Ternyata beginikah rasanya punya istri, meski Shiena adalah dosenku, tapi dia tetap melayaniku dengan baik. Seperti saat ini, dia membantuku menyiapkan segala keperluanku yang akan kubawa ke tempat KKN. "Om, mau ke mana?" tanya Basmah ketika melihat kami memasukkan baju ke dalam koper. "Om mau pergi ke kampung, nanti Basmah jangan nakal, ya!" ujarku sambil mengelus rambutnya dengan lembut. Basmah duduk di pangkuanku sambil bergelayut manja. Setelah selesai memasukkan semua barang-barangku, aku mulai bersiap memakai baju. "Bu, pasangin kancing bajuku dong!" pintaku manja. Rasanya sangat menyenangkan dimanja oleh wanita yang kini menjadi istriku itu. "Idih, Dasar, kaya anak kecil aja," gerutu Shiena sambil mencebik manja, tetapi dia tetap berjalan ke arahku dan mulai memasangkan kancingku. Aku susah payah menelan ludah ketika melihat bibir sensual yang kini tersenyum manis di depanku. Ingin sekali aku mereguk manisnya bibir perempuan yang dulu sangat menyebalkan ini. Aku ham
Beberapa hari berlalu, tak terasa sudah tiga hari aku di sini, Shiena belum juga ke sini. Ada rasa rindu yang makin menggebu kala mengingat wanita itu."Bu Lidya datang, Ilman, ayo jemput Bu Lidya, beliau ada di pangkalan ojek!" seru salah seorang mahasiswi. Mendengar itu, aku terlonjak gembira hingga tanpa sadar, aku malah menawarkan diri untuk menjemputnya."Man, biar gue aja, yang jemput Bu Lidya," ucapku sambil menuju tempat motor terparkir. Semua teman-temanku kini saling pandang. Sepertinya mereka baru menyaksikan kejadian spektakuler. Duh, gimana kalau mereka tahu bahwa aku dan Shiena suami istri, bisa hhabis aku dibully mereka."Tumben, lu, Had? elu habis kejedot pintu atau gimana ni, mendadak baik sama Bu Lidya?" ledek Ilman. Tanpa menghiraukan tatapan aneh mereka, aku gegas mengendarai speda motor itu bermaksud pergi pangkalan ojek. Namun, baru saja aku akan menstarter motor itu, dari arah jalan terlihat Pak Dika datang dengan membonceng seseorang."Eh, itu Bu Lidyany
"Hadi, Ilman, kalian mau ke mana?" tanya Pak Andika pada kami ketika kami akan berangkat ke pasar malam. "Itu Pak, kami mau pergi ke pasar malam," jawabku sambil tersenyum manis. Ya, maklum lah, namanya juga bicara dengan dosen, kali aja dapat nilai tambahan. "Ouh, kebetulan kalau gitu, Bapak nitip ya? Tolong beliin martabak special, nanti tolong bungkus yang rapih. Bapak mau ngasih Bu Lidya," sahut Pak Dika sembari tersenyum layaknya laki-laki yang sedang kasmarah. Akhh, apa tadi? dia bilang buat Bu Lidya. Kampret ni dosen, istriku mau dia embat. Eh, dia kan tak tahu kalau Lidya istriku. "Chieee, si Bapak, lagi kasmaran, nih rupanya," goda si Ilman, sungguh pemandangan yang membuatku kesal, karena Pak Dika terlihat terkekeh malu-malu. "Ya udah, kami pergi dulu ya, Pak. Kalau kita ngobrol terus, nanti gak jadi beli deh, hehe." Aku berpamitan tanpa menunggu jawaban Si Ilman. Melihatku pergi, Ilman pun ikut bergegas pergi karena kami akan berboncengan. Aku melajukan mot
POv Shiena Hari berganti malam, sungguh ini sangat tidak nyaman bagiku karena harus berada di situasi begini. Aku bukannya lupa membawa peralatan kewanitaanku, tapi semuanya kutinggal di dalam mobil yang kebetulan tak bisa masuk ke area perkampungan ini. Karenanya aku terpaksa mencari Hadi untuk membelikan semuanya. Kalau saja cuma pemb@lut, mungkin aku masih bisa minta pada mahasiswiku, tapi tentu tidak mungkin aku meminjam pakaian dalam pada mereka. "Bu, ada si Hadi bawain sesuatu buat Ibu," seru salah satu mahasiswiku. Aku pun bergegas menghampiri. Ternyata dia sudah pergi, dia hanya menitipkan pesananku pada salah seorang mahasiswi. "Bu, ini martabaknya, katanya dapat dari Pak Dika," kata si Hani, salah satu mahasiswiku. Aku pun terbengong, aku kira itu adalah pemberian Hadi, ternyata malah pemberian Pak Dika. "Ouh, si Hadi gak nitip barang lain, selain ini?" tanyaku pada mereka. "Enggak, Bu. Cuma ini aja," jawab Hani. Aku pun menngkus kesal. Sungguh menjengkelkan
Pov Hadi. Tak ada yang paling membahagiakan selain ketika kita bisa menikmati hari-hari kita bersama keluarga yang sangat kita cinta. Seperti saat ini, rasa hati ini tak bisa terlukiskan saat melihat kedatangan istri tercinta di tempat KKN ini. Meski dia datang sebagai pengawas dan hanya berkunjung satu atau dua hari, setidaknya rasa rindu ini sedikit terobati. “Hadi, kamu dipanggil Bu Lidya!” seru salah satu temanku. Tanpa pikir panjang aku segera melesat menuju tempat mahasiswi menginap. “Ibu panggil saya?” tanyaku anstusias saat melihat dia di ruang tamu. “Iya, ni Had, hari ini aku mau memantau Mahasiswa yang ada di kampung sebelah, bisa kamu antar aku ke sana?” tanyanya tanpa melirik ke arahku. “Bisa dong, Bu. Tapi, nanti kasih upah, ya?” kelakarku sembari kunaikkan alisku hingga membuat dia terkekeh. “Boleh, ya udah, ayo!” Aku segera meminjam sepeda motor milik Pak RT, dan melaju membonceng Bu Lidya. Tak berapa lama kemudian, kami pun sampai di tempat yang kami
Aku tak henti-hentinya tersenyum ketika melihat istriku sibuk memasak nasi, sedangkan aku berusaha mengambil ikan dengan memancing. "Udah dapat belum?" tanya Shiena padaku. Dia mendekat dan duduk di sebelahku. "Ya ampun, mancing segitu saja gak dapat-dapat. Sini, aku yang mancing!" Dia mengambil kail dan yang kupegang, kemudian melemparnya ke kolam, tak berapa lama kemudian, kail itu sudah ditarik oleh mangsanya. Akhh, ternyata istriku ini pandai dalam segala hal. Setelah mendapat beberapa ikan, kami pun membakarnya. Ketika kami akan bersiap untuk makan, tiba-tiba saja ada yang memanggil kami. "Bu Lidya, Hadi? kalian di sini?" Aku dan Shiena mematung seketika saat kami menoleh dan melihat dengan seksama siapa yang ada di depan kami. "Ii-ilman? Kok, Elu di sini?" Aku malah balik bertanya pada Ilman yang sepertinya menyusulku. Akhhk, bagaimana ini, mau ditaruh di mana mukaku, kalau aku terus terang kalau Shiena istriku, tapi jika kami tidak menjelaskan, takutnya terjadi s
Kulihat Bu Shiena mendekatiku dan berbisik, "Had, kamu beneran kan, gak ngelakuin yang mereka tuduhkan?" bisik Shiena di telingaku. Sungguh menyebalkan. "Bu, kalau Hadi mau, ngapain Hadi ngelakuin sama orang lain, mendingan sama Ibu yang udah pasti halal," jawabku juga dengan berbisik. Shiena malah mencubit pinggangku hingga membuatku terkekeh. Akibatnya, orang di sekelilingku terlihat bertambah kebakaran jenggot. "Hadi, kenapa kamu malah tertawa?" teriak Pak Dika. Ah, si bujang lapuk itu memang rese. "Hehe, saya gak apa-apa, cuma lucu aja, kalian menuduhku tanpa bukti," sahutku sembari selengehan. Ya, itung-itung mengurangi penat dan emosi agar tak stress menghadapi fitnah macam ini. "Ya Allah, kenapa Engkau ciptakan hamba sedemikian tampan, sehingga banyak gadis yang memfitnah hamba? Eh, astagfirullah, kenapa aku jadi menyalahkan takdir. Harusnya aku bersyukur dianugerahi wajah setampan ini. Ya elah, jangan baca terlalu serius pemirsa, Hadi cuma sedang bercanda. Hadi, ayo ng
Semua yang hadir di balai desa dibuat kesal oleh tingkah Pak RT dan anaknya. "Sera, bagaimana, apa kamu akan tetap menuduh Hadi? saranku sebaiknya kamu bertaubat, jangan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam!" ujar Shiena, kali ini dia terlihat sangat marah karena ulah Pak RT dan juga anaknya. Di tengah keributan itu, Pak Andika malah mengambil kesempatan itu untuk mendekati istriku. "Bu, ngapain ibu ngotot banget. Kan belum tentu Hadi itu benar?"bisik laki-laki itu di dekat telinga istriku. "Pak Dika, Hadi memang belum tentu benar, tapi dia juga belum tetu punya salah. Iya kan?" sahut Shiena. "Lagi pula, Hadi itu mahasiswa kita, berarti dia masih tanggung jawab kita. Jika dia benar, maka kita harus membelanya, jika dia salah, maka kita juga harus bertanggung jawab untuk mengarahkan dia ke jalan benar dan jika pun harus dihukum, maka kita lah yang harus memberikan sangsi padanya." Mendengar perkataan Shiena, akhirnya Pak Andika diam. Setelah melalui dialog yang alot, ak