Keesokan harinya, aku sudah menyiapkan semua barangku dan meminta Susi untuk memasukkan semuanya ke Bagasi. "Sayang, ayo pamit dulu sama Nenek!" ujarku pada Basmah. Aku pun membawanya menemui Mama mertua di kamarnya. Aku terpaku ketika memasuki kamar ibu mertuaku ini. Kulihat dia menangis tersedu-sedu, mungkin merasa bersalah padaku. Aku sendiri merasa berat meninggalkan wanita yang sudah menjadi ibu keduaku ini, tapi aku tak mungkin bertahan di sini. Aku harus menjaga kewarasanku, aku tak mau mengorbankan diriku dan anak-anakku. Aku harus menyelamatkan mental mereka. "Maafkan kami Nak! Apa kamu gak akan mengatakan tentang ..." Aku gegas mencegah ibu mertuaku yang ingin mengatakan tentang kehamilanku. Aku tak mau Hadi mendengar. Aku bukan ingin menyembunyikan kenyataan ini. Aku tahu dalam Alqur’an dikatakan bahwa kita haram menyembunyikan kehamilan pada suami, tapi aku hanya tak ingin bertahan di sini. "Saya hanya tak mau Hadi bertahan dengan saya hanya karena anak. jadi biarka
"Kenapa Foto ini ada sama kamu? apa kamu bertemu dengannya?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Teh. Beliau majikan saya pas di arab. Dia melihat foto Teteh dan Basmah yang ada di hp saya. Terus katanya dia mengenali Teteh," jawab Rani. Ucapan Rani terjeda oleh bunyi ponselnya. "Naam Mister. Ana athla' alhin," (ya Mister, saya keluar sekarang) Rani menutup telefon dan kembali menatapku. "Teh, misternya udah di luar katanya," terang Rani. Dia menuntunku agar keluar rumah. Aku yang belum paham kata-kata Rani hanya mengikutinya. Tak lama kemudian, terlihat sebuah mobil taksi mendekat ke halamanku. Dari dalam Taksi itu, keluarlah seorang laki-laki berwajah arab. Seorang laki-laki yang dulu pernah sangat kurindukan. Laki-laki yang membuatku menunggu bertahun-tahun bertahun-tahun bertahun-tahun. Mataku mengembun seketika seiring langkah laki-laki itu yang makin mendekat ke arah kami. "Shiena, akhiron, Ana asyufik," ucap laki-laki itu tanpa mengucap salam. "Na, ini siapa? apa i
"Maafkan aku, Shiena. Aku dulu tak mampu menolak perintah ibuku." ungkap Hisyam dengan wajah penuh rasa bersalah. "Lalu sekarang apa alasanmu menemui Basmah?" tanyaku penasaran. Di sisi lain, aku bahagia karena Basmah sudah bertemu ayah kandungnya, tapi di sisi lain, aku juga tak mau kalau Laki-laki ini bermaksud membawa anakku pergi dari sisiku. "Ibuku sudah meninggal," "Jadi kalau misal ibumu tak meninggal, kamu tak akan menemui anakmu?" Aku terus mencecar Laki-laki itu agar menjawab semua pertanyaanku. "Siapa yang mengatakan aku tak perduli kamu? Aku tahu aku salah, tapi aku mohon pahami aku. Aku ke sini hanya ingin menebus semua kesalahanku di masa lalu. Sekarang Ibuku sudah meninggal, jadi kumohon ikutlah denganku. Kembali lagi padaku, aku akan membahagiakan kamu," ucapnya padaku. Aku tersenyum miris mendengar kata-kata laki-laki ini. Kenapa baru sekarang dia datang, disaster semua sudah begini. "Maaf, tapi kamu terlambat!" sahutku diiringi air mata yang tak bisa kube
Aku tak mampu membantah kata-kata Mama, akhirnya dengan berat hati, aku pergi ke kamar Shiena dan mengemasi bajuku yang tersisa di sana. Aku melirik ke arah Shiena yang duduk di ranjang sembari memunggungiku. Aku ingin sekali bicara dengannya lagi, memohon maaf atas keputusanku yang pastinya membuat hati wanita itu kecewa, tapi lidah ini terasa beku, terlebih Shiena yang sama sekali tak may bicara denganku. Ya, sejak aku mengucapkan talak padanya, dia sama sekali tak mau bicara denganku."Bu, Hadi pamit. Maafkan Hadi, ya Bu. Jika Hadi gak bisa menepati janji," ucapku terbata-bata, tapi Shiena sama sekali tak meresponku.Dengan hati yang kacau balau, aku keluar dari kamarku, kamar yang selama setahun ini menjadi kamarku dan Shiena. Tempat kami berbagi suka dan duka, tapi kali ini kamar itu aku tinggalkan demi memenuhi keinginan calon ibu dari anakku.Setelah aku berpamitan, aku pergi ke kontrakan. Ya, aku harus mengalah pada Mama agar beliau tak terlalu marah. Aku tinggal di kontraka
Aku menjalani hari-hariku di kontrakan dengan susah payah. Sebulan aku di sini, aku hanya seminggu sekali mengunjungi mama, aku ingin sekali melihat mama dan juga Sheina, tapi saat aku berkunjung, Shiena tak pernah muncul di depanku."Alhamdulillah akhirnya aku gajian!" ungkapku dengan bahagia. Aku pun pulang untuk menemui istriku. "Nis, akhirnya aa dapat gajih," Nisa terlihat gembira ketika mendengar aku sudah gajian, kemudian aku mengeluarkan amplop coklat itu dan memberikannya pada istriku itu, aku berharap dia akan menjadi istri yang rajin setelah aku kasih uang."Ha, cuma dua juta, A?" tanya Nisa sepertinya kecewa."Ya, gaji aa cuma dua juta setengah, yang 500 aa pegang buat ongkos," ucapku terus terang. "Nanti kamu atur ya, buat bayar kontrakan juga," lanjutku lagi. Dia tak merespon.Beberapa hari kemudian, ada seorang emak-emak datang dan ternyata itu pemilik kontrakan yang menagih uang kontrakan. "Luh, memangnya istri saya gak bayar Bu?" tanyaku pada Ibu itu."Tanya aja pada
Malam kini telah tiba, selepas magrib, aku pergi ke kamar mama, tapi mama tak mau membuka pintu. Aku melirik ke arah kamar Shiena, terlihat dia sedang mengajari Basmah mengaji. Mata ini mengembun seketika, melihat mereka berdua, dada ini serasa sesak ketika kenangan melintas di pelupuk mata. Kenangan ketika aku mengajar Basmah mengaji. Rasanya momen itu terasa indah dan membuat aku memiliki semangat baru dalam hidupku, tapi itu semua tinggal kenangan. Akankah aku dan Nisa mengalami momen indah itu? Tak lama kemudian, kulihat Shiena melangkah menuju dapur, "pasti dia akan memasak, biasanya dia selalu memasak makan malam. Setelah kami makan malam, kami akan menidurkan Basmah, baru setelahnya dia mengerjakan pekerjaannya sebagai dosen, memeriksa tugas mahasiswa atau apa saja yang terkait tugasnya. Entah bagaimana mulanya, aku kini masuk ke dapur dan berdiri di belakangnya. Bau harum masakan wanita ini serasa bagai perasan air jeruk yang disiram ke lukaku, menambah rasa rindu yang sema
Kamu puas sekarang, hah? puas kamu, Hadi? Sekarang Shiena dan Basmah sudah pergi seperti keinginan kamu. Mama harap kamu gak menyesal nantinya!" teriak Mama melampiaskan kekesalannya padaku.Aku pun mendekat dan memegang tangannya dengan lembut. "Hadi minta maaf, Ma. Hadi gak bermaksud membuat Bu Shiena pergi. Hadi hanya gak mau kehilangan anak Hadi yang dikandung Nisa, Ma!" ungkapku mencoba membuat Mamaku itu memahami."Maksud kamu apa?" Mama bertanya padaku seolah dia tak tahu kalau Nisa hamil. Apa dia belum tahu kalau Nisa hamil. Apa dia waktu itu tak mendengarkan penjelasanku. Baiknya aku jelaskan mungkin ini bisa membuat dia terhibur."Nisa mengandung Ma. Mama akan segera punya cucu. Mama kan udah pengen cucu, iya kan?" Aku berusaha membujuk kunci surgaku itu."Jadi maksud kamu, karena Nisa mengandung, kamu boleh menyia-nyiakan Shiena? Kamu, kamu tak jauh bedanya dengan ayah kamu. Apa kamu tahu, papamu dulu juga berbuat begitu padaku. Dia meninggalkanku yang sedang mengandung ka
Sejak saat itu, mamaku tak mau bicara lagi denganku. Aku tiap hari berusaha membujuknya tapi dia tetap kekeh tak mau menerima Nisa sebagai mantunya. Yang lebih membuatku jengkel adalah Nisa sama sekali tak mau mengubah sikapnya. Dia tetap pemalas dan tak mau berusaha mengambil hati mama. Sedangkan mama mertuaku, dia tidak diizinkan masuk ke dalam rumah utama. Untuk menafkahi Nisa, terpaksa aku menggadainan surat mobilku. Sejak saat itu, mamaku tak mau bicara lagi denganku. Aku tiap hari berusaha membujuknya tapi dia tetap kekeh tak mau menerima Nisa sebagai mantunya. Yang lebih membuatku jengkel adalah Nisa sama sekali tak mau mengubah sikapnya. Dia tetap pemalas dan tak mau berusaha mengambil hati mama. Sedangkan mama mertuaku, dia tidak diizinkan masuk ke dalam rumah utama. Untuk menafkahi Nisa, terpaksa aku menggadainan surat mobilku. Aku semakin cemas ketika mendapati Mama yang pingsan, entah karena apa. "Ya Allah, Ma. Mama kenapa?" tanyaku penuh ketakutan. Aku segera membaw