Saat ini Iqbal menunggu di dalam mobilnya terparkir di dekat lobby apartemen.
Matanya awas menatap orang-orang yang berseliweran di sekitar, mencari-cari keberadaan Kintan di antara mereka. ‘Itu dia!’ Iqbal melihat Kintan yang baru saja keluar dari pintu lobby, dan wanita itu tampak berdiri seperti sedang menunggu seseorang. Iqbal pun mendesah lega. Syukurlah Kintan belum dijemput. Rencana pria itu untuk mengikutinya diam-diam malam ini pun tampaknya bisa berjalan lancar. Penampilan Kintan yang terlihat sangat cantik, sepertinya menarik perhatian beberapa pria yang berjalan melewatinya. Tatapan kagum dan siulan pelan para lelaki itu tak pelak membuat Iqbal geram dan ingin turun dari mobilnya, namun untung sebuah mobil silver tiba-tiba datang dan berhenti tepat di tempat Kintan berdiri. Naluri kompetisi seorang lelaki pun mendadak muncul, saat Iqbal melihat jenis mobil yang menjemput Kintan dan serta merta mencemoohnya. “Ck. Ternyata tipe mobilnya masih jauh di bawah mobilku. Haha.” Iqbal berusaha untuk melihat dengan lebih jelas wajah dari lelaki yang berada di mobil itu. Tapi sayangnya sulit sekali, karena kaca mobil yang sangat gelap dan juga karena hari yang sudah malam. Ketika Kintan dan temannya berlalu, Iqbal pun diam-diam ikut melajukan mobilnya untuk mengikuti jejak mereka di belakang. Hari ini ia bersungguh-sungguh saat memutuskan untuk menjadi impulsif, karena Kintan. Wanita yang telah membangkitkan hasratnya hingga di batas yang tak sewajarnya, dan membuatnya setengah mati merasa penasaran. *** Iqbal memukul setir mobilnya dengan keras, ketika mengetahui kalau lelaki itu telah membawa Kintan untuk makan malam di sebuah hotel bintang lima ternama di kota ini. “HOTEL??? DAMNED, KINTAN!!” “Bagaimana mungkin kamu bisa nggak sadar maksud dan tujuan lelaki laknat itu padamu??” “Dia pasti akan membuat Kintan mabuk, lalu membawanya masuk ke kamar hotel! Huh, modus!” Dengusnya bermonolog dengan nada gusar. Iqbal pun akhirnya memutuskan untuk mengendap-endap masuk ke dalam restoran di hotel itu. Dari kejauhan, ia melihat Kintan dan lelaki jahanam yang mengajaknya dinner bersama itu telah duduk di posisi yang agak jauh dari pintu masuk. Mereka terlihat akrab dan santai, sambil mengobrol dan banyak tertawa. Tunggu. Sebenarnya apa sih hubungan mereka? Iqbal mencari tempat duduk yang posisinya dekat dengan Kintan, namun sedikit terhalang tembok pemisah di antara deretan kursi. Lamat-lamat Iqbal pun kembali mendengar suara gelak tawa renyah Kintan, yang membuatnya seketika terpaku. ‘Kenapa Kintan bisa tertawa begitu lepas dan sangat santai dengan lelaki itu? Apa jangan-jangan… mereka sedang berpacaran?’ Iqbal pun sontak menepuk jidatnya. Kalau mereka memang berpacaran, tidak ada gunanya juga ia diam-diam membuntuti Kintan seperti ini! Ngapain dia malah menonton orang yang sedang memadu kasih??? Kurang kerjaan!! Tawa yang terdengar pelan namun suram pun keluar dari bibirnya. Ah, mungkin ini memang sudah nasibnya. Kintan si janda tetangga sebelah apartemen yang telah membuatnya penasaran, tampaknya sudah dimiliki oleh pria lain. Oke, saatnya untuk mundur. Karena merebut apa yang telah menjadi milik orang lain bukanlah hal yang pantas, dan Iqbal tidak akan pernah melakukan tindakan pengecut seperti itu. Karena ia sudah pernah merasakan di posisi pihak yang dikhianati karena pasangannya direbut oleh pria lain, dan itu rasanya sungguh menyakitkan. Dengan langkah lebar, lelaki itu pun bangkit dan keluar dari restoran itu menuju mobilnya. Suara bantingan keras pintu mobil itu merepresentasikan perasaannya yang tidak karuan. “Dasar bodoh. Untuk apa sih aku mengikuti Kintan??” Ya, awalnya sih ia hanya penasaran saja, ingin tahu siapa temannya Kintan… apakah pria atau wanita? Lalu ketika ia mengetahui teman Kintan adalah pria, Iqbal pun malah semakin penasaran dengan hubungan mereka. Apalagi setelah mengetahui lokasi dinner mereka yang berada di sebuah hotel!! Iqbal mendengus sinis. “Kintan terlihat seperti wanita baik-baik, tapi ternyata tingkah lakunya liar juga.” Bahkan kalau dipikir-pikir, bisa jadi wanita itu memang juga sedang menggodanya tadi sore. Kenapa coba dia mengenakan baju super seksi seperti itu? Tank top ketat dan hot pants? Sudah kurang bahan, menerawang pula! Iqbal bahkan bisa melihat samar-samar bentuk bra Kintan yang berwarna hitam dari balik tank topnya. Sial. Nggak nyangka dia bisa tertipu dengan wajah polos janda itu! Tapi, masalahnya.... NGAPAIN JUGA SIH AKU DI SINI??AAARGH… Iqbal mengutuk diri sendiri yang malah berjalan mondar-mandir di lobby, tepat ketika ia telah sampai kembali di gedung apartemen. Seharusnya ia langsung naik ke lantai atas dan merebahkan tubuh di kasurnya yang nyaman, bukannya hilir mudik nggak jelas di lobby! Sambil menghela napas lelah, Iqbal pun akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa lobby yang empuk. ‘Bukan… aku bukannya sedang menunggu wanita itu kok!’ ‘Aku hanya ingin memastikan dia pulang dengan selamat. Bagaimanapun, Kintan itu kan tetangga yang disukai Gea. Lagipula Kintan selalu baik pada putriku.’ ‘Apalagi dia itu janda, jadi tentu alangkah baiknya jika sebagai tetangga yang baik, aku mengawasi Kintan agar tidak terjadi apa-apa dengannya.’ ‘Ya, hanya itu. Tidak lebih.’ Iqbal terus meyakinkan dirinya bahwa ia hanyalah ingin bersikap baik, hingga tanpa sadar pria itu malah tertidur di sofa lobby yang empuk dan nyaman itu. Satu jam lebih kemudian, ia tiba-tiba terbangun karena seorang sekuriti apartemen yang membangunkannya. "Pak Iqbal ya? Kenapa tidur di sini?" sapa sekuriti itu ramah. Iqbal mengucek matanya dan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Oh, sudah jam 11 malam. “Hah??!! Jam 11 malam??” Iqbal memaki dalam hati kenapa ia bisa tertidur lama sekali, sehingga tidak awas memperhatikan Kintan. ‘Yah, sudahlah. Mungkin wanita itu juga sudah pulang. Sebaiknya aku juga pulang saja.’ Iqbal pun tersenyum membalas sekuriti itu. "Maaf, tadi saya nggak sengaja ketiduran, pak," jawabnya sambil berdiri. "Saya ke atas dulu." Baru saja lelaki itu hendak melangkahkan kakinya untuk berjalan ke arah lift, tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu yang bergerak di depan lobby. ‘Hei, itu kan mobil yang membawa Kintan tadi?’ Iqbal pun seketika menajamkan pandangannya tepat pada mobil itu yang berhenti tepat di pintu lobby. Saat pintu bagian pengemudinya terbuka, seorang pria pun keluar. Pria yang juga temannya Kintan. Ia tampak berjalan memutari mobilnya untuk membukakan pintu bagian penumpang di sampingnya, dan keluarlah Kintan yang tampak sedang sempoyongan. Tanpa sadar, Iqbal menggeretakkan giginya. ‘Apa wanita itu sempoyongan karena mabuk? Wah. Parah. Janda ini benar-benar liar! Apa yang dia pikirkan, pulang ke tempat tinggalnya sendiri dalam kondisi seperti itu??’ ‘Apa dia tidak berpikir panjang? Bagaimana reaksi anak-anaknya nanti ketika melihat ibunya yang teler begitu?’ “Mungkin dia mengira dengan tinggal di apartemen, maka bisa bebas dan hidup hedonis?” Dengus Iqbal yang lagi-lagi bermonolog sendiri. Namun alih-alih pergi menjauh, ia malah berjalan mendekati Kintan dan teman prianya itu tanpa berpikir panjang. "Kintan," sapa Iqbal, tanpa menambahkan embel-embel 'Bu' di depannya seperti sebelumnya. Sebenarnya ia merasa kasihan juga melihat wajah memerah dan bibir pucat wanita itu, namun perasaan itu pun mendadak lenyap ketika melihat teman prianya sedang merengkuh pinggang ramping Kintan. "Eh... Pak Iqbal?" ucap Kintan lirih sambil menatap Iqbal heran. "Oh, ini kebetulan sekali! Bimo, kenalkan ini tetanggaku yang namanya Pak Iqbal," Kintan pun kemudian memperkenalkan mereka berdua. Bimo hanya mengangguk dan tersenyum pada Iqbal, sementara lelaki itu hanya membalas dengan anggukan yang sama, namun tanpa senyuman. "Biar Pak Iqbal saja yang mengantarkanku ke lantai atas, jadi kamu pulang aja, Bim. Makasih buat dinnernya ya?" Kintan pun tiba-tiba saja membuat keputusan sendiri yang membuat Iqbal mengernyitkan keningnya bingung. Bimo mengangguk pelan. "Maaf ya, Ntan. Aku beneran nggak tahu kalau kamu punya alergi seafood," ucap Bimo dengan nada sesal. "Kamu yakin nggak perlu diantar ke dokter?" Dan kening Iqbal pun mengernyit semakin dalam mendengar obrolan dua orang di hadapannya ini. ‘Alergi? Jadi, Kintan sedang alergi? Bukannya mabuk??’ Kintan tersenyum lemah pada Bimo. "Nggak apa-apa kok Bim. Santai aja. Aku juga udah minum obat, nanti juga sembuh." Tampak hembusan napas pelan terurai dari mulut Bimo, sebelum ia mengalihkan tatapannya kepada Iqbal. "Maaf, Pak Iqbal… Kintan agak sulit berdiri. Jadi tolong dipegangin saja supaya nggak jatuh." Kemudian Bimo pun membantu langkah tertatih Kintan agar lebih dekat kepada Iqbal, supaya lelaki itu bisa meraih tubuh Kintan. ‘Hmm... ringan sekali," guman Iqbal dalam hati, ketika ia memegang pinggang Kintan dan wanita itu pun bertumpu pada pundaknya. “Aku pulang ya, Kintan. Semoga lekas sembuh, dan maaf sekali lagi,” pamit Bimo, yang dibalas oleh anggukan Kintan dan lambaian lemah satu tangan darinya. Ketika mobil Bimo telah berlalu pergi, Kintan pun menengadahkan kepalanya untuk menatap Iqbal yang sedari tadi hanya terdiam membisu tanpa sepatah kata pun. "Maaf ya, Pak Iqbal. Saya malah jadi merepotkan. Tapi saya nggak enak kalau orang yang bukan penghuni masuk ke dalam apartemen malam-malam begini. Sekuriti di sini kan ketat, suka nanya-nanya pula. Saya nggak mau malah jadi bahan omongan nantinya," ucap Kintan pelan. Iqbal mendesah penuh rasa bersalah dalam hati. Dirinyalah yang seharusnya meminta maaf, karena sudah mengira yang tidak-tidak pada Kintan. Dia itu ternyata sakit akibat alergi, malah dia mengira kalau Kintan mabuk!! Iqbal hanya diam tak menjawab permintaan maaf Kintan, karena ia merasa malu sendiri dengan pikiran negatifnya. Sambil mengukir senyum tipis, Iqbal mulai membantu Kintan berjalan menuju pintu lift yang terbuka. Sesaat ketika pintu lift menutup, Iqbal pun penasaran dan bertanya, "kamu kan punya alergi seafood? Kok tadi malah makan itu?" "Tadi itu sih makanannya nggak berbentuk seperti seafood, karena sudah diolah dan dibentuk bundar gitu... saya pikir sejenis jamur atau ayam," jawab Kintan. "Memangnya sebelumnya kamu nggak nanya bahan makanan itu terbuat dari apa?" Kintan menggeleng lemah. "Tadi itu keasikan ngobrol, jadi lupa dan nggak nanya-nanya lagi." "Dia pacar kamu?" tanya Iqbal tiba-tiba out of the topic, meskipun Iqbal yakin si Bimo itu bukan siapa-siapanya Kintan. Terlihat jelas ketika Kintan yang lebih memilih diantar oleh dirinya dibanding Bimo. Dan pria itu pun tampak tidak punya hak untuk melarang. Kintan terlihat kaget dan langsung menatap Iqbal tanpa berkedip. Sedetik kemudian wanita itu pun membuang muka dengan wajah yang tak terbaca. "Bukan. Dia itu teman kuliahku dulu." Sekarang malah Iqbal yang kaget. Dia tidak menyangka jika Kintan akan benar-benar menjawab pertanyaan darinya tadi. Tadinya dia cuma bermaksud memancing Kintan dengan melempar pertanyaan bola liar, karena hanya ingin melihat reaksi wanita itu. Tak terasa, lift yang mereka naiki telah sampai. Bunyi 'ting' yang nyaring dibarengi dengan pintu lift yang terbuka membuat Iqbal bersiap-siap untuk menarik pinggang Kintan lagi. Tapi tanpa sengaja, ia melirik ekspresi merana wanita itu saat menatap panjangnya lorong yang harus ia lalui menuju apartemennya. Iqbal pun akhirnya memutuskan untuk menggendong tubuh Kintan dengan gaya pengantin, yang tak pelak membuat wanita itu memekik pelan. “Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!” ***“Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!” protes Kintan kaget dengan pipi yang telah cerah merona, tak pelak membuat Iqbal mengamati wanita itu dengan ekspresi tertarik. ‘Hei, apa wanita ini malu? Hm, lucu juga ekspresinya...’ Iqbal menahan senyumnya melihat rona di wajah Kintan yang semakin tampak benderang, mungkin juga karena Iqbal yang semakin mempererat dekapannya. Kalau sudah begini, Kintan malah tidak terlihat seperti wanita yang sudah pernah menikah, tapi seperti gadis muda polos yang masih perawan. “Lebih cepat dengan cara yang seperti ini. Lagian nggak ada yang lihat kok, jadi santai saja,” sahut Iqbal kalem. Kintan pun menggeleng lemah. "Ta-tapi..." "Tutup mata saja kalau malu," tukas Iqbal dengan nada perintah yang tidak mau dibantah. Kintan mendelik kesal mendengar saran nggak nyambung yang di luar prediksi BMKG itu. Apa hubungannya malu dengan tutup mata coba?! Tapi kemudian tak pelak Kintan pun malah benar-benar menutup kedua matanya, ketika merasakan ke
Seharusnya Kintan belajar dari kejadian tadi sore. Seharusnya ia yang sudah berpengalaman pernah menikah dan berumah tangga, tidak dengan begitu mudahnya terbuai seperti gadis remaja.Namun perlakuan Iqbal yang lembut serta permainan perpaduan bibir dan lidah pria itu yang sangat terampil tak pelak membuat wanita itu terbawa suasana, saat Iqbal tiba-tiba mendekatkan wajah untuk menciumnya.Sebagai seorang wanita, tentu saja Kintan memiliki perasaan untuk menolak demi harga dirinya. Namun sebagai seorang wanita juga, ia pun tak bisa menampik perasaan menggebu yang tiba-tiba hadir dan perasaan meremang yang menyenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir Iqbal. Ini adalah kedua kalinya Iqbal menciumnya. Namun untuk kali ini entah kemana akal sehatnya berada, karena Kintan tak lagi menolaknya. Sial. Iqbal sangat ahli berciuman!Berulang kali ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan hasratnya agar tidak mendesah, merasakan nikmat yang diberikan pria itu padanya.Rasa menerima dan menolak
Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya."Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya."Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir.Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?"Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang."Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang te
Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon
**BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir
Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid
Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan
Kintan menaruh baki berisi minuman dan biskuit homemade di atas meja, lalu ia pun ikut duduk berhadapan dengan Iqbal."Eh iya, ngomong-ngomong kok tumben banget jam segini udah pulang? Nggak lembur?" tanya Kintan sambil meletakkan cangkir teh di hadapan Iqbal.“Meeting tadi sore dibatalkan karena pihak vendor yang berhalangan hadir, jadi aku pulang lebih cepat,” jawab Iqbal singkat. Ia masih merasa gamang dengan perasaan barunya kepada Kintan.Kintan manggut-manggut. "Sayang sekali Gea nggak ada ya, padahal papanya pulang lebih cepat."Iqbal pun menghela napas pelan mendengarnya. Terasa berat rasanya berada sendiri di apartemen itu, karena biasanya Iqbal selalu bersama Gea. "Iya, apalagi Gea baru akan pulang nanti malam. Katanya setelah belajar bersama, ia juga diajak jalan-jalan oleh temannya."Iqbal mengalihkan tatapannya ke dinding di belakang Kintan, menatap lukisan kanvas bergambar bunga warna warni yang cukup besar terpajang di dinding ruang tamu. "Itu lukisanmu, ya?"Kintan m
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya.Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel.Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa."Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara.Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!'SARAAPP!!!Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan.Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.'"Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsung seper
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan mengabarkan b
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,