Kebahagiaan yang dialami Nisa kini bercampur dengan duka yang teramat dalam. Karena keluarga mereka pas-pasan, aku terpaksa menggunakan uang tabunganku untuk membantu Nisa. Ada sedikit rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam benakku, tatkala kuingat Shiena. Sudah setahun aku menikah dengan Shiena, tapi aku belum pernah memberinya uang hasil kerjaku.Shiena hanya diberi uang belanja oleh mama, karena memang untuk makan bersama. Sedangkan aku belum sekali pun memberinya dari hasil keringatku. Meski dulu aku pernah membuat mobilnya rusak, tapi aku pun belum sempat menggantinya, perempuan itu membeli mobil lagi dengan uangnya."Nak Hadi, sekarang sudah selesai 7 hari, kalau Nak Hadi ingin membawa Nisa, silakan saja!" ucap mertuaku. Aku pun tersenyum mengiyakan. Pernikahan kami hanya pernikahan sirri karena aku sendiri masih bingung. Aku tak mungkin jujur kalau aku sudah beristri, tapi ah, aku pusing dengan semua ini.Aku membawa Nisa ke rumah yang dikontrak untukku, hatiku sebenarnya me
POV ShienaHati ini serasa bahagia sekali karena ternyata Hadi sudah menerimaku sebagai istrinya. Namun, sejak kejadian di rumah sakit itu, di mana Hadi bertemu lagi dengan wanita yang pernah ia cintai. Terus terang ada rasa waswas kalau teringat perempuan itu, hanya saja aku selalu berusaha menepis semua rasa curigaku.Apalagi setelah melihat kesungguhan Hadi, akhirnya hati ini luluh dan mau menerima pernikahan beda usia ini."Baiklah, Had, aku bersedia menjadi istrimu yang sesungguhnya, asalkan setelah aku menyerahkan segalanya padamu, kamu tak akan mengecewakanku. Jika suatu saat aku dapati kamu menghianatiku, aku akan memberimu hukuman yang akan membuatmu menyesal seumur hidupmu!" tegasku pada pemuda yang sudah sah menjadi suamiku ini.Hadi pun tersenyum dan memelukku. Sejak saat itu, Hadi terlihat sangat memanjakanku. Kami berdua berjuang keras agar bisa mendapatkan keturunan, tapi sayangnya sampai berbulan-bulan kami menunggu dan berusaha, harapan kami tak kunjung terealisasi.
Dadaku berdebar tak karuan kala mendengar suara perempuan itu. Aku berusaha menepis rasa takutku, Namun ternyata itu semakin kuat, apalagi saat perempuan itu telah membuka pintu dan mataku dengan jelas melihat wajah perempuan ini. 'Allah, perempuan ini, bukankah perempua ini adalah perempuan yang katanya pacar Hadi dahulunya. Kenapa dia ada di sini?' batinku terus bertanya-tanya. Karena tak mau larut dalam prasangka buruk, aku pun menatap wanita ini dan langsung bertanya padanya. "Maaf, Ibu siapa ya? sepertinya saya pernah lihat ibu?" tanya perempuan itu mengingat-ingat wajahku. "Saya Lidya, dosennya Hadi. Kita pernah bertemu di rumah sakit saat Hadi sakit," jawabku memeprjelas pada perempuan itu. Perempuan itu terlihat tersenyum merekah melihatku, "Oh iya, saya ingat. Mari masuk Bu. Aa Hadinya lagi mandi, hehe," sahut Nisa mempersilakanku masuk. Ah, Aa? mesra sekali? dan kenapa dia ada di sini. Aku menuruti Nisa dan langsung memasuki rumah Hadi. "Maaf, apa kamu sedang main di
Pov HadiDi hari sabtu aku sebenarnya ingin libur dan berencana akan pulang ke rumah. Sudah sebulan aku tak pulang, rasa rindu dan cemas kini bercampur menjadi satu. "Nis, hari ini aku antar kamu ke rumah mama kamu, aku mau pulang ke Serang," ujarku lada istri keduaku. Aku melirik ke arahnya, wajahnya terlihat berbinar, entah ada apa dengannya."Kalau aa mau pulang ke Serang, Nisa ikut aja sekalian. Kan Nisa belum bertemu mama mertua," sahut Nisa manja. Duh, apa katanya tadi. ikut denganku? ahkh, bisa benjol kepalaku ditoyor mamah, kalau aku sampai pulang membawa Nisa. "Eh, hehe nanti aja sayang. Aa pulang mau jelasin dulu ke mamah, baru nanti bisa bawa kamu ke sana. Kalau tiba-tiba kamu muncul di sana kek jaylangkung, nanti mama bisa kaget," ucapku asal. Nisa terlihat kesal, tapi aku sangat tahu dengan watak wanita satu ini, dia sama seperti pacarku yang lain, akan luluh jika dikasih uang. Ya meski akibatnya aku harus ikhlas menggelontorkan Dana yang tak sedikit."Wahh, aa mah pa
"A, aa kenapa sih, buru-buru gitu?" tanya Nisa padaku saat aku sudah mau keluar rumah. "Gak apa-apa, kan beliau itu dosennya aa, dia udah repot-repot ke sini sendiri bawain makanan dari mama, jadi aa harus terima kasih. ya udah aa pergi dulu ya!" pamitku pada tanpa menghiraukan pertanyaannya lagi. Kalau aku terus meladeninya, bisa-bisa aku tak akan bisa menemui Shiena. Dengan berbekal informasi dari temanku, aku pun gegas melaju menuju tempat di mana Shiena menjadi pemateri atau nara sumber. "Assalamu alaikum Pak, apa saya bisa menemui Bu Lidya? Apa beliau sudah datang?" tanyaku pada salah seorang panitia penyelenggara seminar yang kebetulan lewat. "Oh, Bu Lidya gak jadi memberi materi, karena beliau pingsan dan dilarikan ke rumah sakit," jawab orang itu yang tentunya membuatku tersentak. "Apa? Astagfirullah, di mana beliau dirawat?" Aku bertanya penuh kecemasan. Setelah mendapat info, aku pun gegas menuju rumah sakit yang dimaksud."Ya Allah, apa Bu Shiena pingsan gara-gara aku.
POV ShienaMeski hati ini hancur, aku berusaha menunggu laki-laki itu, apa dia kali ini akan menepati janjinya untuk menemuiku lagi dan pulang bersama ke Serang. Setelah setengah hari menunggu, tak ada kabar dari Hadi, karenanya aku memutuskan untuk pulang bersama rombongan yang mengundangku ke sini."Ya Allah, apa yang harus aku lakukan, kalau aku meminta cerai, bagaimana dengan anak yang dalam kandunganku. Apa dia akan bernasib sama seperti Basmah yang sama sekali belum mengenal ayahnya. Tapi, jika aku bertahan, apa aku sanggup menahan cemburu ini sedangkan Hadi rasanya tak akan mampu adil. Ya Robb!" batinku merintih."Na, kamu kenapa?" tanya Ibu mertuaku penuh kecemasan ketika aku masuk gerbang rumah dengan dipapah oleh salah seorang panitia wanita yang mengantarku."Shiena gak apa-apa, Bu. Cuma lemas aja," jawabku sembari memaksakan senyuman. Setelah temanku pergi, Ibu mertuaku kembali bertanya tentang anaknya. "Memangnya kamu gak bertemu Hadi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan
Aku terus berusaha membujuk Shiena agar memahamiku, tapi wanitaku itu tetap saja diam membisu. Untungnya dia tidak membongkar rahasiaku di depan mama, bisa berabeh kalau mamah tahu pernikahan keduaku."Na, kamu belum memberitahu Hadi?" tanya mamaku, entah apa yang dia maksud, Shiena tak langsung menjawab, dia melirik ke arahku dengan sinis, kemudian membisikkan sesuatu pada Mamah, entah apa yang dia bisikkan, aku tak dapat mendengarnya."Hadi, ayo ajak istri kamu pergi jalan-jalan, kalian kan gak bertemu satu bulan ini, ayo sana! Basmah biar sama Mamah!" titah Mamah padaku. Tentu saja ide itu aku sambut gembira. Aku melirik ke arah Shiena yang hanya mengangguk. Sepertinya dia menyetujui. Ini kesempatan bagiku untuk mengambil hati istriku itu. Aku menuntuk tangan Shiena dengan lembut saat kami akan naik mobil, untungnya dia tak menolak, mungkin dia merasa tak enak dengan Mama."Dada Mamah, dada Om, nanti Basmah ikut ya!" seru Basmah dengan senyum riangnya. Aku pun mengelus kepalanya da
"Kamu keterlaluan, Hadi! Mama pokoknya gak mau tahu, Mama gak akan mengakui dia sebagai mantu mama!" tegas Mama sembari melangkah meninggalkanku yang masih bersimpuh. Dia mengajak Shiena masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintu. "Aa, sekarang bagaimana, kenapa aa bohongi aku? kenapa aa poligami?" Nisa juga ikut protes padaku. Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan sendu. "Nis, yang maksa aku nikah itu kan kamu dan keluarga kamu, jadi kamu gak usah menyalahkanku. Kamu yang dulu meninggalkanku dan kamu seenaknya ingin kembali padaku. Kenapa sekarang kamu baru nanya?" balasku tak mau kalah dan tak mau disalahkan. Nisa mencebik kesal dan mendekat ke arahku. "Kenapa sekarang Nisa yang salah? Ya udah lah, kita bicarain ini nanti, sekarang ayo ikut Nisa, Aa tahu gak, Nisa membawa Mama pulang ke Serang karena di Bandung kami diusir sama keluarga Abah," sahut Nisa. Ah, anak ini menambah ruet pikiranku saja. Sekarang aku bertambah bingung menghadapi semua persoalan ini. Aku