Aku tak mampu membantah kata-kata Mama, akhirnya dengan berat hati, aku pergi ke kamar Shiena dan mengemasi bajuku yang tersisa di sana. Aku melirik ke arah Shiena yang duduk di ranjang sembari memunggungiku. Aku ingin sekali bicara dengannya lagi, memohon maaf atas keputusanku yang pastinya membuat hati wanita itu kecewa, tapi lidah ini terasa beku, terlebih Shiena yang sama sekali tak may bicara denganku. Ya, sejak aku mengucapkan talak padanya, dia sama sekali tak mau bicara denganku."Bu, Hadi pamit. Maafkan Hadi, ya Bu. Jika Hadi gak bisa menepati janji," ucapku terbata-bata, tapi Shiena sama sekali tak meresponku.Dengan hati yang kacau balau, aku keluar dari kamarku, kamar yang selama setahun ini menjadi kamarku dan Shiena. Tempat kami berbagi suka dan duka, tapi kali ini kamar itu aku tinggalkan demi memenuhi keinginan calon ibu dari anakku.Setelah aku berpamitan, aku pergi ke kontrakan. Ya, aku harus mengalah pada Mama agar beliau tak terlalu marah. Aku tinggal di kontraka
Aku menjalani hari-hariku di kontrakan dengan susah payah. Sebulan aku di sini, aku hanya seminggu sekali mengunjungi mama, aku ingin sekali melihat mama dan juga Sheina, tapi saat aku berkunjung, Shiena tak pernah muncul di depanku."Alhamdulillah akhirnya aku gajian!" ungkapku dengan bahagia. Aku pun pulang untuk menemui istriku. "Nis, akhirnya aa dapat gajih," Nisa terlihat gembira ketika mendengar aku sudah gajian, kemudian aku mengeluarkan amplop coklat itu dan memberikannya pada istriku itu, aku berharap dia akan menjadi istri yang rajin setelah aku kasih uang."Ha, cuma dua juta, A?" tanya Nisa sepertinya kecewa."Ya, gaji aa cuma dua juta setengah, yang 500 aa pegang buat ongkos," ucapku terus terang. "Nanti kamu atur ya, buat bayar kontrakan juga," lanjutku lagi. Dia tak merespon.Beberapa hari kemudian, ada seorang emak-emak datang dan ternyata itu pemilik kontrakan yang menagih uang kontrakan. "Luh, memangnya istri saya gak bayar Bu?" tanyaku pada Ibu itu."Tanya aja pada
Malam kini telah tiba, selepas magrib, aku pergi ke kamar mama, tapi mama tak mau membuka pintu. Aku melirik ke arah kamar Shiena, terlihat dia sedang mengajari Basmah mengaji. Mata ini mengembun seketika, melihat mereka berdua, dada ini serasa sesak ketika kenangan melintas di pelupuk mata. Kenangan ketika aku mengajar Basmah mengaji. Rasanya momen itu terasa indah dan membuat aku memiliki semangat baru dalam hidupku, tapi itu semua tinggal kenangan. Akankah aku dan Nisa mengalami momen indah itu? Tak lama kemudian, kulihat Shiena melangkah menuju dapur, "pasti dia akan memasak, biasanya dia selalu memasak makan malam. Setelah kami makan malam, kami akan menidurkan Basmah, baru setelahnya dia mengerjakan pekerjaannya sebagai dosen, memeriksa tugas mahasiswa atau apa saja yang terkait tugasnya. Entah bagaimana mulanya, aku kini masuk ke dapur dan berdiri di belakangnya. Bau harum masakan wanita ini serasa bagai perasan air jeruk yang disiram ke lukaku, menambah rasa rindu yang sema
Kamu puas sekarang, hah? puas kamu, Hadi? Sekarang Shiena dan Basmah sudah pergi seperti keinginan kamu. Mama harap kamu gak menyesal nantinya!" teriak Mama melampiaskan kekesalannya padaku.Aku pun mendekat dan memegang tangannya dengan lembut. "Hadi minta maaf, Ma. Hadi gak bermaksud membuat Bu Shiena pergi. Hadi hanya gak mau kehilangan anak Hadi yang dikandung Nisa, Ma!" ungkapku mencoba membuat Mamaku itu memahami."Maksud kamu apa?" Mama bertanya padaku seolah dia tak tahu kalau Nisa hamil. Apa dia belum tahu kalau Nisa hamil. Apa dia waktu itu tak mendengarkan penjelasanku. Baiknya aku jelaskan mungkin ini bisa membuat dia terhibur."Nisa mengandung Ma. Mama akan segera punya cucu. Mama kan udah pengen cucu, iya kan?" Aku berusaha membujuk kunci surgaku itu."Jadi maksud kamu, karena Nisa mengandung, kamu boleh menyia-nyiakan Shiena? Kamu, kamu tak jauh bedanya dengan ayah kamu. Apa kamu tahu, papamu dulu juga berbuat begitu padaku. Dia meninggalkanku yang sedang mengandung ka
Sejak saat itu, mamaku tak mau bicara lagi denganku. Aku tiap hari berusaha membujuknya tapi dia tetap kekeh tak mau menerima Nisa sebagai mantunya. Yang lebih membuatku jengkel adalah Nisa sama sekali tak mau mengubah sikapnya. Dia tetap pemalas dan tak mau berusaha mengambil hati mama. Sedangkan mama mertuaku, dia tidak diizinkan masuk ke dalam rumah utama. Untuk menafkahi Nisa, terpaksa aku menggadainan surat mobilku. Sejak saat itu, mamaku tak mau bicara lagi denganku. Aku tiap hari berusaha membujuknya tapi dia tetap kekeh tak mau menerima Nisa sebagai mantunya. Yang lebih membuatku jengkel adalah Nisa sama sekali tak mau mengubah sikapnya. Dia tetap pemalas dan tak mau berusaha mengambil hati mama. Sedangkan mama mertuaku, dia tidak diizinkan masuk ke dalam rumah utama. Untuk menafkahi Nisa, terpaksa aku menggadainan surat mobilku. Aku semakin cemas ketika mendapati Mama yang pingsan, entah karena apa. "Ya Allah, Ma. Mama kenapa?" tanyaku penuh ketakutan. Aku segera membaw
Pertanyaan-pertanyaan Shiena membuat dada ini serasa sesak dan sulit bernapas. Sampai-sampai aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Saat tiba di Pom, aku berhenti untuk mengisi bensin. Bu Shiena malah terlihat mual. Aku ingin membantunya untuk menepuk tengkuknya, tapi tentu saja dia menolak, karena kami bukan lagi suami istri."Apa ibu juga sering muntah begini?" tanyaku mencoba mencairkan suasana yang semakin kaku dan canggung. "Hampir semua perempuan juga mengalami hal yang sama saat hamil. Memangnya apa pedulimu?" jawabnya sewot."Apa ibu ngidam juga?" pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari bibirku. Ah, kenapa aku malah bertanya begitu, tentu saja semua wanita hamil akan mengalami ngidam. Seperti Nisa yang tiap hari menyusahkanku. Kadang tengah malam juga menginginkan sesuatu yang aneh, yang harus aku turuti. Ya Robb, apa Shiena juga seperti itu. Aku termangu sendiri merenungkan pertanyaan yang kulontarkan. "Bu, kita rujuk, ya!" Lagi-lagi kata-kata itu reflex keluar dari
Aku sungguh tak paham dengan pemikiran Hadi. Dia sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Dia menceraikanku dan meminta rujuk seenaknya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.. Setelah beberapa lama menunggui mama mertuaku, Hisyam menghubungiku, akhirnya aku memintanya untuk membawa Basmah dan Ibuku ke rumah sakit agar menjenguk mama Marnah. "Assalamualaikum, Bu Marnah, bagaimana keadaan Bu Marnah?" sapa Mamaku ketika berada di ruang rawat Mama Marnah. Dia bergegas menyalami Mama mertuaku itu. "Alaikum salam, Bu." sambut Mama mertua sembari menyambut mamaku. Mereka berdua pun berpelukan. Mama Marnah terlihat berkaca-kaca memandang ke arah mamaku. Mungkin hati beliau masih dipenuhi rasa bersalah karena kelakuan Hadi. "Maafkan kami ya Bu, karena kami sudah membuat Shiena menderita. Sekali lagi maafkan kami!" ungkap Mama mertua dengan penuh ketulusan. "Ibu gak usah minta maaf, karena itu bukan salah ibu. Jodoh dan rezeki kan sudah diatur. Mungkin memang jodoh Shiena dan Amar hany
Hari berganti, seminggu sudah Hisyam berada di negara ini, dia tetap membujukku pergi bersamanya, "Shiena kalau kamu tak mau rujuk, ok, aku tak akan memaksa, tapi aku mohon ikutlah denganku," bujuk Hisyam. Laki-laki ini memang pantang menyerah kalau belum dituruti. "Aku sudah berapa kali mengatakan? aku tak mau ikut denganmu. Untuk apa kamu memaksa?" "Kalau kamu tak mau ikut, kamu emangnya mau apa? apa kamu mau kembali pada laki-laki yang suah mencampakkan kamu demi uang!" Mata ini seketika membola mendengar ucapan Hisyam. "Apa maksud kamu?" Hisyam tak menjawab pertanyaanku, dia malah memberikan selembar kertas. Aku mengambil kertas itu dan betapa terkejutnya aku, saat aku melihat surat perjanjian antara Hadi dan Hisyam. Yang mana tertulis di situ? Hisyam memberikan uang senilai 1 M, sebagai imbaalannya, Hadi harus rela melepasku selamanya?" Tubuhku terasa tak mampu lagi untuk berdiri. Aku benar-benar tak menyangka, Hadi dan Hisyam mempermainkanku, seolah aku ini hanya benda ya