Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya.
"Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya berdesir dan menjadi canggung saat hanya berdua saja dengan suaminya. Yudhi naik ke atas ranjang lalu berbaring di sisi ranjang yang kosong. Arina masih merasa agak kesal dengan pria itu yang melarangnya tidur di sofa tadi. Perempuan itu pun mengambil selimut dan dia bentangkan di lantai. Dia mengambil satu bantal lalu berbaring di sana. "Kamu tidur aja di atas, Rin, biar saya yang tidur di lantai." Suara Yudhi mengejutkan Arina saat dia baru saja memejamkan matanya. Membuat rasa kesal Arina datang kembali. "Jangan Mas biar aku aja yang tidur di lantai. Mas kan masih harus recovery jadi jangan tidur di lantai." Arina masih ada rasa peduli pada suaminya. "Nanti kamu sakit loh, Rin." Pria itu tidak rela melihat Arina tidur di lantai sementara dia tidur dengan nyaman di ranjang. Tanpa pikir panjang, Yudhi mengangkat tubuh Arina lalu menggendongnya ke ranjang. Dia baringkan Arina di sana. Arina panik karena dia mengkhawatirkan luka di perut pria itu. "Duduk di sini, Mas!" Arina menepuk ranjang kosong di sebelahnya. Yudhi pun menuruti permintaan Arina duduk di ranjang. Dengan gerak cepat Arina mengangkat kaus pria itu dan memeriksa lukanya. "Sakit enggak, Mas? Nanti jangan kayak gitu lagi ya karena luka di perut Mas kan belum kering." Arina khawatir luka itu terbuka lagi karena Yudhi mengangkat tubuhnya yang berat. Yudhi menggelengkan kepala, tetapi dia merasakan sedikit berdenyut di bagian lukanya. Namun, pria itu tidak mau membuat Arina khawatir dengan berbohong. "Alhamdulillah kalau gitu, udah Mas tidur aja di ranjang biar aku yang di bawah, ya. Aku khawatir kalau kita tidur berdua Mas nanti Mas kesakitan karena aku tidurnya enggak bisa diem." 'Lagian kenapa harus tidur sekamar sih? Memang kami udah nikah, tapi kan enggak saling cinta, apa bisa melakukan itu tanpa cinta?' batin Arina lalu segera menepis apa yang dia bayangkan. "Enggak apa-apa, kamu jangan tidur di bawah pokoknya." Arina tidak menggubris ucapan Yudhi, dia tetap turun dan berbaring di lantai. Pria itu pun mengikuti Arina turun ke lantai dan berbaring di sebelahnya. Arina menatap pria itu dengan sorot mata tidak suka lalu menghembuskan napas berat. "Ya sudah aku tidur di ranjang, tapi Mas janji ya enggak boleh macem-macem sama aku." Arina bangun lalu menuju ranjang, dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Yudhi pun mengikuti Arina ke ranjang. Dia meletakkan satu buah bantal di antara mereka. "Mas janji enggak akan ngapa-ngapain kamu kok. Lagian perut Mas juga masih belum sembuh benar. Emang yang ada di pikiran kamu cuma itu ya, Rin?" Yudhi tersenyum menggoda Arina. Wajah Arina memerah, tetapi karena hari itu terasa melelahkan dia pun segera tidur beberapa menit setelah memejamkan mata. Yudhi tidak langsung tertidur. Ada yang harus dia urus, bohong jika dia tidak tertarik dengan Arina dengan tubuhnya yang sempurna untuk seorang wanita apalagi mereka sudah menikah maka sangat boleh jika dia ingin melakukan sesuatu dengan Arina, tetapi dia tidak akan pernah memaksa Arina jika perempuan itu tidak meminta haknya lebih dulu. Besoknya Arina terbangun lebih dulu saat masih subuh. Ketika membuka mata perempuan itu terperanjat lalu bergerak menjauh dari Yudhi. Dia masih tidak percaya Bagaimana bisa ketika terbangun dalam posisi memeluk tubuh Yudhi. Arina mengusap kedua lengannya seperti jijik pada dirinya sendiri yang tanpa sengaja memeluk pria itu. Yudhi pun terbangun karena merasakan pergerakan Arina di ranjang. Pria itu tidak tahu jika tadi Arina memeluknya saat tidur. "Kamu udah bangun? Salat dulu, yuk!" Yudhi turun dari ranjang lebih dulu akan menuju kamar mandi. Sementara Arina masih memandangi pria itu dengan perasaan aneh. Dia kesal karena Yudhi tidak tahu jika tadi Arina memeluknya. Lalu Arina mengharap apa? Dia ingin Yudhi tahu jika dia memeluknya, kan? Tidak mungkin! Arina menggelengkan kepalanya dengan keras. Dia pun segera turun dari ranjang untuk salat lalu membangunkan papanya. Hari itu papanya akan kembali ke rumah dan Arina harus bergegas membuat sarapan. Tidak mungkin dia membiarkan papanya pulang ke rumah dalam keadaan perut kosong. Saat menyiapkan sarapan di dapur, Yudhi membantu Arina. Dia tidak mau hanya duduk diam menunggu sarapan tersaji di meja dan Arina sendiri yang melakukannya. Walau hanya membantu sedikit. Sarapan siap. Nasi dan lauk seadanya tersaji di meja. Arina puas bisa menyiapkan semuanya sebelum papanya kembali ke rumah. "Wah, sarapannya enak nih kayaknya pasti anak Papa yang masak ya? Wangi banget." Arya memuji masakan anaknya. Arya sudah mandi dan berpakaian rapi. Arina biarkan papanya sarapan lebih dulu bersama Yudhi karena dia harus mandi dan juga berganti pakaian. Lalu bergabung sarapan dengan dua pria itu di meja. Selesai sarapan, Arya pamit kembali ke Jakarta. Dia menitipkan anaknya pada Yudhi agar dijaga dengan baik, dia pun berjanji pada pria paruh baya itu. Arina dan Yudhi melepas kepergian Arya kembali ke Jakarta. Kemudian Arina bersiap dan menuju rumah sakit untuk bekerja. Di rumah Yudhi sedang menelepon orang kepercayaannya. Wajahnya terlihat serius. Dia menggunakan ponsel yang dipinjamkan Arina padanya. "Minggu depan saya jemput Bapak semua sudah aman terkendali," ucap seorang pria di seberang panggilan. Entah kenapa mendengar ucapan itu Yudhi menjadi sedih, seakan tidak rela meninggalkan Arina di sana sendirian, apa dia sudah mulai menyukai perempuan yang kini berstatus istrinya itu?Siang harinya saat pulang dari rumah sakit, Arina sudah membawa makan siang untuknya dan Yudhi. Yudhi menyambut kedatangan Arina dengan senyuman manis. Dia ambil makanan dari tangan perempuan itu dan menyajikannya di meja. Arina duduk di ruang tengah, dari wajahnya dia terlihat lelah. Yudhi menghampiri perempuan itu, duduk di sebelahnya. Dia letakkan tangannya di bahu Arina, mulai memijat pundak istrinya itu. "Capek, Rin?" tanya Yudhi masih memijat pundak Arina. Arina menganggukkan kepala. "Ya udah makan dulu, udah saya siapin di meja, terus tidur siang biar badannya lebih seger." Arina bangkit dari duduknya, menuju meja makan bersama Yudhi. "Makasih ya, Mas." Lalu keduanya makan dalam diam. Arina sedang tidak ingin banyak bicara dengan Yudhi, yang dia inginkan hanya merebahkan diri di kasur dan segera tidur. Selesai makan siang, Arina pamit ke kamar, sebelum tidur dia sempatkan untuk salat zuhur lebih dulu baru kemudian berbaring di kasur dan terlelap hingga sore hari. Setela
"Maksudnya apa ini ya, Mas?" Arina tetap bingung dengan ucapan singkat dari suaminya itu. "Ya, biasanya orang nikah kan suaminya ngasih cincin dan saya mau kayak gitu ceritanya." Arina mengerjapkan matanya dan merasa ada yang aneh dengan Yudhi. "Bukannya ini aku yang beli sendiri ya, Mas?" "Anggap itu sebagai utang, nanti semua uang yang kamu pakai untuk keperluan kita berdua, Mas ganti semuanya." Arina mengerutkan dahi. 'Emang Mas Yudhi punya uang sebanyak apa sih?' Tiba-tiba Arina penasaran, tetapi dia tidak tahu harus mencari informasi itu ke mana. "Oh, ok, tapi aku enggak akan hitung ya, Mas. Jadi, terserah Mas aja mau ganti berapa." "Empat hari lagi aku akan pulang ke tempatku yang seharusnya. Kita sudah menikah, aku harap akan terus begitu sampai kapan pun." Saat itu Yudhi tidak bisa menjanjikan apa pun untuk Arina. Dia belum bisa membawa Arina tinggal bersamanya, tetapi tidak rela pula meninggalkan Arina sendirian di sana. Arina menatap mata suaminya dalam. "Jangan lupa
Besok paginya, Yudhi terbangun sebelum azan subuh. Tidak lupa dia membangunkan Arina. Ketika Arina membuka mata dia berikan senyuman termanis pada istrinya itu. "Mandi ya, Mas bantu ke kamar mandi." Sepertinya Yudhi tahu biasanya kebanyakan perempuan setelah malam pertama akan merasakan sakit, pria itu khawatir Arina akan kesulitan berjalan karenanya. Yang dia maksud membantu ke kamar mandi itu bukan membantu jalan ke kamar mandi, melainkan menggendong ke kamar mandi. Arina pun tersipu dengan perlakuan manis suaminya. Sampai di kamar mandi, Yudhi menurunkan Arina. "Kalau sudah selesai, teriak aja ya, nanti Mas gendong lagi." Sebuah senyuman mengembang di bibir Yudhi. "Enggak usah berlebihan deh kayaknya Mas, aku bisa jalan sendiri kok." Arina meyakinkan Yudhi kalau dia baik-baik saja. "Lagian kan kalau Mas gendong aku lagi, terus aku udah wudhu, ya wudhunya jadi batal dong." Yudhi tersenyum sambil menggaruk tengkuk belakangnya. "Iya juga ya. Ya sudah mandi aja dulu, terus salat s
Seharian itu Arina mencoba menghubungi Yudhi tetapi tetap tidak ada jawaban dan pria itu pun tidak mencoba untuk menghubungi Arina baik lewat pesan atau lewat telepon. Pikiran negatif mulai menguasai Arina. Dia menjadi curiga pada Yudhi. Curiga pria itu akan meninggalkannya setelah Arina melihat siapa sebenarnya suaminya itu. Detik itu juga dia menelepon papanya. Arina ingin pernikahannya dengan Yudhi disudahi karena dia merasa pria itu hanya memanfaatkannya saja selama berada di kota itu dan tidak pernah ada niatan serius dengan Arina. "Halo, Pa." Arina menyapa papaya di telepon. "Ada apa, Nak?" tanya Arya seolah tahu jika ada sesuatu yang terjadi pada Arina. "Seharian ini aku coba telepon dan kirim SMS ke Mas Yudhi, tapi enggak ada jawaban, aku kok jadi curiga sama dia ya, Pa? Jangan-jangan Mas Yudhi cuma nipu aku aja ya?" Suara Arina terdengar kesal. "Loh kenapa, Rin? Nikah kok cuma sebentar, jadi kayak mainan aja, baru sehari enggak ada kabar tapi udah panik begitu." Arya ter
"Sakit. Mas," teriak Arina saat Yudhi mencubit gemas hidungnya. Pria itu langsung datang dari Jakarta hanya karena istrinya ngambek tadi malam yang disebabkan karena seharian kemarin Yudhi lupa membawa ponselnya. Pria itu tidak tahan saat tahu istrinya ngambek. Subuh tadi dia menyetir sendiri ke tempat Arina hanya untuk membuat istrinya tidak ngambek lagi. "Ini beneran kamu, Mas? Kenapa ke sini? Emang Mas enggak kerja? Nanti kalau dicariin gimana?" Arina menyerbu Yudhi dengan banyak pertanyaan. Bukannya menjawab pria itu mendorong tubuh Arina masuk ke rumah. Lalu dia putar agar Arina berbalik dan terus berjalan ke ruang tengah. Pria itu mengajak Arina duduk di sofa. "Masih ngambek, Rin?" tanya Yudhi menatap mata istrinya dalam. Arina membalas tatapan Yudhi dengan sorot mata rindu. "Kalau aku bilang masih, Mas mau ngapain?" Yudhi memeluk Arina erat. "Pengen meluk soalnya udah kangen berat. Ternyata menahan Rindu itu berat banget ya. Terus ke sana." Kepala Yudhi bergerak menunjuk
Orang yang mendatangi Arina itu adalah seorang perawat yang bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Dia adalah perawat pria. Perawat itu datang ke rumah Arina atas permintaan dari Yudhi. Suami Arina itu khawatir saat tahu jika istrinya izin sakit ke pihak rumah sakit. Perawat itu membawa Arina ke sofa. Dia membenahi posisi tubuh Arina agar bisa bernapas dengan baik dan tidak kekurangan oksigen. Dia mencoba menyandarkan Arina yang pingsan sebelum pergi dan memastikan Arina makan makanan yang dia bawa tadi. Setengah jam kemudian Arina tersadar. Tubuhnya masih lemah. Dia masih ada di rumahnya lalu melihat ada sosok Andre masih ada di sana. "Kok belum pulang, Ndre?" tanya Arina dengan suara lemah. "Iya, Bu, saya nunggu Ibu siuman. Ini saya sudah buatkan teh hangat buat Ibu, diminum sekarang ya, Bu." Andre memberikan gelas teh pada Arina. Arina pun meminumnya walau hanya seteguk. Dia berikan gelas itu lagi pada Andre. "Kamu mau ngapain ke sini, Ndre? Apa ada yang nyari saya?" "O
Arina terpaksa menganggukkan kepala. Tidak ada gunanya merahasiakan kehamilannya pada sang mama karena mamanya pun seorang dokter."Ya Allah, kenapa enggak bilang? Kamu ngidam ya, Rin? Kalau gitu tunggu di sini, Mama mau masakin makanan yang bisa kamu makan, ya."Arina bisa bernapas lega karena mamanya ternyata tidak marah. Lagi pula kenapa dia harus marah? Anaknya hamil karena memiliki suami. Tidak ada yang salah dengan itu.Sepuluh menit kemudian Novita--mamanya Arina masuk ke kamarnya membawa nampan berisi makanan dan air minum. Dia letakkan nampan itu di nakas di dekat tempat tidur Arina. Novita mengambil piring dan memberikan pada Arina. "Makan dulu, Rin, makanan ini bisa kamu makan dan enggak akan bikin mual." Arina menuruti mamanya. Dia pun menyendokkan nasi ke dalam mulut, benar kata mamanya, Arina tidak merasakan mual setelah makan itu. Selesai menghabiskan satu piring nasi pun Arina tidak merasakan mual setelahnya. Dia kembalikan piring nya pada sang mama. "Makasih ya, M
Mata Arina membulat saat dia melihat pria yang menjadi supir taksi di hadapannya membuka topi untuk menutupi wajahnya. Arina terkejut melihat suami yang dia rindukan kini berada di hadapannya. Arina ingin marah dan melampiaskan pada suamimu itu, tetapi dia menahan diri agar tidak melakukan itu di depan banyak orang. "Mas Yudhi? Aku baik, alhamdulillah. Mas apa kabar?" "Sama baik juga kayak kamu, alhamdulillah." Reaksi orang tua Arina biasa saja saat melihat Yudhi berada di sana. Mereka membawa koper masing-masing. Di sana orang tua Arina memesan satu kamar untuk mereka dan satu kamar lagi untuk Arina dan Yudhi. Keduanya menuju kamar hotel dalam diam. Arina sibuk dengan perasaannya sendiri begitu juga dengan Yudhi yang ingin sekali memeluk Arina karena sudah lama menahan rindu karena tidak bertemu dengan Arina. Sampai di dalam kamar, setelah meletakkan koper, Arina mencari tempat duduk. Ada sofa di dekat ranjang dan dia pun duduk di sana sambil melipat tangan di depan dada. Yudhi
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar
Yudhi merapikan selimut yang menutupi tubuh Arina. Dia akan bersiap untuk tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Pria itu pikir istrinya tidak akan siuman pada tengah malam, walaupun semua kemungkinan bisa terjadi. Sebelum tidur Yudhi berbisik di telinga istrinya."Kamu enggak usah khawatir lagi, Sayang. Nanda sudah meninggal ditabrak truk sewaktu dia melarikan diri tadi. Cepat sembuh ya, kasian Mas dan anak kita."Lalu dia kecup kening istrinya dengan lembut kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah seharian ini belum istirahat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pria itu pun sudah masuk ke alam mimpinya.Arina tengah berlari dengan kencang. Dalam keadaan hamil empat bulan dia terpaksa berlari dengan napas tersengal-sengal. Tidak ada pilihan lain baginya selain berlari menjauh dari pria yang sangat dia takuti sekarang.Perempuan itu tidak mau menyerah dan memberikan nyawanya dengan cuma-cuma pada pria yang pernah berencana untuk membunuh sang suami. Dia harus terus berlari untu
Yudhi dan Arina tiba di bandara. Pria itu mencari kursi roda untuk istrinya. Tubuh perempuan itu terlihat semakin lemah. Yudhi hanya bisa berharap mereka bisa tiba di Singapura secepatnya. Sebelum Nanda kabur dari rumah sakit."Sayang, kamu mau dibelikan camilan atau makanan berat?" tanya Yudhi saat mereka menuju ruang tunggu melewati banyak restoran.Arina menggelengkan kepala dengan lemah. Dia merasa tenaganya semakin berkurang dan kakinya pun terasa semakin lemah."Tapi, kamu harus makan, Sayang. Kalau kamu merasa enggak lapar paksakan untuk makan. Ingat kalau sekarang kamu sedang hamil. Ok." Yudhi membujuk Arina agar mau makan meskipun tidak nafsu makan.Perempuan itu tetap menggelengkan kepala. Dia sedang tidak ingin makan atau minum. Seakan dia lupa jika saat ini ada janin yang tumbuh di rahimnya.Yudhi merasa khawatir melihat kondisi Arina yang langsung drop. Dia tahu istrinya merasa sangat ketakutan. Usaha yang dia lakukan saat ini hanya bisa menjauhkan Arina dari Nanda.Saat
Kabar tentang Nanda yang masuk rumah sakit karena dipukuli tahanan lain dan dibawa ke rumah sakit sampai juga ke telinga Yudhi dan Arina. Perempuan itu kini merasa takut karena apabila Nanda ada di rumah sakit, pasti pria itu bisa kabur kapan saja dan mengincarnya."Aku takut, Mas."Yudhi memeluk tubuh Arina yang terasa dingin karena takut. Dia harus bisa menenangkan Arina dengan baik. Jangan sampai istrinya terlalu khawatir dan berakibat pada kandungan Arina yang saat ini dinyatakan sehat oleh dokter kandungan.Mereka sudah memeriksakan kandungan Arina kemarin. Calon bayi mereka tumbuh dengan sehat. Usia kandungan Arina masuk 16 minggu. Yudhi melihat senyuman istrinya terukir dengan manis dan dia tidak mau senyuman itu sampai hilang dari bibir Arina."Mas janji akan jagain kamu terus, Sayang. Jangan khawatir ya. Nanda enggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi."Yudhi pikir dia perlu menyewa bodyguard untuk menjaga istrinya selama Nanda masih berada di rumah sakit karena dia tidak bisa
Jantung Arina memompa darah lebih kencang karena gugup. Dia takut jika ada yang tahu rahasia yang masih dia simpan saat ini. Arina menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan tadi."Ah enggak kok. Saya nikah sama siapa? Pacar aja enggak ada sekarang. Jangan halu deh. Ya sudah ya, saya balik ke ruangan dulu."Ya, menghindar adalah lenih baik daripada terus berada di sana karena khawatir akan keceplosan lalu terpaksa berbohong karena tidak ingin ketahuan.Sampai di ruangannya, ponsel Arina berbunyi. Dia lihat di layar ada panggilan dari suaminya. Segera Arina menerima panggilan itu."Iya, Mas. Ada apa? Kangen ya sama aku. Padahal tadi pagi masih ketemu.""Kangen banget, Sayang. Kamu tahu enggak satu menit berpisah sama kamu rasanya kayak berpisah satu tahun saking lamanya."Arina tersenyum. Walaupun suaminya menggombal tetap terdengar manis di telinganya."Masa sih, Mas? Kalau gitu kita udah pisah berapa tahun nih?""Ribuan tahun, Sayang. Mana pulang kantor masih lama lagi, tambah
Setelah sarapan pagi di Villa, Yudhi mengajak Arina mencari rujak bali. Mereka minta tolong pada supir taksi untuk mengantar ke tempat rujak bali yang enak di sana.Ketika sarapan tadi, Yudhi sudah memastikan Arina sarapan dengan baik. Ada karbo yang dia makan. Pria itu tidak ingin istrinya sakit perut saat makan rujak bali.Tiba di tempat rujak, keduanya turun dan masuk tempat makan itu. Mereka duduk di tempat meja kosong yang ada di sana. Suasana tempat makan itu ramai. Bisa jadi apa yang dikatakan supir taksi tadi memang benar jika rujak bali di tempat itu memang enak."Kamu mau pesen yang mana, Sayang?" tanya Yudhi sambil melihat daftar menu. Dia merasa bingung karena tidak ada satu pun rujak yang biasa dia lihat di Jakarta."Pesen semua aja, Mas. Aku penasaran sama rasanya." Arina sudah tidak sabar mencoba semua macam rujak yang ada di sana."Kamu yakin pesen semua, Sayang? Siapa yang mau habiskan semua?""Aku, Mas. Kalau enggak habis, kita bawa ke villa."Yudhi menatap Arina den
Arya dan Novita yang ada di ruangan itu pun ingin ikut memberikan pendapatnya sebagai orang tua Arina dan tuan rumah."Tunggu sebentar, mohon izin saya mau mengungkapkan pendapat? Boleh atau tidak?" Semua menoleh ke arah Arya. Arina baru menyadari sudah melangkahi papanya bicara lebih dulu dan langsung pada orang tua Yudhi. Harusnya dia juga menyampaikan keinginannya pada papanya dulu baru nanti Arya yang menyampaikan pada orang tua Yudhi. "Astaghfirullah, Papa aku lupa. Maaf sudah melangkahi Papa." Arina tertunduk malu. "Sudah, Rin kamu enggak salah kok. Biar sekarang Papa yang menengahi. Kita cari jalan tengah bersama. Jadi, Arina mau resepsinya digelar secara sederhana, tapi Wahyu mau resepsinya mengundang kolega dan teman bisnis serta saudara, bukan begitu?" Semua menganggukkan kepala."Gini ya Arina, Wahyu, kami ini sebagai orang tua punya keluarga, teman dan rekan bisnis yang enggak dikenal Arina dan Yudhi. Terus kalian hanya ingin mengadakan resepsi sederhana? Jelas enggak
"Kok kamu bisa ada di sini, Yud? Bukannya kamu sudah ....?" Mulut Nanda ternganga dan matanya membulat melihat saudara sepupunya."Sudah apa, Nanda? Sudah mati? Kamu pikir aku bisa mati semudah itu?" Yudhi memandang Nanda dengan sorot mata mengintimidasi sambil terus berjalan mendekati pria itu. Nanda berjalan mundur dan semakin terpojok sampai punggungnya menabrak meja kerja sang kakek. "Kenapa cuma diam? Kaget lihat aku masih hidup? Tadi kamu bilang ada bukti kalau aku sudah meninggal, kenapa enggak ditunjukkan ke Kakek? Kamu simpan di mana buktinya? Di HP?" Yudhi terus mendesak Nanda sampai akhirnya pria itu memberikan ponselnya pada sang kakek. Dia tunjukkan foto surat kematian Yudhi pada sang kakek. "Kamu punya bukti fisiknya surat ini?" tanya sang kakek. "Ada, Kek." "Berikan padaku." Surat itu dia simpan dalam jas yang dia kenakan dan akan diberikan pada sang kakek. Dia keluarkan surat itu dari jas lalu dia berikan pada sang kakek. Sang kakek benar-benar tidak habis pikir
"Ok, kalau gitu aku akan kabari segera soal racun itu. Aku mau tanya nih Mas. Misalnya rencana ini berhasil, Mas mau ngasih apa buat aku karena sudah mau bantuin Mas Nanda?" tanya Arina dengan serius. "Kamu mau minta imbalan? Kamu mau balikan terus kita nikah? Kayaknya cuma itu yang bisa aku tawarkan ke kamu sebagai imbalan, kamu mau?" Arina diam sambil berpikir. Dia jelas tidak akan menerima imbalan dari Nanda soal tawaran pernikahan itu. Meskipun misalnya dia masih sendiri pun, dia tidak akan pernah mau menikah dengan pria seperti Nanda yang penuh dengan ambisi dan menghalalkan segala cara untuk mendapat yang dia mau. "Mas enggak ada tawaran lain nih? Aku enggak akan terima tawaran menikah itu, gimana nanti nasib perempuan yang ngarep jadi istri Mas Nanda? Aku enggak mau ngambil apa yang mereka mau." Arina menolak dengan alasan lain, bukan dengan menjelaskan jika dia sudah menikah. "Kamu mau uang? Bukankah orang tuamu kaya raya, Rin? Kenapa masih mengharap harta?" "Enggak. Aku