POV ShienaMeski hati ini hancur, aku berusaha menunggu laki-laki itu, apa dia kali ini akan menepati janjinya untuk menemuiku lagi dan pulang bersama ke Serang. Setelah setengah hari menunggu, tak ada kabar dari Hadi, karenanya aku memutuskan untuk pulang bersama rombongan yang mengundangku ke sini."Ya Allah, apa yang harus aku lakukan, kalau aku meminta cerai, bagaimana dengan anak yang dalam kandunganku. Apa dia akan bernasib sama seperti Basmah yang sama sekali belum mengenal ayahnya. Tapi, jika aku bertahan, apa aku sanggup menahan cemburu ini sedangkan Hadi rasanya tak akan mampu adil. Ya Robb!" batinku merintih."Na, kamu kenapa?" tanya Ibu mertuaku penuh kecemasan ketika aku masuk gerbang rumah dengan dipapah oleh salah seorang panitia wanita yang mengantarku."Shiena gak apa-apa, Bu. Cuma lemas aja," jawabku sembari memaksakan senyuman. Setelah temanku pergi, Ibu mertuaku kembali bertanya tentang anaknya. "Memangnya kamu gak bertemu Hadi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan
Aku terus berusaha membujuk Shiena agar memahamiku, tapi wanitaku itu tetap saja diam membisu. Untungnya dia tidak membongkar rahasiaku di depan mama, bisa berabeh kalau mamah tahu pernikahan keduaku."Na, kamu belum memberitahu Hadi?" tanya mamaku, entah apa yang dia maksud, Shiena tak langsung menjawab, dia melirik ke arahku dengan sinis, kemudian membisikkan sesuatu pada Mamah, entah apa yang dia bisikkan, aku tak dapat mendengarnya."Hadi, ayo ajak istri kamu pergi jalan-jalan, kalian kan gak bertemu satu bulan ini, ayo sana! Basmah biar sama Mamah!" titah Mamah padaku. Tentu saja ide itu aku sambut gembira. Aku melirik ke arah Shiena yang hanya mengangguk. Sepertinya dia menyetujui. Ini kesempatan bagiku untuk mengambil hati istriku itu. Aku menuntuk tangan Shiena dengan lembut saat kami akan naik mobil, untungnya dia tak menolak, mungkin dia merasa tak enak dengan Mama."Dada Mamah, dada Om, nanti Basmah ikut ya!" seru Basmah dengan senyum riangnya. Aku pun mengelus kepalanya da
"Kamu keterlaluan, Hadi! Mama pokoknya gak mau tahu, Mama gak akan mengakui dia sebagai mantu mama!" tegas Mama sembari melangkah meninggalkanku yang masih bersimpuh. Dia mengajak Shiena masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintu. "Aa, sekarang bagaimana, kenapa aa bohongi aku? kenapa aa poligami?" Nisa juga ikut protes padaku. Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan sendu. "Nis, yang maksa aku nikah itu kan kamu dan keluarga kamu, jadi kamu gak usah menyalahkanku. Kamu yang dulu meninggalkanku dan kamu seenaknya ingin kembali padaku. Kenapa sekarang kamu baru nanya?" balasku tak mau kalah dan tak mau disalahkan. Nisa mencebik kesal dan mendekat ke arahku. "Kenapa sekarang Nisa yang salah? Ya udah lah, kita bicarain ini nanti, sekarang ayo ikut Nisa, Aa tahu gak, Nisa membawa Mama pulang ke Serang karena di Bandung kami diusir sama keluarga Abah," sahut Nisa. Ah, anak ini menambah ruet pikiranku saja. Sekarang aku bertambah bingung menghadapi semua persoalan ini. Aku
Aku langsung keluar menemui Nisa dan membawanya pergi, "Di mana Mama kamu?" tanyaku padanya setelah kami berada di Mobil."Mama ada di rumah Bibi. Kita ke sana ya, nanti carikan kontrakan buat dia!" jawab Nisa. "Oh ya, A. Soal Bu Dosen itu. Aku ingin aa menceraikan dia. Kalau aa memang mencintaiku, Aa harus memilihku!" lanjut perempuan itu. Sungguh membuatku pusing."Sudahlah, kamu jangan bicarakan ini dulu, aku tak mau melukai ibuku. Aku menikahi Bu Shiena karena ibuku, jadi kamu jangan khawatir. Aku hanya mencintai kamu!" gombalku pada wanita ini. Biarlah, biar dia senang. Aku sendiri masih bingung. Aku tak mau melukai hati Shiena dan Mama, tapi ah, nanti saja aku putuskan.Setelah kami menemui mamanya Nisa, aku langsung membawanya ke sebuah kontrakan. Ya hanya sebuah rumah yang mempunyai dua kamar dan satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Aku rasa itu cukup untuk Nisa dan mamanya."A, kok, hanya rumah begini, sih?" protes Nisa. Anak ini membuatku kesal juga."Ya, cuma ini yang b
Hati ini benar-benar hancur ketika mendengar kalimat Hadi yang ia ucapkan pada ibunya. Dari kalimat itu tersirat, bahwa dia sebenarnya membersamaiku hanya karena ingin membahagikan ibunya. Dia hanya merasa tak enak hati dengan ibunya, ini sungguh menyakitkan, tapi aku sadar bahwa aku tak mungkin memaksa orang lain untuk mencintaiku.“Baiklah Had, aku akan meingkhlaskan semuanya jika kamu tetap memilih Nisa, tapi aku akan tetap memberi kamu hukuman, atas kelancanganmu mempermainkan perasaanku.” Aku gegas menyembunyikan kertas dan vitamin yang kukonsumsi agar Hadi tak curiga. Aku memutuskan untuk sementara aku akan merahasiakan kehamilanku darinya. Toh, dia sangat bahagia dengan kehamilan istri keduanya.“Bu, maafkan Hadi. Sekali lagi maafkan!” ungkap laki-laki yang kini berada belakangku. Aku tak merespon sedikit pun ucapan Hadi. Muak rasanya hati ini mengingat sikapnya yang selama ini terlihat baik, tapi ternyata hanya karena ingin dipuji ibunya.Aku sedikit melirik ke arah Had
Hadi terlihat mendekat ke arahku, entah apa alasannya. "Bu, Hadi mohon maaf atas segala kesalahan Hadi, tapi Bu, Hadi mohon bujuk mama agar mengizinkan Hadi dan Nisa tinggal sementara di sini,"ungkap laki-laki di depanku ini dengan entengnya. Seoalah dia sama sekali tak pernah ada hubungan di antara kami. Sepertinya laki-laki ini memang sama sekali tak memikirkan perasaanku. Aku tak menjawab perkataannya, karena aku sudah tak sanggup lagi melihat adegan mereka. Aku masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa untuk menenangkan hati. Remuk redam rasa hati ini, menjalani semua ini. Aku mencoba untuk kuat agar aku tetap menjadi ibu yang baik untuk Basmah. Aku tak mau Basmah terkena imbas akibat suasana hatiku yang kacau. Sebaiknya aku pergi, kalau mereka tinggal di rumah ini. Aku tak mau menyiksa diri di sini. Entah apa yang mereka bicarakan, aku lihat Hadi dan Nisa masuk disusu ibunya. Kemudian Mama yang masuk terakhir kali. Dia memandangku dengan tatapan penuh rasa bersalah."Bu Shiena,
Keesokan harinya, aku sudah menyiapkan semua barangku dan meminta Susi untuk memasukkan semuanya ke Bagasi. "Sayang, ayo pamit dulu sama Nenek!" ujarku pada Basmah. Aku pun membawanya menemui Mama mertua di kamarnya. Aku terpaku ketika memasuki kamar ibu mertuaku ini. Kulihat dia menangis tersedu-sedu, mungkin merasa bersalah padaku. Aku sendiri merasa berat meninggalkan wanita yang sudah menjadi ibu keduaku ini, tapi aku tak mungkin bertahan di sini. Aku harus menjaga kewarasanku, aku tak mau mengorbankan diriku dan anak-anakku. Aku harus menyelamatkan mental mereka. "Maafkan kami Nak! Apa kamu gak akan mengatakan tentang ..." Aku gegas mencegah ibu mertuaku yang ingin mengatakan tentang kehamilanku. Aku tak mau Hadi mendengar. Aku bukan ingin menyembunyikan kenyataan ini. Aku tahu dalam Alqur’an dikatakan bahwa kita haram menyembunyikan kehamilan pada suami, tapi aku hanya tak ingin bertahan di sini. "Saya hanya tak mau Hadi bertahan dengan saya hanya karena anak. jadi biarka
"Kenapa Foto ini ada sama kamu? apa kamu bertemu dengannya?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Teh. Beliau majikan saya pas di arab. Dia melihat foto Teteh dan Basmah yang ada di hp saya. Terus katanya dia mengenali Teteh," jawab Rani. Ucapan Rani terjeda oleh bunyi ponselnya. "Naam Mister. Ana athla' alhin," (ya Mister, saya keluar sekarang) Rani menutup telefon dan kembali menatapku. "Teh, misternya udah di luar katanya," terang Rani. Dia menuntunku agar keluar rumah. Aku yang belum paham kata-kata Rani hanya mengikutinya. Tak lama kemudian, terlihat sebuah mobil taksi mendekat ke halamanku. Dari dalam Taksi itu, keluarlah seorang laki-laki berwajah arab. Seorang laki-laki yang dulu pernah sangat kurindukan. Laki-laki yang membuatku menunggu bertahun-tahun bertahun-tahun bertahun-tahun. Mataku mengembun seketika seiring langkah laki-laki itu yang makin mendekat ke arah kami. "Shiena, akhiron, Ana asyufik," ucap laki-laki itu tanpa mengucap salam. "Na, ini siapa? apa i