Kulihat Bu Shiena mendekatiku dan berbisik, "Had, kamu beneran kan, gak ngelakuin yang mereka tuduhkan?" bisik Shiena di telingaku. Sungguh menyebalkan. "Bu, kalau Hadi mau, ngapain Hadi ngelakuin sama orang lain, mendingan sama Ibu yang udah pasti halal," jawabku juga dengan berbisik. Shiena malah mencubit pinggangku hingga membuatku terkekeh. Akibatnya, orang di sekelilingku terlihat bertambah kebakaran jenggot. "Hadi, kenapa kamu malah tertawa?" teriak Pak Dika. Ah, si bujang lapuk itu memang rese. "Hehe, saya gak apa-apa, cuma lucu aja, kalian menuduhku tanpa bukti," sahutku sembari selengehan. Ya, itung-itung mengurangi penat dan emosi agar tak stress menghadapi fitnah macam ini. "Ya Allah, kenapa Engkau ciptakan hamba sedemikian tampan, sehingga banyak gadis yang memfitnah hamba? Eh, astagfirullah, kenapa aku jadi menyalahkan takdir. Harusnya aku bersyukur dianugerahi wajah setampan ini. Ya elah, jangan baca terlalu serius pemirsa, Hadi cuma sedang bercanda. Hadi, ayo ng
Semua yang hadir di balai desa dibuat kesal oleh tingkah Pak RT dan anaknya. "Sera, bagaimana, apa kamu akan tetap menuduh Hadi? saranku sebaiknya kamu bertaubat, jangan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam!" ujar Shiena, kali ini dia terlihat sangat marah karena ulah Pak RT dan juga anaknya. Di tengah keributan itu, Pak Andika malah mengambil kesempatan itu untuk mendekati istriku. "Bu, ngapain ibu ngotot banget. Kan belum tentu Hadi itu benar?"bisik laki-laki itu di dekat telinga istriku. "Pak Dika, Hadi memang belum tentu benar, tapi dia juga belum tetu punya salah. Iya kan?" sahut Shiena. "Lagi pula, Hadi itu mahasiswa kita, berarti dia masih tanggung jawab kita. Jika dia benar, maka kita harus membelanya, jika dia salah, maka kita juga harus bertanggung jawab untuk mengarahkan dia ke jalan benar dan jika pun harus dihukum, maka kita lah yang harus memberikan sangsi padanya." Mendengar perkataan Shiena, akhirnya Pak Andika diam. Setelah melalui dialog yang alot, ak
"Oh, iya. Maaf Mas, saya salah panggil. Kalau boleh tahu, emangnya Mas masih single gitu?" tanya perempuan itu. Duh, ini sebuah pertanyaan yang sulit aku jawab. Aku tak mungkin mengatakan kalau aku single, karena kenyataannya aku sudah beristri, tapi jika aku katakan aku punya istri dan itu Shiena, ah, aku takut mereka akan menertawakanku karena mempunyai istri yang lebih tua dariku. "Hehe, emangnya Mbak yang tadi gak bilang saya single atau punya istri?" tanyaku menyelidik. Aku mau tahu, apa Shiena sudah mengatakan bahwa dia istriku atau bukan. "Oh, saya gak tahu, Saya baru kerja di sini," jawab si suster itu. Ah, jadi rupanya dia gak tahu kalau Shiena istriku. Aku aman kalau gitu. Eh, maksudnya aman gak ditertawakan orang. "Had, bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanya Shiena yang masuk ke ruangan setelah kepergian suster. Wanita itu berjalan sembari tersenyum lembut. Hati ini terasa sejuk ketika melihat senyumnya. "Alhamdulillah aku baikan sekarang. Berapa hari aku ada di sin
Shiena tertawa lepas melihat Hadi terlihat cemberut, "Ya udah, jangan ngambek, aku peluk ni, udah tidur!" ujar Shiena sembari mendekat ke arah Hadi dan memeluknya tanpa menaiki brankar. Baru saja mereka berpelukan, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan .."Bu Shiena, Hadi, kalian berpelukan?" teriak seseorang dari ambang pintu. Hadi dan Shiena menoleh dan ah mata mereka berdua membulat ketika melihat sosok Ilman berdiri di depan pintu."Ilman, Kamu?" tanya hadi dan Shiena bersamaan. "Bu, gimana ini?"bisik Hadi di telinga Shiena. "Mana kutahu, ya udahlah, apa boleh buat, kita akui saja," jawab Shiena juga dengan berbisik.Ilman terlihat akan masuk, tapi dia menoleh ke arah luar, dan melihat temannya yang lain juga mau masuk."Had, teman-teman mau masuk ni, bolehin gak?" tanya Ilman pada Shiena dan Hadi. Shiena pun gegas membenahi duduknya, kemudian mengizinkan semuanya memasuki ruangan tentunya dengan syarat tidak ribut di ruangan.Para mahasiswa itu mulai masuk ke ruangan, dan
Pov HadiAku sungguh merasa tak enak hati dengan Shiena, tapi aku pun tak bisa memeungkiri perasaanku sendiri yang kini merasa bahagia karena bisa melihat Nisa lagi."Bagaimana kabar, Aa?" tanya Nisa dengan suara lembutnya. Ah, suara yang dulu selalu kugilai, suara yang selalu kurindu. Harus kuakui, sejak kedatangan Shiena, aku merasa ada pelipur laraku, tapi bukan berarti aku melupakan Nisa."A, maafkan Nisa ya, Nisa pergi tanpa pamit. Nisa kan nurutin ayah Nisa, jadi si abah gak mau Nisa kuliah di sini. Abah dan Emak Nisa cerai, dan Nisa harus ikut sama ayah. Makanya Nisa pergi ke Bandung, karena rumah ayah Nisa di Bandung," terang Nisa dengan disertai senyum manisnya. Senyum itu, benar-benar membuat hatiku tak mampu menolak rasa yang kembali membuncah. Tring...Suara ponselku membuyarkan semua hayalku, aku pun minta Izin membuka ponsel. Mataku membeliak ketika membaca chat dari Shiena yang mengabarkan bahwa Mama akan kr ruanganku bersama Basmah."Duh, gawat ni, kalau Mama ke ruan
Hari demi hari telah berlalu, seminggu sudah aku terbaring sakit di rumahku. Selama seminggu ini, aku benar-benar mengistirahatkan pemikiranku dari persoalan kampus dan juga Nisa. Aku sengaja ingin mengambil quality time untuk istriku, meski tak bisa kupungkiri, semenjak kehadiran Nisa kembali di kota ini, aku merasa perasaanku pada Shiena terasa hambar. "Bu, Hadi kan udah sembuh, nih, apa Ibu gak mau ngasih hadiah?" tanyaku pada Shiena saat kami sudah bersiap akan tidur. Kebetulan Basmah sedang dibawa ke rumah mertuaku. "Hadiah apa emangnya?" Dia malah balik bertanya, membuatku sedikit kesal. Dia memicingkan matanya sambil mengulum senyum, sepertinya dia sengaja mempermainkanku."Hmm, kali ini Hadi gak akan membiarkan Ibu lari menghindar lagi, gak ada alasan bagi ibu menolak keinginan Hadi," ucapku dengan nada yang kubuat tegas, tapi Bu Shiena malah tertawa."Ha ha ha, dasar kamu ini. Hmm, baiklah, aku akan memberikan apa yang kamu mau, tapi ... setelah aku memberikan hati dan se
Hari ini aku akan pergi ke kampus untuk mengajukan judul Skripsiku, aku berharap bisa lulus dengan cepat agar tak berurusan lagi dengan dunia perkampusan. Baru saja aku selesai dari kampus, aku mendapatkan chat dari Nisa yang memintaku menemuinya. "Duh, bagaimana ini? kalau aku temui, aku takut Shiena tahu, tapi kalau gak aku temui, aku pengen banget nemui Nisa. Uff dilema lagi!" Aku terus menggerutu sembari meremas ponselku. ["A, besok, Nisa akan kembali ke Bandung, Nisa cuma mau bicara sesuatu sama Aa!"] chat Nisa sekali lagi. Ah, karena dia akan pergi ke Bandung, baiknya kutemui dia. Ya anggap aja ini terakhir kali. Setelah ini aku akan pokus pada rumah tanggaku denga shiena. Setelah aku memutuskan untuk pergi menemui Nisa, aku pun gegas menemuinya. Aku memintanya untuk menungguku di tempat yang aku pastikan tak akan didatangi oleh Shiena. Aku menemui Nisa di Pantai Carita, sebuah Pantai yang terletak di daerah Labuan Pandeglang Banten. Shiena tak mungkin ke tempat ini kare
"Dasar laki-laki pecundang!" teriak orang yang memukulku. Aku menoleh ke arahnya. "Ah, Ilman, elo? kenapa elo mukul gue, brengsek!" tanyaku dengan amarah menggebu ketika kutahu yang memukulku adalah Ilman, teman kuliahku. "Laki-laki macam Elo pantas dipukul, elo beneran laki-laki pecundang! Dulu gue diem aja saat elu pacaran sama beberapa gadis, tapi kali ini gue gak terima kalau elu permainkan Nisa, ngerti, gak, lo?" teriak Ilman sekali lagi."Eh, apa urusannya sama elo, hah? lagian siapa yang mainin Nisa?" Aku membalas teriakannya. Aku pun tak terima kalau dituduh yang bukan-bukan."Elu mau tahu? gue khawatir sama Nisa karena gue juga cinta sama dia, gue marah ke elo karena elo sudah permainkan dia, elu sekarang nemui dia, padahal beberapa waktu lalu, elu pelukan sama Bu Lidya, wanita yang selalu elo ejek, dasar munafik, elu selama ini ngehina bliau, tapi ternyata elo mainin perasaan beliau juga." Ilman terus mengoceh, kali ini ocehannya membuatku membeku. Aku tak berani lagi me
Tubuhku terhuyung mendengar perkataan Resepsionis hotel tempatku menginap ini. Aku sungguh tak menyangka bahwa Nisa mampu melakukan hal ini padaku. "Mbak, istri saya membawa kabur semua milik saya, termasuk dompet bahkan ponsel saya juga. Jadi, bagaimana saya membayar uang sewa kamar?" tanyaku pada wanita cantik yang kini terlihat melongo. "Mas gak bohong?" Dia balik bertanya. Aku sungguh kesal karena tak dipercaya tapi aku paham, tak mungkin ada orang asing yang mempercayaiku begitu saja. "Ya kalau Mbak gak percaya, ayo ikut saya ke kamar dan cari barang saya. Silakan lihat cctv juga," jawabku tegas. 'Baiklah, kalau begitu saya akan mengatakan ini pada manager. Untuk sementara Anda duduk saja si situ!" lanjut resepsionis. Kemudian dia menelepon Manager hotel. Lama menunggu, akhirnya dia mau menemuiku. "Baiklah Pak Hadi, kalau memang gak mampu bayar. Mas bisa kerja di sini dan nanti gaji Mas dipotong untuk bayar sewa kamar kemaren," "Apa saya bisa bekerja di sini tanpa ijaza
"Aa, kenapa mereka bilang kita harus pergi dari rumah ini, bukannya ini rumah warisan kedua orang tua aa?'' tanya Nisa saat mereka sudah pergi. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan istriku itu. Entah kenapa dia sama sekali tak memperdulikan mamaku. "Mama sudah menjual rumah ini," jawabku datar tanpa melirik ke arahnya. "Apa, jadi rumah ini sudah dijual? lalu bagaimana dengan kita, di mana kita akan tinggal. Apa aa sudah membeli yang baru buat kita?" Lagi-lagi Nisa menanyakan tentang rumah dan uang, membuatku semakin kesal padanya. "Kita akan ngontrak lagi," ''Apa, ngontrak, Aa itu tega banget. Kenapa harus ngontrak lagi? Anak kita nanti bagaimana?" Nisa terus nyerocos meluapkan kekesalannya padaku. Sedangkan aku, aku segera mengemasi barang-barang yang aku punya. Aku pergi ke kamar yang ditempati Shiena. Ada rasa yang bercampur aduk, ketika kuedarkan pandanganku ke setiap inci kamar ini. Aku terus melangkah menuju tempat duduk di atas ranjang yang dulu pernah menjadi sa
"Jadi maksud kamu, kamu mau aku pergi dari sini?" Bu Shiena bertanya sekali lagi. Kumendongak ke arahnya, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, hati ini serasa sakit sekali harus mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dia memalingkan wajahnya, aku tahu dia mencoba menepis amarahnya dan mencoba bersikap tenang di depanku. ''Baik, jika itu maumu, aku akan pergi.'' "Siapa yang akan pergi?" Tiba-tiba mamaku masuk ke kamar tamu dan bertanya pada kami dengan nada keras. Aku sungguh gugup antara harus jujur atau pura-pura tak dengar. "Hadi, kenapa kamu tak menjawab?'' Mama kembali bertanya, tapi aku tak mampu menjawab, akhirnya aku berpamitan dan pergi ke rumah sakit lagi. "Maaf, Ma. Nisa hampir keguguran, jadi Hadi harus ke rumah sakit," pamitku pada Mamah. Setelahnya aku bersiap pergi. Sebelum pergi, kupandangi kamarku, ada rasa berat yang luar biasa mengganjal di hati, tapi aku tak mampu menghindari dan menolak kemauan Nisa. "Bu Shiena, maafkan Hadi. Semoga Bu
Keesokan harinya, aku kembali bekerja di Restoran Mama, Nisa meminta diantar ke Mall, tapi setelah pulang, aku tak mendapati Nisa di rumah. "Bu, apa ibu melihat Nisa?" tanyaku pada Shiena yang kebetulan masih di rumah mamah karena Mamah yang meminta."Dari sejak kamu antar dia, dia tak pulang lagi," jawab Shiena. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataannya, kemana Nisa, kenapa dia belum pulang. Aku sudah menghubungi nomornya, tapi tak aktif. Aku sungguh pusing dibuatnya.Sampai tengah malam, aku terus menghubunginya, aku juga menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang melihat. Hingga hampir subuh, aku baru mendapat panggilan dari nomor yang tak kukenal."Hallo, selamat pagi, ini nomornya Pak Hadi? saya cuma mau memberi tahu, istri bapak ada di rumah sakit," ucap orang di seberang sana."Iya, saya Hadi, tolong beri alamatnya, Pak!" sahutku kemudian. Setelah mendapatkan alamat dari orang itu, aku bergegas ke rumah sakit."Dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanyaku pada dokte
Pov HadiDug! Dug! Dug! "Buka pintunya, dasar wanita murahan, udah cerai masih sekamar!" seru Nisa dari luar kamar. Aku dan Bu Shiena saling pandang tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nisa. "Kalau kalian tak mau keluar, kami akan mendobrak pintu.Kami bertambah bingung ketika mendengar suara dari luar, bukan cuma suara Nisa, tapi ada suara beberapa orang lagi, yang lebih membuatku heran, itu adalah suara laki-laki. "Ibu tunggu di sini, biar Hadi yang tengkok," ucapku sembari bergegas membuka pintu. Baru saja aku membukanya, aku sudah disambut oleh tangan Nisa yang menyeretku keluar."Nisa, apa-apaan sih kamu. Pak RT, Pak Hansip, dan Bapak-bapak, kenapa kalian malam-malam ke rumah saya?" tanyaku bertubi-bi pada rombongan Pak RT yanh kini berdiri di depan kamar. Entah siapa yang memanggil mereka."Halah, Mas Hadi jangan pura-pura, kami dengar kamu berz1na dengan mantan kamu, dan ternyata benar. Kalian sudah bercerai tapi masih sekamar," sahut salah seorang warga.Aku benar-benar
Pov: HadiAku sungguh sangat malu sekali dengan Shiena, ternyata Nisa menerima uang dari Hisyam atas namaku. "Kenapa kamu lakukan itu padaku? kenapa kamu bikin suamimu malu?" bentakku pada Nisa, tapi dia tak terima disalahkan."Ini semua salah aa, kalau saja Aa ngasih aku uang banyak, aku gak bakal nerima uang dari laki-laki itu," sahut Nisa tak kalah lantang denganku."Astagfirullah, memangnya aku harus memberi kamu uang berapa banyak. Aku sudah banting tulang, dan sekarang aku sudah mulai bekerja di restoran mama, aku ngasih kamu uang 100 ribu perhari dan makan pun kamu gak perlu mikirin lagi, karena sudah tersedia. Lalu apa lagi yang kamu mau?" Aku kembali membentaknya. Aku sungguh kecewa dengan sikap boros dan serakah yang dia miliki. Ahhkh, kenapa duly aku bisa mencintai wanita ini selama bertahun-tahun. Benar kata ceramah Ustadz yang kudengar, "Dalam pernikahan itu tak boleh mengandalkan cinta, cinta saja tak cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Cinta bisa berubah kapan
Aku melepas Basmah dengan derai air mata yang terus menderas ke pipi ini. Hatiku sungguh berat melihat putri sulungku pergi dari sisiku. Usai dari Bandara, aku bermaksud pergi ke kampung, tapi mama mertuaku memintaku untuk datang ke rumahnya. Karena tak mau mengecewakannya, aku pun terpaksa mengikuti permintaan mama keduaku itu. Setibanya di sana, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Gigiku dibuat gemeletuk karena menyaksikan kelakuan menantu kedua mama. "Nisa, kamu mau apa?" tanya Mama Marnah penuh ketakutan. Sementara Nisa terlihat tersenyum menyeringai. Aku bisa melihat dengan jelas karena karena Nisa menghadap cermin. "Mama sebaiknya bekerja sama denganku. Buat aa Hadi kerja lagi di restoran mama, kalau tidak, mama akan tahu apa yang akan lakukan pada Mama. Mama masih ingat kan, kejadian waktu itu?" jawab Nisa disertai senyum mengerikannya. Entah apa yang dia maksud. "Assalamualaikum," sapaku pada mereka. Mereka terlihat kaget, meski ekspresi mereka berdua setelahnya sang
Hari berganti, seminggu sudah Hisyam berada di negara ini, dia tetap membujukku pergi bersamanya, "Shiena kalau kamu tak mau rujuk, ok, aku tak akan memaksa, tapi aku mohon ikutlah denganku," bujuk Hisyam. Laki-laki ini memang pantang menyerah kalau belum dituruti. "Aku sudah berapa kali mengatakan? aku tak mau ikut denganmu. Untuk apa kamu memaksa?" "Kalau kamu tak mau ikut, kamu emangnya mau apa? apa kamu mau kembali pada laki-laki yang suah mencampakkan kamu demi uang!" Mata ini seketika membola mendengar ucapan Hisyam. "Apa maksud kamu?" Hisyam tak menjawab pertanyaanku, dia malah memberikan selembar kertas. Aku mengambil kertas itu dan betapa terkejutnya aku, saat aku melihat surat perjanjian antara Hadi dan Hisyam. Yang mana tertulis di situ? Hisyam memberikan uang senilai 1 M, sebagai imbaalannya, Hadi harus rela melepasku selamanya?" Tubuhku terasa tak mampu lagi untuk berdiri. Aku benar-benar tak menyangka, Hadi dan Hisyam mempermainkanku, seolah aku ini hanya benda ya
Aku sungguh tak paham dengan pemikiran Hadi. Dia sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Dia menceraikanku dan meminta rujuk seenaknya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.. Setelah beberapa lama menunggui mama mertuaku, Hisyam menghubungiku, akhirnya aku memintanya untuk membawa Basmah dan Ibuku ke rumah sakit agar menjenguk mama Marnah. "Assalamualaikum, Bu Marnah, bagaimana keadaan Bu Marnah?" sapa Mamaku ketika berada di ruang rawat Mama Marnah. Dia bergegas menyalami Mama mertuaku itu. "Alaikum salam, Bu." sambut Mama mertua sembari menyambut mamaku. Mereka berdua pun berpelukan. Mama Marnah terlihat berkaca-kaca memandang ke arah mamaku. Mungkin hati beliau masih dipenuhi rasa bersalah karena kelakuan Hadi. "Maafkan kami ya Bu, karena kami sudah membuat Shiena menderita. Sekali lagi maafkan kami!" ungkap Mama mertua dengan penuh ketulusan. "Ibu gak usah minta maaf, karena itu bukan salah ibu. Jodoh dan rezeki kan sudah diatur. Mungkin memang jodoh Shiena dan Amar hany