Share

4. POV Kintan

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-22 12:53:08

Kintan senang sekali, karena sedikit lagi lukisan bunga lili kamar Gea akan selesai lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya.

Sebelum jam 5 sore juga sepertinya bisa selesai nih, jadi sepertinya dia nggak perlu balik lagi ke apartemen ini. Yah, mudah-mudahan saja Gea suka dengan hasilnya nanti.

Saking senangnya, dia pun menari sesuka hati mengikuti irama musik yang menghentak.

Sesekali ia mengangkat kedua tangannya yang memegang kuas ke atas, menggoyangkan pinggul dan kepalanya dengan gaya yang seksi.

Kintan masih terus saja menggerakkan seluruh tubuhnya, merasa menjadi diri sendiri dan melupakan segalanya untuk saat ini.

Hanya menari, mengikuti alunan musik yang dinamis.

Tapi… ada yang aneh.

Sekilas, ia seperti melihat bayangan seseorang yang tinggi berdiri di depan pintu kamar Gea.

Seketika ia pun menoleh, dan terkesiap saat melihat Pak Iqbal yang berdiri diam di sana, menatapnya dengan raut datar dan sukar terbaca.

"Aaaaaaaaa!!!" Kintan pun berteriak kaget.

‘Ya ampun, tidak lagi!’ jeritnya dalam hati.

‘Mana mungkin kejadian yang sama bisa terulang kembali?? Dan... bajuku!’

Kintan menatap nanar pada tank top tipis yang membalut ketat tubuhnya, serta celana pendek yang mengekspos pahanya.

‘Aduh, memalukan!!’

Wanita itu bermaksud untuk mundur mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi tubuhnya yang dipandangi oleh Iqbal, karena ia takut dengan tatapan tajam lelaki itu yang terus tertuju pada sekujur tubuhnya.

Namun naas. Karena ia terlalu kaget, tanpa disadari Kintan telah menyenggol gelas plastik berisi cairan cat di sampingnya.

Cat itu pun jatuh dan tumpah ke lantai, lalu Kintan malah menginjaknya tanpa sadar.

Sontak saja tubuhnya pun limbung dan terpeleset. Jeritan Kintan pun kembali menggema di udara, mengira ia akan menghantam lantai dengan keras.

Namun tiba-tiba saja seseorang menyentak tangannya, kemudian Kintan merasakan otot yang keras menabrak tubuhnya.

Dengan mata membelalak, Kintan menyadari kalau ia tidak jadi jatuh terpelanting ke lantai, karena tadi Iqbal menangkap tangan Kintan dan menariknya berdiri.

Tapi masalahnya… sekarang tubuh mereka malah saling menempel karena Iqbal yang memeluk pinggangnya erat!

Belum sempat Kintan pulih dengan kondisi saat ini, tiba-tiba saja Kintan merasakan sesuatu yang basah dan hangat di bibirnya.

Untuk beberapa saat Kintan masih terdiam dalam bingung…

Dan setelah beberapa saat kemudian, ia pun sadar jika Iqbal telah mencium bibirnya!!!

Ia berusaha untuk berteriak, namun bibir iqbal terus membungkam semua suara yang keluar dari mulutnya.

Kintan berusaha mendorong tubuh kekar dan keras itu, tapi usahanya pun sia-sia. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak!

Dalam kebingungannya, akhirnya Kintan pun mencoba menggigit bibir lelaki itu hingga berdarah.

Dan… itu berhasil! Iqbal akhirnya melepaskan ciumannya yang sangat memaksa itu.

Kintan menutup mulutnya yang masih terasa hangat dan sedikit bengkak dengan kedua tangan. Ia masih sangat shock dengan apa yang terjadi.

Sementara itu, Iqbal memejamkan matanya sejenak untuk mengusir rasa pusingnya karena gairah yang tidak tersalurkan.

Mereka berdua pun kemudian saling menatap dengan deru napas yang masih memburu.

"Maafkan saya, Bu Kintan. Saya... ," seketika Iqbal pun kehilangan kata-kata. Otaknya berpikir keras untuk merangkai kalimat yang tepat.

‘Saya... apa? Khilaf? Tidak bermaksud?’

‘Sialan!!’

Jelas-jelas tadi itu ia memang sengaja. Jelas-jelas ia mendambakan untuk menyentuh Kintan yang begitu memukau di matanya sampai puas!!

"Saya... minta maaf. Sekali lagi." Dan Iqbal pun akhirnya hanya bisa mengulang kembali permintaan maafnya.

Sebenarnya ia masih menginginkan wanita itu. Tapi sekarang setelah logika dan kinerja otaknya telah berfungsi kembali, kali ini ia tidak akan memaksa Kintan seperti tadi.

Jika Kintan menolak, ia akan mundur. Namun jika saja wanita itu menerima, ia akan segera sambar kesempatan itu.

"Sudah. Lupakan saja," sahut Kintan sambil menunduk dan membereskan peralatan melukisnya dengan terburu-buru.

Setelah mengumpulkan barang-barangnya, Kintan kembali menatap Iqbal. "Saya juga minta maaf, Pak Iqbal. Kehadiran saya sudah mengganggu. Dan soal tadi itu... kita sama-sama anggap tidak pernah terjadi, oke?"

Lalu Kintan pun bergegas untuk melangkah berlalu, keluar dari apartemen Iqbal langsung menuju ke apartemennya.

Iqbal melirik pinggul seksi yang berayun dan kaki Kintan yang mulus dan jenjang. Seketika ketegangan seksual pun kembali menyerangnya.

Ya Tuhan.

Iqbal hanya bisa mendesah dan menggeleng pasrah, lalu memutuskan untuk mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari kamar mandi sebelum kembali ke kantor.

Sambil berdoa semoga saja pikirannya bisa jernih kembali, dan tidak terus terbayang pada tubuh seksi janda sebelah!

***

"Pa, capek ya? Gea pijitin ya?" Gea pun berdiri dan berjalan ke belakang Iqbal untuk memijat bahunya.

"Tumben kamu mau mijetin papa tanpa papa minta," ucap Iqbal heran. "Pasti mau minta beliin sesuatu nih!"

Meskipun menyindir main-main, namun Iqbal sangat menikmati pijatan Gea. Pundaknya yang pegal karena berjam-jam duduk di depan komputer jadi terasa rileks dan sedikit ringan.

"Iiisssshhh... curiga aja! Nggak kok, Gea nggak minta apa-apa. Tadi itu Tante Kintan yang berpesan agar sekali-sekali Gea pijetin punggung papa, karena bekerja seharian di kantor itu melelahkan," ucapnya sambil terus memijat papanya.

Apa?? Kintan yang… menyarankannya?

Iqbal pun sontak meringis dalam hati sembari memejamkan mata. ‘Aduh, Gea! Kenapa kamu mengingatkan papa lagi pada wanita itu sih!!’

Padahal hari ini Iqbal sudah susah payah berusaha mengenyahkan sosok Kintan yang membuatnya gerah dan gelisah!

Dan karena barusan Gea mengungkitnya, Iqbal pun tak bisa mengontrol otaknya yang mulai berputar kembali membayangkan tubuh indah dan bibir lembut yang membuatnya ingin menyentuh Kintan lagi.

"Udah!" Gea menepuk pelan pundak papanya dan kembali duduk bersama Iqbal di sofa sambil meraih ponselnya.

"Makasih, sayang," ucap lembut Iqbal sambil tersenyum dan mencium pipi Gea. "PR sudah dikerjakan?"

Gea mengagguk. "Udah. Tadi siang di apartemen sebelah."

"Tumben. Biasanya kamu ngerjain PR malam hari?"

Gea mengangguk tanpa mengalihkan wajahnya dari layar ponsel. "Kan biasanya kalau siang aku cape abis masak dan cuci piring, makanya PR dikerjakan malam. Tapi tadi Tante Kintan ngajak makan siang di situ, aku jadi bebas deh! Bisa ngerjain PR lebih cepat."

Mendengarnya, tak pelak Iqbal pun jadi merasa bersalah dengan anaknya.

Selama ini memang Gea yang selalu bersikeras memasak sendiri, tanpa mau mendapatkan bantuan asisten rumah tangga. Tapi ternyata anak tersayangnya itu merasa lelah dengan aktivitas itu.

"Ge... kalau kamu capek, nggak usah masak. Papa kan bisa beliin makan siang buat kamu, atau kita cari mbak buat ngurusin apartemen dan masak ya?"

Gea menatap papanya dan menggeleng. "Gea nggak mau, pa! Orang kita juga cuma berdua saja kok. Cukup mbak yang biasa bersih-bersih apartemen aja. Lagian mulai sekarang Gea juga nggak perlu masak-masak lagi, soalnya Tante Kintan selalu bilang kalau mau makan datang aja ke apartemennya," ucap Gea panjang lebar.

“Gea juga senang di sana. Ada Khafi dan Khalil yang lucu-lucu. Tante Kintan juga baik sama Gea. Aah... pokoknya sekarang Gea seneng karena sudah nggak pernah merasa kesepian lagi!” seru Gea riang sambil tersenyum, tanpa sadar bahwa semua perkataannya itu telah membuat hati Papanya terasa sakit karena akhirnya Gea mengakui bahwa ia kesepian.

Sudah 3 tahun ini Iqbal berpisah dengan Rani, Mamanya Gea.

Seharusnya hak asuh Gea yang masih belum cukup umur pun jatuh ke Rani, namun Gea tidak pernah mau tinggal dengan mamanya dan malah memilih untuk tinggal dengan Iqbal.

Mungkin Gea merasa rikuh, karena Rani telah menikah lagi dan juga telah memiliki dua orang putri di pernikahan keduanya.

Rani menikah dengan lelaki yang telah menjadi selingkuhannya selama setahun, ketika masih menikah dengan Iqbal.

"Pa, Gea ke kamar dulu ya? Sisil mau video call, katanya dia baru aja beli kucing anggora," pamit Gea sambil buru-buru berdiri dari sofa, dan berlari ke kamar ketika suara ponselnya berdering.

Saat sendirian begini membuat pikiran Iqbal jadi melamun, membayangkan Kintan yang bersikap begitu baik pada Gea.

Bukannya mau GR, tapi apakah itu artinya Kintan berharap ‘sesuatu’ padanya?

Tapi bukankah tadi siang Kintan mengatakan kalau sebaiknya mereka melupakan saja apa yang telah terjadi?

Ck. Dan gimana pula caranya Iqbal bisa lupa?

Bahkan hingga detik ini pun, hasrat untuk menyambar tubuh Kintan dan kembali mencium bibirnya masih ia rasakan sampai sekarang.

Dan tak pelak hal itu pun membuat Iqbal bertanya-tanya, apakah… ada setitik saja harapan jika… Kintan juga merasakan hal yang sama?

Seketika pria itu pun berdiri dari sofa. ‘Oke. Rileks. Aku akan bertanya padanya. Ya, itu ide yang lumayan bagus.’

Bodoh sih lebih tepatnya, tapi lebih baik bertanya daripada ia tidak bisa tidur malam ini karena terlalu sibuk mereka-reka.

Iqbal pun bergegas keluar dari apartemennya, lalu mengayunkan langkah menuju ke depan pintu apartemen Kintan.

Sial.

Ia sudah pernah menikah dan sudah menjadi duda, tapi kenapa rasanya sikapnya sekarang malah seperti seorang remaja tanggung yang mendekati lawan jenis??

‘Ayo tekan belnya, Iqbal! Jangan cemen!’ Gerutunya dalam hati memaki diri sendiri.

Lalu sambil menarik napas yang terasa berat, ia pun mengarahkan tangannya ke atas, bermaksud untuk menekan bel yang ada di sana.

Tapi belum sempat ia memencetnya, tiba-tiba saja pintu apartemen itu terbuka dari dalam.

Menampilkan sosok Kintan yang terlihat memukau, dengan gaun hitam selutut, dan menatap Iqbal dengan ekspresi terkejut.

"Pak Iqbal?" serunya kaget. "Ada apa?"

Iqbal pun tidak serta merta langsung menjawabnya, karena ia masih ingin menikmati sejenak pemandangan indah ini.

Kaki Kintan yang luar biasa itu membuatnya semakin tak berkedip, karena sedang menggunakan heels lima senti yang terlihat seksi dan serasi.

Rambutnya yang sering digelung ke atas, sekarang dibiarkan tergerai indah ke atas bahu, membingkai wajah ovalnya yang cantik dipulas make up tipis.

‘Bidadari’, pikir Iqbal dalam hati.

"Mau kencan ya?" tebak Iqbal dengan suara dingin. Ia tahu pasti, wanita yang berdandan secantik ini pasti punya niat untuk bertemu dengan lawan jenis atau sekedar girls night out.

Tidak mungkin Kintan ingin mengajak anaknya yang masih balita jalan-jalan dengan heels setinggi itu, kecuali ia memang kepengen keseleo.

Kintan terlihat salah tingkah dipandangi begitu lekat oleh Iqbal, terutama setelah kejadian tadi sore di apartemennya.

Ia mendehem kecil untuk meredakan debaran jantungnya. "Mau makan malam dengan teman," jawabnya sambil tersenyum kecil.

Iqbal mengangguk, namun wajahnya masih tampak datar.

"Teman laki-laki?" tanyanya lagi, tanpa basa-basi ataupun berpikir dulu, meskipun ia tahu bukanlah urusannya Kintan mau makan malam dengan laki-laki atau perempuan. Ia hanya ingin tahu.

Kintan terlihat kaget dengan nada sinis dan tajam yang menyertai pertanyaan lelaki itu. Apa-apaan sih ini orang?? Kenapa ketus begitu??

Kintan hendak menyemprot marah lelaki di depannya, namun terpotong oleh suara dering tiba-tiba dari ponselnya

Dengan wajah kesal, ia mengangkat telepon itu sambil tetap memelototi Iqbal.

"Halo, Bimo?"

"Ya, aku udah mau turun sekarang."

“Oke. Bye.”

Kintan menutup teleponnya. Lalu tanpa berkata-kata lagi, ia pun berlalu pergi begitu saja meninggalkan Iqbalyang terus menatapnya sorot gusar, hingga punggung wanita itu pun menghilang ke dalam lift.

***

"Ge, papa pergi dulu sebentar. Kamu tidur aja, nggak usah nunggu papa!" Iqbal berteriak pada Gea yang masih berada di dalam kamarnya.

Lalu Iqbal buru-buru meraih kunci mobilnya, mengabaikan kepala Gea yang nongol di depan pintu kamar dan menatap heran kepada papanya yang telah berlalu secepat kilat seperti orang kelabakan.

Iqbal pun berlari kencang di parkiran seperti orang yang sedang kesetanan. Ia merasa harus buru-buru ke lobby apartemen lebih dulu, sebelum Kintan dijemput oleh teman prianya.

Ya, Iqbal memang bermaksud untuk mengikuti Kintan malam ini.

Dan ya, ia tahu bahwa sikapnya ini sangat impulsif dan kekanakkan, namun… ia pun tak peduli lagi.

***

Bab terkait

  • Duda dan Janda Bertetangga    5. Mengikuti Kintan

    Saat ini Iqbal menunggu di dalam mobilnya terparkir di dekat lobby apartemen. Matanya awas menatap orang-orang yang berseliweran di sekitar, mencari-cari keberadaan Kintan di antara mereka.‘Itu dia!’Iqbal melihat Kintan yang baru saja keluar dari pintu lobby, dan wanita itu tampak berdiri seperti sedang menunggu seseorang.Iqbal pun mendesah lega. Syukurlah Kintan belum dijemput. Rencana pria itu untuk mengikutinya diam-diam malam ini pun tampaknya bisa berjalan lancar.Penampilan Kintan yang terlihat sangat cantik, sepertinya menarik perhatian beberapa pria yang berjalan melewatinya. Tatapan kagum dan siulan pelan para lelaki itu tak pelak membuat Iqbal geram dan ingin turun dari mobilnya, namun untung sebuah mobil silver tiba-tiba datang dan berhenti tepat di tempat Kintan berdiri. Naluri kompetisi seorang lelaki pun mendadak muncul, saat Iqbal melihat jenis mobil yang menjemput Kintan dan serta merta mencemoohnya. “Ck. Ternyata tipe mobilnya masih jauh di bawah mobilku. Haha.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    6. Di Kamar Kintan

    “Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!” protes Kintan kaget dengan pipi yang telah cerah merona, tak pelak membuat Iqbal mengamati wanita itu dengan ekspresi tertarik. ‘Hei, apa wanita ini malu? Hm, lucu juga ekspresinya...’ Iqbal menahan senyumnya melihat rona di wajah Kintan yang semakin tampak benderang, mungkin juga karena Iqbal yang semakin mempererat dekapannya. Kalau sudah begini, Kintan malah tidak terlihat seperti wanita yang sudah pernah menikah, tapi seperti gadis muda polos yang masih perawan. “Lebih cepat dengan cara yang seperti ini. Lagian nggak ada yang lihat kok, jadi santai saja,” sahut Iqbal kalem. Kintan pun menggeleng lemah. "Ta-tapi..." "Tutup mata saja kalau malu," tukas Iqbal dengan nada perintah yang tidak mau dibantah. Kintan mendelik kesal mendengar saran nggak nyambung yang di luar prediksi BMKG itu. Apa hubungannya malu dengan tutup mata coba?! Tapi kemudian tak pelak Kintan pun malah benar-benar menutup kedua matanya, ketika merasakan ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    7. Bersamamu

    Seharusnya Kintan belajar dari kejadian tadi sore. Seharusnya ia yang sudah berpengalaman pernah menikah dan berumah tangga, tidak dengan begitu mudahnya terbuai seperti gadis remaja.Namun perlakuan Iqbal yang lembut serta permainan perpaduan bibir dan lidah pria itu yang sangat terampil tak pelak membuat wanita itu terbawa suasana, saat Iqbal tiba-tiba mendekatkan wajah untuk menciumnya.Sebagai seorang wanita, tentu saja Kintan memiliki perasaan untuk menolak demi harga dirinya. Namun sebagai seorang wanita juga, ia pun tak bisa menampik perasaan menggebu yang tiba-tiba hadir dan perasaan meremang yang menyenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir Iqbal. Ini adalah kedua kalinya Iqbal menciumnya. Namun untuk kali ini entah kemana akal sehatnya berada, karena Kintan tak lagi menolaknya. Sial. Iqbal sangat ahli berciuman!Berulang kali ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan hasratnya agar tidak mendesah, merasakan nikmat yang diberikan pria itu padanya.Rasa menerima dan menolak

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    8. Belum Bisa Melupakan

    Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya."Kintan?" panggil Iqbal pelan. Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya."Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir.Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Kintan?"Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu. Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang."Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang te

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    9. Perjodohan

    Saat berada di dalam lift, Gea pun langsung dikelilingi oleh celoteh riang Khalil dan Khafi. Anak-anaknya Kintan benar-benar menyukai anak remaja itu, dan seolah berebut perhatiannya. Gea pun senang bercengkrama dengan mereka, terlihat dari senyumnya yang terus terkembang di bibirnya menanggapi anak-anak kecil itu.Di lain sisi, Iqbal dan Kintan hanya memandangi mereka semua dalam senyum. Lalu Iqbal melirik Kintan yang masih menatap anak-anak mereka yang sekarang sedang tertawa riang dan bersenda gurau."Maafkan aku, sekali lagi untuk yang tadi malam," bisik pelan Iqbal dari arah belakang Kintan. "Kamu baik-baik saja?"Kintan merasakan hembusan napas Iqbal yang menerpa tengkuk dan telinganya. Seketika membuat wanita itu merinding, teringat akan bisikan lelaki itu semalam yang membuatnya begitu berhasrat. Kintan pun mengangguk tanpa menoleh ke belakang. Ia terlalu gugup.Sesampainya mereka di area parkir basement, Kintan bermaksud untuk mengambil Khafi yang masih berada dalam gendon

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    10. Perjodohan Part 2

    **BEBERAPA JAM SEBELUMNYA**Iqbal menatap layar ponselnya yang bergetar dan melihat nama Yessita, sepupunya itu yang menelpon."Halo, Yessita?""Halo, kak Iqbal. Apa kabar?""Baik. Kamu sendiri apa kabar nih?""Baik juga kak. Kak Iqbal di kantor ya? Aku ganggu nggak?""Nggak apa-apa, Yess. Oh iya, ada apa nih tumben telepon?"“Kak Iqbal, aku baru aja bikin cafe. Nanti siang mampir di sini yuk? Sekalian cobain masakan dan minuman di sini, terus kasih saran dan kritik sekalian biar cafenya rame. Sampai sekarang pengunjungnya sedikit aja nih kak,” adu Yessi."Ooh, sekadang kamu punya cafe ya? Oke. Kirim alamatnya ya, nanti siang aku mampir.""Sip. Ditunggu ya kak, byeee.""Ok bye."***Iqbal tidak percaya. Itu... Kintan?Wanita itu sedang duduk bersama Yessita, dan juga menatapnya dengan wajah yang tampak sama kagetnya.‘Berarti dia juga tidak menyangka kalau kita ternyata mengenal orang yang sama, yaitu Yessita. Apa jangan-jangan mereka berteman ya?' Batin Iqbal heran."Kak Iqbal, akhir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    11. Salah Sangka

    Sementara itu di cafe, Yessi terkesiap melihat saldo di tabungannya yang bertambah sangat banyak. Kak Iqbal ternyata telah mentransfernya uang sebanyak 200 juta! Dia menggenggam ponselnya erat-erat, seakan ingin memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi.Yessi terngiang kembali ucapan kak Iqbal tadi siang saat pria itu berada di cafenya."Aku mau jadi investor kamu, Yess. Nanti aku transfer uangnya. Please, diterima ya... Uangnya bisa buat modal kamu untuk mengembangkan bisnis cafe ini, atau mungkin kamu ingin buat bisnis yang lain juga nggak apa-apa," ucap Iqbal padanya."Ih, kak Iqbal apa-apaan, sih?" Yessi pun benar-benar kaget saat Iqbal berkata seperti itu. Ia tidak menyangka sama sekali jika Iqbal tiba-tiba mengajukan diri sebagai investor di cafenya! Walaupun bisnis Yessi ini memang sudah di ambang kebangkrutan karena sepinya pengunjung, namun ia tidak pernah berpikir untuk meminta suntikan dana pada orang lain karena terlalu malu. Lebih baik ia meminjam uang di bank darid

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Duda dan Janda Bertetangga    12. Khafi Yang Ngambek

    Sore hari yang cukup melelahkan di apartemen Kintan. Mbok Yani yang masih merasa kurang sehat, akhirnya minta ijin pulang kampung untuk istirahat. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat Kintan cukup kelimpungan. Untunglah besok hari Sabtu, hari dimana putra sulungnya Khalil libur sekolah. Kintan bisa langsung menitipkan kedua anaknya di daycare agar ia bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya melukis mural di tokonya Bimo.Hari ini pin si bungsu Khafi tiba-tiba ngambek dan menangis kencang, mungkin karena ia kesal seharian berada di Daycare dan tidak bertemu dengan Gea. Kemarin Gea memang sudah bilang kalau sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Sepertinya Khafi merasa kehilangan sosok Gea yang biasanya selalu mengajaknya bermain."Khafi, udah dong nangisnya, kita berenang aja yuk?" bujuk Kintan sambil melambai-lambaikan baju renang Doraemon kesayangannya."Nggak maauu... Khaafii ngga mau leenaaang, huhuuhuu," tangisnya pun malah semakin kencan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22

Bab terbaru

  • Duda dan Janda Bertetangga    127. My Personal Asisstant

    Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela

  • Duda dan Janda Bertetangga    126. Gathering

    Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta

  • Duda dan Janda Bertetangga    125. Ciuman Strawberry Cheesecake

    Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999

  • Duda dan Janda Bertetangga    124. Telepon Tengah Malam

    Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari

  • Duda dan Janda Bertetangga    123. Kolektor

    Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas

  • Duda dan Janda Bertetangga    122. Out Of The Box

    Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi

  • Duda dan Janda Bertetangga    121. Pantas Mendapatkan 1000 Tamparan

    Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya.Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel.Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa."Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara.Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!'SARAAPP!!!Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan.Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.'"Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsung seper

  • Duda dan Janda Bertetangga    120. Kamu Hot Banget

    "Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan mengabarkan b

  • Duda dan Janda Bertetangga    119. Buram

    “Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,

DMCA.com Protection Status