Hari ini aku akan pergi ke kampus untuk mengajukan judul Skripsiku, aku berharap bisa lulus dengan cepat agar tak berurusan lagi dengan dunia perkampusan. Baru saja aku selesai dari kampus, aku mendapatkan chat dari Nisa yang memintaku menemuinya. "Duh, bagaimana ini? kalau aku temui, aku takut Shiena tahu, tapi kalau gak aku temui, aku pengen banget nemui Nisa. Uff dilema lagi!" Aku terus menggerutu sembari meremas ponselku. ["A, besok, Nisa akan kembali ke Bandung, Nisa cuma mau bicara sesuatu sama Aa!"] chat Nisa sekali lagi. Ah, karena dia akan pergi ke Bandung, baiknya kutemui dia. Ya anggap aja ini terakhir kali. Setelah ini aku akan pokus pada rumah tanggaku denga shiena. Setelah aku memutuskan untuk pergi menemui Nisa, aku pun gegas menemuinya. Aku memintanya untuk menungguku di tempat yang aku pastikan tak akan didatangi oleh Shiena. Aku menemui Nisa di Pantai Carita, sebuah Pantai yang terletak di daerah Labuan Pandeglang Banten. Shiena tak mungkin ke tempat ini kare
"Dasar laki-laki pecundang!" teriak orang yang memukulku. Aku menoleh ke arahnya. "Ah, Ilman, elo? kenapa elo mukul gue, brengsek!" tanyaku dengan amarah menggebu ketika kutahu yang memukulku adalah Ilman, teman kuliahku. "Laki-laki macam Elo pantas dipukul, elo beneran laki-laki pecundang! Dulu gue diem aja saat elu pacaran sama beberapa gadis, tapi kali ini gue gak terima kalau elu permainkan Nisa, ngerti, gak, lo?" teriak Ilman sekali lagi."Eh, apa urusannya sama elo, hah? lagian siapa yang mainin Nisa?" Aku membalas teriakannya. Aku pun tak terima kalau dituduh yang bukan-bukan."Elu mau tahu? gue khawatir sama Nisa karena gue juga cinta sama dia, gue marah ke elo karena elo sudah permainkan dia, elu sekarang nemui dia, padahal beberapa waktu lalu, elu pelukan sama Bu Lidya, wanita yang selalu elo ejek, dasar munafik, elu selama ini ngehina bliau, tapi ternyata elo mainin perasaan beliau juga." Ilman terus mengoceh, kali ini ocehannya membuatku membeku. Aku tak berani lagi me
Hari berganti, beberapa bulan aku menjalani kehidupan sebagai suami dari Shiena, tapi Shiena belum juga memberi kabar gembira pada kami. Mungkin karena usianya yang menginjak sudah 35 tahun, jadi agak sulit untuk hamil lagi. "Hadi, setelah wisuda nanti, kamu harus ke Bandung, Paman kamu yang di Bandung sudah membagi harta Almarhum ayah kamu, dan kamu kebagian sebuah restaurant yang ada di sana," ujar Mama ketika kami sedang berada di meja makan. Ucapan Mama itu membuatku membeku seketika karena aku teringat Nisa. Kalau aku ke Bandung dan berjumpa Nisa, Nisa pasti menagih janjiku untuk menikahinya, tapi jika aku tidak ke Bandung, aku takut Paman akan berubah pikiran dan akan kembali menguasai harta ayahku yang dia klaim sebagai hartanya. "Loh, kok, bengong? Duh, kamu gak sanggup jauh sama Shiena ya?" kelakar Mama. Aku pun tersenyum dibuatnya. Meski pun yang kupikirkan adalah wanita lain, tapi kan bisa jadi juga aku memang berat meninggalkan Shiena. "He he , ya pasti lah Ma." jawabk
Semua persiapan sudah selesai, barang-barang yang akan aku bawa ke Bandung semuanya sudah dikemas dengan rapi. Tinggal hatiku yang masih gamang. Aku seperti merasakan bahwa Shiena sebenarnya tidak ikhlas aku pergi ke Bandung. Hanya saja dia tak berusaha mencegahku, karena ini adalah permintaan ibuku.Karenanya aku memutuskan, malam ini aku akan meyakinkan dia bahwa kepergianku tak akan mengubah apa pun yang sudah kami jalani. Aku akan tetap menjadi suaminya yang setia dan bertanggung jawab, meski pun aku sendiri ragu bahwa aku akan melakukannya.Aku masuk ke kamar kami, kulihat dia seperti biasanya, duduk di depan jendela dan memandang ke arah luar kamar. Aku pun mendekat dan kulingkarkan tanganku ke pinggangnya. Kupeluk dia erat dari belakang."Aku pasti akan merindukanmu," bisikku sembari terus memeluknya. Dia membalas pelukanku dengan mengelus tanganku."Nanti kamu akan pulang ke sini berapa hari sekali?" tanyanya kemudian. "Seminggu sekali," jawabku mantap tak ada keraguan sedi
Dengan hati yang tak menentu, aku menaiki taksi yang akan membawaku ke kota kembang. Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya aku sampai di kota ini. Aku disambut oleh sepupuku yang kemudian membawaku ke sebuah rumah yang lokasinya dekat dengan restaurant. "A, ini rumah yang sudah dikontrak untuk Aa," ucap sepupuku itu sembari menyerahkan kunci rumah. "Terima kasih, Dek. Kalau begitu Aa masuk dulu." Aku masuk ke rumah dengan mmebaca doa yang aku perlajari dari Shiena. Setelah aku masuk, aku tak lupa menelefon Shiena dan Mama, aku membuat Video dan mengirimkannya ke mereka. "Bu, Hadi udah sampai ni!" tulisku dalam chat. "Rumahnya besar gak?" balas Mama. "Lumayan, Ma. Ada dua tiga kamar, tapi kamar mandi cuma satu, hehe," jawabku, lagi. Usai berbenah, aku pun mengistirahatkan diri, pikiranku mulai melayang mengingat chat Nisa. Dengan penuh keraguan, akhirnya aku membuka lagi chat dia dan kubaca berulang-ulang. Menurut chat itu, aku gegas mengechek alamat rumah Nisa dan ala
Aku pulang dengan perasaan kacau balau, ini sungguh membuatku binging. Di sisi lain, aku ingin setia pada istriku meski pernikahan ini tak kukehendaki, dan meski di hati ini mungkin belum ada cinta seutuhnya untuk Shiena, tapi di sisi lain, bayangan Nisa tetap membuatku terhanyut.["A, kapan ke Bandung, kok, gak ngabari?"] chat dari Nisa itu membuatku makin bimbang.["Tadinya Aa mau bikin kejutan,"] balasku singkat, tapi itu rasanya sudah menguras energiku."Ah, masa bodo, bukankah sekarang Shiena ada di Banten, dan dia juga belum mau tinggal di sini, jadi untuk apa dibikin ribet?" Akhirnya kata-kata konyol itu keluar begitu saja dari mulutku, meski itu membuat hatiku sakit sendiri.Akhirnya aku pun memutuskan untuk menemui Nisa, toh, hanya menemuinya dan mungkin hanya iseng saja, mengobati kerinduanku pada rumah. Demikian pikirku.Seminggu sudah, aku di sini, aku akan pulang menemui Shiena, tapi Nisa memintaku menemui keluarganya. Ah, di situlah aku menjadi bimbang."Nis, hari ini
Keesokan harinya, aku bersiap untuk kembali Ke Bandung, meski Shiena terlihat tak suka dengan kepergianku kali ini. Setibanya di Bandung, aku langsung pergi ke Restaurants. "A, aku ingin minta tolong, abahku sakit, bisa gak nengokin dia di RS?" Nisa mengirim chat untukku. Karena cemas memikirkan keadaan Nisa, akhirnya aku menjenguk ayahnya di Rumah sakit. "Assalamualaikum, Bu," sapaku pada ibunya Nisa yang terlihat sedang menangis. Wanita itu menoleh ke arahku. "Kamu pacarnya Nisa?" tanya perempuan itu. Pertanyaan yang sungguh membuatku membeku. Belum sempat aku menjawab, Nisa tiba-tiba muncul dari ruang rawat ayahnya. "Ma, eh, A Hadi, maaf Ma, abah mau bicara katanya," ucap Nisa memanggil kami. Entah kenapa ayahnya Nisa juga ingin berbicara denganku. "Nak Hadi, kamu dan Nisa sudah lama pacaran, kapan kamu akan melamarnya?" tanya Laki-laki yang paruh baya itu sembari terbatuk-batuk. Aku tertunduk karena tak tahu harus menjawab apa. Kalau aku mengikuti permintaan mereka, bagaim
Kebahagiaan yang dialami Nisa kini bercampur dengan duka yang teramat dalam. Karena keluarga mereka pas-pasan, aku terpaksa menggunakan uang tabunganku untuk membantu Nisa. Ada sedikit rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam benakku, tatkala kuingat Shiena. Sudah setahun aku menikah dengan Shiena, tapi aku belum pernah memberinya uang hasil kerjaku.Shiena hanya diberi uang belanja oleh mama, karena memang untuk makan bersama. Sedangkan aku belum sekali pun memberinya dari hasil keringatku. Meski dulu aku pernah membuat mobilnya rusak, tapi aku pun belum sempat menggantinya, perempuan itu membeli mobil lagi dengan uangnya."Nak Hadi, sekarang sudah selesai 7 hari, kalau Nak Hadi ingin membawa Nisa, silakan saja!" ucap mertuaku. Aku pun tersenyum mengiyakan. Pernikahan kami hanya pernikahan sirri karena aku sendiri masih bingung. Aku tak mungkin jujur kalau aku sudah beristri, tapi ah, aku pusing dengan semua ini.Aku membawa Nisa ke rumah yang dikontrak untukku, hatiku sebenarnya me
Tubuhku terhuyung mendengar perkataan Resepsionis hotel tempatku menginap ini. Aku sungguh tak menyangka bahwa Nisa mampu melakukan hal ini padaku. "Mbak, istri saya membawa kabur semua milik saya, termasuk dompet bahkan ponsel saya juga. Jadi, bagaimana saya membayar uang sewa kamar?" tanyaku pada wanita cantik yang kini terlihat melongo. "Mas gak bohong?" Dia balik bertanya. Aku sungguh kesal karena tak dipercaya tapi aku paham, tak mungkin ada orang asing yang mempercayaiku begitu saja. "Ya kalau Mbak gak percaya, ayo ikut saya ke kamar dan cari barang saya. Silakan lihat cctv juga," jawabku tegas. 'Baiklah, kalau begitu saya akan mengatakan ini pada manager. Untuk sementara Anda duduk saja si situ!" lanjut resepsionis. Kemudian dia menelepon Manager hotel. Lama menunggu, akhirnya dia mau menemuiku. "Baiklah Pak Hadi, kalau memang gak mampu bayar. Mas bisa kerja di sini dan nanti gaji Mas dipotong untuk bayar sewa kamar kemaren," "Apa saya bisa bekerja di sini tanpa ijaza
"Aa, kenapa mereka bilang kita harus pergi dari rumah ini, bukannya ini rumah warisan kedua orang tua aa?'' tanya Nisa saat mereka sudah pergi. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan istriku itu. Entah kenapa dia sama sekali tak memperdulikan mamaku. "Mama sudah menjual rumah ini," jawabku datar tanpa melirik ke arahnya. "Apa, jadi rumah ini sudah dijual? lalu bagaimana dengan kita, di mana kita akan tinggal. Apa aa sudah membeli yang baru buat kita?" Lagi-lagi Nisa menanyakan tentang rumah dan uang, membuatku semakin kesal padanya. "Kita akan ngontrak lagi," ''Apa, ngontrak, Aa itu tega banget. Kenapa harus ngontrak lagi? Anak kita nanti bagaimana?" Nisa terus nyerocos meluapkan kekesalannya padaku. Sedangkan aku, aku segera mengemasi barang-barang yang aku punya. Aku pergi ke kamar yang ditempati Shiena. Ada rasa yang bercampur aduk, ketika kuedarkan pandanganku ke setiap inci kamar ini. Aku terus melangkah menuju tempat duduk di atas ranjang yang dulu pernah menjadi sa
"Jadi maksud kamu, kamu mau aku pergi dari sini?" Bu Shiena bertanya sekali lagi. Kumendongak ke arahnya, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, hati ini serasa sakit sekali harus mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dia memalingkan wajahnya, aku tahu dia mencoba menepis amarahnya dan mencoba bersikap tenang di depanku. ''Baik, jika itu maumu, aku akan pergi.'' "Siapa yang akan pergi?" Tiba-tiba mamaku masuk ke kamar tamu dan bertanya pada kami dengan nada keras. Aku sungguh gugup antara harus jujur atau pura-pura tak dengar. "Hadi, kenapa kamu tak menjawab?'' Mama kembali bertanya, tapi aku tak mampu menjawab, akhirnya aku berpamitan dan pergi ke rumah sakit lagi. "Maaf, Ma. Nisa hampir keguguran, jadi Hadi harus ke rumah sakit," pamitku pada Mamah. Setelahnya aku bersiap pergi. Sebelum pergi, kupandangi kamarku, ada rasa berat yang luar biasa mengganjal di hati, tapi aku tak mampu menghindari dan menolak kemauan Nisa. "Bu Shiena, maafkan Hadi. Semoga Bu
Keesokan harinya, aku kembali bekerja di Restoran Mama, Nisa meminta diantar ke Mall, tapi setelah pulang, aku tak mendapati Nisa di rumah. "Bu, apa ibu melihat Nisa?" tanyaku pada Shiena yang kebetulan masih di rumah mamah karena Mamah yang meminta."Dari sejak kamu antar dia, dia tak pulang lagi," jawab Shiena. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataannya, kemana Nisa, kenapa dia belum pulang. Aku sudah menghubungi nomornya, tapi tak aktif. Aku sungguh pusing dibuatnya.Sampai tengah malam, aku terus menghubunginya, aku juga menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang melihat. Hingga hampir subuh, aku baru mendapat panggilan dari nomor yang tak kukenal."Hallo, selamat pagi, ini nomornya Pak Hadi? saya cuma mau memberi tahu, istri bapak ada di rumah sakit," ucap orang di seberang sana."Iya, saya Hadi, tolong beri alamatnya, Pak!" sahutku kemudian. Setelah mendapatkan alamat dari orang itu, aku bergegas ke rumah sakit."Dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanyaku pada dokte
Pov HadiDug! Dug! Dug! "Buka pintunya, dasar wanita murahan, udah cerai masih sekamar!" seru Nisa dari luar kamar. Aku dan Bu Shiena saling pandang tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nisa. "Kalau kalian tak mau keluar, kami akan mendobrak pintu.Kami bertambah bingung ketika mendengar suara dari luar, bukan cuma suara Nisa, tapi ada suara beberapa orang lagi, yang lebih membuatku heran, itu adalah suara laki-laki. "Ibu tunggu di sini, biar Hadi yang tengkok," ucapku sembari bergegas membuka pintu. Baru saja aku membukanya, aku sudah disambut oleh tangan Nisa yang menyeretku keluar."Nisa, apa-apaan sih kamu. Pak RT, Pak Hansip, dan Bapak-bapak, kenapa kalian malam-malam ke rumah saya?" tanyaku bertubi-bi pada rombongan Pak RT yanh kini berdiri di depan kamar. Entah siapa yang memanggil mereka."Halah, Mas Hadi jangan pura-pura, kami dengar kamu berz1na dengan mantan kamu, dan ternyata benar. Kalian sudah bercerai tapi masih sekamar," sahut salah seorang warga.Aku benar-benar
Pov: HadiAku sungguh sangat malu sekali dengan Shiena, ternyata Nisa menerima uang dari Hisyam atas namaku. "Kenapa kamu lakukan itu padaku? kenapa kamu bikin suamimu malu?" bentakku pada Nisa, tapi dia tak terima disalahkan."Ini semua salah aa, kalau saja Aa ngasih aku uang banyak, aku gak bakal nerima uang dari laki-laki itu," sahut Nisa tak kalah lantang denganku."Astagfirullah, memangnya aku harus memberi kamu uang berapa banyak. Aku sudah banting tulang, dan sekarang aku sudah mulai bekerja di restoran mama, aku ngasih kamu uang 100 ribu perhari dan makan pun kamu gak perlu mikirin lagi, karena sudah tersedia. Lalu apa lagi yang kamu mau?" Aku kembali membentaknya. Aku sungguh kecewa dengan sikap boros dan serakah yang dia miliki. Ahhkh, kenapa duly aku bisa mencintai wanita ini selama bertahun-tahun. Benar kata ceramah Ustadz yang kudengar, "Dalam pernikahan itu tak boleh mengandalkan cinta, cinta saja tak cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Cinta bisa berubah kapan
Aku melepas Basmah dengan derai air mata yang terus menderas ke pipi ini. Hatiku sungguh berat melihat putri sulungku pergi dari sisiku. Usai dari Bandara, aku bermaksud pergi ke kampung, tapi mama mertuaku memintaku untuk datang ke rumahnya. Karena tak mau mengecewakannya, aku pun terpaksa mengikuti permintaan mama keduaku itu. Setibanya di sana, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Gigiku dibuat gemeletuk karena menyaksikan kelakuan menantu kedua mama. "Nisa, kamu mau apa?" tanya Mama Marnah penuh ketakutan. Sementara Nisa terlihat tersenyum menyeringai. Aku bisa melihat dengan jelas karena karena Nisa menghadap cermin. "Mama sebaiknya bekerja sama denganku. Buat aa Hadi kerja lagi di restoran mama, kalau tidak, mama akan tahu apa yang akan lakukan pada Mama. Mama masih ingat kan, kejadian waktu itu?" jawab Nisa disertai senyum mengerikannya. Entah apa yang dia maksud. "Assalamualaikum," sapaku pada mereka. Mereka terlihat kaget, meski ekspresi mereka berdua setelahnya sang
Hari berganti, seminggu sudah Hisyam berada di negara ini, dia tetap membujukku pergi bersamanya, "Shiena kalau kamu tak mau rujuk, ok, aku tak akan memaksa, tapi aku mohon ikutlah denganku," bujuk Hisyam. Laki-laki ini memang pantang menyerah kalau belum dituruti. "Aku sudah berapa kali mengatakan? aku tak mau ikut denganmu. Untuk apa kamu memaksa?" "Kalau kamu tak mau ikut, kamu emangnya mau apa? apa kamu mau kembali pada laki-laki yang suah mencampakkan kamu demi uang!" Mata ini seketika membola mendengar ucapan Hisyam. "Apa maksud kamu?" Hisyam tak menjawab pertanyaanku, dia malah memberikan selembar kertas. Aku mengambil kertas itu dan betapa terkejutnya aku, saat aku melihat surat perjanjian antara Hadi dan Hisyam. Yang mana tertulis di situ? Hisyam memberikan uang senilai 1 M, sebagai imbaalannya, Hadi harus rela melepasku selamanya?" Tubuhku terasa tak mampu lagi untuk berdiri. Aku benar-benar tak menyangka, Hadi dan Hisyam mempermainkanku, seolah aku ini hanya benda ya
Aku sungguh tak paham dengan pemikiran Hadi. Dia sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Dia menceraikanku dan meminta rujuk seenaknya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.. Setelah beberapa lama menunggui mama mertuaku, Hisyam menghubungiku, akhirnya aku memintanya untuk membawa Basmah dan Ibuku ke rumah sakit agar menjenguk mama Marnah. "Assalamualaikum, Bu Marnah, bagaimana keadaan Bu Marnah?" sapa Mamaku ketika berada di ruang rawat Mama Marnah. Dia bergegas menyalami Mama mertuaku itu. "Alaikum salam, Bu." sambut Mama mertua sembari menyambut mamaku. Mereka berdua pun berpelukan. Mama Marnah terlihat berkaca-kaca memandang ke arah mamaku. Mungkin hati beliau masih dipenuhi rasa bersalah karena kelakuan Hadi. "Maafkan kami ya Bu, karena kami sudah membuat Shiena menderita. Sekali lagi maafkan kami!" ungkap Mama mertua dengan penuh ketulusan. "Ibu gak usah minta maaf, karena itu bukan salah ibu. Jodoh dan rezeki kan sudah diatur. Mungkin memang jodoh Shiena dan Amar hany