Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya.
"Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya berdesir dan menjadi canggung saat hanya berdua saja dengan suaminya. Yudhi naik ke atas ranjang lalu berbaring di sisi ranjang yang kosong. Arina masih merasa agak kesal dengan pria itu yang melarangnya tidur di sofa tadi. Perempuan itu pun mengambil selimut dan dia bentangkan di lantai. Dia mengambil satu bantal lalu berbaring di sana. "Kamu tidur aja di atas, Rin, biar saya yang tidur di lantai." Suara Yudhi mengejutkan Arina saat dia baru saja memejamkan matanya. Membuat rasa kesal Arina datang kembali. "Jangan Mas biar aku aja yang tidur di lantai. Mas kan masih harus recovery jadi jangan tidur di lantai." Arina masih ada rasa peduli pada suaminya. "Nanti kamu sakit loh, Rin." Pria itu tidak rela melihat Arina tidur di lantai sementara dia tidur dengan nyaman di ranjang. Tanpa pikir panjang, Yudhi mengangkat tubuh Arina lalu menggendongnya ke ranjang. Dia baringkan Arina di sana. Arina panik karena dia mengkhawatirkan luka di perut pria itu. "Duduk di sini, Mas!" Arina menepuk ranjang kosong di sebelahnya. Yudhi pun menuruti permintaan Arina duduk di ranjang. Dengan gerak cepat Arina mengangkat kaus pria itu dan memeriksa lukanya. "Sakit enggak, Mas? Nanti jangan kayak gitu lagi ya karena luka di perut Mas kan belum kering." Arina khawatir luka itu terbuka lagi karena Yudhi mengangkat tubuhnya yang berat. Yudhi menggelengkan kepala, tetapi dia merasakan sedikit berdenyut di bagian lukanya. Namun, pria itu tidak mau membuat Arina khawatir dengan berbohong. "Alhamdulillah kalau gitu, udah Mas tidur aja di ranjang biar aku yang di bawah, ya. Aku khawatir kalau kita tidur berdua Mas nanti Mas kesakitan karena aku tidurnya enggak bisa diem." 'Lagian kenapa harus tidur sekamar sih? Memang kami udah nikah, tapi kan enggak saling cinta, apa bisa melakukan itu tanpa cinta?' batin Arina lalu segera menepis apa yang dia bayangkan. "Enggak apa-apa, kamu jangan tidur di bawah pokoknya." Arina tidak menggubris ucapan Yudhi, dia tetap turun dan berbaring di lantai. Pria itu pun mengikuti Arina turun ke lantai dan berbaring di sebelahnya. Arina menatap pria itu dengan sorot mata tidak suka lalu menghembuskan napas berat. "Ya sudah aku tidur di ranjang, tapi Mas janji ya enggak boleh macem-macem sama aku." Arina bangun lalu menuju ranjang, dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Yudhi pun mengikuti Arina ke ranjang. Dia meletakkan satu buah bantal di antara mereka. "Mas janji enggak akan ngapa-ngapain kamu kok. Lagian perut Mas juga masih belum sembuh benar. Emang yang ada di pikiran kamu cuma itu ya, Rin?" Yudhi tersenyum menggoda Arina. Wajah Arina memerah, tetapi karena hari itu terasa melelahkan dia pun segera tidur beberapa menit setelah memejamkan mata. Yudhi tidak langsung tertidur. Ada yang harus dia urus, bohong jika dia tidak tertarik dengan Arina dengan tubuhnya yang sempurna untuk seorang wanita apalagi mereka sudah menikah maka sangat boleh jika dia ingin melakukan sesuatu dengan Arina, tetapi dia tidak akan pernah memaksa Arina jika perempuan itu tidak meminta haknya lebih dulu. Besoknya Arina terbangun lebih dulu saat masih subuh. Ketika membuka mata perempuan itu terperanjat lalu bergerak menjauh dari Yudhi. Dia masih tidak percaya Bagaimana bisa ketika terbangun dalam posisi memeluk tubuh Yudhi. Arina mengusap kedua lengannya seperti jijik pada dirinya sendiri yang tanpa sengaja memeluk pria itu. Yudhi pun terbangun karena merasakan pergerakan Arina di ranjang. Pria itu tidak tahu jika tadi Arina memeluknya saat tidur. "Kamu udah bangun? Salat dulu, yuk!" Yudhi turun dari ranjang lebih dulu akan menuju kamar mandi. Sementara Arina masih memandangi pria itu dengan perasaan aneh. Dia kesal karena Yudhi tidak tahu jika tadi Arina memeluknya. Lalu Arina mengharap apa? Dia ingin Yudhi tahu jika dia memeluknya, kan? Tidak mungkin! Arina menggelengkan kepalanya dengan keras. Dia pun segera turun dari ranjang untuk salat lalu membangunkan papanya. Hari itu papanya akan kembali ke rumah dan Arina harus bergegas membuat sarapan. Tidak mungkin dia membiarkan papanya pulang ke rumah dalam keadaan perut kosong. Saat menyiapkan sarapan di dapur, Yudhi membantu Arina. Dia tidak mau hanya duduk diam menunggu sarapan tersaji di meja dan Arina sendiri yang melakukannya. Walau hanya membantu sedikit. Sarapan siap. Nasi dan lauk seadanya tersaji di meja. Arina puas bisa menyiapkan semuanya sebelum papanya kembali ke rumah. "Wah, sarapannya enak nih kayaknya pasti anak Papa yang masak ya? Wangi banget." Arya memuji masakan anaknya. Arya sudah mandi dan berpakaian rapi. Arina biarkan papanya sarapan lebih dulu bersama Yudhi karena dia harus mandi dan juga berganti pakaian. Lalu bergabung sarapan dengan dua pria itu di meja. Selesai sarapan, Arya pamit kembali ke Jakarta. Dia menitipkan anaknya pada Yudhi agar dijaga dengan baik, dia pun berjanji pada pria paruh baya itu. Arina dan Yudhi melepas kepergian Arya kembali ke Jakarta. Kemudian Arina bersiap dan menuju rumah sakit untuk bekerja. Di rumah Yudhi sedang menelepon orang kepercayaannya. Wajahnya terlihat serius. Dia menggunakan ponsel yang dipinjamkan Arina padanya. "Minggu depan saya jemput Bapak semua sudah aman terkendali," ucap seorang pria di seberang panggilan. Entah kenapa mendengar ucapan itu Yudhi menjadi sedih, seakan tidak rela meninggalkan Arina di sana sendirian, apa dia sudah mulai menyukai perempuan yang kini berstatus istrinya itu?"Dokter! Tolong dokter!" teriak beberapa warga di depan rumah dokter Arina. Arina Seorang perempuan cantik bergelar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu desa di kota Serang. Arina yang sudah akan beristirahat malam keluar dari kamar menuju pintu depan setelah mendengar teriakan warga sekitar. Dia pun membuka pintu lalu terperanjat melihat pemandangan di hadapannya. Empat orang warga membawa seorang pria berwajah tampan. Pria itu tidak sadarkan diri dengan luka tusuk di bagian perut sebelah kiri. Tubuh pria itu bersimbah darah dan darah masih mengalir dari luka di bagian perutnya. "Tolong selamatkan laki-laki ini dokter," pinta salah seorang warga. "Dia siapa, Pak?" "Kami tidak kenal dengan laki-laki ini. Dia tergeletak di pinggir jalan, kami menemukannya tadi pas pulang dari pengajian di rumah Pak Ahmad. Kami langsung bawa laki-laki ini ke sini, ke rumah dokter." Arina merasa agak takut membantu pria itu. Bagaimana jika pria itu adalah orang jahat, pikir Arina
Arina mengerutkan dahi saat melihat pria tampan yang dia tolong itu tiba-tiba berteriak. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada pria itu, pikirnya. Arina menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia harus tahu tentang itu semua agar bisa membantu pria itu ke depannya. Arina sudah berhasil menyingkirkan perasaan takutnya pada pria itu dan berpikir jika pria itu ada korban dari sebuah rencana pembunuhan. "Semua bagus kok, Dok, tinggal tunggu pasiennya siuman aja," jawab perawat pada Arina. "Ok, kalau dia siuman segera telepon saya, ya." Arina memeriksa angka-angka yang tertera pada alat yang tersambung pada tubuh pria yang dia belum tahu namanya itu. Mulai dari tekanan darah dan lainnya serta memeriksa cairan infusnya. "Oh ya, transfusi darahnya sudah selesai?" Arina baru ingat karena di lengan pria itu hanya tersambung selang infus saja. "Sudah semua kok, Dok." "Ok. Makasih ya, saya balik ke ruangan dulu. Nanti saya ke sini lagi." Arina pun kelua
Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang."Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada
Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik
"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya. "Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya b
"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik
Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang."Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada
Arina mengerutkan dahi saat melihat pria tampan yang dia tolong itu tiba-tiba berteriak. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada pria itu, pikirnya. Arina menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia harus tahu tentang itu semua agar bisa membantu pria itu ke depannya. Arina sudah berhasil menyingkirkan perasaan takutnya pada pria itu dan berpikir jika pria itu ada korban dari sebuah rencana pembunuhan. "Semua bagus kok, Dok, tinggal tunggu pasiennya siuman aja," jawab perawat pada Arina. "Ok, kalau dia siuman segera telepon saya, ya." Arina memeriksa angka-angka yang tertera pada alat yang tersambung pada tubuh pria yang dia belum tahu namanya itu. Mulai dari tekanan darah dan lainnya serta memeriksa cairan infusnya. "Oh ya, transfusi darahnya sudah selesai?" Arina baru ingat karena di lengan pria itu hanya tersambung selang infus saja. "Sudah semua kok, Dok." "Ok. Makasih ya, saya balik ke ruangan dulu. Nanti saya ke sini lagi." Arina pun kelua
"Dokter! Tolong dokter!" teriak beberapa warga di depan rumah dokter Arina. Arina Seorang perempuan cantik bergelar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu desa di kota Serang. Arina yang sudah akan beristirahat malam keluar dari kamar menuju pintu depan setelah mendengar teriakan warga sekitar. Dia pun membuka pintu lalu terperanjat melihat pemandangan di hadapannya. Empat orang warga membawa seorang pria berwajah tampan. Pria itu tidak sadarkan diri dengan luka tusuk di bagian perut sebelah kiri. Tubuh pria itu bersimbah darah dan darah masih mengalir dari luka di bagian perutnya. "Tolong selamatkan laki-laki ini dokter," pinta salah seorang warga. "Dia siapa, Pak?" "Kami tidak kenal dengan laki-laki ini. Dia tergeletak di pinggir jalan, kami menemukannya tadi pas pulang dari pengajian di rumah Pak Ahmad. Kami langsung bawa laki-laki ini ke sini, ke rumah dokter." Arina merasa agak takut membantu pria itu. Bagaimana jika pria itu adalah orang jahat, pikir Arina