Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik, dia sudah pasti bisa, tetapi untuk urusan kewajiban sebagai istri di ranjang dia tidak yakin bisa melakukan itu tanpa perasaan cinta. Tunggu? Apakah dia harus melakukan hal itu? Arina dibuat pusing karenanya. Saat mendengar azan subuh, Arina turun dari ranjang untuk menunaikan salat subuh. Dia tahu jika malam ini tidak tidur dia pasti tidak bisa konsentrasi saat praktek pagi ini. Selesai salat dia menuju dapur untuk masak sarapan untuknya dan suami. Saat itu Yudhi belum boleh melakukan banyak aktivitas. Sehingga Arina mengurus kebutuhan makannya dan membantu menyembuhkan luka di perut Yudhi. Arina mengetuk pintu kamar pria itu, dia pun masuk membawa nampan yang berisi sarapan. Pagi itu Arina memasak mi rebus dengan telur, makanan yang kurang sehat, tetapi pagi itu dia hanya punya itu untuk dimakan. Dia berjalan mendekati ranjang lalu duduk di tepinya. Dengan perasaan canggung pria itu mengangkat kaus yang dipakai Yudhi untuk memeriksa lukanya. Seperti biasa dia harus merawat luka pria itu di pagi dan sore hari. Entah kenapa pagi ini perasaannya tidak seperti biasa. Jika biasanya dia akan bersikap biasa pada Yudhi seperti pada pasiennya yang lain, tetapi pagi ini ada debaran aneh yang dia rasakan saat mengangkat kaus pria itu dan membersihkan lukanya. Begitu pun dengan Yudhi, entah kenapa pagi ini dia menjadi menatap Arina terus dengan lekat. Semua yang dilakukan Arina tidak lepas dari pandangannya sedikit pun. Apa seperti itu rasanya diurus oleh seorang istri? pikirnya. "Sarapannya dimakan ya Mas. Nanti bekas makannya aku ambil setelah mandi." Arina memanggil Yudhi Mas karena setelah berkenalan dia tahu pria itu usianya lebih tua empat tahun dari Arina. Tidak mungkin dia memanggil pria itu dengan nama saja. "Iya, terima kasih, Rin. Oh ya, terima kasih juga karena kamu sudah banyak berkorban buat membantu saya sampai rela menikah dengan saya. Saya cuma bisa bilang, saya akan menjaga kamu dengan baik. Selain itu saya tidak bisa menjanjikan apa-apa dalam keadaan seperti ini. Maaf." "Iya Mas, aku paham kok. Kita menikah karena terpaksa, tapi saya harap pernikahan bisa kita jalani dengan baik. Saya mau siap-siap ke praktek dulu, ya. Mas banyakin istirahat aja. Nanti siang aku pulang buat ngurus makan siang Mas." Arina keluar dari kamar Yudhi lalu menuju kamarnya. Bukan Yudhi tidak mau memberikan nafkah pada Arina, tetapi ponsel, dompetnya hilang sehingga dia tidak bisa memberikan uang atau mengirimkan uang pada Arina untuk biaya makan mereka berdua. Arina lupa memberitahukan Yudhi jika papanya akan datang. Siang itu menjelang makan siang, papanya Arina datang ke rumah itu. Yudhi agak terkejut ketika bersalaman dengan papa mertuanya. Mereka pun saling berkenalan. "Yudhistira." "Arya." "Masuk, Pak." Tidak lupa Yudhi mencium tangan papa mertuanya lalu mereka duduk di sofa ruang tengah rumah itu. Saat Yudhi akan mengambilkan air minum, Arya melarang. Arina sudah memberitahu jika Yudhi terluka di bagian perutnya. Arya tidak ingin membuat menantunya itu banyak bergerak. Arya kagum melihat wajah Tampan yang dimiliki menantunya itu, tetapi dia masih belum berhasil mengingat siapa Yudhi karena merasa seperti pernah mengenalnya. "Arina sudah cerita sedikit tentang kamu. Maaf, tadi malam saya tidak bisa datang ke sini. Jadi, baru tadi pagi berangkat ke sini." Justru Yudhi yang merasa tidak enak. "Enggak apa-apa kok, Pak. Mestinya saya yang minta maaf, sudah banyak merepotkan Arina. Dia sudah mau menampung saya di sini, tapi malah harus menikah dengan saya. Saya minta maaf dengan Bapak karena tidak datang secara baik-baik untuk melamar Arina sebelum kami menikah." "Saya paham situasinya darurat. Jadi, kita jalani saja. Saya titip tolong jaga Arina dengan baik. Jangan sakiti perasaannya karena itu sama saja dengan menyakiti perasaan saya. Saya mau jujur sedikit nih, sebenarnya Arina datang ke sini karena dia dibuat patah hati oleh pacarnya yang selingkuh dengan sahabatnya sendri. Saya tahu dia merasakan sakit hati yang amat dalam. Jadi, tolong jangan sampai itu terjadi lagi. Saya tidak segan akan meminta kalian berpisah." Wajah Arya terlihat sedih. "Saya janji akan menjaga Arina dengan baik. Untuk urusan perempuan lain, saya pastikan saya tidak akan berselingkuh." 'Karena saya tidak ada waktu untuk selingkuh karena sibuknya pekerjaan. Bahkan pacaran pun belum pernah,' batin Yudhi yang tidak bisa dia ungkapkan di depan Arya. Dia masih menyembunyikan identitas aslinya. "Saya pegang janji kamu ya." Arina masuk rumah membawa makanan yang dia beli di warung dekat rumah sakit. Hari itu dia tidak ingin memasak karena masih mengantuk dan rencananya setelah makan Arina akan tidur. "Papa!" teriak Arina saat masuk rumah setelah meletakan barang bawaannya di meja. Sebelum masuk rumah dia sudah melihat mobil papanya di depan. Arina bergegas mendekati Arya dan memeluknya. Bulir bening mengalir dari kedua matanya. Arya menghapus air mata Arina di pipinya. "Kenapa nangis? Kamu enggak salah apa-apa kok, Sayang." Arya membelai rambut anak kesayangannya. Merasa kasihan dengan anaknya. "Aku kira papa enggak jadi ke sini, tadi lupa bilang Mas Yudhi. Papa mau minum apa?" "Sudah duduk aja di sini dulu. Kamu kan masih capek. Kita ngobrol lagi bertiga di sini." Arina menganggukkan kepala. Dia juga masih kangen pada papanya setelah beberapa minggu tidak ketemu dan ingin menghabiskan waktu bersama Arya. "Oh ya, kalian kan sudah menikah walaupun dipaksa, tapi pernikahan kalian bukan sebuah permainan, harus ada tujuannya, enggak cuma sekedar menikah saja. Jadi, apa kalian ada pikiran buat ngasih papa cucu?""Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya. "Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya b
"Dokter! Tolong dokter!" teriak beberapa warga di depan rumah dokter Arina. Arina Seorang perempuan cantik bergelar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu desa di kota Serang. Arina yang sudah akan beristirahat malam keluar dari kamar menuju pintu depan setelah mendengar teriakan warga sekitar. Dia pun membuka pintu lalu terperanjat melihat pemandangan di hadapannya. Empat orang warga membawa seorang pria berwajah tampan. Pria itu tidak sadarkan diri dengan luka tusuk di bagian perut sebelah kiri. Tubuh pria itu bersimbah darah dan darah masih mengalir dari luka di bagian perutnya. "Tolong selamatkan laki-laki ini dokter," pinta salah seorang warga. "Dia siapa, Pak?" "Kami tidak kenal dengan laki-laki ini. Dia tergeletak di pinggir jalan, kami menemukannya tadi pas pulang dari pengajian di rumah Pak Ahmad. Kami langsung bawa laki-laki ini ke sini, ke rumah dokter." Arina merasa agak takut membantu pria itu. Bagaimana jika pria itu adalah orang jahat, pikir Arina
Arina mengerutkan dahi saat melihat pria tampan yang dia tolong itu tiba-tiba berteriak. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada pria itu, pikirnya. Arina menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia harus tahu tentang itu semua agar bisa membantu pria itu ke depannya. Arina sudah berhasil menyingkirkan perasaan takutnya pada pria itu dan berpikir jika pria itu ada korban dari sebuah rencana pembunuhan. "Semua bagus kok, Dok, tinggal tunggu pasiennya siuman aja," jawab perawat pada Arina. "Ok, kalau dia siuman segera telepon saya, ya." Arina memeriksa angka-angka yang tertera pada alat yang tersambung pada tubuh pria yang dia belum tahu namanya itu. Mulai dari tekanan darah dan lainnya serta memeriksa cairan infusnya. "Oh ya, transfusi darahnya sudah selesai?" Arina baru ingat karena di lengan pria itu hanya tersambung selang infus saja. "Sudah semua kok, Dok." "Ok. Makasih ya, saya balik ke ruangan dulu. Nanti saya ke sini lagi." Arina pun kelua
Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang."Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada
Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya. "Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya b
"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik
Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang."Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada
Arina mengerutkan dahi saat melihat pria tampan yang dia tolong itu tiba-tiba berteriak. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada pria itu, pikirnya. Arina menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia harus tahu tentang itu semua agar bisa membantu pria itu ke depannya. Arina sudah berhasil menyingkirkan perasaan takutnya pada pria itu dan berpikir jika pria itu ada korban dari sebuah rencana pembunuhan. "Semua bagus kok, Dok, tinggal tunggu pasiennya siuman aja," jawab perawat pada Arina. "Ok, kalau dia siuman segera telepon saya, ya." Arina memeriksa angka-angka yang tertera pada alat yang tersambung pada tubuh pria yang dia belum tahu namanya itu. Mulai dari tekanan darah dan lainnya serta memeriksa cairan infusnya. "Oh ya, transfusi darahnya sudah selesai?" Arina baru ingat karena di lengan pria itu hanya tersambung selang infus saja. "Sudah semua kok, Dok." "Ok. Makasih ya, saya balik ke ruangan dulu. Nanti saya ke sini lagi." Arina pun kelua
"Dokter! Tolong dokter!" teriak beberapa warga di depan rumah dokter Arina. Arina Seorang perempuan cantik bergelar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu desa di kota Serang. Arina yang sudah akan beristirahat malam keluar dari kamar menuju pintu depan setelah mendengar teriakan warga sekitar. Dia pun membuka pintu lalu terperanjat melihat pemandangan di hadapannya. Empat orang warga membawa seorang pria berwajah tampan. Pria itu tidak sadarkan diri dengan luka tusuk di bagian perut sebelah kiri. Tubuh pria itu bersimbah darah dan darah masih mengalir dari luka di bagian perutnya. "Tolong selamatkan laki-laki ini dokter," pinta salah seorang warga. "Dia siapa, Pak?" "Kami tidak kenal dengan laki-laki ini. Dia tergeletak di pinggir jalan, kami menemukannya tadi pas pulang dari pengajian di rumah Pak Ahmad. Kami langsung bawa laki-laki ini ke sini, ke rumah dokter." Arina merasa agak takut membantu pria itu. Bagaimana jika pria itu adalah orang jahat, pikir Arina