Nanda tersenyum meremehkan Yudhi dan Arina. "Dokter pribadi, ya? Emang kamu tahu dokter ini dari rumah sakit mana?" "Tahu." Yudhi menyebutkan nama rumah sakit milik Arya tempat Arina bekerja. "Hmm ... jadi, kondisi kamu gimana, Yud setelah dirawat sama dokter ini? Namanya siapa sih?" Nanda berlagak tidak mengenal Arina dan benar-benar meremehkan Arina sebagai dokter. "Kondisiku sudah lebih baik, Nan. Oh ya, kamu mau ngapain ke sini selain mau nengokin aku?" tanya Yudhi penasaran. Sebelum ini dia selalu bersikap baik pada Nanda, tetapi entah kenapa kali ini melihat wajah Nanda saja sudah membuat Yudhi emosi dan ingin menghajar pria itu. Apa semua karena Arina? Pria yang ada di hadapannya saat ini pernah menyakiti hati istrinya dulu sebelum dia bertemu dengan Arina. Namun, tetap ada hal yang disyukuri Yudhi karena Nanda menyakiti Arina, dia menikah dengan perempuan itu dan Arina pun masih terjaga kehormatannya karena Nanda tidak pernah berhasil merayu Arina agar mau melayani nafsu b
Mood Arina benar-benar menjadi buruk setelah pagi-pagi bertemu dengan Nanda. Rasa kesalnya pada pria itu sampai ke ubun-ubun. Ingin marah, tetapi tidak tahu harus melampiaskannya ke mana. Perempuan itu mencoba mencari penghiburan dengan mengirimkan pesan chat pada suaminya. Tidak perlu menunggu jawaban, Yudhi langsung menelepon Arina, dengan cepat perempuan itu pun menerima panggilan telepon dari suaminya. "Kenapa, Rin?" tanya Yudhi dengan penuh perhatian. "Aku lagi bete, Mas. Pagi-pagi udah dibikin kesel sama orang." "Oh, siapa yang bikin kesel? Cerita dong, Mas siap dengerin." Arina merasa aneh pada suaminya, Bisa-bisanya Yudhi pada jam kerja kantor malah mau mendengarkan curhatan istrinya seperti sedang tidak ada kerjaan saja. "Mas. Emang Mas lagi enggak ada kerjaan, ya?" "Kerjaan Mas banyak banget, Rin. Enggak habis-habis malah, tapi buat Mas dengerin curhatan kamu lebih penting daripada tumpukan berkas di meja ini. Kalau kamu sampai ngambek maka semua kerjaan ini jadi engga
Setelah jalan bersama sang suami, kini mood Arina mulai membaik. Saat ini mereka sudah kembali ke apartemen, Arina sedang mandi dan Yudhi menunggu di kamar. Selesai makan malam nanti Yudhi akan menagih cerita dari istrinya tentang apa yang terjadi hari itu. Yudhi melihat Arina keluar dari kamar mandi, pria itu pun tersenyum. "Rin, malam ini Mas yang masak ya, kamu nunggu aja sambil nonton TV." Yudhi mengajak Arina keluar dari kamar bersama. Pria itu mendorong punggung istrinya menuju sofa depan TV lalu dia menekan bahu Arina agar duduk di sofa itu. "Jangan ke mana-mana, ya. Tunggu di sini!" Yudhi meraih remote TV lalu menyalahkannya. Dia stel TV di siaran film romantis lalu dia tinggalkan istrinya menonton sendiri untuk memasak di dapur. Yudhi cukup mahir memasak di dapur. Dia memang sudah terbiasa memasak sendiri di apartemen, menu masakan sederhana dengan bahan simpel dia bisa, tetapi jika diminta memasak rendang atau opor dia menyerah. Setelah berkutat di dapur akhirnya Yudhi m
Jantung Yudhi berdebar kencang mendengar ucapan pria yang baru saja menerobos masuk ke ruangannya. Dia dekati pria yang belum dia kenal itu lalu tersenyum ramah. Saat itu Yudhi lupa pada janjinya dengan Arina. "Kita bisa bicara baik-baik kan, Pak, silakan duduk. Saya akan dengarkan keluh an Bapak." Yudhi menuntun pria itu menuju kursi yang ada di ruangannya. Dia pinta sekretarisnya ikut di dekatnya. "Jadi, apa masalahnya ya, Pak?" tanya Yudhi dengan baik-baik. Dia ingin semuanya menjadi jelas hari itu juga. "Pokoknya saya mau minta ganti rugi!" Pria itu kukuh dengan keinginannya. "Sebentar ya, Pak. Sebelum saya ganti rugi, tolong jelaskan dulu ada masalah apa? Kalau boleh tahu nama Bapak siapa?" "Saya Anwar. Saya datang ke sini mau minta ganti rugi. Seminggu yang lalu anak saya meninggal karena mengalami kecelakaan di proyek pembangunan apartemen PT. Bratajaya. Sampai saat ini belum ada satu pun perwakilan dari perusahaan ini yang datang ke rumah. Tidak ada omongan apa pun dan t
Hari ini Yudhi mengajak Arina bertemu orang tuanya. Sebelum memperkenalkan Arina secara langsung pada kedua orang tuanya, Yudhi lebih dulu menceritakan sosok Arina hingga kejadian yang menyebabkan keduanya harus menikah. Orang tua Yudhi tidak marah sama sekali karena baru diberitahu soal pernikahan dadakan yang terjadi pada anaknya. Mereka justru merasa senang karena Yudhi akhirnya menikah. Selama ini anak mereka terlihat sibuk dengan pekerjaan dan tampak tidak tertarik dengan perempuan. Mereka sempat khawatir Yudhi tidak mau menikah seumur hidupnya dan hanya setia pada pekerjaan saja. Kebahagiaan orang tua Yudhi tidak sampai di situ, mendengar Arina sedang hamil mereka semakin senang karena sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Yudhi meminta mereka berjanji untuk merahasiakan pernikahan anaknya sementara demi keselamatan Arina dan janin dalam kandungannya. "Kenapa enggak bilang pas kamu balik kemarin, Yud? Jadi, istrimu itu ada penyelamat sekaligus anak dari Arya, teman Papa?" pr
Yudhi tiba di dekat lokasi demo di salah satu tempat proyek pembangunan apartemen yang dibangun oleh perusahaannya. Arina sudah diantar ke rumah orang tuanya. Dia menemui kepala proyek pembangunan apartemen itu, tidak menemui masa yang berdemo."Yang pegang proyek ini Nanda, kan? Sekarang dia di mana?" tanya Yudhi pada kepala proyek bernama Bram. "Enggak bisa dihubungi, Pak." "Wah, gawat ini, dia ke mana sih? Ini yang demo tuntutan mereka apa?" "Mereka mau apartemen ini segera selesai dan bisa ditempati." "Terus apa masalahnya sampai pembangunan apartemen ini berjalan lambat?" Yudhi menghembuskan napas kasar. "Macet di keuangan, Pak." "Hah? Kok bisa? Semua proyek kan sudah ada lokasi dana masing-masing, kenapa bisa mandek kayak gini sih?" Yudhi mulai kesal karena itu. "Bapak coba bicara dengan Pak Nanda, apa yang terjadi dengan pengelolaan keuangan untuk pembangunan di sini. Saya enggak bisa banyak bicara, Pak." Yudhi kesal pada Nanda karena proyek yang dia pegang terjadi kete
Yudhi dan Arina sudah bersiap untuk berangkat ke tempat kerja masing-masing dari apartemen. Namun, Yudhi tidak mengantar Arina ke rumah sakit pagi itu. Perempuan itu memesan taksi untuk menuju rumah sakit. "Rin, nanti malam pulang ke rumah orang tuamu aja ya. Mas mau ada meeting nanti malam. Belum tahu pulangnya jam berapa, bisa tengah malam." "Aku enggak boleh nunggu di sini, Mas?" "Jangan. Mas enggak mau kamu sendirian di apartemen. Khawatir ada apa-apa, ya." Arina tahu suaminya selalu merasa khawatir padanya. Lebih baik dia menurut daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Ya, Mas. Nanti aku pulang ke rumah mama. Jadwal ke dokter kandungan nanti aku kabari, ya." Arina mencium punggung tangan suaminya lalu dia pun pamit berangkat ke rumah sakit dengan taksi. Mereka pun berpisah di parkiran. ***Arina sudah tiba di rumah sakit dan berada di ruangannya. Saat perempuan itu bersiap untuk praktek pagi, terdengar suara ketukan di pintu. "Masuk!" ucap Arina pada orang yang m
Yudhi sudah memanggil Nanda ke ruangannya. Pria itu sedang duduk berhadapan dengannya. Yudhi bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya antara dia dan sepupunya itu."Yud, aku mau cerita sesuatu sama kamu." Nanda bicara lebih dulu dan itu tidak disangka oleh Yudhi. Awalnya dia ingin langsung mengungkapkan semua kesalahan Nanda, tetapi karena pria itu bicara lebih dulu, dia biarkan sepupunya itu bicara. "Mau cerita apa? Silakan aja, aku akan dengerin cerita kamu." Nanda mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai agar tidak terlihat tegang. Pria itu mulai merangkai cerita. "Arina itu mantan pacarku. Kami hampir menikah." Yudhi sudah tidak terkejut lagi mendengar ucapan Nanda karena Arina sudah menceritakan semua padanya dan dia lebih percaya pada istrinya daripada saudara sepupunya sendiri sehingga Yudhi bisa bersikap biasa. "Oh ya? Terus hubungan kalian sekarang gimana?" Yudhi menampakan wajah penasarannya pada cerita dari Nanda. "Kami sudah putus karena Arina selingkuh
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar
Yudhi merapikan selimut yang menutupi tubuh Arina. Dia akan bersiap untuk tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Pria itu pikir istrinya tidak akan siuman pada tengah malam, walaupun semua kemungkinan bisa terjadi. Sebelum tidur Yudhi berbisik di telinga istrinya."Kamu enggak usah khawatir lagi, Sayang. Nanda sudah meninggal ditabrak truk sewaktu dia melarikan diri tadi. Cepat sembuh ya, kasian Mas dan anak kita."Lalu dia kecup kening istrinya dengan lembut kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah seharian ini belum istirahat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pria itu pun sudah masuk ke alam mimpinya.Arina tengah berlari dengan kencang. Dalam keadaan hamil empat bulan dia terpaksa berlari dengan napas tersengal-sengal. Tidak ada pilihan lain baginya selain berlari menjauh dari pria yang sangat dia takuti sekarang.Perempuan itu tidak mau menyerah dan memberikan nyawanya dengan cuma-cuma pada pria yang pernah berencana untuk membunuh sang suami. Dia harus terus berlari untu
Yudhi dan Arina tiba di bandara. Pria itu mencari kursi roda untuk istrinya. Tubuh perempuan itu terlihat semakin lemah. Yudhi hanya bisa berharap mereka bisa tiba di Singapura secepatnya. Sebelum Nanda kabur dari rumah sakit."Sayang, kamu mau dibelikan camilan atau makanan berat?" tanya Yudhi saat mereka menuju ruang tunggu melewati banyak restoran.Arina menggelengkan kepala dengan lemah. Dia merasa tenaganya semakin berkurang dan kakinya pun terasa semakin lemah."Tapi, kamu harus makan, Sayang. Kalau kamu merasa enggak lapar paksakan untuk makan. Ingat kalau sekarang kamu sedang hamil. Ok." Yudhi membujuk Arina agar mau makan meskipun tidak nafsu makan.Perempuan itu tetap menggelengkan kepala. Dia sedang tidak ingin makan atau minum. Seakan dia lupa jika saat ini ada janin yang tumbuh di rahimnya.Yudhi merasa khawatir melihat kondisi Arina yang langsung drop. Dia tahu istrinya merasa sangat ketakutan. Usaha yang dia lakukan saat ini hanya bisa menjauhkan Arina dari Nanda.Saat
Kabar tentang Nanda yang masuk rumah sakit karena dipukuli tahanan lain dan dibawa ke rumah sakit sampai juga ke telinga Yudhi dan Arina. Perempuan itu kini merasa takut karena apabila Nanda ada di rumah sakit, pasti pria itu bisa kabur kapan saja dan mengincarnya."Aku takut, Mas."Yudhi memeluk tubuh Arina yang terasa dingin karena takut. Dia harus bisa menenangkan Arina dengan baik. Jangan sampai istrinya terlalu khawatir dan berakibat pada kandungan Arina yang saat ini dinyatakan sehat oleh dokter kandungan.Mereka sudah memeriksakan kandungan Arina kemarin. Calon bayi mereka tumbuh dengan sehat. Usia kandungan Arina masuk 16 minggu. Yudhi melihat senyuman istrinya terukir dengan manis dan dia tidak mau senyuman itu sampai hilang dari bibir Arina."Mas janji akan jagain kamu terus, Sayang. Jangan khawatir ya. Nanda enggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi."Yudhi pikir dia perlu menyewa bodyguard untuk menjaga istrinya selama Nanda masih berada di rumah sakit karena dia tidak bisa
Jantung Arina memompa darah lebih kencang karena gugup. Dia takut jika ada yang tahu rahasia yang masih dia simpan saat ini. Arina menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan tadi."Ah enggak kok. Saya nikah sama siapa? Pacar aja enggak ada sekarang. Jangan halu deh. Ya sudah ya, saya balik ke ruangan dulu."Ya, menghindar adalah lenih baik daripada terus berada di sana karena khawatir akan keceplosan lalu terpaksa berbohong karena tidak ingin ketahuan.Sampai di ruangannya, ponsel Arina berbunyi. Dia lihat di layar ada panggilan dari suaminya. Segera Arina menerima panggilan itu."Iya, Mas. Ada apa? Kangen ya sama aku. Padahal tadi pagi masih ketemu.""Kangen banget, Sayang. Kamu tahu enggak satu menit berpisah sama kamu rasanya kayak berpisah satu tahun saking lamanya."Arina tersenyum. Walaupun suaminya menggombal tetap terdengar manis di telinganya."Masa sih, Mas? Kalau gitu kita udah pisah berapa tahun nih?""Ribuan tahun, Sayang. Mana pulang kantor masih lama lagi, tambah
Setelah sarapan pagi di Villa, Yudhi mengajak Arina mencari rujak bali. Mereka minta tolong pada supir taksi untuk mengantar ke tempat rujak bali yang enak di sana.Ketika sarapan tadi, Yudhi sudah memastikan Arina sarapan dengan baik. Ada karbo yang dia makan. Pria itu tidak ingin istrinya sakit perut saat makan rujak bali.Tiba di tempat rujak, keduanya turun dan masuk tempat makan itu. Mereka duduk di tempat meja kosong yang ada di sana. Suasana tempat makan itu ramai. Bisa jadi apa yang dikatakan supir taksi tadi memang benar jika rujak bali di tempat itu memang enak."Kamu mau pesen yang mana, Sayang?" tanya Yudhi sambil melihat daftar menu. Dia merasa bingung karena tidak ada satu pun rujak yang biasa dia lihat di Jakarta."Pesen semua aja, Mas. Aku penasaran sama rasanya." Arina sudah tidak sabar mencoba semua macam rujak yang ada di sana."Kamu yakin pesen semua, Sayang? Siapa yang mau habiskan semua?""Aku, Mas. Kalau enggak habis, kita bawa ke villa."Yudhi menatap Arina den
Arya dan Novita yang ada di ruangan itu pun ingin ikut memberikan pendapatnya sebagai orang tua Arina dan tuan rumah."Tunggu sebentar, mohon izin saya mau mengungkapkan pendapat? Boleh atau tidak?" Semua menoleh ke arah Arya. Arina baru menyadari sudah melangkahi papanya bicara lebih dulu dan langsung pada orang tua Yudhi. Harusnya dia juga menyampaikan keinginannya pada papanya dulu baru nanti Arya yang menyampaikan pada orang tua Yudhi. "Astaghfirullah, Papa aku lupa. Maaf sudah melangkahi Papa." Arina tertunduk malu. "Sudah, Rin kamu enggak salah kok. Biar sekarang Papa yang menengahi. Kita cari jalan tengah bersama. Jadi, Arina mau resepsinya digelar secara sederhana, tapi Wahyu mau resepsinya mengundang kolega dan teman bisnis serta saudara, bukan begitu?" Semua menganggukkan kepala."Gini ya Arina, Wahyu, kami ini sebagai orang tua punya keluarga, teman dan rekan bisnis yang enggak dikenal Arina dan Yudhi. Terus kalian hanya ingin mengadakan resepsi sederhana? Jelas enggak
"Kok kamu bisa ada di sini, Yud? Bukannya kamu sudah ....?" Mulut Nanda ternganga dan matanya membulat melihat saudara sepupunya."Sudah apa, Nanda? Sudah mati? Kamu pikir aku bisa mati semudah itu?" Yudhi memandang Nanda dengan sorot mata mengintimidasi sambil terus berjalan mendekati pria itu. Nanda berjalan mundur dan semakin terpojok sampai punggungnya menabrak meja kerja sang kakek. "Kenapa cuma diam? Kaget lihat aku masih hidup? Tadi kamu bilang ada bukti kalau aku sudah meninggal, kenapa enggak ditunjukkan ke Kakek? Kamu simpan di mana buktinya? Di HP?" Yudhi terus mendesak Nanda sampai akhirnya pria itu memberikan ponselnya pada sang kakek. Dia tunjukkan foto surat kematian Yudhi pada sang kakek. "Kamu punya bukti fisiknya surat ini?" tanya sang kakek. "Ada, Kek." "Berikan padaku." Surat itu dia simpan dalam jas yang dia kenakan dan akan diberikan pada sang kakek. Dia keluarkan surat itu dari jas lalu dia berikan pada sang kakek. Sang kakek benar-benar tidak habis pikir
"Ok, kalau gitu aku akan kabari segera soal racun itu. Aku mau tanya nih Mas. Misalnya rencana ini berhasil, Mas mau ngasih apa buat aku karena sudah mau bantuin Mas Nanda?" tanya Arina dengan serius. "Kamu mau minta imbalan? Kamu mau balikan terus kita nikah? Kayaknya cuma itu yang bisa aku tawarkan ke kamu sebagai imbalan, kamu mau?" Arina diam sambil berpikir. Dia jelas tidak akan menerima imbalan dari Nanda soal tawaran pernikahan itu. Meskipun misalnya dia masih sendiri pun, dia tidak akan pernah mau menikah dengan pria seperti Nanda yang penuh dengan ambisi dan menghalalkan segala cara untuk mendapat yang dia mau. "Mas enggak ada tawaran lain nih? Aku enggak akan terima tawaran menikah itu, gimana nanti nasib perempuan yang ngarep jadi istri Mas Nanda? Aku enggak mau ngambil apa yang mereka mau." Arina menolak dengan alasan lain, bukan dengan menjelaskan jika dia sudah menikah. "Kamu mau uang? Bukankah orang tuamu kaya raya, Rin? Kenapa masih mengharap harta?" "Enggak. Aku