"Dokter! Tolong dokter!" teriak beberapa warga di depan rumah dokter Arina. Arina Seorang perempuan cantik bergelar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu desa di kota Serang.
Arina yang sudah akan beristirahat malam keluar dari kamar menuju pintu depan setelah mendengar teriakan warga sekitar. Dia pun membuka pintu lalu terperanjat melihat pemandangan di hadapannya. Empat orang warga membawa seorang pria berwajah tampan. Pria itu tidak sadarkan diri dengan luka tusuk di bagian perut sebelah kiri. Tubuh pria itu bersimbah darah dan darah masih mengalir dari luka di bagian perutnya. "Tolong selamatkan laki-laki ini dokter," pinta salah seorang warga. "Dia siapa, Pak?" "Kami tidak kenal dengan laki-laki ini. Dia tergeletak di pinggir jalan, kami menemukannya tadi pas pulang dari pengajian di rumah Pak Ahmad. Kami langsung bawa laki-laki ini ke sini, ke rumah dokter." Arina merasa agak takut membantu pria itu. Bagaimana jika pria itu adalah orang jahat, pikir Arina, tetapi bagaimana jika dia adalah seorang korban? Arina mengalami pergulatan batin melihat kondisi pria itu. "Dok, jangan diem aja." Ucapan warga itu membuyarkan pikiran Arina. Sebagai seorang dokter yang sudah disumpah, dia harus menolong pria itu tanpa tahu latar belakang dari pria itu. Sesaat kemudian dia merasa kasihan padanya. "Oh ya, tolong bawa ke mobil saya, Pak, saya ambil kunci mobilnya dulu." Masih mengenakan piyama tidur, Arina bergegas mengambil kunci mobil miliknya di kamar dan menyambar jaket di gantungan untuk menutupi piyama bagian atasnya. Arina membuka kunci mobil. Tubuh pria berwajah tampan itu dibawa masuk ke mobil, Arina meminta dua orang untuk menemaninya, sedangkan dua lainnya pulang ke rumahnya. Perjalanan ke rumah sakit tidak terlalu jauh, hanya lima belas menit saja dari rumah almarhum neneknya. Arina memberhentikan mobilnya di depan UGD. Perawat rumah sakit membantu membawa pria tampan itu masuk ke ruangan UGD. Arina meminta dua orang yang membantunya tadi pulang, setelahnya dia ambil alih. "Tolong siapkan ruang operasi dan darah tiga labu, segera, ya!" perintah Arina pada perawat di ruang UGD. "Baik, Dok." Dengan gerak cepat perawat melakukan perintah Arina. Dokter cantik itu berganti pakaian. Dari piyama dengan pakaian khas dokter untuk melakukan operasi. Setelah semua siap, Arina siap melakukan operasi untuk menghentikan pendarahan di bekas luka tusukan di perut pria itu. Arina melakukannya operasi ini dengan baik. Dia melupakan sesaat latar belakang pria itu. Operasi pun berjalan dengan lancar. Selesai operasi Arina meminta perawat memindahkan pria itu ke ruang ICU dan meminta agar pria itu terus diobservasi dan terus diberikan transfusi darah. Arina kembali ke ruang ganti, memakai kembali piyamanya yang tadi. Kemudian dia pamit pulang ke rumah. Di jalan menuju mobil Arina ingat harus membersihkan sisa darah yang menempel di jok belakang mobil. Sampai di mobil dia segera mengambil tisu basah yang dia simpan di mobil lalu membersihkan sisa darah yang menempel di jok tempat pria itu tadi dibawa. Selesai membersihkan semuanya Arina kembali ke rumahnya dan memanfaatkan sisa waktu untuk istirahat sebelum jadwal pagi jam dia bekerja. Sebagai dokter bedah umum, Arina sudah terbiasa jika harus melakukan operasi darurat pada malam hari. Sejak dia bekerja di rumah sakit milik papanya. Arina memutuskan pindah ke desa itu sejak dia memergoki Nanda--sang kekasih yang tengah berselingkuh dengan Dina--sahabatnya di sebuah apartemen milik Nanda. Pada hari itu Arina yang sudah tahu password di pintu unit apartemen milik Nanda datang membawa kue pada malam hari setelah pulang dari rumah sakit. Hari itu adalah anniversary ketiga tahun mereka sudah berpacaran. Maksud hati ingin memberikan kejutan, tetapi Arina yang mendapat kejutan dengan melihat sang kekasih dan sahabatnya tengah bergumul panas di ranjang milik Nanda. Tangis Arina pecah dan kue yang dia pegang jatuh ke lantai lalu hancur seperti hatinya yang hancur melihat pengkhianatan kekasih dan sahabatnya. Nanda dan Dina yang melihat kedatangan Arina dengan cepat menyambar pakaian mereka yang berserakan di lantai dan memakainya dengan cepat juga. This was "Tega banget kamu sama aku, Mas," ucap Arina pada Nanda sambil menangis. Dada perempuan itu tidak hanya sesak, tetapi juga bergemuruh karena amarahnya. "Kamu sih enggak pernah mau aku ajak tidur bareng dengan alasan ingin melakukannya setelah menikah. Aku ini laki-laki, Rin, mana tahan jika terus-terusan sama kamu tapi selalu dicuekin." Nanda bukannya meminta maaf malah menyalahkan Arina yang terlalu kolot pemikirannya. "Oh jadi itu alasan kamu selingkuh dengan sahabat aku sendiri? Karena dia mau memberikan yang Mas minta? Dasar laki-laki brengsek! Kamu juga Din, perempuan murahan!" Saat arina mendekat dan akan melampiaskan kemarahannya dengan melayangkan sebuah tamparan di pipi Nanda, pria itu menangkap tangan Arina dan mendorongnya sampai terjatuh di lantai. Hati Arina terasa semakin sakit bagai ditusuk sembilu dengan perlakuan kasar Nanda padanya, pria itu belum pernah semarah itu pada Arina. Dengan membawa perasaan yang campur aduk Arina bangkit. "Mulai hari ini kita putus! Dan rencana pernikahan kita batal!" Arina tinggalkan apartemen itu. Untuknya rencana pernikahannya dengan Nanda masih tiga bulan lagi, sehingga dia masih bisa membatalkan tempat acara. Undangan pun belum selesai dicetak. Kabar pernikahan mereka belum tersebar luas. Sejak kejadian itu, Arina meminta izin pada papanya untuk menenangkan diri ke sebuah desa tempat kelahiran neneknya. Dia berjanji akan kembali bertugas di rumah sakit papanya setelah keadaannya membaik. Di desa itu Arina tinggal sendiri dan bekerja di salah satu rumah sakit di sana. Besok paginya Arina bangun subuh. Setelah salat subuh, Arina berganti pakaian olahraga untuk melakukan kebiasaan nya lari pagi sebelum beraktivitas di rumah sakit. Selesai olahraga, Arina pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan. Kemudian dia mandi, berpakaian rapi dan sarapan. Kemudian dia berangkat ke rumah sakit sebelum jam delapan pagi dengan mengendarai mobil. Sampai di rumah sakit, Arina meletakkan tasnya di ruangan lalu menuju ruangan ICU untuk memeriksa pasien dadakannya tadi malam. Sampai saat itu dia belum tahu siapa nama pria itu karena memang pria itu masih belum sadarkan diri. "Ada perkembangan apa pagi ini?" tanya Arina di dekat brankar pria tampan yang masih belum sadarkan diri itu. Tiba-tiba Arina mendengar teriakan pria itu, "Jangan bunuh saya!"Arina mengerutkan dahi saat melihat pria tampan yang dia tolong itu tiba-tiba berteriak. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada pria itu, pikirnya. Arina menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia harus tahu tentang itu semua agar bisa membantu pria itu ke depannya. Arina sudah berhasil menyingkirkan perasaan takutnya pada pria itu dan berpikir jika pria itu ada korban dari sebuah rencana pembunuhan. "Semua bagus kok, Dok, tinggal tunggu pasiennya siuman aja," jawab perawat pada Arina. "Ok, kalau dia siuman segera telepon saya, ya." Arina memeriksa angka-angka yang tertera pada alat yang tersambung pada tubuh pria yang dia belum tahu namanya itu. Mulai dari tekanan darah dan lainnya serta memeriksa cairan infusnya. "Oh ya, transfusi darahnya sudah selesai?" Arina baru ingat karena di lengan pria itu hanya tersambung selang infus saja. "Sudah semua kok, Dok." "Ok. Makasih ya, saya balik ke ruangan dulu. Nanti saya ke sini lagi." Arina pun kelua
Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang."Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada
Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik
"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya. "Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya b
Siang harinya saat pulang dari rumah sakit, Arina sudah membawa makan siang untuknya dan Yudhi. Yudhi menyambut kedatangan Arina dengan senyuman manis. Dia ambil makanan dari tangan perempuan itu dan menyajikannya di meja. Arina duduk di ruang tengah, dari wajahnya dia terlihat lelah. Yudhi menghampiri perempuan itu, duduk di sebelahnya. Dia letakkan tangannya di bahu Arina, mulai memijat pundak istrinya itu. "Capek, Rin?" tanya Yudhi masih memijat pundak Arina. Arina menganggukkan kepala. "Ya udah makan dulu, udah saya siapin di meja, terus tidur siang biar badannya lebih seger." Arina bangkit dari duduknya, menuju meja makan bersama Yudhi. "Makasih ya, Mas." Lalu keduanya makan dalam diam. Arina sedang tidak ingin banyak bicara dengan Yudhi, yang dia inginkan hanya merebahkan diri di kasur dan segera tidur. Selesai makan siang, Arina pamit ke kamar, sebelum tidur dia sempatkan untuk salat zuhur lebih dulu baru kemudian berbaring di kasur dan terlelap hingga sore hari. Setela
"Maksudnya apa ini ya, Mas?" Arina tetap bingung dengan ucapan singkat dari suaminya itu. "Ya, biasanya orang nikah kan suaminya ngasih cincin dan saya mau kayak gitu ceritanya." Arina mengerjapkan matanya dan merasa ada yang aneh dengan Yudhi. "Bukannya ini aku yang beli sendiri ya, Mas?" "Anggap itu sebagai utang, nanti semua uang yang kamu pakai untuk keperluan kita berdua, Mas ganti semuanya." Arina mengerutkan dahi. 'Emang Mas Yudhi punya uang sebanyak apa sih?' Tiba-tiba Arina penasaran, tetapi dia tidak tahu harus mencari informasi itu ke mana. "Oh, ok, tapi aku enggak akan hitung ya, Mas. Jadi, terserah Mas aja mau ganti berapa." "Empat hari lagi aku akan pulang ke tempatku yang seharusnya. Kita sudah menikah, aku harap akan terus begitu sampai kapan pun." Saat itu Yudhi tidak bisa menjanjikan apa pun untuk Arina. Dia belum bisa membawa Arina tinggal bersamanya, tetapi tidak rela pula meninggalkan Arina sendirian di sana. Arina menatap mata suaminya dalam. "Jangan lupa
Besok paginya, Yudhi terbangun sebelum azan subuh. Tidak lupa dia membangunkan Arina. Ketika Arina membuka mata dia berikan senyuman termanis pada istrinya itu. "Mandi ya, Mas bantu ke kamar mandi." Sepertinya Yudhi tahu biasanya kebanyakan perempuan setelah malam pertama akan merasakan sakit, pria itu khawatir Arina akan kesulitan berjalan karenanya. Yang dia maksud membantu ke kamar mandi itu bukan membantu jalan ke kamar mandi, melainkan menggendong ke kamar mandi. Arina pun tersipu dengan perlakuan manis suaminya. Sampai di kamar mandi, Yudhi menurunkan Arina. "Kalau sudah selesai, teriak aja ya, nanti Mas gendong lagi." Sebuah senyuman mengembang di bibir Yudhi. "Enggak usah berlebihan deh kayaknya Mas, aku bisa jalan sendiri kok." Arina meyakinkan Yudhi kalau dia baik-baik saja. "Lagian kan kalau Mas gendong aku lagi, terus aku udah wudhu, ya wudhunya jadi batal dong." Yudhi tersenyum sambil menggaruk tengkuk belakangnya. "Iya juga ya. Ya sudah mandi aja dulu, terus salat s
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar
Yudhi merapikan selimut yang menutupi tubuh Arina. Dia akan bersiap untuk tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Pria itu pikir istrinya tidak akan siuman pada tengah malam, walaupun semua kemungkinan bisa terjadi. Sebelum tidur Yudhi berbisik di telinga istrinya."Kamu enggak usah khawatir lagi, Sayang. Nanda sudah meninggal ditabrak truk sewaktu dia melarikan diri tadi. Cepat sembuh ya, kasian Mas dan anak kita."Lalu dia kecup kening istrinya dengan lembut kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah seharian ini belum istirahat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pria itu pun sudah masuk ke alam mimpinya.Arina tengah berlari dengan kencang. Dalam keadaan hamil empat bulan dia terpaksa berlari dengan napas tersengal-sengal. Tidak ada pilihan lain baginya selain berlari menjauh dari pria yang sangat dia takuti sekarang.Perempuan itu tidak mau menyerah dan memberikan nyawanya dengan cuma-cuma pada pria yang pernah berencana untuk membunuh sang suami. Dia harus terus berlari untu
Yudhi dan Arina tiba di bandara. Pria itu mencari kursi roda untuk istrinya. Tubuh perempuan itu terlihat semakin lemah. Yudhi hanya bisa berharap mereka bisa tiba di Singapura secepatnya. Sebelum Nanda kabur dari rumah sakit."Sayang, kamu mau dibelikan camilan atau makanan berat?" tanya Yudhi saat mereka menuju ruang tunggu melewati banyak restoran.Arina menggelengkan kepala dengan lemah. Dia merasa tenaganya semakin berkurang dan kakinya pun terasa semakin lemah."Tapi, kamu harus makan, Sayang. Kalau kamu merasa enggak lapar paksakan untuk makan. Ingat kalau sekarang kamu sedang hamil. Ok." Yudhi membujuk Arina agar mau makan meskipun tidak nafsu makan.Perempuan itu tetap menggelengkan kepala. Dia sedang tidak ingin makan atau minum. Seakan dia lupa jika saat ini ada janin yang tumbuh di rahimnya.Yudhi merasa khawatir melihat kondisi Arina yang langsung drop. Dia tahu istrinya merasa sangat ketakutan. Usaha yang dia lakukan saat ini hanya bisa menjauhkan Arina dari Nanda.Saat
Kabar tentang Nanda yang masuk rumah sakit karena dipukuli tahanan lain dan dibawa ke rumah sakit sampai juga ke telinga Yudhi dan Arina. Perempuan itu kini merasa takut karena apabila Nanda ada di rumah sakit, pasti pria itu bisa kabur kapan saja dan mengincarnya."Aku takut, Mas."Yudhi memeluk tubuh Arina yang terasa dingin karena takut. Dia harus bisa menenangkan Arina dengan baik. Jangan sampai istrinya terlalu khawatir dan berakibat pada kandungan Arina yang saat ini dinyatakan sehat oleh dokter kandungan.Mereka sudah memeriksakan kandungan Arina kemarin. Calon bayi mereka tumbuh dengan sehat. Usia kandungan Arina masuk 16 minggu. Yudhi melihat senyuman istrinya terukir dengan manis dan dia tidak mau senyuman itu sampai hilang dari bibir Arina."Mas janji akan jagain kamu terus, Sayang. Jangan khawatir ya. Nanda enggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi."Yudhi pikir dia perlu menyewa bodyguard untuk menjaga istrinya selama Nanda masih berada di rumah sakit karena dia tidak bisa
Jantung Arina memompa darah lebih kencang karena gugup. Dia takut jika ada yang tahu rahasia yang masih dia simpan saat ini. Arina menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan tadi."Ah enggak kok. Saya nikah sama siapa? Pacar aja enggak ada sekarang. Jangan halu deh. Ya sudah ya, saya balik ke ruangan dulu."Ya, menghindar adalah lenih baik daripada terus berada di sana karena khawatir akan keceplosan lalu terpaksa berbohong karena tidak ingin ketahuan.Sampai di ruangannya, ponsel Arina berbunyi. Dia lihat di layar ada panggilan dari suaminya. Segera Arina menerima panggilan itu."Iya, Mas. Ada apa? Kangen ya sama aku. Padahal tadi pagi masih ketemu.""Kangen banget, Sayang. Kamu tahu enggak satu menit berpisah sama kamu rasanya kayak berpisah satu tahun saking lamanya."Arina tersenyum. Walaupun suaminya menggombal tetap terdengar manis di telinganya."Masa sih, Mas? Kalau gitu kita udah pisah berapa tahun nih?""Ribuan tahun, Sayang. Mana pulang kantor masih lama lagi, tambah
Setelah sarapan pagi di Villa, Yudhi mengajak Arina mencari rujak bali. Mereka minta tolong pada supir taksi untuk mengantar ke tempat rujak bali yang enak di sana.Ketika sarapan tadi, Yudhi sudah memastikan Arina sarapan dengan baik. Ada karbo yang dia makan. Pria itu tidak ingin istrinya sakit perut saat makan rujak bali.Tiba di tempat rujak, keduanya turun dan masuk tempat makan itu. Mereka duduk di tempat meja kosong yang ada di sana. Suasana tempat makan itu ramai. Bisa jadi apa yang dikatakan supir taksi tadi memang benar jika rujak bali di tempat itu memang enak."Kamu mau pesen yang mana, Sayang?" tanya Yudhi sambil melihat daftar menu. Dia merasa bingung karena tidak ada satu pun rujak yang biasa dia lihat di Jakarta."Pesen semua aja, Mas. Aku penasaran sama rasanya." Arina sudah tidak sabar mencoba semua macam rujak yang ada di sana."Kamu yakin pesen semua, Sayang? Siapa yang mau habiskan semua?""Aku, Mas. Kalau enggak habis, kita bawa ke villa."Yudhi menatap Arina den
Arya dan Novita yang ada di ruangan itu pun ingin ikut memberikan pendapatnya sebagai orang tua Arina dan tuan rumah."Tunggu sebentar, mohon izin saya mau mengungkapkan pendapat? Boleh atau tidak?" Semua menoleh ke arah Arya. Arina baru menyadari sudah melangkahi papanya bicara lebih dulu dan langsung pada orang tua Yudhi. Harusnya dia juga menyampaikan keinginannya pada papanya dulu baru nanti Arya yang menyampaikan pada orang tua Yudhi. "Astaghfirullah, Papa aku lupa. Maaf sudah melangkahi Papa." Arina tertunduk malu. "Sudah, Rin kamu enggak salah kok. Biar sekarang Papa yang menengahi. Kita cari jalan tengah bersama. Jadi, Arina mau resepsinya digelar secara sederhana, tapi Wahyu mau resepsinya mengundang kolega dan teman bisnis serta saudara, bukan begitu?" Semua menganggukkan kepala."Gini ya Arina, Wahyu, kami ini sebagai orang tua punya keluarga, teman dan rekan bisnis yang enggak dikenal Arina dan Yudhi. Terus kalian hanya ingin mengadakan resepsi sederhana? Jelas enggak
"Kok kamu bisa ada di sini, Yud? Bukannya kamu sudah ....?" Mulut Nanda ternganga dan matanya membulat melihat saudara sepupunya."Sudah apa, Nanda? Sudah mati? Kamu pikir aku bisa mati semudah itu?" Yudhi memandang Nanda dengan sorot mata mengintimidasi sambil terus berjalan mendekati pria itu. Nanda berjalan mundur dan semakin terpojok sampai punggungnya menabrak meja kerja sang kakek. "Kenapa cuma diam? Kaget lihat aku masih hidup? Tadi kamu bilang ada bukti kalau aku sudah meninggal, kenapa enggak ditunjukkan ke Kakek? Kamu simpan di mana buktinya? Di HP?" Yudhi terus mendesak Nanda sampai akhirnya pria itu memberikan ponselnya pada sang kakek. Dia tunjukkan foto surat kematian Yudhi pada sang kakek. "Kamu punya bukti fisiknya surat ini?" tanya sang kakek. "Ada, Kek." "Berikan padaku." Surat itu dia simpan dalam jas yang dia kenakan dan akan diberikan pada sang kakek. Dia keluarkan surat itu dari jas lalu dia berikan pada sang kakek. Sang kakek benar-benar tidak habis pikir
"Ok, kalau gitu aku akan kabari segera soal racun itu. Aku mau tanya nih Mas. Misalnya rencana ini berhasil, Mas mau ngasih apa buat aku karena sudah mau bantuin Mas Nanda?" tanya Arina dengan serius. "Kamu mau minta imbalan? Kamu mau balikan terus kita nikah? Kayaknya cuma itu yang bisa aku tawarkan ke kamu sebagai imbalan, kamu mau?" Arina diam sambil berpikir. Dia jelas tidak akan menerima imbalan dari Nanda soal tawaran pernikahan itu. Meskipun misalnya dia masih sendiri pun, dia tidak akan pernah mau menikah dengan pria seperti Nanda yang penuh dengan ambisi dan menghalalkan segala cara untuk mendapat yang dia mau. "Mas enggak ada tawaran lain nih? Aku enggak akan terima tawaran menikah itu, gimana nanti nasib perempuan yang ngarep jadi istri Mas Nanda? Aku enggak mau ngambil apa yang mereka mau." Arina menolak dengan alasan lain, bukan dengan menjelaskan jika dia sudah menikah. "Kamu mau uang? Bukankah orang tuamu kaya raya, Rin? Kenapa masih mengharap harta?" "Enggak. Aku