Hari berganti, beberapa bulan aku menjalani kehidupan sebagai suami dari Shiena, tapi Shiena belum juga memberi kabar gembira pada kami. Mungkin karena usianya yang menginjak sudah 35 tahun, jadi agak sulit untuk hamil lagi. "Hadi, setelah wisuda nanti, kamu harus ke Bandung, Paman kamu yang di Bandung sudah membagi harta Almarhum ayah kamu, dan kamu kebagian sebuah restaurant yang ada di sana," ujar Mama ketika kami sedang berada di meja makan. Ucapan Mama itu membuatku membeku seketika karena aku teringat Nisa. Kalau aku ke Bandung dan berjumpa Nisa, Nisa pasti menagih janjiku untuk menikahinya, tapi jika aku tidak ke Bandung, aku takut Paman akan berubah pikiran dan akan kembali menguasai harta ayahku yang dia klaim sebagai hartanya. "Loh, kok, bengong? Duh, kamu gak sanggup jauh sama Shiena ya?" kelakar Mama. Aku pun tersenyum dibuatnya. Meski pun yang kupikirkan adalah wanita lain, tapi kan bisa jadi juga aku memang berat meninggalkan Shiena. "He he , ya pasti lah Ma." jawabk
Semua persiapan sudah selesai, barang-barang yang akan aku bawa ke Bandung semuanya sudah dikemas dengan rapi. Tinggal hatiku yang masih gamang. Aku seperti merasakan bahwa Shiena sebenarnya tidak ikhlas aku pergi ke Bandung. Hanya saja dia tak berusaha mencegahku, karena ini adalah permintaan ibuku.Karenanya aku memutuskan, malam ini aku akan meyakinkan dia bahwa kepergianku tak akan mengubah apa pun yang sudah kami jalani. Aku akan tetap menjadi suaminya yang setia dan bertanggung jawab, meski pun aku sendiri ragu bahwa aku akan melakukannya.Aku masuk ke kamar kami, kulihat dia seperti biasanya, duduk di depan jendela dan memandang ke arah luar kamar. Aku pun mendekat dan kulingkarkan tanganku ke pinggangnya. Kupeluk dia erat dari belakang."Aku pasti akan merindukanmu," bisikku sembari terus memeluknya. Dia membalas pelukanku dengan mengelus tanganku."Nanti kamu akan pulang ke sini berapa hari sekali?" tanyanya kemudian. "Seminggu sekali," jawabku mantap tak ada keraguan sedi
Dengan hati yang tak menentu, aku menaiki taksi yang akan membawaku ke kota kembang. Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya aku sampai di kota ini. Aku disambut oleh sepupuku yang kemudian membawaku ke sebuah rumah yang lokasinya dekat dengan restaurant. "A, ini rumah yang sudah dikontrak untuk Aa," ucap sepupuku itu sembari menyerahkan kunci rumah. "Terima kasih, Dek. Kalau begitu Aa masuk dulu." Aku masuk ke rumah dengan mmebaca doa yang aku perlajari dari Shiena. Setelah aku masuk, aku tak lupa menelefon Shiena dan Mama, aku membuat Video dan mengirimkannya ke mereka. "Bu, Hadi udah sampai ni!" tulisku dalam chat. "Rumahnya besar gak?" balas Mama. "Lumayan, Ma. Ada dua tiga kamar, tapi kamar mandi cuma satu, hehe," jawabku, lagi. Usai berbenah, aku pun mengistirahatkan diri, pikiranku mulai melayang mengingat chat Nisa. Dengan penuh keraguan, akhirnya aku membuka lagi chat dia dan kubaca berulang-ulang. Menurut chat itu, aku gegas mengechek alamat rumah Nisa dan ala
Aku pulang dengan perasaan kacau balau, ini sungguh membuatku binging. Di sisi lain, aku ingin setia pada istriku meski pernikahan ini tak kukehendaki, dan meski di hati ini mungkin belum ada cinta seutuhnya untuk Shiena, tapi di sisi lain, bayangan Nisa tetap membuatku terhanyut.["A, kapan ke Bandung, kok, gak ngabari?"] chat dari Nisa itu membuatku makin bimbang.["Tadinya Aa mau bikin kejutan,"] balasku singkat, tapi itu rasanya sudah menguras energiku."Ah, masa bodo, bukankah sekarang Shiena ada di Banten, dan dia juga belum mau tinggal di sini, jadi untuk apa dibikin ribet?" Akhirnya kata-kata konyol itu keluar begitu saja dari mulutku, meski itu membuat hatiku sakit sendiri.Akhirnya aku pun memutuskan untuk menemui Nisa, toh, hanya menemuinya dan mungkin hanya iseng saja, mengobati kerinduanku pada rumah. Demikian pikirku.Seminggu sudah, aku di sini, aku akan pulang menemui Shiena, tapi Nisa memintaku menemui keluarganya. Ah, di situlah aku menjadi bimbang."Nis, hari ini
Keesokan harinya, aku bersiap untuk kembali Ke Bandung, meski Shiena terlihat tak suka dengan kepergianku kali ini. Setibanya di Bandung, aku langsung pergi ke Restaurants. "A, aku ingin minta tolong, abahku sakit, bisa gak nengokin dia di RS?" Nisa mengirim chat untukku. Karena cemas memikirkan keadaan Nisa, akhirnya aku menjenguk ayahnya di Rumah sakit. "Assalamualaikum, Bu," sapaku pada ibunya Nisa yang terlihat sedang menangis. Wanita itu menoleh ke arahku. "Kamu pacarnya Nisa?" tanya perempuan itu. Pertanyaan yang sungguh membuatku membeku. Belum sempat aku menjawab, Nisa tiba-tiba muncul dari ruang rawat ayahnya. "Ma, eh, A Hadi, maaf Ma, abah mau bicara katanya," ucap Nisa memanggil kami. Entah kenapa ayahnya Nisa juga ingin berbicara denganku. "Nak Hadi, kamu dan Nisa sudah lama pacaran, kapan kamu akan melamarnya?" tanya Laki-laki yang paruh baya itu sembari terbatuk-batuk. Aku tertunduk karena tak tahu harus menjawab apa. Kalau aku mengikuti permintaan mereka, bagaim
Kebahagiaan yang dialami Nisa kini bercampur dengan duka yang teramat dalam. Karena keluarga mereka pas-pasan, aku terpaksa menggunakan uang tabunganku untuk membantu Nisa. Ada sedikit rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam benakku, tatkala kuingat Shiena. Sudah setahun aku menikah dengan Shiena, tapi aku belum pernah memberinya uang hasil kerjaku.Shiena hanya diberi uang belanja oleh mama, karena memang untuk makan bersama. Sedangkan aku belum sekali pun memberinya dari hasil keringatku. Meski dulu aku pernah membuat mobilnya rusak, tapi aku pun belum sempat menggantinya, perempuan itu membeli mobil lagi dengan uangnya."Nak Hadi, sekarang sudah selesai 7 hari, kalau Nak Hadi ingin membawa Nisa, silakan saja!" ucap mertuaku. Aku pun tersenyum mengiyakan. Pernikahan kami hanya pernikahan sirri karena aku sendiri masih bingung. Aku tak mungkin jujur kalau aku sudah beristri, tapi ah, aku pusing dengan semua ini.Aku membawa Nisa ke rumah yang dikontrak untukku, hatiku sebenarnya me
POV ShienaHati ini serasa bahagia sekali karena ternyata Hadi sudah menerimaku sebagai istrinya. Namun, sejak kejadian di rumah sakit itu, di mana Hadi bertemu lagi dengan wanita yang pernah ia cintai. Terus terang ada rasa waswas kalau teringat perempuan itu, hanya saja aku selalu berusaha menepis semua rasa curigaku.Apalagi setelah melihat kesungguhan Hadi, akhirnya hati ini luluh dan mau menerima pernikahan beda usia ini."Baiklah, Had, aku bersedia menjadi istrimu yang sesungguhnya, asalkan setelah aku menyerahkan segalanya padamu, kamu tak akan mengecewakanku. Jika suatu saat aku dapati kamu menghianatiku, aku akan memberimu hukuman yang akan membuatmu menyesal seumur hidupmu!" tegasku pada pemuda yang sudah sah menjadi suamiku ini.Hadi pun tersenyum dan memelukku. Sejak saat itu, Hadi terlihat sangat memanjakanku. Kami berdua berjuang keras agar bisa mendapatkan keturunan, tapi sayangnya sampai berbulan-bulan kami menunggu dan berusaha, harapan kami tak kunjung terealisasi.
Dadaku berdebar tak karuan kala mendengar suara perempuan itu. Aku berusaha menepis rasa takutku, Namun ternyata itu semakin kuat, apalagi saat perempuan itu telah membuka pintu dan mataku dengan jelas melihat wajah perempuan ini. 'Allah, perempuan ini, bukankah perempua ini adalah perempuan yang katanya pacar Hadi dahulunya. Kenapa dia ada di sini?' batinku terus bertanya-tanya. Karena tak mau larut dalam prasangka buruk, aku pun menatap wanita ini dan langsung bertanya padanya. "Maaf, Ibu siapa ya? sepertinya saya pernah lihat ibu?" tanya perempuan itu mengingat-ingat wajahku. "Saya Lidya, dosennya Hadi. Kita pernah bertemu di rumah sakit saat Hadi sakit," jawabku memeprjelas pada perempuan itu. Perempuan itu terlihat tersenyum merekah melihatku, "Oh iya, saya ingat. Mari masuk Bu. Aa Hadinya lagi mandi, hehe," sahut Nisa mempersilakanku masuk. Ah, Aa? mesra sekali? dan kenapa dia ada di sini. Aku menuruti Nisa dan langsung memasuki rumah Hadi. "Maaf, apa kamu sedang main di