Besok paginya, Yudhi terbangun sebelum azan subuh. Tidak lupa dia membangunkan Arina. Ketika Arina membuka mata dia berikan senyuman termanis pada istrinya itu.
"Mandi ya, Mas bantu ke kamar mandi." Sepertinya Yudhi tahu biasanya kebanyakan perempuan setelah malam pertama akan merasakan sakit, pria itu khawatir Arina akan kesulitan berjalan karenanya. Yang dia maksud membantu ke kamar mandi itu bukan membantu jalan ke kamar mandi, melainkan menggendong ke kamar mandi. Arina pun tersipu dengan perlakuan manis suaminya. Sampai di kamar mandi, Yudhi menurunkan Arina. "Kalau sudah selesai, teriak aja ya, nanti Mas gendong lagi." Sebuah senyuman mengembang di bibir Yudhi. "Enggak usah berlebihan deh kayaknya Mas, aku bisa jalan sendiri kok." Arina meyakinkan Yudhi kalau dia baik-baik saja. "Lagian kan kalau Mas gendong aku lagi, terus aku udah wudhu, ya wudhunya jadi batal dong." Yudhi tersenyum sambil menggaruk tengkuk belakangnya. "Iya juga ya. Ya sudah mandi aja dulu, terus salat subuh jamaah ya. Eh, tapi salat subuh nya tunggu Mas habis mandi, ya." Arina tersenyum sebelum menutup pintu kamar mandi. Agak lama dia mandi pagi ini. Setelahnya dia keluar sendiri dari kamar mandi. Yudhi memperhatikan Arina berjalan keluar dari kamar mandi, perempuan itu terlihat baik-baik saja. Padahal sebenarnya Arina menahan rasa sakitnya. "Bener ya enggak apa-apa. Ya sudah Mas mandi dulu. Tunggu sebentar, ya." Tidak perlu menunggu lama, Yudhi sudah selesai dari kamar mandi. Mereka pun menunaikan salat subuh berjamaah. Selesai salat, Yudhi mengajak Arina ke dapur, tetapi dia tidak mengizinkan perempuan itu masak. Dia memasak sarapan sendiri lalu meminta Arina menunggu di meja makan. Sarapan simpel pagi hari mi rebus dengan telur karena memang tidak ada stok makanan lain untuk pagi itu di sana. Namun, pria itu memasukkan semua dalam satu mangkok dan meletakkan dua sendok di sana. Kemudian dia bawa ke meja makan. "Kok cuma satu Mas?" tanya Arina yang merasa bingung melihat kedatangan suaminya dari dapur. "Kita makan berdua aja. Enggak apa-apa, kan?" tanya pria itu yang tidak mendapat penolakan dari istrinya. Mereka duduk bersebelahan lalu makan bersama. Sesekali Yudhi menyuapi Arina dengan sendoknya. Perlakuan manis Yudhi justru akan membuat Arina semakin sedih untuk melepaskan suaminya itu kembali ke Jakarta. Selesai sarapan keduanya duduk di sofa ruang tengah. "Kenapa harus pergi sih, Mas?" Arina melakukan protes lagi pada suaminya. "Mas harus kerja, Rin, apa kamu mau ikut Mas balik ke Jakarta sekarang juga? Sebenarnya Mas juga sedih harus ninggalin kamu sendirian di sini, tapi mau gimana lagi." Arina menghembuskan napas berat. "Aku belum bisa langsung balik ke Jakarta, Mas. Aku harus ngurus kepindahan dulu dari rumah sakit. Enggak bisa main pergi gitu aja." Semakin bertambahnya waktu, keduanya semakin enggak untuk berpisah. "Beri Mas waktu satu bulan, dalam waktu satu bulan itu Mas akan jemput kamu. Mas akan urus semua proses pemindahan kamu ke Jakarta." "Mas janji?" "Iya, Mas janji satu bulan lagi akan ke sini, jemput kamu." "Ok, kalau gitu aku akan nunggu." Hari itu Arina memutuskan untuk datang ke rumah sakit agak siang karena dia akan menunggu sampai Yudhi dijemput oleh sekretarisnya yang dia akui sebagai teman pada Arina. Satu jam menunggu, Sekretaris Yudhi datang menjemput dengan mobil mini bus biasa. Tidak dengan mobil sedan mewah sesuai permintaan Yudhi karena dia belum mau menunjukkan siapa jati diri sebenarnya. Pria itu pamit pada Arina dengan mencium kening perempuan itu lama sekali. Setelah itu Arina mencium tangan Yudhi. Pria itu masuk mobil diiringi dengan bulir bening yang mengalir dari kedua mata Arina. Setelah mobil yang membawa Yudhi tidak terlihat lagi, Arina bergegas ke rumah sakit. Dia kembali tinggal sendiri. Entah selanjutnya dia akan kuat atau tidak ketika ditinggal sang suami. Walaupun kebersamaan mereka cuma sejenak, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam. Arina berjanji pada dirinya sendiri untuk menunggu Yudhi datang menjemputnya di sana. *** Malam harinya, saat Arina baru selesai makan, ponselnya berdering, ada panggilan dari nomor yang tidak dia kenal. Arina terima panggilan itu karena khawatir jika ada panggilan telepon dari warga sekitar yang membutuhkan bantuannya. "Halo," sapa Arina menunggu suara dari penelepon. Matanya membulat saat mendengar suara dari orang yang sangat dia rindukan. "Mas Yudhi?" "Iya, kamu lagi apa, Rin? Teleponnya ganti video ya." "Iya, Mas." "Nah, sekarang kan keliatan cantiknya. Kamu udah makan, Rin?" "Udah, Mas. Ini lagi santai. Tadinya mau nonton TV tapi kok males. Mas kok teleponnya pakai nomor lain, HP yang biasanya ke mana?" "Oh itu, sengaja ganti, ini nomor Mas yang dulu udah diambil lagi. Kamu simpan nomor ini juga, ya!" "Ok. Mas udah makan?" "Sudah tadi. Ya Allah enggak ketemu sebentar aja rasanya kok kangen banget, ya. Kalau weekend Mas ke sana boleh enggak, Rin?" "Emang bisa? Kalau bisa, terus mau ke sini, boleh aja, Mas." "Iya, lihat nanti deh." Dari ponsel Arina, Yudhi terlihat menelepon di luar rumah, bukan di kamar atau di ruang kerjanya. "Mas belum ngantuk?" Saat itu sudah jam sembilan malam. "Belum lah, baru jam berapa ini, kan." "Mas tadi seharian ngapain aja?" Telepon berlanjut dengan saling menceritakan kegiatan mereka seharian tadi, baik yudhi juga Arina. Jam sepuluh malam panggilan telepon berakhir. Arina masuk kamar untuk beristirahat. *** Hari-hari Arina tanpa Yudhi tidak terlalu kesepian karena pria itu cukup sering menelepon dan mengirim pesan untuk Arina untuk mengingatkan salat, makan dan istirahat. Pagi itu saat akan memasak sarapan, Arina mendapat telepon dari Arya. Dia segera menerima panggilan itu. "Halo, Pa." "Rin, coba nyalain TV terus lihat berita!" perintah Arya. "Ada apa sih, Pa? Aku baru mau masak ini." "Tinggalin dulu, cepet lihat TV sekarang!" Arina menurut dan menyalakan TV. Di layar TV itu menampilkan berita seorang CEO Atmaja Grup sedang diwawancara, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Suami Arina, Yudhistira Atmaja. Arina mengerutkan dahi menatap layar TV. "Itu Mas Yudhi, Pa?" "Iya, pantes aja Papa ngerasa kenal dengan orangnya, ternyata dia CEO Atmaja Grup. Pantes aja ada yang punya niatan jahat sama dia." Arina masih terkesiap menatap layar TV. Masih belum percaya dengan apa yang dia lihat. "Jadi, Mas Yudhi bukan orang biasa ya, Pa?" "Yah begitulah, tunggu sebentar ya, Pa, aku mau telepon Mas Yudhi dulu." Arina mematikan panggilan telepon dengan Arya lalu menghubungi Yudhi. Namun, berkali-kali dia telepon tidak ada jawaban dari Yudhi. Entah kenapa hati Arina terasa sakit karena suaminya tidak menjawab panggilan telepon darinya. 'Apa Mas Yudhi mau melupakan aku setelah dia menunjukkan jati dirinya?' batin Arina yang berpikiran negatif pada Yudhi.Seharian itu Arina mencoba menghubungi Yudhi tetapi tetap tidak ada jawaban dan pria itu pun tidak mencoba untuk menghubungi Arina baik lewat pesan atau lewat telepon. Pikiran negatif mulai menguasai Arina. Dia menjadi curiga pada Yudhi. Curiga pria itu akan meninggalkannya setelah Arina melihat siapa sebenarnya suaminya itu. Detik itu juga dia menelepon papanya. Arina ingin pernikahannya dengan Yudhi disudahi karena dia merasa pria itu hanya memanfaatkannya saja selama berada di kota itu dan tidak pernah ada niatan serius dengan Arina. "Halo, Pa." Arina menyapa papaya di telepon. "Ada apa, Nak?" tanya Arya seolah tahu jika ada sesuatu yang terjadi pada Arina. "Seharian ini aku coba telepon dan kirim SMS ke Mas Yudhi, tapi enggak ada jawaban, aku kok jadi curiga sama dia ya, Pa? Jangan-jangan Mas Yudhi cuma nipu aku aja ya?" Suara Arina terdengar kesal. "Loh kenapa, Rin? Nikah kok cuma sebentar, jadi kayak mainan aja, baru sehari enggak ada kabar tapi udah panik begitu." Arya ter
"Sakit. Mas," teriak Arina saat Yudhi mencubit gemas hidungnya. Pria itu langsung datang dari Jakarta hanya karena istrinya ngambek tadi malam yang disebabkan karena seharian kemarin Yudhi lupa membawa ponselnya. Pria itu tidak tahan saat tahu istrinya ngambek. Subuh tadi dia menyetir sendiri ke tempat Arina hanya untuk membuat istrinya tidak ngambek lagi. "Ini beneran kamu, Mas? Kenapa ke sini? Emang Mas enggak kerja? Nanti kalau dicariin gimana?" Arina menyerbu Yudhi dengan banyak pertanyaan. Bukannya menjawab pria itu mendorong tubuh Arina masuk ke rumah. Lalu dia putar agar Arina berbalik dan terus berjalan ke ruang tengah. Pria itu mengajak Arina duduk di sofa. "Masih ngambek, Rin?" tanya Yudhi menatap mata istrinya dalam. Arina membalas tatapan Yudhi dengan sorot mata rindu. "Kalau aku bilang masih, Mas mau ngapain?" Yudhi memeluk Arina erat. "Pengen meluk soalnya udah kangen berat. Ternyata menahan Rindu itu berat banget ya. Terus ke sana." Kepala Yudhi bergerak menunjuk
Orang yang mendatangi Arina itu adalah seorang perawat yang bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Dia adalah perawat pria. Perawat itu datang ke rumah Arina atas permintaan dari Yudhi. Suami Arina itu khawatir saat tahu jika istrinya izin sakit ke pihak rumah sakit. Perawat itu membawa Arina ke sofa. Dia membenahi posisi tubuh Arina agar bisa bernapas dengan baik dan tidak kekurangan oksigen. Dia mencoba menyandarkan Arina yang pingsan sebelum pergi dan memastikan Arina makan makanan yang dia bawa tadi. Setengah jam kemudian Arina tersadar. Tubuhnya masih lemah. Dia masih ada di rumahnya lalu melihat ada sosok Andre masih ada di sana. "Kok belum pulang, Ndre?" tanya Arina dengan suara lemah. "Iya, Bu, saya nunggu Ibu siuman. Ini saya sudah buatkan teh hangat buat Ibu, diminum sekarang ya, Bu." Andre memberikan gelas teh pada Arina. Arina pun meminumnya walau hanya seteguk. Dia berikan gelas itu lagi pada Andre. "Kamu mau ngapain ke sini, Ndre? Apa ada yang nyari saya?" "O
Arina terpaksa menganggukkan kepala. Tidak ada gunanya merahasiakan kehamilannya pada sang mama karena mamanya pun seorang dokter."Ya Allah, kenapa enggak bilang? Kamu ngidam ya, Rin? Kalau gitu tunggu di sini, Mama mau masakin makanan yang bisa kamu makan, ya."Arina bisa bernapas lega karena mamanya ternyata tidak marah. Lagi pula kenapa dia harus marah? Anaknya hamil karena memiliki suami. Tidak ada yang salah dengan itu.Sepuluh menit kemudian Novita--mamanya Arina masuk ke kamarnya membawa nampan berisi makanan dan air minum. Dia letakkan nampan itu di nakas di dekat tempat tidur Arina. Novita mengambil piring dan memberikan pada Arina. "Makan dulu, Rin, makanan ini bisa kamu makan dan enggak akan bikin mual." Arina menuruti mamanya. Dia pun menyendokkan nasi ke dalam mulut, benar kata mamanya, Arina tidak merasakan mual setelah makan itu. Selesai menghabiskan satu piring nasi pun Arina tidak merasakan mual setelahnya. Dia kembalikan piring nya pada sang mama. "Makasih ya, M
Mata Arina membulat saat dia melihat pria yang menjadi supir taksi di hadapannya membuka topi untuk menutupi wajahnya. Arina terkejut melihat suami yang dia rindukan kini berada di hadapannya. Arina ingin marah dan melampiaskan pada suamimu itu, tetapi dia menahan diri agar tidak melakukan itu di depan banyak orang. "Mas Yudhi? Aku baik, alhamdulillah. Mas apa kabar?" "Sama baik juga kayak kamu, alhamdulillah." Reaksi orang tua Arina biasa saja saat melihat Yudhi berada di sana. Mereka membawa koper masing-masing. Di sana orang tua Arina memesan satu kamar untuk mereka dan satu kamar lagi untuk Arina dan Yudhi. Keduanya menuju kamar hotel dalam diam. Arina sibuk dengan perasaannya sendiri begitu juga dengan Yudhi yang ingin sekali memeluk Arina karena sudah lama menahan rindu karena tidak bertemu dengan Arina. Sampai di dalam kamar, setelah meletakkan koper, Arina mencari tempat duduk. Ada sofa di dekat ranjang dan dia pun duduk di sana sambil melipat tangan di depan dada. Yudhi
Yudhi tetap memaksa mengantar Arina sampai ke rumahnya, tentu saja bersama orang tua Arina. Sampai di rumah Arina, Yudhi tidak masuk rumah dulu, tetapi langsung pamit dan Arina tidak menggubrisnya sama sekali. Setelah kepulangan Yudhi, Arya mengajak anaknya bicara di kamar. Dia sendiri kasihan melihat Yudhi diabaikan oleh anaknya. Ada hal yang masih belum dipahami oleh Arina, tetapi semua itu dilakukan orang tuanya demi kebaikan anaknya sendiri. "Rin, Papa tahu kamu pengennya pernikahanmu seperti kebanyakan orang, tapi kamu bukan menikah dengan orang biasa. Yudhi itu sekarang ini nyawanya sedang terancam. Kamu tahu sendiri kan karena pernah menyelamatkan nyawanya sebelum kalian menikah. Bagaimana pun juga dia tetap suamimu, Rin. Jangan abaikan dia seperti itu," ucap Arya sambil duduk di tepi ranjang Arina. Pria itu mengusap lembut pundak anaknya yang sedang berbaring membelakanginya. Arina menarik napas dalam-dalam untuk menekan rasa kesalnya. "Sekarang Papa sama mama kan tahu Mas
Yudhi membawa Arina ke dapur di unit apartemen milik istrinya. Di sana sudah tersedia peralatan dapur lengkap dan sebuah lemari es yang isinya sudah penuh dengan berbagai jenis sayur dan protein yang bisa dimasak. "Kamu kan biasa masak, Rin, terus Mas juga lebih suka masak, jadi mulai besok pagi kita masak sarapan lalu malamnya kamu bisa masak atau kita masak bareng. Yah, itu tergantung kapan Mas pulang ke apartemen." Arina menganggukkan kepala. Dia lihat suaminya sudah mempersiapkan semua dengan baik, bahkan dia pun belum terpikir sampai ke situ. Yang Arina pikirkan selama tinggal di sana dia akan sering membeli makanan di luar. "Terus kalau bahan makanannya habis aku yang belanja, Mas?" tanya Arina membayangkan dia harus belanja sendiri dan membawa banyak bawaan dari supermarket. "Ya jangan dong, nanti kamu capek. Kita pesen semua lewat online aja, Mas ada toko langganan terus pesen pagi nanti siangnya diterima sama pembantu di sini, dia yang akan merapikan semuanya di kulkas. M
Nanda tersenyum meremehkan Yudhi dan Arina. "Dokter pribadi, ya? Emang kamu tahu dokter ini dari rumah sakit mana?" "Tahu." Yudhi menyebutkan nama rumah sakit milik Arya tempat Arina bekerja. "Hmm ... jadi, kondisi kamu gimana, Yud setelah dirawat sama dokter ini? Namanya siapa sih?" Nanda berlagak tidak mengenal Arina dan benar-benar meremehkan Arina sebagai dokter. "Kondisiku sudah lebih baik, Nan. Oh ya, kamu mau ngapain ke sini selain mau nengokin aku?" tanya Yudhi penasaran. Sebelum ini dia selalu bersikap baik pada Nanda, tetapi entah kenapa kali ini melihat wajah Nanda saja sudah membuat Yudhi emosi dan ingin menghajar pria itu. Apa semua karena Arina? Pria yang ada di hadapannya saat ini pernah menyakiti hati istrinya dulu sebelum dia bertemu dengan Arina. Namun, tetap ada hal yang disyukuri Yudhi karena Nanda menyakiti Arina, dia menikah dengan perempuan itu dan Arina pun masih terjaga kehormatannya karena Nanda tidak pernah berhasil merayu Arina agar mau melayani nafsu b
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar
Yudhi merapikan selimut yang menutupi tubuh Arina. Dia akan bersiap untuk tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Pria itu pikir istrinya tidak akan siuman pada tengah malam, walaupun semua kemungkinan bisa terjadi. Sebelum tidur Yudhi berbisik di telinga istrinya."Kamu enggak usah khawatir lagi, Sayang. Nanda sudah meninggal ditabrak truk sewaktu dia melarikan diri tadi. Cepat sembuh ya, kasian Mas dan anak kita."Lalu dia kecup kening istrinya dengan lembut kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah seharian ini belum istirahat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pria itu pun sudah masuk ke alam mimpinya.Arina tengah berlari dengan kencang. Dalam keadaan hamil empat bulan dia terpaksa berlari dengan napas tersengal-sengal. Tidak ada pilihan lain baginya selain berlari menjauh dari pria yang sangat dia takuti sekarang.Perempuan itu tidak mau menyerah dan memberikan nyawanya dengan cuma-cuma pada pria yang pernah berencana untuk membunuh sang suami. Dia harus terus berlari untu
Yudhi dan Arina tiba di bandara. Pria itu mencari kursi roda untuk istrinya. Tubuh perempuan itu terlihat semakin lemah. Yudhi hanya bisa berharap mereka bisa tiba di Singapura secepatnya. Sebelum Nanda kabur dari rumah sakit."Sayang, kamu mau dibelikan camilan atau makanan berat?" tanya Yudhi saat mereka menuju ruang tunggu melewati banyak restoran.Arina menggelengkan kepala dengan lemah. Dia merasa tenaganya semakin berkurang dan kakinya pun terasa semakin lemah."Tapi, kamu harus makan, Sayang. Kalau kamu merasa enggak lapar paksakan untuk makan. Ingat kalau sekarang kamu sedang hamil. Ok." Yudhi membujuk Arina agar mau makan meskipun tidak nafsu makan.Perempuan itu tetap menggelengkan kepala. Dia sedang tidak ingin makan atau minum. Seakan dia lupa jika saat ini ada janin yang tumbuh di rahimnya.Yudhi merasa khawatir melihat kondisi Arina yang langsung drop. Dia tahu istrinya merasa sangat ketakutan. Usaha yang dia lakukan saat ini hanya bisa menjauhkan Arina dari Nanda.Saat
Kabar tentang Nanda yang masuk rumah sakit karena dipukuli tahanan lain dan dibawa ke rumah sakit sampai juga ke telinga Yudhi dan Arina. Perempuan itu kini merasa takut karena apabila Nanda ada di rumah sakit, pasti pria itu bisa kabur kapan saja dan mengincarnya."Aku takut, Mas."Yudhi memeluk tubuh Arina yang terasa dingin karena takut. Dia harus bisa menenangkan Arina dengan baik. Jangan sampai istrinya terlalu khawatir dan berakibat pada kandungan Arina yang saat ini dinyatakan sehat oleh dokter kandungan.Mereka sudah memeriksakan kandungan Arina kemarin. Calon bayi mereka tumbuh dengan sehat. Usia kandungan Arina masuk 16 minggu. Yudhi melihat senyuman istrinya terukir dengan manis dan dia tidak mau senyuman itu sampai hilang dari bibir Arina."Mas janji akan jagain kamu terus, Sayang. Jangan khawatir ya. Nanda enggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi."Yudhi pikir dia perlu menyewa bodyguard untuk menjaga istrinya selama Nanda masih berada di rumah sakit karena dia tidak bisa
Jantung Arina memompa darah lebih kencang karena gugup. Dia takut jika ada yang tahu rahasia yang masih dia simpan saat ini. Arina menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan tadi."Ah enggak kok. Saya nikah sama siapa? Pacar aja enggak ada sekarang. Jangan halu deh. Ya sudah ya, saya balik ke ruangan dulu."Ya, menghindar adalah lenih baik daripada terus berada di sana karena khawatir akan keceplosan lalu terpaksa berbohong karena tidak ingin ketahuan.Sampai di ruangannya, ponsel Arina berbunyi. Dia lihat di layar ada panggilan dari suaminya. Segera Arina menerima panggilan itu."Iya, Mas. Ada apa? Kangen ya sama aku. Padahal tadi pagi masih ketemu.""Kangen banget, Sayang. Kamu tahu enggak satu menit berpisah sama kamu rasanya kayak berpisah satu tahun saking lamanya."Arina tersenyum. Walaupun suaminya menggombal tetap terdengar manis di telinganya."Masa sih, Mas? Kalau gitu kita udah pisah berapa tahun nih?""Ribuan tahun, Sayang. Mana pulang kantor masih lama lagi, tambah
Setelah sarapan pagi di Villa, Yudhi mengajak Arina mencari rujak bali. Mereka minta tolong pada supir taksi untuk mengantar ke tempat rujak bali yang enak di sana.Ketika sarapan tadi, Yudhi sudah memastikan Arina sarapan dengan baik. Ada karbo yang dia makan. Pria itu tidak ingin istrinya sakit perut saat makan rujak bali.Tiba di tempat rujak, keduanya turun dan masuk tempat makan itu. Mereka duduk di tempat meja kosong yang ada di sana. Suasana tempat makan itu ramai. Bisa jadi apa yang dikatakan supir taksi tadi memang benar jika rujak bali di tempat itu memang enak."Kamu mau pesen yang mana, Sayang?" tanya Yudhi sambil melihat daftar menu. Dia merasa bingung karena tidak ada satu pun rujak yang biasa dia lihat di Jakarta."Pesen semua aja, Mas. Aku penasaran sama rasanya." Arina sudah tidak sabar mencoba semua macam rujak yang ada di sana."Kamu yakin pesen semua, Sayang? Siapa yang mau habiskan semua?""Aku, Mas. Kalau enggak habis, kita bawa ke villa."Yudhi menatap Arina den
Arya dan Novita yang ada di ruangan itu pun ingin ikut memberikan pendapatnya sebagai orang tua Arina dan tuan rumah."Tunggu sebentar, mohon izin saya mau mengungkapkan pendapat? Boleh atau tidak?" Semua menoleh ke arah Arya. Arina baru menyadari sudah melangkahi papanya bicara lebih dulu dan langsung pada orang tua Yudhi. Harusnya dia juga menyampaikan keinginannya pada papanya dulu baru nanti Arya yang menyampaikan pada orang tua Yudhi. "Astaghfirullah, Papa aku lupa. Maaf sudah melangkahi Papa." Arina tertunduk malu. "Sudah, Rin kamu enggak salah kok. Biar sekarang Papa yang menengahi. Kita cari jalan tengah bersama. Jadi, Arina mau resepsinya digelar secara sederhana, tapi Wahyu mau resepsinya mengundang kolega dan teman bisnis serta saudara, bukan begitu?" Semua menganggukkan kepala."Gini ya Arina, Wahyu, kami ini sebagai orang tua punya keluarga, teman dan rekan bisnis yang enggak dikenal Arina dan Yudhi. Terus kalian hanya ingin mengadakan resepsi sederhana? Jelas enggak
"Kok kamu bisa ada di sini, Yud? Bukannya kamu sudah ....?" Mulut Nanda ternganga dan matanya membulat melihat saudara sepupunya."Sudah apa, Nanda? Sudah mati? Kamu pikir aku bisa mati semudah itu?" Yudhi memandang Nanda dengan sorot mata mengintimidasi sambil terus berjalan mendekati pria itu. Nanda berjalan mundur dan semakin terpojok sampai punggungnya menabrak meja kerja sang kakek. "Kenapa cuma diam? Kaget lihat aku masih hidup? Tadi kamu bilang ada bukti kalau aku sudah meninggal, kenapa enggak ditunjukkan ke Kakek? Kamu simpan di mana buktinya? Di HP?" Yudhi terus mendesak Nanda sampai akhirnya pria itu memberikan ponselnya pada sang kakek. Dia tunjukkan foto surat kematian Yudhi pada sang kakek. "Kamu punya bukti fisiknya surat ini?" tanya sang kakek. "Ada, Kek." "Berikan padaku." Surat itu dia simpan dalam jas yang dia kenakan dan akan diberikan pada sang kakek. Dia keluarkan surat itu dari jas lalu dia berikan pada sang kakek. Sang kakek benar-benar tidak habis pikir
"Ok, kalau gitu aku akan kabari segera soal racun itu. Aku mau tanya nih Mas. Misalnya rencana ini berhasil, Mas mau ngasih apa buat aku karena sudah mau bantuin Mas Nanda?" tanya Arina dengan serius. "Kamu mau minta imbalan? Kamu mau balikan terus kita nikah? Kayaknya cuma itu yang bisa aku tawarkan ke kamu sebagai imbalan, kamu mau?" Arina diam sambil berpikir. Dia jelas tidak akan menerima imbalan dari Nanda soal tawaran pernikahan itu. Meskipun misalnya dia masih sendiri pun, dia tidak akan pernah mau menikah dengan pria seperti Nanda yang penuh dengan ambisi dan menghalalkan segala cara untuk mendapat yang dia mau. "Mas enggak ada tawaran lain nih? Aku enggak akan terima tawaran menikah itu, gimana nanti nasib perempuan yang ngarep jadi istri Mas Nanda? Aku enggak mau ngambil apa yang mereka mau." Arina menolak dengan alasan lain, bukan dengan menjelaskan jika dia sudah menikah. "Kamu mau uang? Bukankah orang tuamu kaya raya, Rin? Kenapa masih mengharap harta?" "Enggak. Aku