Keesokan harinya, aku bersiap untuk kembali Ke Bandung, meski Shiena terlihat tak suka dengan kepergianku kali ini. Setibanya di Bandung, aku langsung pergi ke Restaurants. "A, aku ingin minta tolong, abahku sakit, bisa gak nengokin dia di RS?" Nisa mengirim chat untukku. Karena cemas memikirkan keadaan Nisa, akhirnya aku menjenguk ayahnya di Rumah sakit. "Assalamualaikum, Bu," sapaku pada ibunya Nisa yang terlihat sedang menangis. Wanita itu menoleh ke arahku. "Kamu pacarnya Nisa?" tanya perempuan itu. Pertanyaan yang sungguh membuatku membeku. Belum sempat aku menjawab, Nisa tiba-tiba muncul dari ruang rawat ayahnya. "Ma, eh, A Hadi, maaf Ma, abah mau bicara katanya," ucap Nisa memanggil kami. Entah kenapa ayahnya Nisa juga ingin berbicara denganku. "Nak Hadi, kamu dan Nisa sudah lama pacaran, kapan kamu akan melamarnya?" tanya Laki-laki yang paruh baya itu sembari terbatuk-batuk. Aku tertunduk karena tak tahu harus menjawab apa. Kalau aku mengikuti permintaan mereka, bagaim
Kebahagiaan yang dialami Nisa kini bercampur dengan duka yang teramat dalam. Karena keluarga mereka pas-pasan, aku terpaksa menggunakan uang tabunganku untuk membantu Nisa. Ada sedikit rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam benakku, tatkala kuingat Shiena. Sudah setahun aku menikah dengan Shiena, tapi aku belum pernah memberinya uang hasil kerjaku.Shiena hanya diberi uang belanja oleh mama, karena memang untuk makan bersama. Sedangkan aku belum sekali pun memberinya dari hasil keringatku. Meski dulu aku pernah membuat mobilnya rusak, tapi aku pun belum sempat menggantinya, perempuan itu membeli mobil lagi dengan uangnya."Nak Hadi, sekarang sudah selesai 7 hari, kalau Nak Hadi ingin membawa Nisa, silakan saja!" ucap mertuaku. Aku pun tersenyum mengiyakan. Pernikahan kami hanya pernikahan sirri karena aku sendiri masih bingung. Aku tak mungkin jujur kalau aku sudah beristri, tapi ah, aku pusing dengan semua ini.Aku membawa Nisa ke rumah yang dikontrak untukku, hatiku sebenarnya me
POV ShienaHati ini serasa bahagia sekali karena ternyata Hadi sudah menerimaku sebagai istrinya. Namun, sejak kejadian di rumah sakit itu, di mana Hadi bertemu lagi dengan wanita yang pernah ia cintai. Terus terang ada rasa waswas kalau teringat perempuan itu, hanya saja aku selalu berusaha menepis semua rasa curigaku.Apalagi setelah melihat kesungguhan Hadi, akhirnya hati ini luluh dan mau menerima pernikahan beda usia ini."Baiklah, Had, aku bersedia menjadi istrimu yang sesungguhnya, asalkan setelah aku menyerahkan segalanya padamu, kamu tak akan mengecewakanku. Jika suatu saat aku dapati kamu menghianatiku, aku akan memberimu hukuman yang akan membuatmu menyesal seumur hidupmu!" tegasku pada pemuda yang sudah sah menjadi suamiku ini.Hadi pun tersenyum dan memelukku. Sejak saat itu, Hadi terlihat sangat memanjakanku. Kami berdua berjuang keras agar bisa mendapatkan keturunan, tapi sayangnya sampai berbulan-bulan kami menunggu dan berusaha, harapan kami tak kunjung terealisasi.
Dadaku berdebar tak karuan kala mendengar suara perempuan itu. Aku berusaha menepis rasa takutku, Namun ternyata itu semakin kuat, apalagi saat perempuan itu telah membuka pintu dan mataku dengan jelas melihat wajah perempuan ini. 'Allah, perempuan ini, bukankah perempua ini adalah perempuan yang katanya pacar Hadi dahulunya. Kenapa dia ada di sini?' batinku terus bertanya-tanya. Karena tak mau larut dalam prasangka buruk, aku pun menatap wanita ini dan langsung bertanya padanya. "Maaf, Ibu siapa ya? sepertinya saya pernah lihat ibu?" tanya perempuan itu mengingat-ingat wajahku. "Saya Lidya, dosennya Hadi. Kita pernah bertemu di rumah sakit saat Hadi sakit," jawabku memeprjelas pada perempuan itu. Perempuan itu terlihat tersenyum merekah melihatku, "Oh iya, saya ingat. Mari masuk Bu. Aa Hadinya lagi mandi, hehe," sahut Nisa mempersilakanku masuk. Ah, Aa? mesra sekali? dan kenapa dia ada di sini. Aku menuruti Nisa dan langsung memasuki rumah Hadi. "Maaf, apa kamu sedang main di
Pov HadiDi hari sabtu aku sebenarnya ingin libur dan berencana akan pulang ke rumah. Sudah sebulan aku tak pulang, rasa rindu dan cemas kini bercampur menjadi satu. "Nis, hari ini aku antar kamu ke rumah mama kamu, aku mau pulang ke Serang," ujarku lada istri keduaku. Aku melirik ke arahnya, wajahnya terlihat berbinar, entah ada apa dengannya."Kalau aa mau pulang ke Serang, Nisa ikut aja sekalian. Kan Nisa belum bertemu mama mertua," sahut Nisa manja. Duh, apa katanya tadi. ikut denganku? ahkh, bisa benjol kepalaku ditoyor mamah, kalau aku sampai pulang membawa Nisa. "Eh, hehe nanti aja sayang. Aa pulang mau jelasin dulu ke mamah, baru nanti bisa bawa kamu ke sana. Kalau tiba-tiba kamu muncul di sana kek jaylangkung, nanti mama bisa kaget," ucapku asal. Nisa terlihat kesal, tapi aku sangat tahu dengan watak wanita satu ini, dia sama seperti pacarku yang lain, akan luluh jika dikasih uang. Ya meski akibatnya aku harus ikhlas menggelontorkan Dana yang tak sedikit."Wahh, aa mah pa
"A, aa kenapa sih, buru-buru gitu?" tanya Nisa padaku saat aku sudah mau keluar rumah. "Gak apa-apa, kan beliau itu dosennya aa, dia udah repot-repot ke sini sendiri bawain makanan dari mama, jadi aa harus terima kasih. ya udah aa pergi dulu ya!" pamitku pada tanpa menghiraukan pertanyaannya lagi. Kalau aku terus meladeninya, bisa-bisa aku tak akan bisa menemui Shiena. Dengan berbekal informasi dari temanku, aku pun gegas melaju menuju tempat di mana Shiena menjadi pemateri atau nara sumber. "Assalamu alaikum Pak, apa saya bisa menemui Bu Lidya? Apa beliau sudah datang?" tanyaku pada salah seorang panitia penyelenggara seminar yang kebetulan lewat. "Oh, Bu Lidya gak jadi memberi materi, karena beliau pingsan dan dilarikan ke rumah sakit," jawab orang itu yang tentunya membuatku tersentak. "Apa? Astagfirullah, di mana beliau dirawat?" Aku bertanya penuh kecemasan. Setelah mendapat info, aku pun gegas menuju rumah sakit yang dimaksud."Ya Allah, apa Bu Shiena pingsan gara-gara aku.
POV ShienaMeski hati ini hancur, aku berusaha menunggu laki-laki itu, apa dia kali ini akan menepati janjinya untuk menemuiku lagi dan pulang bersama ke Serang. Setelah setengah hari menunggu, tak ada kabar dari Hadi, karenanya aku memutuskan untuk pulang bersama rombongan yang mengundangku ke sini."Ya Allah, apa yang harus aku lakukan, kalau aku meminta cerai, bagaimana dengan anak yang dalam kandunganku. Apa dia akan bernasib sama seperti Basmah yang sama sekali belum mengenal ayahnya. Tapi, jika aku bertahan, apa aku sanggup menahan cemburu ini sedangkan Hadi rasanya tak akan mampu adil. Ya Robb!" batinku merintih."Na, kamu kenapa?" tanya Ibu mertuaku penuh kecemasan ketika aku masuk gerbang rumah dengan dipapah oleh salah seorang panitia wanita yang mengantarku."Shiena gak apa-apa, Bu. Cuma lemas aja," jawabku sembari memaksakan senyuman. Setelah temanku pergi, Ibu mertuaku kembali bertanya tentang anaknya. "Memangnya kamu gak bertemu Hadi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan
Aku terus berusaha membujuk Shiena agar memahamiku, tapi wanitaku itu tetap saja diam membisu. Untungnya dia tidak membongkar rahasiaku di depan mama, bisa berabeh kalau mamah tahu pernikahan keduaku."Na, kamu belum memberitahu Hadi?" tanya mamaku, entah apa yang dia maksud, Shiena tak langsung menjawab, dia melirik ke arahku dengan sinis, kemudian membisikkan sesuatu pada Mamah, entah apa yang dia bisikkan, aku tak dapat mendengarnya."Hadi, ayo ajak istri kamu pergi jalan-jalan, kalian kan gak bertemu satu bulan ini, ayo sana! Basmah biar sama Mamah!" titah Mamah padaku. Tentu saja ide itu aku sambut gembira. Aku melirik ke arah Shiena yang hanya mengangguk. Sepertinya dia menyetujui. Ini kesempatan bagiku untuk mengambil hati istriku itu. Aku menuntuk tangan Shiena dengan lembut saat kami akan naik mobil, untungnya dia tak menolak, mungkin dia merasa tak enak dengan Mama."Dada Mamah, dada Om, nanti Basmah ikut ya!" seru Basmah dengan senyum riangnya. Aku pun mengelus kepalanya da
Tubuhku terhuyung mendengar perkataan Resepsionis hotel tempatku menginap ini. Aku sungguh tak menyangka bahwa Nisa mampu melakukan hal ini padaku. "Mbak, istri saya membawa kabur semua milik saya, termasuk dompet bahkan ponsel saya juga. Jadi, bagaimana saya membayar uang sewa kamar?" tanyaku pada wanita cantik yang kini terlihat melongo. "Mas gak bohong?" Dia balik bertanya. Aku sungguh kesal karena tak dipercaya tapi aku paham, tak mungkin ada orang asing yang mempercayaiku begitu saja. "Ya kalau Mbak gak percaya, ayo ikut saya ke kamar dan cari barang saya. Silakan lihat cctv juga," jawabku tegas. 'Baiklah, kalau begitu saya akan mengatakan ini pada manager. Untuk sementara Anda duduk saja si situ!" lanjut resepsionis. Kemudian dia menelepon Manager hotel. Lama menunggu, akhirnya dia mau menemuiku. "Baiklah Pak Hadi, kalau memang gak mampu bayar. Mas bisa kerja di sini dan nanti gaji Mas dipotong untuk bayar sewa kamar kemaren," "Apa saya bisa bekerja di sini tanpa ijaza
"Aa, kenapa mereka bilang kita harus pergi dari rumah ini, bukannya ini rumah warisan kedua orang tua aa?'' tanya Nisa saat mereka sudah pergi. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan istriku itu. Entah kenapa dia sama sekali tak memperdulikan mamaku. "Mama sudah menjual rumah ini," jawabku datar tanpa melirik ke arahnya. "Apa, jadi rumah ini sudah dijual? lalu bagaimana dengan kita, di mana kita akan tinggal. Apa aa sudah membeli yang baru buat kita?" Lagi-lagi Nisa menanyakan tentang rumah dan uang, membuatku semakin kesal padanya. "Kita akan ngontrak lagi," ''Apa, ngontrak, Aa itu tega banget. Kenapa harus ngontrak lagi? Anak kita nanti bagaimana?" Nisa terus nyerocos meluapkan kekesalannya padaku. Sedangkan aku, aku segera mengemasi barang-barang yang aku punya. Aku pergi ke kamar yang ditempati Shiena. Ada rasa yang bercampur aduk, ketika kuedarkan pandanganku ke setiap inci kamar ini. Aku terus melangkah menuju tempat duduk di atas ranjang yang dulu pernah menjadi sa
"Jadi maksud kamu, kamu mau aku pergi dari sini?" Bu Shiena bertanya sekali lagi. Kumendongak ke arahnya, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, hati ini serasa sakit sekali harus mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dia memalingkan wajahnya, aku tahu dia mencoba menepis amarahnya dan mencoba bersikap tenang di depanku. ''Baik, jika itu maumu, aku akan pergi.'' "Siapa yang akan pergi?" Tiba-tiba mamaku masuk ke kamar tamu dan bertanya pada kami dengan nada keras. Aku sungguh gugup antara harus jujur atau pura-pura tak dengar. "Hadi, kenapa kamu tak menjawab?'' Mama kembali bertanya, tapi aku tak mampu menjawab, akhirnya aku berpamitan dan pergi ke rumah sakit lagi. "Maaf, Ma. Nisa hampir keguguran, jadi Hadi harus ke rumah sakit," pamitku pada Mamah. Setelahnya aku bersiap pergi. Sebelum pergi, kupandangi kamarku, ada rasa berat yang luar biasa mengganjal di hati, tapi aku tak mampu menghindari dan menolak kemauan Nisa. "Bu Shiena, maafkan Hadi. Semoga Bu
Keesokan harinya, aku kembali bekerja di Restoran Mama, Nisa meminta diantar ke Mall, tapi setelah pulang, aku tak mendapati Nisa di rumah. "Bu, apa ibu melihat Nisa?" tanyaku pada Shiena yang kebetulan masih di rumah mamah karena Mamah yang meminta."Dari sejak kamu antar dia, dia tak pulang lagi," jawab Shiena. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataannya, kemana Nisa, kenapa dia belum pulang. Aku sudah menghubungi nomornya, tapi tak aktif. Aku sungguh pusing dibuatnya.Sampai tengah malam, aku terus menghubunginya, aku juga menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang melihat. Hingga hampir subuh, aku baru mendapat panggilan dari nomor yang tak kukenal."Hallo, selamat pagi, ini nomornya Pak Hadi? saya cuma mau memberi tahu, istri bapak ada di rumah sakit," ucap orang di seberang sana."Iya, saya Hadi, tolong beri alamatnya, Pak!" sahutku kemudian. Setelah mendapatkan alamat dari orang itu, aku bergegas ke rumah sakit."Dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanyaku pada dokte
Pov HadiDug! Dug! Dug! "Buka pintunya, dasar wanita murahan, udah cerai masih sekamar!" seru Nisa dari luar kamar. Aku dan Bu Shiena saling pandang tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nisa. "Kalau kalian tak mau keluar, kami akan mendobrak pintu.Kami bertambah bingung ketika mendengar suara dari luar, bukan cuma suara Nisa, tapi ada suara beberapa orang lagi, yang lebih membuatku heran, itu adalah suara laki-laki. "Ibu tunggu di sini, biar Hadi yang tengkok," ucapku sembari bergegas membuka pintu. Baru saja aku membukanya, aku sudah disambut oleh tangan Nisa yang menyeretku keluar."Nisa, apa-apaan sih kamu. Pak RT, Pak Hansip, dan Bapak-bapak, kenapa kalian malam-malam ke rumah saya?" tanyaku bertubi-bi pada rombongan Pak RT yanh kini berdiri di depan kamar. Entah siapa yang memanggil mereka."Halah, Mas Hadi jangan pura-pura, kami dengar kamu berz1na dengan mantan kamu, dan ternyata benar. Kalian sudah bercerai tapi masih sekamar," sahut salah seorang warga.Aku benar-benar
Pov: HadiAku sungguh sangat malu sekali dengan Shiena, ternyata Nisa menerima uang dari Hisyam atas namaku. "Kenapa kamu lakukan itu padaku? kenapa kamu bikin suamimu malu?" bentakku pada Nisa, tapi dia tak terima disalahkan."Ini semua salah aa, kalau saja Aa ngasih aku uang banyak, aku gak bakal nerima uang dari laki-laki itu," sahut Nisa tak kalah lantang denganku."Astagfirullah, memangnya aku harus memberi kamu uang berapa banyak. Aku sudah banting tulang, dan sekarang aku sudah mulai bekerja di restoran mama, aku ngasih kamu uang 100 ribu perhari dan makan pun kamu gak perlu mikirin lagi, karena sudah tersedia. Lalu apa lagi yang kamu mau?" Aku kembali membentaknya. Aku sungguh kecewa dengan sikap boros dan serakah yang dia miliki. Ahhkh, kenapa duly aku bisa mencintai wanita ini selama bertahun-tahun. Benar kata ceramah Ustadz yang kudengar, "Dalam pernikahan itu tak boleh mengandalkan cinta, cinta saja tak cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Cinta bisa berubah kapan
Aku melepas Basmah dengan derai air mata yang terus menderas ke pipi ini. Hatiku sungguh berat melihat putri sulungku pergi dari sisiku. Usai dari Bandara, aku bermaksud pergi ke kampung, tapi mama mertuaku memintaku untuk datang ke rumahnya. Karena tak mau mengecewakannya, aku pun terpaksa mengikuti permintaan mama keduaku itu. Setibanya di sana, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Gigiku dibuat gemeletuk karena menyaksikan kelakuan menantu kedua mama. "Nisa, kamu mau apa?" tanya Mama Marnah penuh ketakutan. Sementara Nisa terlihat tersenyum menyeringai. Aku bisa melihat dengan jelas karena karena Nisa menghadap cermin. "Mama sebaiknya bekerja sama denganku. Buat aa Hadi kerja lagi di restoran mama, kalau tidak, mama akan tahu apa yang akan lakukan pada Mama. Mama masih ingat kan, kejadian waktu itu?" jawab Nisa disertai senyum mengerikannya. Entah apa yang dia maksud. "Assalamualaikum," sapaku pada mereka. Mereka terlihat kaget, meski ekspresi mereka berdua setelahnya sang
Hari berganti, seminggu sudah Hisyam berada di negara ini, dia tetap membujukku pergi bersamanya, "Shiena kalau kamu tak mau rujuk, ok, aku tak akan memaksa, tapi aku mohon ikutlah denganku," bujuk Hisyam. Laki-laki ini memang pantang menyerah kalau belum dituruti. "Aku sudah berapa kali mengatakan? aku tak mau ikut denganmu. Untuk apa kamu memaksa?" "Kalau kamu tak mau ikut, kamu emangnya mau apa? apa kamu mau kembali pada laki-laki yang suah mencampakkan kamu demi uang!" Mata ini seketika membola mendengar ucapan Hisyam. "Apa maksud kamu?" Hisyam tak menjawab pertanyaanku, dia malah memberikan selembar kertas. Aku mengambil kertas itu dan betapa terkejutnya aku, saat aku melihat surat perjanjian antara Hadi dan Hisyam. Yang mana tertulis di situ? Hisyam memberikan uang senilai 1 M, sebagai imbaalannya, Hadi harus rela melepasku selamanya?" Tubuhku terasa tak mampu lagi untuk berdiri. Aku benar-benar tak menyangka, Hadi dan Hisyam mempermainkanku, seolah aku ini hanya benda ya
Aku sungguh tak paham dengan pemikiran Hadi. Dia sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Dia menceraikanku dan meminta rujuk seenaknya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.. Setelah beberapa lama menunggui mama mertuaku, Hisyam menghubungiku, akhirnya aku memintanya untuk membawa Basmah dan Ibuku ke rumah sakit agar menjenguk mama Marnah. "Assalamualaikum, Bu Marnah, bagaimana keadaan Bu Marnah?" sapa Mamaku ketika berada di ruang rawat Mama Marnah. Dia bergegas menyalami Mama mertuaku itu. "Alaikum salam, Bu." sambut Mama mertua sembari menyambut mamaku. Mereka berdua pun berpelukan. Mama Marnah terlihat berkaca-kaca memandang ke arah mamaku. Mungkin hati beliau masih dipenuhi rasa bersalah karena kelakuan Hadi. "Maafkan kami ya Bu, karena kami sudah membuat Shiena menderita. Sekali lagi maafkan kami!" ungkap Mama mertua dengan penuh ketulusan. "Ibu gak usah minta maaf, karena itu bukan salah ibu. Jodoh dan rezeki kan sudah diatur. Mungkin memang jodoh Shiena dan Amar hany