itu. "Okee... Kalau gitu Kak Gea sama Khafi ndut aja deh!" Ucapnya sambil mengacak rambut Khafi main-main.

Suara denting bel yang tiba-tiba terdengar, membuat Bi Yani yang sedang mencuci piring pun menghentikan kegiatannya untuk membuka pintu.

“Bu Kintan, itu ada Pak Bimo yang datang,” beri tahu Bi Yani yang telah kembali lagi ke ruang makan.

Kintan mengangguk. “Iya, saya ganti baju dulu.”

Wanita itu pun segera berdiri dan menghambur ke dalam kamarnya untuk ganti baju, karena saat ini ia hanya memakai tank top dan hot pants baju faforitnya kalau sedang santai hanya bersama anak-anak di rumah.

Tak pelak, Gea pun menatap dengan rasa penasaran pada ruang tamu yang terhalang tembok.

‘Pak Bimo? Siapa itu?’

"Sst.. Bi Yani, sini...," bisik pelan Gea.

Bi Yani yang sedang kembali mencuci piring pun menghentikan kegiatannya dan mendekati Gea.

"Bi, Pak Bimo itu siapa sih?" Tanya anak perempuan itu.

"Ooh... Pak Bimo itu teman sekolahnya Bu Kintan, dia juga pemilik apartemen ini yang disewa oleh Bu Kintan," ungkap Bi Yani.

Gea manggut-manggut sembari mencerna informasi itu. "Jadi gitu ya..."

Saat itu juga Kintan terlihat keluar dari kamarnya. Hot pants super pendeknya telah diganti dengan rok selutut bunga-bunga biru, sedangkan tank topnya tetap dipakai, hanya saja dilapisi lagi dengan kardigan navy.

"Mama mau pergi?" tanya Gea pada Kintan, setelah ia mengamati wanita itu sejenak.

"Nggak. Cuma mau menemui tamu aja," jawab Kintan santai sambil tersenyum dan berlalu menuju tamunya.

Gea lalu menatap Khalil yang sibuk dengan gadgetnya, sedangkan Khafi asik nonton tivi. Bi Yani masih sibuk membersihkan dapur.

Oke, kondisi cukup aman.

Nggak bakal ada yang lihat kalau Gea ngintip dan mencari tahu seperti apa sebenarnya tamu yang namanya Pak Bimo itu.

Gea pun perlahan berjingkat untuk mengintip, lalu beberapa saat kemudian ia pun mendesah kesal.

‘Hhh.. kayaknya Pak Bimo itu naksir sama Mama Kintan, deh. Kelihatan dari tatapan matanya yang tidak lepas dari Mama Kintan dari tadi!' Gerutunya dalam hati

Lalu dengan mood yang mulai jelek, Gea pun memutuskan untuk menonton kartun di televisi bersama Khafi.

***

"Gimana apartemennya, Ntan? Cocok nggak?" tanya Bimo yang duduk di sofa di samping Kintan.

"Cocok, Bim. Apartemen kamu bersih dan bagus. Anak-anak juga betah di sini," jawab Kintan.

Bimo tersenyum. "Syukurlah. Kalau butuh apa-apa hubungi aku aja. Aku akan bantu apa pun itu," tambahnya.

Kintan mengangguk penuh syukur, karena memang ia merasa telah terbantu oleh Bimo yang menawarkan untuk menyewa apartemen miliknya.

"By the way, aku mau mengajak kamu dinner nanti malam, bisa nggak?" todong Bimo langsung dan tiba-tiba, membuat Kintan menaikkan kedua alisnya.

Tampak wanita itu berpikir sejenak. "Tunggu dulu. Dinner dalam rangka apa dulu nih?" Tanyanya curiga.

"Ya ampun, Ntan. Kita kan temen, yaa... anggep aja ini sebagai traktiran dalam rangka ucapan terima kasih karena telah menjadi penyewa apartemen ini... gimana?"

"Kalau sebagai sesama teman sih, oke... tapi aku nggak bisa kasih lebih dari itu ya," tegas Kintan sambil tersenyum.

Bimo manggut-manggut. "Nggak masalah," sahutnya diam-diam penuh maksud, karena jauh di dalam benaknya, Bimo memang ingin mendekati Kintan.

Si janda dua anak yang sejak semasa sekolah dulu sudah ia taksir.

***

Sekarang Kintan sudah berada di kamar Gea lagi, melanjutkan lukisannya yang belum selesai kemarin.

Kali ini, ia sudah mulai sejak jam 2 siang sebagai antisipasi sebelum Pak Iqbal pulang kerja.

Kalau sesuai jadwal normal sih, pulang kerja jam 5 sore. Walaupun menurut Gea papanya selalu lembur, Kintan akan tetap pulang sebelum jam 5 sore untuk jaga-jaga.

Kali ini ia memutar lagu-lagunya The Chainsmokers dan ikut bernyanyi sambil menari.

Karena suara musik yang kencang, ia tidak tahu kalau ponselnya Gea yang tertinggal di kamarnya itu sedang berdering sejak tadi.

Sementara itu di seberang sana…

"Gea kemana, sih? Ponselnya nggak diangkat terus dari tadi??" ucap Iqbal pada diri sendiri.

Saat ini ia sedang berada di lobby bawah apartemen, setelah berkendara sendiri dari kantor.

Seketika ia pun mengingat ucapan putrinya itu tadi pagi, yang mengatakan kalau sepulang sekolah akan mampir ke apartemen sebelah.

‘Jangan-jangan Gea sedang berada di rumah Bu Kintan, dan ponsel itu malah ketinggalan di kamarnya!’ Iqbal pun mereka-reka sembari menghela napas pelan.

Tadinya, ia hendak meminta Gea untuk membawakan dokumen penting mengenai pekerjaan yang tertinggal di rumah, untuk dibawa ke lobby apartemen di bawah.

Maksudnya sih supaya Iqbal tidak perlu repot-repot parkir mobil dan naik ke apartemennya.

Tapi ya sudahlah…

Iqbal pun memutuskan untuk turun dari mobil dan langsung naik saja ke atas.

Saat ia membuka pintu apartemennya, kembali terdengar suara musik yang keras dari kamar Gea. Dan sudah jelas pula bahwa itu bukanlah lagu K-pop kegemaran anaknya itu.

Apakah wanita itu datang lagi?

Sambil berjalan mengendap-endap menuju kamar Gea, Iqbal berpikir betapa bodohnya dirinya.

Buat apa dia mengendap-endap di rumahnya sendiri?? Kayak orang yang mau mengintip saja!

Yah, tapi tidak salah juga sih. Memang dia berniat mau ngintip juga.

Sesampainya depan kamar Gea, Iqbal pun terperanjat. Ia tak bisa menahan jantungnya yang berdebar dengan begitu kencang, berdentam dengan keras di dadanya.

Iqbal mengerjap pelan, dan menelan ludahnya dengan susah payah.

Kintan, wanita itu… tampak bersinar. Ia sedang melukis bunga lili dengan begitu indah.

Wanita itu masih fokus melukis, namun bibirnya yang merah ranum itu pun ikut bersenandung lagu yang sama dengan yang diputar di ponselnya. Dari The Chainsmokers, tapi Iqbal lupa judulnya.

Atasan tank top yang ia kenakan membuat gundukan indah dan penuh di dadanya itu semakin tercetak jelas. Jeans hot pants robek-robek membuat pahanya yang mulus dan seputih susu terpampang nyata.

‘Apa wanita ini sengaja menggodaku?’

Pikiran itu pun cepat-cepat ia hilangkan, karena tampak tak masuk akal baginya. Saat ini masih jam 3 sore, masih waktunya kerja. Jadi kalau memang Kintan berniat segenit itu, paling tidak ia pasti melakukannya di pukul 5 sore ketika jam pulang.

Masalahnya… apa harus banget pakaiannya kurang bahan seperti itu?!

Tiba-tiba saja Kintan menggerakkan tubuhnya dengan lincah, menari-nari sambil terus bernyanyi tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang bediri di bingkai pintu tengah memandangnya lekat-lekat.

Padahal wanita cantik dan seksi bertebaran di kantornya, dan tidak sedikit juga yang menggoda Iqbal, tapi kenapa malah janda dua anak ini yang membuat mata Iqbal tak mampu berkedip?

Memang ia mengakui kalau Kintan sangat cantik dan awet muda.

Bahkan ketika pertama kalinya ia melihat wanita ini memungut mainan yang jatuh di lantai, Iqbal pun diam-diam sudah mengaguminya.

Namun kala itu ia mengira Kintan masih berusia 19 atau 20 tahun, bukan seorang wanita yang sudah berusia matang apalagi seorang janda.

Iqbal yang masih terus terpaku menatap Kintan, hingga tanpa sengaja pandangan mereka pun bertemu.

“Aaaaa…!!!”

Sontak saja Kintan berteriak karena kaget, dan tanpa sengaja kakinya menginjak genangan kecil cat yang tumpah di lantai hingga membuatnya terpeleset.

Wanita itu sudah pasrah mengira tubuhnya akan menghantam lantai dengan keras, jika saja Iqbal tidak segera bergerak cepat untuk menarik tangannya.

Lengan pria itu memeluk erat pinggang ramping Kintan, membuatnya bisa merasakan panasnya telapak tangan lelaki itu di kulitnya hingga menembus pakaian yang Kintan kenakan.

Tanpa sadar mereka pun saling berpandangan, dengan tubuh yang saling menempel dan lengan yang saling mengait.

Mungkin karena ia sudah lama tidak bersama wanita, atau mungkin karena situasi yang mendukung, atau juga karena wangi aroma di rambut Kintan…

Iqbal pun sibuk mencari 1001 alasan karena rasanya saat ini otaknya sudah korslet, dan tiba-tiba saja ia pun langsung memagut keras bibir penuh merekah Kintan dengan bibirnya.

Persetan dengan tetangga sendiri.

Yang pasti, hasratnya harus tuntas saat ini juga... atau ia bisa gila.

***

Bab terkait

  • Duda dan Janda Bertetangga    4. POV Kintan

    Kintan senang sekali, karena sedikit lagi lukisan bunga lili kamar Gea akan selesai lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya. Sebelum jam 5 sore juga sepertinya bisa selesai nih, jadi sepertinya dia nggak perlu balik lagi ke apartemen ini. Yah, mudah-mudahan saja Gea suka dengan hasilnya nanti. Saking senangnya, dia pun menari sesuka hati mengikuti irama musik yang menghentak. Sesekali ia mengangkat kedua tangannya yang memegang kuas ke atas, menggoyangkan pinggul dan kepalanya dengan gaya yang seksi. Kintan masih terus saja menggerakkan seluruh tubuhnya, merasa menjadi diri sendiri dan melupakan segalanya untuk saat ini. Hanya menari, mengikuti alunan musik yang dinamis. Tapi… ada yang aneh. Sekilas, ia seperti melihat bayangan seseorang yang tinggi berdiri di depan pintu kamar Gea. Seketika ia pun menoleh, dan terkesiap saat melihat Pak Iqbal yang berdiri diam di sana, menatapnya dengan raut datar dan sukar terbaca. "Aaaaaaaaa!!!" Kintan pun berteriak kaget. ‘

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    5. Mengikuti Kintan

    Saat ini Iqbal menunggu di dalam mobilnya terparkir di dekat lobby apartemen. Matanya awas menatap orang-orang yang berseliweran di sekitar, mencari-cari keberadaan Kintan di antara mereka.‘Itu dia!’Iqbal melihat Kintan yang baru saja keluar dari pintu lobby, dan wanita itu tampak berdiri seperti sedang menunggu seseorang.Iqbal pun mendesah lega. Syukurlah Kintan belum dijemput. Rencana pria itu untuk mengikutinya diam-diam malam ini pun tampaknya bisa berjalan lancar.Penampilan Kintan yang terlihat sangat cantik, sepertinya menarik perhatian beberapa pria yang berjalan melewatinya. Tatapan kagum dan siulan pelan para lelaki itu tak pelak membuat Iqbal geram dan ingin turun dari mobilnya, namun untung sebuah mobil silver tiba-tiba datang dan berhenti tepat di tempat Kintan berdiri. Naluri kompetisi seorang lelaki pun mendadak muncul, saat Iqbal melihat jenis mobil yang menjemput Kintan dan serta merta mencemoohnya. “Ck. Ternyata tipe mobilnya masih jauh di bawah mobilku. Haha.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    6. Di Kamar Kintan

    “Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!” protes Kintan kaget dengan pipi yang telah cerah merona, tak pelak membuat Iqbal mengamati wanita itu dengan ekspresi tertarik. ‘Hei, apa wanita ini malu? Hm, lucu juga ekspresinya...’ Iqbal menahan senyumnya melihat rona di wajah Kintan yang semakin tampak benderang, mungkin juga karena Iqbal yang semakin mempererat dekapannya. Kalau sudah begini, Kintan malah tidak terlihat seperti wanita yang sudah pernah menikah, tapi seperti gadis muda polos yang masih perawan. “Lebih cepat dengan cara yang seperti ini. Lagian nggak ada yang lihat kok, jadi santai saja,” sahut Iqbal kalem. Kintan pun menggeleng lemah. "Ta-tapi..." "Tutup mata saja kalau malu," tukas Iqbal dengan nada perintah yang tidak mau dibantah. Kintan mendelik kesal mendengar saran nggak nyambung yang di luar prediksi BMKG itu. Apa hubungannya malu dengan tutup mata coba?! Tapi kemudian tak pelak Kintan pun malah benar-benar menutup kedua matanya, ketika merasakan ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    7. Bersamamu

    Seharusnya Kintan belajar dari kejadian tadi sore. Seharusnya ia yang sudah berpengalaman pernah menikah dan berumah tangga, tidak dengan begitu mudahnya terbuai seperti gadis remaja.Namun perlakuan Iqbal yang lembut serta permainan perpaduan bibir dan lidah pria itu yang sangat terampil tak pelak membuat wanita itu terbawa suasana, saat Iqbal tiba-tiba mendekatkan wajah untuk menciumnya.Sebagai seorang wanita, tentu saja Kintan memiliki perasaan untuk menolak demi harga dirinya. Namun sebagai seorang wanita juga, ia pun tak bisa menampik perasaan menggebu yang tiba-tiba hadir dan perasaan meremang yang menyenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir Iqbal. Ini adalah kedua kalinya Iqbal menciumnya. Namun untuk kali ini entah kemana akal sehatnya berada, karena Kintan tak lagi menolaknya. Sial. Iqbal sangat ahli berciuman!Berulang kali ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan hasratnya agar tidak mendesah, merasakan nikmat yang diberikan pria itu padanya.Rasa menerima dan menolak

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    8. Belum Bisa Melupakan

    Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya."Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya."Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir.Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?"Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang."Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang te

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    9. Perjodohan

    Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    10. Perjodohan Part 2

    **BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    11. Salah Sangka

    Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22

Bab terbaru

  • Duda dan Janda Bertetangga    127. My Personal Asisstant

    Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela

  • Duda dan Janda Bertetangga    126. Gathering

    Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta

  • Duda dan Janda Bertetangga    125. Ciuman Strawberry Cheesecake

    Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999

  • Duda dan Janda Bertetangga    124. Telepon Tengah Malam

    Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari

  • Duda dan Janda Bertetangga    123. Kolektor

    Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas

  • Duda dan Janda Bertetangga    122. Out Of The Box

    Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi

  • Duda dan Janda Bertetangga    121. Pantas Mendapatkan 1000 Tamparan

    Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya.Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel.Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa."Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara.Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!'SARAAPP!!!Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan.Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.'"Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsung seper

  • Duda dan Janda Bertetangga    120. Kamu Hot Banget

    "Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan mengabarkan b

  • Duda dan Janda Bertetangga    119. Buram

    “Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,

DMCA.com Protection Status