Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang.
"Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada yang mau, Pak. Sedangkan Mas Yudhi masih butuh perawatan untuk lukanya agar lebih cepat sembuh." Arina menjelaskan pelan-pelan. "Kenapa enggak dirawat di rumah sakit aja, Mbak, jadi enggak perlu dibawa pulang ke sini?" "Ya karena perawatan di rumah sakitnya sudah selesai. Mau enggak mau saya bawa ke sini. Lagian Mas Yudhi juga belum boleh banyak gerak dulu, kan." Pria itu terlihat tidak suka dengan jawaban Arina, dia tidak akan membiarkan keduanya tinggal serumah berdua saja seperti itu. "Apa Bapak-bapak di sini ada yang mau merawat Mas Yudhi di rumahnya?" Arina menawarkan tanggung jawab merawat Yudhi pada warga, tetapi tidak ada yang mau menerima pria itu di rumahnya karena Yudhi memiliki fisik yang menarik dan wajah yang tampan. Mereka takut istri atau anak perempuannya jatuh cinta dengan pria itu. "Terus kalau enggak ada yang mau, solusinya harus gimana?" tanya Arina bingung. "Mbak Arina menikah saja dengan Mas Yudhi ya, untuk menghindari fitnah dan yang lain." Warga memberikan saran. Arina menghela napas dengan kasar. "Memangnya tidak ada solusi lain? Apa enggak boleh saya merawat Mas Yudhi di rumah ini? Saya jamin kami tidak akan melakukan apa yang Bapak-bapak khawatirkan. Mas Yudhi kan masih lemah buat banyak aktivitas?" "Tolong jangan buat desa ini kena tulah karena kalian berdua!" teriak salah seorang warga yang ada di belakang. Arini pikir ini adalah sesuatu yang serius. "Saya boleh minta izin sama orang tua dulu enggak, Pak?" "Silakan tapi Mbak harus meminta izin untuk menikah karena orang tua Mbak adalah wali yang sah. Tanpa izin dari orang tua maka pernikahan Mbak enggak bisa dianggap sah." Masalah semakin rumit. Arina mengubungi papaya. Dia sendiri belum mau menikah saat itu juga. Luka hatinya belum sembuh, kenapa dia harus menikah? Dan pria yang akan dia nikahi juga pria misterius yang dia sendiri tidak tahu asal usulnya. "Halo, Pa," sapa Kirana di telepon. "Assalamualaikum dong, Sayang. Ada apa telepon malam-malam gini?" "Eh iya, wa'alaykumussalam. Papa lagi sibuk enggak? Aku mau ngomong serius." "Tumben banget, Rin, Papa baru selesai operasi nih, baru aja duduk. Obrolan serius apa sih? Emang ada yang lebih serius dari pembahasan soal pernikahan?" "Papa kayaknya udah paham arah ucapanku ya. Aku mau minta izin menikah, Pa." "Apa? Mau nikah sama siapa kamu, Rin? Emang Nanda ngajak kamu balikan terus ngajak nikah lagi?" "Enggak kok, Pa, bukan Mas Nanda." "Terus siapa? Apa di sana kamu ketemu cowok ganteng yang bikin kamu lupa sama patah hati kamu? Setahu Papa kamu minta izin ke sana untuk menenangkan diri terus kenapa sekarang jadi minta izin nikah?" Arina menarik napas panjang, dia harus menjelaskan dari awal pertemuan dengan Yudhi hingga permintaan warga untuknya menikah. Papanya Arina pun paham. "Boleh Papa ngomong dengan laki-laki itu?" Arina memberikan ponselnya pada Yudhi. Sampai saat itu keduanya masih terlihat biasa, tidak ada debaran jantung yang berubah cepat atau desiran halus yang mereka rasakan. Yudhi menerima ponsel Arina. Panggilan suara dari papanya diganti menjadi panggilan video. "Assalamualaikum, Pak. Saya Yudhi." Yudhi menyapa dengan ramah. "Wa'alaykumussalam, Nak Yudhi. Umurnya berapa ya?" "29 tahun, Pak." "Sudah kerja apa belum?" "Saya sudah bekerja, Pak, tapi cuma karyawan biasa aja." Yudhi berbohong pada papanya Arina. Tidak ada karyawan biasa yang nyawanya diincar kecuali dia pacaran dengan istri orang lain. Sudah pasti dia akan dibunuh oleh suami dari perempuan itu. Pria itu pun tidak terlihat seperti karyawan biasa dari tampang dan penampilannya. Minimal sekelas manajer lah. "Saya titip anak saya ya, jaga dia dengan baik di sana. Kalau ada apa-apa hubungi saya." Yudhi terkesiap mendengar ucapan papanya Arina. Arina yang mendengar pun langsung merebut ponselnya. Dia bergegas menuju kamar untuk bicara dengan papanya. "Papa kok ngasih izin sih?" protes Arina pada papanya. "Orang tua itu punya feeling, Rin, lihat Yudhi kok Papa tiba-tiba ikhlas kamu dinikahi sama dia, beda dengan perasaan Papa waktu ketemu Nanda. Yudhi itu anak baik kalau dilihat sekilas kayaknya dia bukan orang biasa, Papa kayaknya pernah lihat di mana gitu, tapi lupa." "Tapi, Pa kalau ternyata Mas Yudhi orang jahat gimana? Tahunya dia gembong narkoba atau mafia gimana?" Arina serius dengan ucapannya. "Ah, enggak mungkin, ngawur kamu, Rin. Papa jamin dia adalah calon suami yang baik buat kamu." Arina masih belum ikhlas menerima keputusan papanya. "Kalau sampai nyawa aku lewat malam ini gimana, Pa?" "Enggak mungkin, kalau dia ada niatan jahat sama kamu, pasti sudah dia lakukan sejak pertama dia pulang dari rumah sakit. Ya sudah sekarang kamu ganti pakaian yang bagus, terus telepon Papa lagi kalau semuanya udah siap. Panggilan video ya, Rin." "Iya, Pa." Arina menjawab dengan perasaan malas dan dia menutup panggilan itu. Arina bersiap mengganti pakaian dengan pakaian yang rapi. Dia juga meminta Yudhi berganti pakaian. Sementara warga memanggil ustaz untuk menikahkan keduanya secara siri. Ketika dua orang saksi siap, Arina menghubungi papanya lagi, pria itu menyaksikan pernikahan dadakan anaknya malam itu dengan wali hakim. Terlihat sekilas rasa khawatir di wajah papanya Arina. Namun, tidak ada yang menyadarinya. Akad nikah berlangsung khidmat, semua terbawa keharuan akad malam itu. Setelah selesai semuanya Arina dan Yudhi mendapat surat tanda nikah siri, bukan buku nikah resmi. Kemudian Arina menghubungi papanya lagi. "Besok Papa ke sana ya, mau ketemu sama kamu dan suami dadakanmu itu." 'Nasibku kok apes ya? Gagal nikah malah jadi nikah dadakan sama orang yang enggak dikenal.'Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik
"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya. "Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya b
"Dokter! Tolong dokter!" teriak beberapa warga di depan rumah dokter Arina. Arina Seorang perempuan cantik bergelar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu desa di kota Serang. Arina yang sudah akan beristirahat malam keluar dari kamar menuju pintu depan setelah mendengar teriakan warga sekitar. Dia pun membuka pintu lalu terperanjat melihat pemandangan di hadapannya. Empat orang warga membawa seorang pria berwajah tampan. Pria itu tidak sadarkan diri dengan luka tusuk di bagian perut sebelah kiri. Tubuh pria itu bersimbah darah dan darah masih mengalir dari luka di bagian perutnya. "Tolong selamatkan laki-laki ini dokter," pinta salah seorang warga. "Dia siapa, Pak?" "Kami tidak kenal dengan laki-laki ini. Dia tergeletak di pinggir jalan, kami menemukannya tadi pas pulang dari pengajian di rumah Pak Ahmad. Kami langsung bawa laki-laki ini ke sini, ke rumah dokter." Arina merasa agak takut membantu pria itu. Bagaimana jika pria itu adalah orang jahat, pikir Arina
Arina mengerutkan dahi saat melihat pria tampan yang dia tolong itu tiba-tiba berteriak. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada pria itu, pikirnya. Arina menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia harus tahu tentang itu semua agar bisa membantu pria itu ke depannya. Arina sudah berhasil menyingkirkan perasaan takutnya pada pria itu dan berpikir jika pria itu ada korban dari sebuah rencana pembunuhan. "Semua bagus kok, Dok, tinggal tunggu pasiennya siuman aja," jawab perawat pada Arina. "Ok, kalau dia siuman segera telepon saya, ya." Arina memeriksa angka-angka yang tertera pada alat yang tersambung pada tubuh pria yang dia belum tahu namanya itu. Mulai dari tekanan darah dan lainnya serta memeriksa cairan infusnya. "Oh ya, transfusi darahnya sudah selesai?" Arina baru ingat karena di lengan pria itu hanya tersambung selang infus saja. "Sudah semua kok, Dok." "Ok. Makasih ya, saya balik ke ruangan dulu. Nanti saya ke sini lagi." Arina pun kelua
Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya. "Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya b
"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik
Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang."Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada
Arina mengerutkan dahi saat melihat pria tampan yang dia tolong itu tiba-tiba berteriak. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada pria itu, pikirnya. Arina menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia harus tahu tentang itu semua agar bisa membantu pria itu ke depannya. Arina sudah berhasil menyingkirkan perasaan takutnya pada pria itu dan berpikir jika pria itu ada korban dari sebuah rencana pembunuhan. "Semua bagus kok, Dok, tinggal tunggu pasiennya siuman aja," jawab perawat pada Arina. "Ok, kalau dia siuman segera telepon saya, ya." Arina memeriksa angka-angka yang tertera pada alat yang tersambung pada tubuh pria yang dia belum tahu namanya itu. Mulai dari tekanan darah dan lainnya serta memeriksa cairan infusnya. "Oh ya, transfusi darahnya sudah selesai?" Arina baru ingat karena di lengan pria itu hanya tersambung selang infus saja. "Sudah semua kok, Dok." "Ok. Makasih ya, saya balik ke ruangan dulu. Nanti saya ke sini lagi." Arina pun kelua
"Dokter! Tolong dokter!" teriak beberapa warga di depan rumah dokter Arina. Arina Seorang perempuan cantik bergelar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu desa di kota Serang. Arina yang sudah akan beristirahat malam keluar dari kamar menuju pintu depan setelah mendengar teriakan warga sekitar. Dia pun membuka pintu lalu terperanjat melihat pemandangan di hadapannya. Empat orang warga membawa seorang pria berwajah tampan. Pria itu tidak sadarkan diri dengan luka tusuk di bagian perut sebelah kiri. Tubuh pria itu bersimbah darah dan darah masih mengalir dari luka di bagian perutnya. "Tolong selamatkan laki-laki ini dokter," pinta salah seorang warga. "Dia siapa, Pak?" "Kami tidak kenal dengan laki-laki ini. Dia tergeletak di pinggir jalan, kami menemukannya tadi pas pulang dari pengajian di rumah Pak Ahmad. Kami langsung bawa laki-laki ini ke sini, ke rumah dokter." Arina merasa agak takut membantu pria itu. Bagaimana jika pria itu adalah orang jahat, pikir Arina