POv Shiena Hari berganti malam, sungguh ini sangat tidak nyaman bagiku karena harus berada di situasi begini. Aku bukannya lupa membawa peralatan kewanitaanku, tapi semuanya kutinggal di dalam mobil yang kebetulan tak bisa masuk ke area perkampungan ini. Karenanya aku terpaksa mencari Hadi untuk membelikan semuanya. Kalau saja cuma pemb@lut, mungkin aku masih bisa minta pada mahasiswiku, tapi tentu tidak mungkin aku meminjam pakaian dalam pada mereka. "Bu, ada si Hadi bawain sesuatu buat Ibu," seru salah satu mahasiswiku. Aku pun bergegas menghampiri. Ternyata dia sudah pergi, dia hanya menitipkan pesananku pada salah seorang mahasiswi. "Bu, ini martabaknya, katanya dapat dari Pak Dika," kata si Hani, salah satu mahasiswiku. Aku pun terbengong, aku kira itu adalah pemberian Hadi, ternyata malah pemberian Pak Dika. "Ouh, si Hadi gak nitip barang lain, selain ini?" tanyaku pada mereka. "Enggak, Bu. Cuma ini aja," jawab Hani. Aku pun menngkus kesal. Sungguh menjengkelkan
Pov Hadi. Tak ada yang paling membahagiakan selain ketika kita bisa menikmati hari-hari kita bersama keluarga yang sangat kita cinta. Seperti saat ini, rasa hati ini tak bisa terlukiskan saat melihat kedatangan istri tercinta di tempat KKN ini. Meski dia datang sebagai pengawas dan hanya berkunjung satu atau dua hari, setidaknya rasa rindu ini sedikit terobati. “Hadi, kamu dipanggil Bu Lidya!” seru salah satu temanku. Tanpa pikir panjang aku segera melesat menuju tempat mahasiswi menginap. “Ibu panggil saya?” tanyaku anstusias saat melihat dia di ruang tamu. “Iya, ni Had, hari ini aku mau memantau Mahasiswa yang ada di kampung sebelah, bisa kamu antar aku ke sana?” tanyanya tanpa melirik ke arahku. “Bisa dong, Bu. Tapi, nanti kasih upah, ya?” kelakarku sembari kunaikkan alisku hingga membuat dia terkekeh. “Boleh, ya udah, ayo!” Aku segera meminjam sepeda motor milik Pak RT, dan melaju membonceng Bu Lidya. Tak berapa lama kemudian, kami pun sampai di tempat yang kami
Aku tak henti-hentinya tersenyum ketika melihat istriku sibuk memasak nasi, sedangkan aku berusaha mengambil ikan dengan memancing. "Udah dapat belum?" tanya Shiena padaku. Dia mendekat dan duduk di sebelahku. "Ya ampun, mancing segitu saja gak dapat-dapat. Sini, aku yang mancing!" Dia mengambil kail dan yang kupegang, kemudian melemparnya ke kolam, tak berapa lama kemudian, kail itu sudah ditarik oleh mangsanya. Akhh, ternyata istriku ini pandai dalam segala hal. Setelah mendapat beberapa ikan, kami pun membakarnya. Ketika kami akan bersiap untuk makan, tiba-tiba saja ada yang memanggil kami. "Bu Lidya, Hadi? kalian di sini?" Aku dan Shiena mematung seketika saat kami menoleh dan melihat dengan seksama siapa yang ada di depan kami. "Ii-ilman? Kok, Elu di sini?" Aku malah balik bertanya pada Ilman yang sepertinya menyusulku. Akhhk, bagaimana ini, mau ditaruh di mana mukaku, kalau aku terus terang kalau Shiena istriku, tapi jika kami tidak menjelaskan, takutnya terjadi s
Kulihat Bu Shiena mendekatiku dan berbisik, "Had, kamu beneran kan, gak ngelakuin yang mereka tuduhkan?" bisik Shiena di telingaku. Sungguh menyebalkan. "Bu, kalau Hadi mau, ngapain Hadi ngelakuin sama orang lain, mendingan sama Ibu yang udah pasti halal," jawabku juga dengan berbisik. Shiena malah mencubit pinggangku hingga membuatku terkekeh. Akibatnya, orang di sekelilingku terlihat bertambah kebakaran jenggot. "Hadi, kenapa kamu malah tertawa?" teriak Pak Dika. Ah, si bujang lapuk itu memang rese. "Hehe, saya gak apa-apa, cuma lucu aja, kalian menuduhku tanpa bukti," sahutku sembari selengehan. Ya, itung-itung mengurangi penat dan emosi agar tak stress menghadapi fitnah macam ini. "Ya Allah, kenapa Engkau ciptakan hamba sedemikian tampan, sehingga banyak gadis yang memfitnah hamba? Eh, astagfirullah, kenapa aku jadi menyalahkan takdir. Harusnya aku bersyukur dianugerahi wajah setampan ini. Ya elah, jangan baca terlalu serius pemirsa, Hadi cuma sedang bercanda. Hadi, ayo ng
Semua yang hadir di balai desa dibuat kesal oleh tingkah Pak RT dan anaknya. "Sera, bagaimana, apa kamu akan tetap menuduh Hadi? saranku sebaiknya kamu bertaubat, jangan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam!" ujar Shiena, kali ini dia terlihat sangat marah karena ulah Pak RT dan juga anaknya. Di tengah keributan itu, Pak Andika malah mengambil kesempatan itu untuk mendekati istriku. "Bu, ngapain ibu ngotot banget. Kan belum tentu Hadi itu benar?"bisik laki-laki itu di dekat telinga istriku. "Pak Dika, Hadi memang belum tentu benar, tapi dia juga belum tetu punya salah. Iya kan?" sahut Shiena. "Lagi pula, Hadi itu mahasiswa kita, berarti dia masih tanggung jawab kita. Jika dia benar, maka kita harus membelanya, jika dia salah, maka kita juga harus bertanggung jawab untuk mengarahkan dia ke jalan benar dan jika pun harus dihukum, maka kita lah yang harus memberikan sangsi padanya." Mendengar perkataan Shiena, akhirnya Pak Andika diam. Setelah melalui dialog yang alot, ak
"Oh, iya. Maaf Mas, saya salah panggil. Kalau boleh tahu, emangnya Mas masih single gitu?" tanya perempuan itu. Duh, ini sebuah pertanyaan yang sulit aku jawab. Aku tak mungkin mengatakan kalau aku single, karena kenyataannya aku sudah beristri, tapi jika aku katakan aku punya istri dan itu Shiena, ah, aku takut mereka akan menertawakanku karena mempunyai istri yang lebih tua dariku. "Hehe, emangnya Mbak yang tadi gak bilang saya single atau punya istri?" tanyaku menyelidik. Aku mau tahu, apa Shiena sudah mengatakan bahwa dia istriku atau bukan. "Oh, saya gak tahu, Saya baru kerja di sini," jawab si suster itu. Ah, jadi rupanya dia gak tahu kalau Shiena istriku. Aku aman kalau gitu. Eh, maksudnya aman gak ditertawakan orang. "Had, bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanya Shiena yang masuk ke ruangan setelah kepergian suster. Wanita itu berjalan sembari tersenyum lembut. Hati ini terasa sejuk ketika melihat senyumnya. "Alhamdulillah aku baikan sekarang. Berapa hari aku ada di sin
Shiena tertawa lepas melihat Hadi terlihat cemberut, "Ya udah, jangan ngambek, aku peluk ni, udah tidur!" ujar Shiena sembari mendekat ke arah Hadi dan memeluknya tanpa menaiki brankar. Baru saja mereka berpelukan, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan .."Bu Shiena, Hadi, kalian berpelukan?" teriak seseorang dari ambang pintu. Hadi dan Shiena menoleh dan ah mata mereka berdua membulat ketika melihat sosok Ilman berdiri di depan pintu."Ilman, Kamu?" tanya hadi dan Shiena bersamaan. "Bu, gimana ini?"bisik Hadi di telinga Shiena. "Mana kutahu, ya udahlah, apa boleh buat, kita akui saja," jawab Shiena juga dengan berbisik.Ilman terlihat akan masuk, tapi dia menoleh ke arah luar, dan melihat temannya yang lain juga mau masuk."Had, teman-teman mau masuk ni, bolehin gak?" tanya Ilman pada Shiena dan Hadi. Shiena pun gegas membenahi duduknya, kemudian mengizinkan semuanya memasuki ruangan tentunya dengan syarat tidak ribut di ruangan.Para mahasiswa itu mulai masuk ke ruangan, dan
Pov HadiAku sungguh merasa tak enak hati dengan Shiena, tapi aku pun tak bisa memeungkiri perasaanku sendiri yang kini merasa bahagia karena bisa melihat Nisa lagi."Bagaimana kabar, Aa?" tanya Nisa dengan suara lembutnya. Ah, suara yang dulu selalu kugilai, suara yang selalu kurindu. Harus kuakui, sejak kedatangan Shiena, aku merasa ada pelipur laraku, tapi bukan berarti aku melupakan Nisa."A, maafkan Nisa ya, Nisa pergi tanpa pamit. Nisa kan nurutin ayah Nisa, jadi si abah gak mau Nisa kuliah di sini. Abah dan Emak Nisa cerai, dan Nisa harus ikut sama ayah. Makanya Nisa pergi ke Bandung, karena rumah ayah Nisa di Bandung," terang Nisa dengan disertai senyum manisnya. Senyum itu, benar-benar membuat hatiku tak mampu menolak rasa yang kembali membuncah. Tring...Suara ponselku membuyarkan semua hayalku, aku pun minta Izin membuka ponsel. Mataku membeliak ketika membaca chat dari Shiena yang mengabarkan bahwa Mama akan kr ruanganku bersama Basmah."Duh, gawat ni, kalau Mama ke ruan