Aku tak henti-hentinya tersenyum ketika melihat istriku sibuk memasak nasi, sedangkan aku berusaha mengambil ikan dengan memancing. "Udah dapat belum?" tanya Shiena padaku. Dia mendekat dan duduk di sebelahku. "Ya ampun, mancing segitu saja gak dapat-dapat. Sini, aku yang mancing!" Dia mengambil kail dan yang kupegang, kemudian melemparnya ke kolam, tak berapa lama kemudian, kail itu sudah ditarik oleh mangsanya. Akhh, ternyata istriku ini pandai dalam segala hal. Setelah mendapat beberapa ikan, kami pun membakarnya. Ketika kami akan bersiap untuk makan, tiba-tiba saja ada yang memanggil kami. "Bu Lidya, Hadi? kalian di sini?" Aku dan Shiena mematung seketika saat kami menoleh dan melihat dengan seksama siapa yang ada di depan kami. "Ii-ilman? Kok, Elu di sini?" Aku malah balik bertanya pada Ilman yang sepertinya menyusulku. Akhhk, bagaimana ini, mau ditaruh di mana mukaku, kalau aku terus terang kalau Shiena istriku, tapi jika kami tidak menjelaskan, takutnya terjadi s
Kulihat Bu Shiena mendekatiku dan berbisik, "Had, kamu beneran kan, gak ngelakuin yang mereka tuduhkan?" bisik Shiena di telingaku. Sungguh menyebalkan. "Bu, kalau Hadi mau, ngapain Hadi ngelakuin sama orang lain, mendingan sama Ibu yang udah pasti halal," jawabku juga dengan berbisik. Shiena malah mencubit pinggangku hingga membuatku terkekeh. Akibatnya, orang di sekelilingku terlihat bertambah kebakaran jenggot. "Hadi, kenapa kamu malah tertawa?" teriak Pak Dika. Ah, si bujang lapuk itu memang rese. "Hehe, saya gak apa-apa, cuma lucu aja, kalian menuduhku tanpa bukti," sahutku sembari selengehan. Ya, itung-itung mengurangi penat dan emosi agar tak stress menghadapi fitnah macam ini. "Ya Allah, kenapa Engkau ciptakan hamba sedemikian tampan, sehingga banyak gadis yang memfitnah hamba? Eh, astagfirullah, kenapa aku jadi menyalahkan takdir. Harusnya aku bersyukur dianugerahi wajah setampan ini. Ya elah, jangan baca terlalu serius pemirsa, Hadi cuma sedang bercanda. Hadi, ayo ng
Semua yang hadir di balai desa dibuat kesal oleh tingkah Pak RT dan anaknya. "Sera, bagaimana, apa kamu akan tetap menuduh Hadi? saranku sebaiknya kamu bertaubat, jangan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam!" ujar Shiena, kali ini dia terlihat sangat marah karena ulah Pak RT dan juga anaknya. Di tengah keributan itu, Pak Andika malah mengambil kesempatan itu untuk mendekati istriku. "Bu, ngapain ibu ngotot banget. Kan belum tentu Hadi itu benar?"bisik laki-laki itu di dekat telinga istriku. "Pak Dika, Hadi memang belum tentu benar, tapi dia juga belum tetu punya salah. Iya kan?" sahut Shiena. "Lagi pula, Hadi itu mahasiswa kita, berarti dia masih tanggung jawab kita. Jika dia benar, maka kita harus membelanya, jika dia salah, maka kita juga harus bertanggung jawab untuk mengarahkan dia ke jalan benar dan jika pun harus dihukum, maka kita lah yang harus memberikan sangsi padanya." Mendengar perkataan Shiena, akhirnya Pak Andika diam. Setelah melalui dialog yang alot, ak
"Oh, iya. Maaf Mas, saya salah panggil. Kalau boleh tahu, emangnya Mas masih single gitu?" tanya perempuan itu. Duh, ini sebuah pertanyaan yang sulit aku jawab. Aku tak mungkin mengatakan kalau aku single, karena kenyataannya aku sudah beristri, tapi jika aku katakan aku punya istri dan itu Shiena, ah, aku takut mereka akan menertawakanku karena mempunyai istri yang lebih tua dariku. "Hehe, emangnya Mbak yang tadi gak bilang saya single atau punya istri?" tanyaku menyelidik. Aku mau tahu, apa Shiena sudah mengatakan bahwa dia istriku atau bukan. "Oh, saya gak tahu, Saya baru kerja di sini," jawab si suster itu. Ah, jadi rupanya dia gak tahu kalau Shiena istriku. Aku aman kalau gitu. Eh, maksudnya aman gak ditertawakan orang. "Had, bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanya Shiena yang masuk ke ruangan setelah kepergian suster. Wanita itu berjalan sembari tersenyum lembut. Hati ini terasa sejuk ketika melihat senyumnya. "Alhamdulillah aku baikan sekarang. Berapa hari aku ada di sin
Shiena tertawa lepas melihat Hadi terlihat cemberut, "Ya udah, jangan ngambek, aku peluk ni, udah tidur!" ujar Shiena sembari mendekat ke arah Hadi dan memeluknya tanpa menaiki brankar. Baru saja mereka berpelukan, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan .."Bu Shiena, Hadi, kalian berpelukan?" teriak seseorang dari ambang pintu. Hadi dan Shiena menoleh dan ah mata mereka berdua membulat ketika melihat sosok Ilman berdiri di depan pintu."Ilman, Kamu?" tanya hadi dan Shiena bersamaan. "Bu, gimana ini?"bisik Hadi di telinga Shiena. "Mana kutahu, ya udahlah, apa boleh buat, kita akui saja," jawab Shiena juga dengan berbisik.Ilman terlihat akan masuk, tapi dia menoleh ke arah luar, dan melihat temannya yang lain juga mau masuk."Had, teman-teman mau masuk ni, bolehin gak?" tanya Ilman pada Shiena dan Hadi. Shiena pun gegas membenahi duduknya, kemudian mengizinkan semuanya memasuki ruangan tentunya dengan syarat tidak ribut di ruangan.Para mahasiswa itu mulai masuk ke ruangan, dan
Pov HadiAku sungguh merasa tak enak hati dengan Shiena, tapi aku pun tak bisa memeungkiri perasaanku sendiri yang kini merasa bahagia karena bisa melihat Nisa lagi."Bagaimana kabar, Aa?" tanya Nisa dengan suara lembutnya. Ah, suara yang dulu selalu kugilai, suara yang selalu kurindu. Harus kuakui, sejak kedatangan Shiena, aku merasa ada pelipur laraku, tapi bukan berarti aku melupakan Nisa."A, maafkan Nisa ya, Nisa pergi tanpa pamit. Nisa kan nurutin ayah Nisa, jadi si abah gak mau Nisa kuliah di sini. Abah dan Emak Nisa cerai, dan Nisa harus ikut sama ayah. Makanya Nisa pergi ke Bandung, karena rumah ayah Nisa di Bandung," terang Nisa dengan disertai senyum manisnya. Senyum itu, benar-benar membuat hatiku tak mampu menolak rasa yang kembali membuncah. Tring...Suara ponselku membuyarkan semua hayalku, aku pun minta Izin membuka ponsel. Mataku membeliak ketika membaca chat dari Shiena yang mengabarkan bahwa Mama akan kr ruanganku bersama Basmah."Duh, gawat ni, kalau Mama ke ruan
Hari demi hari telah berlalu, seminggu sudah aku terbaring sakit di rumahku. Selama seminggu ini, aku benar-benar mengistirahatkan pemikiranku dari persoalan kampus dan juga Nisa. Aku sengaja ingin mengambil quality time untuk istriku, meski tak bisa kupungkiri, semenjak kehadiran Nisa kembali di kota ini, aku merasa perasaanku pada Shiena terasa hambar. "Bu, Hadi kan udah sembuh, nih, apa Ibu gak mau ngasih hadiah?" tanyaku pada Shiena saat kami sudah bersiap akan tidur. Kebetulan Basmah sedang dibawa ke rumah mertuaku. "Hadiah apa emangnya?" Dia malah balik bertanya, membuatku sedikit kesal. Dia memicingkan matanya sambil mengulum senyum, sepertinya dia sengaja mempermainkanku."Hmm, kali ini Hadi gak akan membiarkan Ibu lari menghindar lagi, gak ada alasan bagi ibu menolak keinginan Hadi," ucapku dengan nada yang kubuat tegas, tapi Bu Shiena malah tertawa."Ha ha ha, dasar kamu ini. Hmm, baiklah, aku akan memberikan apa yang kamu mau, tapi ... setelah aku memberikan hati dan se
Hari ini aku akan pergi ke kampus untuk mengajukan judul Skripsiku, aku berharap bisa lulus dengan cepat agar tak berurusan lagi dengan dunia perkampusan. Baru saja aku selesai dari kampus, aku mendapatkan chat dari Nisa yang memintaku menemuinya. "Duh, bagaimana ini? kalau aku temui, aku takut Shiena tahu, tapi kalau gak aku temui, aku pengen banget nemui Nisa. Uff dilema lagi!" Aku terus menggerutu sembari meremas ponselku. ["A, besok, Nisa akan kembali ke Bandung, Nisa cuma mau bicara sesuatu sama Aa!"] chat Nisa sekali lagi. Ah, karena dia akan pergi ke Bandung, baiknya kutemui dia. Ya anggap aja ini terakhir kali. Setelah ini aku akan pokus pada rumah tanggaku denga shiena. Setelah aku memutuskan untuk pergi menemui Nisa, aku pun gegas menemuinya. Aku memintanya untuk menungguku di tempat yang aku pastikan tak akan didatangi oleh Shiena. Aku menemui Nisa di Pantai Carita, sebuah Pantai yang terletak di daerah Labuan Pandeglang Banten. Shiena tak mungkin ke tempat ini kare