Shiena tertawa lepas melihat Hadi terlihat cemberut, "Ya udah, jangan ngambek, aku peluk ni, udah tidur!" ujar Shiena sembari mendekat ke arah Hadi dan memeluknya tanpa menaiki brankar. Baru saja mereka berpelukan, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan .."Bu Shiena, Hadi, kalian berpelukan?" teriak seseorang dari ambang pintu. Hadi dan Shiena menoleh dan ah mata mereka berdua membulat ketika melihat sosok Ilman berdiri di depan pintu."Ilman, Kamu?" tanya hadi dan Shiena bersamaan. "Bu, gimana ini?"bisik Hadi di telinga Shiena. "Mana kutahu, ya udahlah, apa boleh buat, kita akui saja," jawab Shiena juga dengan berbisik.Ilman terlihat akan masuk, tapi dia menoleh ke arah luar, dan melihat temannya yang lain juga mau masuk."Had, teman-teman mau masuk ni, bolehin gak?" tanya Ilman pada Shiena dan Hadi. Shiena pun gegas membenahi duduknya, kemudian mengizinkan semuanya memasuki ruangan tentunya dengan syarat tidak ribut di ruangan.Para mahasiswa itu mulai masuk ke ruangan, dan
Pov HadiAku sungguh merasa tak enak hati dengan Shiena, tapi aku pun tak bisa memeungkiri perasaanku sendiri yang kini merasa bahagia karena bisa melihat Nisa lagi."Bagaimana kabar, Aa?" tanya Nisa dengan suara lembutnya. Ah, suara yang dulu selalu kugilai, suara yang selalu kurindu. Harus kuakui, sejak kedatangan Shiena, aku merasa ada pelipur laraku, tapi bukan berarti aku melupakan Nisa."A, maafkan Nisa ya, Nisa pergi tanpa pamit. Nisa kan nurutin ayah Nisa, jadi si abah gak mau Nisa kuliah di sini. Abah dan Emak Nisa cerai, dan Nisa harus ikut sama ayah. Makanya Nisa pergi ke Bandung, karena rumah ayah Nisa di Bandung," terang Nisa dengan disertai senyum manisnya. Senyum itu, benar-benar membuat hatiku tak mampu menolak rasa yang kembali membuncah. Tring...Suara ponselku membuyarkan semua hayalku, aku pun minta Izin membuka ponsel. Mataku membeliak ketika membaca chat dari Shiena yang mengabarkan bahwa Mama akan kr ruanganku bersama Basmah."Duh, gawat ni, kalau Mama ke ruan
Hari demi hari telah berlalu, seminggu sudah aku terbaring sakit di rumahku. Selama seminggu ini, aku benar-benar mengistirahatkan pemikiranku dari persoalan kampus dan juga Nisa. Aku sengaja ingin mengambil quality time untuk istriku, meski tak bisa kupungkiri, semenjak kehadiran Nisa kembali di kota ini, aku merasa perasaanku pada Shiena terasa hambar. "Bu, Hadi kan udah sembuh, nih, apa Ibu gak mau ngasih hadiah?" tanyaku pada Shiena saat kami sudah bersiap akan tidur. Kebetulan Basmah sedang dibawa ke rumah mertuaku. "Hadiah apa emangnya?" Dia malah balik bertanya, membuatku sedikit kesal. Dia memicingkan matanya sambil mengulum senyum, sepertinya dia sengaja mempermainkanku."Hmm, kali ini Hadi gak akan membiarkan Ibu lari menghindar lagi, gak ada alasan bagi ibu menolak keinginan Hadi," ucapku dengan nada yang kubuat tegas, tapi Bu Shiena malah tertawa."Ha ha ha, dasar kamu ini. Hmm, baiklah, aku akan memberikan apa yang kamu mau, tapi ... setelah aku memberikan hati dan se
Hari ini aku akan pergi ke kampus untuk mengajukan judul Skripsiku, aku berharap bisa lulus dengan cepat agar tak berurusan lagi dengan dunia perkampusan. Baru saja aku selesai dari kampus, aku mendapatkan chat dari Nisa yang memintaku menemuinya. "Duh, bagaimana ini? kalau aku temui, aku takut Shiena tahu, tapi kalau gak aku temui, aku pengen banget nemui Nisa. Uff dilema lagi!" Aku terus menggerutu sembari meremas ponselku. ["A, besok, Nisa akan kembali ke Bandung, Nisa cuma mau bicara sesuatu sama Aa!"] chat Nisa sekali lagi. Ah, karena dia akan pergi ke Bandung, baiknya kutemui dia. Ya anggap aja ini terakhir kali. Setelah ini aku akan pokus pada rumah tanggaku denga shiena. Setelah aku memutuskan untuk pergi menemui Nisa, aku pun gegas menemuinya. Aku memintanya untuk menungguku di tempat yang aku pastikan tak akan didatangi oleh Shiena. Aku menemui Nisa di Pantai Carita, sebuah Pantai yang terletak di daerah Labuan Pandeglang Banten. Shiena tak mungkin ke tempat ini kare
"Dasar laki-laki pecundang!" teriak orang yang memukulku. Aku menoleh ke arahnya. "Ah, Ilman, elo? kenapa elo mukul gue, brengsek!" tanyaku dengan amarah menggebu ketika kutahu yang memukulku adalah Ilman, teman kuliahku. "Laki-laki macam Elo pantas dipukul, elo beneran laki-laki pecundang! Dulu gue diem aja saat elu pacaran sama beberapa gadis, tapi kali ini gue gak terima kalau elu permainkan Nisa, ngerti, gak, lo?" teriak Ilman sekali lagi."Eh, apa urusannya sama elo, hah? lagian siapa yang mainin Nisa?" Aku membalas teriakannya. Aku pun tak terima kalau dituduh yang bukan-bukan."Elu mau tahu? gue khawatir sama Nisa karena gue juga cinta sama dia, gue marah ke elo karena elo sudah permainkan dia, elu sekarang nemui dia, padahal beberapa waktu lalu, elu pelukan sama Bu Lidya, wanita yang selalu elo ejek, dasar munafik, elu selama ini ngehina bliau, tapi ternyata elo mainin perasaan beliau juga." Ilman terus mengoceh, kali ini ocehannya membuatku membeku. Aku tak berani lagi me
Hari berganti, beberapa bulan aku menjalani kehidupan sebagai suami dari Shiena, tapi Shiena belum juga memberi kabar gembira pada kami. Mungkin karena usianya yang menginjak sudah 35 tahun, jadi agak sulit untuk hamil lagi. "Hadi, setelah wisuda nanti, kamu harus ke Bandung, Paman kamu yang di Bandung sudah membagi harta Almarhum ayah kamu, dan kamu kebagian sebuah restaurant yang ada di sana," ujar Mama ketika kami sedang berada di meja makan. Ucapan Mama itu membuatku membeku seketika karena aku teringat Nisa. Kalau aku ke Bandung dan berjumpa Nisa, Nisa pasti menagih janjiku untuk menikahinya, tapi jika aku tidak ke Bandung, aku takut Paman akan berubah pikiran dan akan kembali menguasai harta ayahku yang dia klaim sebagai hartanya. "Loh, kok, bengong? Duh, kamu gak sanggup jauh sama Shiena ya?" kelakar Mama. Aku pun tersenyum dibuatnya. Meski pun yang kupikirkan adalah wanita lain, tapi kan bisa jadi juga aku memang berat meninggalkan Shiena. "He he , ya pasti lah Ma." jawabk
Semua persiapan sudah selesai, barang-barang yang akan aku bawa ke Bandung semuanya sudah dikemas dengan rapi. Tinggal hatiku yang masih gamang. Aku seperti merasakan bahwa Shiena sebenarnya tidak ikhlas aku pergi ke Bandung. Hanya saja dia tak berusaha mencegahku, karena ini adalah permintaan ibuku.Karenanya aku memutuskan, malam ini aku akan meyakinkan dia bahwa kepergianku tak akan mengubah apa pun yang sudah kami jalani. Aku akan tetap menjadi suaminya yang setia dan bertanggung jawab, meski pun aku sendiri ragu bahwa aku akan melakukannya.Aku masuk ke kamar kami, kulihat dia seperti biasanya, duduk di depan jendela dan memandang ke arah luar kamar. Aku pun mendekat dan kulingkarkan tanganku ke pinggangnya. Kupeluk dia erat dari belakang."Aku pasti akan merindukanmu," bisikku sembari terus memeluknya. Dia membalas pelukanku dengan mengelus tanganku."Nanti kamu akan pulang ke sini berapa hari sekali?" tanyanya kemudian. "Seminggu sekali," jawabku mantap tak ada keraguan sedi
Dengan hati yang tak menentu, aku menaiki taksi yang akan membawaku ke kota kembang. Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya aku sampai di kota ini. Aku disambut oleh sepupuku yang kemudian membawaku ke sebuah rumah yang lokasinya dekat dengan restaurant. "A, ini rumah yang sudah dikontrak untuk Aa," ucap sepupuku itu sembari menyerahkan kunci rumah. "Terima kasih, Dek. Kalau begitu Aa masuk dulu." Aku masuk ke rumah dengan mmebaca doa yang aku perlajari dari Shiena. Setelah aku masuk, aku tak lupa menelefon Shiena dan Mama, aku membuat Video dan mengirimkannya ke mereka. "Bu, Hadi udah sampai ni!" tulisku dalam chat. "Rumahnya besar gak?" balas Mama. "Lumayan, Ma. Ada dua tiga kamar, tapi kamar mandi cuma satu, hehe," jawabku, lagi. Usai berbenah, aku pun mengistirahatkan diri, pikiranku mulai melayang mengingat chat Nisa. Dengan penuh keraguan, akhirnya aku membuka lagi chat dia dan kubaca berulang-ulang. Menurut chat itu, aku gegas mengechek alamat rumah Nisa dan ala