Arina berusaha menenangkan keriuhan para warga, dia ingin mengajak mereka bicara baik-baik tidak dengan emosi seperti sekarang."Bapak-bapak apa kita bisa bicara baik-baik, apa ada perwakilan yang mau ngomong sama saya sekaligus cari jalan keluar?" Arina sadar saat ini posisinya memang salah. Mengajak Yudhi tinggal berdua saja di rumah itu. Para warga khawatir mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di sana karena hanya berdua saja, akan ada orang ketiga yaitu syaithan yang bisa mempengaruhi keduanya. Salah seorang dari warga maju mendekat pada Arina, perwakilan RT di sana. Pria itu terlihat menarik napas panjang sebelum bicara. "Kami semua di sini tahu Mbak Arina tinggal berdua saja dengan Mas-nya ini, siapa namanya ya?" "Yudhi." "Iya, Mas yudhi, apa enggak sebaiknya jangan tinggal berdua saja Mbak?" "Saya tahu itu, Pak, sebelum saya bawa Mas Yudhi ke rumah ini, saya sudah minta dia pulang ke rumahnya tadi dia menolak, terus saya minta temen lain buat nampung dia enggak ada
Setelah semua warga pulang ke rumah masing-masing, baik Arina dan Yudhi masuk ke kamar masing-masing. Malam itu mereka sama-sama tidak bisa tidur. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yudhi masih tidak menyangka setelah dibuang ke tempat itu, dia berakhir menikah dengan seorang dokter cantik yang secara fisik menarik dan pasti membuat pria yang melihatnya akan tertarik. Namun, sejak dia berada di sana, Yudhi menyadari sesuatu, nyawanya sedang berada dalam bahaya. Dia menjadi khawatir akan berdampak pada Arina. Takut perempuan itu menjadi incaran juga. Setelah menjadi istrinya dia telah menarik perempuan itu berada dalam bahaya juga. Malam itu terus memikirkan cara untuk menjaga Arina dari incaran orang yang akan membahayakan. Sementara Arina memikirkan hal lain. Setelah menikah apa yang harus dia lakukan pada Yudhi selain merawat lukanya. Apakah dia harus menjadi istri yang sebenarnya untuk pria itu. Apakah dia harus melayani suaminya dengan baik? Kalau hanya mengurus dengan baik
"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran. "Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?"Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Al
Yudhi melompat setelah mendengar ucapan Arya. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Arina. Dia mengatur napas untuk menetralisir debaran jantungnya. "Eh, Papa, iya nih mau ngajak Arina masuk kamar, malah jatuh karena dia narik tangan saya terlalu keras." Apa yang dikatakan Yudhi ada benarnya. Arya tidak akan marah karena memang anaknya dan Yudhi menikah dengan cara yang benar hanya saja memang belum didaftarkan secara negara saja. Mereka sudah halal melakukan apa pun. Arya pun tidak bisa melarang anaknya, bahkan dia seolah ikhlas jika Arina cepat mendapat momongan. "Udah sana pindah ke kamar, Rin!" Arina bangkit dari sofa lalu berjalan lebih dulu ke kamar Yudhi karena sedang malas berurusan dengan papanya. Yudhi pamit pada Arya menyusul Arina ke kamar sementara Arya menuju kamar mandi lalu kembali ke kamarnya. Di kamar Yudhi, Arina duduk di tepi ranjang masih terbayang kejadian di sofa tadi. Tiba-tiba darahnya b
Siang harinya saat pulang dari rumah sakit, Arina sudah membawa makan siang untuknya dan Yudhi. Yudhi menyambut kedatangan Arina dengan senyuman manis. Dia ambil makanan dari tangan perempuan itu dan menyajikannya di meja. Arina duduk di ruang tengah, dari wajahnya dia terlihat lelah. Yudhi menghampiri perempuan itu, duduk di sebelahnya. Dia letakkan tangannya di bahu Arina, mulai memijat pundak istrinya itu. "Capek, Rin?" tanya Yudhi masih memijat pundak Arina. Arina menganggukkan kepala. "Ya udah makan dulu, udah saya siapin di meja, terus tidur siang biar badannya lebih seger." Arina bangkit dari duduknya, menuju meja makan bersama Yudhi. "Makasih ya, Mas." Lalu keduanya makan dalam diam. Arina sedang tidak ingin banyak bicara dengan Yudhi, yang dia inginkan hanya merebahkan diri di kasur dan segera tidur. Selesai makan siang, Arina pamit ke kamar, sebelum tidur dia sempatkan untuk salat zuhur lebih dulu baru kemudian berbaring di kasur dan terlelap hingga sore hari. Setela
"Maksudnya apa ini ya, Mas?" Arina tetap bingung dengan ucapan singkat dari suaminya itu. "Ya, biasanya orang nikah kan suaminya ngasih cincin dan saya mau kayak gitu ceritanya." Arina mengerjapkan matanya dan merasa ada yang aneh dengan Yudhi. "Bukannya ini aku yang beli sendiri ya, Mas?" "Anggap itu sebagai utang, nanti semua uang yang kamu pakai untuk keperluan kita berdua, Mas ganti semuanya." Arina mengerutkan dahi. 'Emang Mas Yudhi punya uang sebanyak apa sih?' Tiba-tiba Arina penasaran, tetapi dia tidak tahu harus mencari informasi itu ke mana. "Oh, ok, tapi aku enggak akan hitung ya, Mas. Jadi, terserah Mas aja mau ganti berapa." "Empat hari lagi aku akan pulang ke tempatku yang seharusnya. Kita sudah menikah, aku harap akan terus begitu sampai kapan pun." Saat itu Yudhi tidak bisa menjanjikan apa pun untuk Arina. Dia belum bisa membawa Arina tinggal bersamanya, tetapi tidak rela pula meninggalkan Arina sendirian di sana. Arina menatap mata suaminya dalam. "Jangan lupa
Besok paginya, Yudhi terbangun sebelum azan subuh. Tidak lupa dia membangunkan Arina. Ketika Arina membuka mata dia berikan senyuman termanis pada istrinya itu. "Mandi ya, Mas bantu ke kamar mandi." Sepertinya Yudhi tahu biasanya kebanyakan perempuan setelah malam pertama akan merasakan sakit, pria itu khawatir Arina akan kesulitan berjalan karenanya. Yang dia maksud membantu ke kamar mandi itu bukan membantu jalan ke kamar mandi, melainkan menggendong ke kamar mandi. Arina pun tersipu dengan perlakuan manis suaminya. Sampai di kamar mandi, Yudhi menurunkan Arina. "Kalau sudah selesai, teriak aja ya, nanti Mas gendong lagi." Sebuah senyuman mengembang di bibir Yudhi. "Enggak usah berlebihan deh kayaknya Mas, aku bisa jalan sendiri kok." Arina meyakinkan Yudhi kalau dia baik-baik saja. "Lagian kan kalau Mas gendong aku lagi, terus aku udah wudhu, ya wudhunya jadi batal dong." Yudhi tersenyum sambil menggaruk tengkuk belakangnya. "Iya juga ya. Ya sudah mandi aja dulu, terus salat s
Seharian itu Arina mencoba menghubungi Yudhi tetapi tetap tidak ada jawaban dan pria itu pun tidak mencoba untuk menghubungi Arina baik lewat pesan atau lewat telepon. Pikiran negatif mulai menguasai Arina. Dia menjadi curiga pada Yudhi. Curiga pria itu akan meninggalkannya setelah Arina melihat siapa sebenarnya suaminya itu. Detik itu juga dia menelepon papanya. Arina ingin pernikahannya dengan Yudhi disudahi karena dia merasa pria itu hanya memanfaatkannya saja selama berada di kota itu dan tidak pernah ada niatan serius dengan Arina. "Halo, Pa." Arina menyapa papaya di telepon. "Ada apa, Nak?" tanya Arya seolah tahu jika ada sesuatu yang terjadi pada Arina. "Seharian ini aku coba telepon dan kirim SMS ke Mas Yudhi, tapi enggak ada jawaban, aku kok jadi curiga sama dia ya, Pa? Jangan-jangan Mas Yudhi cuma nipu aku aja ya?" Suara Arina terdengar kesal. "Loh kenapa, Rin? Nikah kok cuma sebentar, jadi kayak mainan aja, baru sehari enggak ada kabar tapi udah panik begitu." Arya ter
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar
Yudhi merapikan selimut yang menutupi tubuh Arina. Dia akan bersiap untuk tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Pria itu pikir istrinya tidak akan siuman pada tengah malam, walaupun semua kemungkinan bisa terjadi. Sebelum tidur Yudhi berbisik di telinga istrinya."Kamu enggak usah khawatir lagi, Sayang. Nanda sudah meninggal ditabrak truk sewaktu dia melarikan diri tadi. Cepat sembuh ya, kasian Mas dan anak kita."Lalu dia kecup kening istrinya dengan lembut kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah seharian ini belum istirahat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pria itu pun sudah masuk ke alam mimpinya.Arina tengah berlari dengan kencang. Dalam keadaan hamil empat bulan dia terpaksa berlari dengan napas tersengal-sengal. Tidak ada pilihan lain baginya selain berlari menjauh dari pria yang sangat dia takuti sekarang.Perempuan itu tidak mau menyerah dan memberikan nyawanya dengan cuma-cuma pada pria yang pernah berencana untuk membunuh sang suami. Dia harus terus berlari untu
Yudhi dan Arina tiba di bandara. Pria itu mencari kursi roda untuk istrinya. Tubuh perempuan itu terlihat semakin lemah. Yudhi hanya bisa berharap mereka bisa tiba di Singapura secepatnya. Sebelum Nanda kabur dari rumah sakit."Sayang, kamu mau dibelikan camilan atau makanan berat?" tanya Yudhi saat mereka menuju ruang tunggu melewati banyak restoran.Arina menggelengkan kepala dengan lemah. Dia merasa tenaganya semakin berkurang dan kakinya pun terasa semakin lemah."Tapi, kamu harus makan, Sayang. Kalau kamu merasa enggak lapar paksakan untuk makan. Ingat kalau sekarang kamu sedang hamil. Ok." Yudhi membujuk Arina agar mau makan meskipun tidak nafsu makan.Perempuan itu tetap menggelengkan kepala. Dia sedang tidak ingin makan atau minum. Seakan dia lupa jika saat ini ada janin yang tumbuh di rahimnya.Yudhi merasa khawatir melihat kondisi Arina yang langsung drop. Dia tahu istrinya merasa sangat ketakutan. Usaha yang dia lakukan saat ini hanya bisa menjauhkan Arina dari Nanda.Saat
Kabar tentang Nanda yang masuk rumah sakit karena dipukuli tahanan lain dan dibawa ke rumah sakit sampai juga ke telinga Yudhi dan Arina. Perempuan itu kini merasa takut karena apabila Nanda ada di rumah sakit, pasti pria itu bisa kabur kapan saja dan mengincarnya."Aku takut, Mas."Yudhi memeluk tubuh Arina yang terasa dingin karena takut. Dia harus bisa menenangkan Arina dengan baik. Jangan sampai istrinya terlalu khawatir dan berakibat pada kandungan Arina yang saat ini dinyatakan sehat oleh dokter kandungan.Mereka sudah memeriksakan kandungan Arina kemarin. Calon bayi mereka tumbuh dengan sehat. Usia kandungan Arina masuk 16 minggu. Yudhi melihat senyuman istrinya terukir dengan manis dan dia tidak mau senyuman itu sampai hilang dari bibir Arina."Mas janji akan jagain kamu terus, Sayang. Jangan khawatir ya. Nanda enggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi."Yudhi pikir dia perlu menyewa bodyguard untuk menjaga istrinya selama Nanda masih berada di rumah sakit karena dia tidak bisa
Jantung Arina memompa darah lebih kencang karena gugup. Dia takut jika ada yang tahu rahasia yang masih dia simpan saat ini. Arina menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan tadi."Ah enggak kok. Saya nikah sama siapa? Pacar aja enggak ada sekarang. Jangan halu deh. Ya sudah ya, saya balik ke ruangan dulu."Ya, menghindar adalah lenih baik daripada terus berada di sana karena khawatir akan keceplosan lalu terpaksa berbohong karena tidak ingin ketahuan.Sampai di ruangannya, ponsel Arina berbunyi. Dia lihat di layar ada panggilan dari suaminya. Segera Arina menerima panggilan itu."Iya, Mas. Ada apa? Kangen ya sama aku. Padahal tadi pagi masih ketemu.""Kangen banget, Sayang. Kamu tahu enggak satu menit berpisah sama kamu rasanya kayak berpisah satu tahun saking lamanya."Arina tersenyum. Walaupun suaminya menggombal tetap terdengar manis di telinganya."Masa sih, Mas? Kalau gitu kita udah pisah berapa tahun nih?""Ribuan tahun, Sayang. Mana pulang kantor masih lama lagi, tambah
Setelah sarapan pagi di Villa, Yudhi mengajak Arina mencari rujak bali. Mereka minta tolong pada supir taksi untuk mengantar ke tempat rujak bali yang enak di sana.Ketika sarapan tadi, Yudhi sudah memastikan Arina sarapan dengan baik. Ada karbo yang dia makan. Pria itu tidak ingin istrinya sakit perut saat makan rujak bali.Tiba di tempat rujak, keduanya turun dan masuk tempat makan itu. Mereka duduk di tempat meja kosong yang ada di sana. Suasana tempat makan itu ramai. Bisa jadi apa yang dikatakan supir taksi tadi memang benar jika rujak bali di tempat itu memang enak."Kamu mau pesen yang mana, Sayang?" tanya Yudhi sambil melihat daftar menu. Dia merasa bingung karena tidak ada satu pun rujak yang biasa dia lihat di Jakarta."Pesen semua aja, Mas. Aku penasaran sama rasanya." Arina sudah tidak sabar mencoba semua macam rujak yang ada di sana."Kamu yakin pesen semua, Sayang? Siapa yang mau habiskan semua?""Aku, Mas. Kalau enggak habis, kita bawa ke villa."Yudhi menatap Arina den
Arya dan Novita yang ada di ruangan itu pun ingin ikut memberikan pendapatnya sebagai orang tua Arina dan tuan rumah."Tunggu sebentar, mohon izin saya mau mengungkapkan pendapat? Boleh atau tidak?" Semua menoleh ke arah Arya. Arina baru menyadari sudah melangkahi papanya bicara lebih dulu dan langsung pada orang tua Yudhi. Harusnya dia juga menyampaikan keinginannya pada papanya dulu baru nanti Arya yang menyampaikan pada orang tua Yudhi. "Astaghfirullah, Papa aku lupa. Maaf sudah melangkahi Papa." Arina tertunduk malu. "Sudah, Rin kamu enggak salah kok. Biar sekarang Papa yang menengahi. Kita cari jalan tengah bersama. Jadi, Arina mau resepsinya digelar secara sederhana, tapi Wahyu mau resepsinya mengundang kolega dan teman bisnis serta saudara, bukan begitu?" Semua menganggukkan kepala."Gini ya Arina, Wahyu, kami ini sebagai orang tua punya keluarga, teman dan rekan bisnis yang enggak dikenal Arina dan Yudhi. Terus kalian hanya ingin mengadakan resepsi sederhana? Jelas enggak
"Kok kamu bisa ada di sini, Yud? Bukannya kamu sudah ....?" Mulut Nanda ternganga dan matanya membulat melihat saudara sepupunya."Sudah apa, Nanda? Sudah mati? Kamu pikir aku bisa mati semudah itu?" Yudhi memandang Nanda dengan sorot mata mengintimidasi sambil terus berjalan mendekati pria itu. Nanda berjalan mundur dan semakin terpojok sampai punggungnya menabrak meja kerja sang kakek. "Kenapa cuma diam? Kaget lihat aku masih hidup? Tadi kamu bilang ada bukti kalau aku sudah meninggal, kenapa enggak ditunjukkan ke Kakek? Kamu simpan di mana buktinya? Di HP?" Yudhi terus mendesak Nanda sampai akhirnya pria itu memberikan ponselnya pada sang kakek. Dia tunjukkan foto surat kematian Yudhi pada sang kakek. "Kamu punya bukti fisiknya surat ini?" tanya sang kakek. "Ada, Kek." "Berikan padaku." Surat itu dia simpan dalam jas yang dia kenakan dan akan diberikan pada sang kakek. Dia keluarkan surat itu dari jas lalu dia berikan pada sang kakek. Sang kakek benar-benar tidak habis pikir
"Ok, kalau gitu aku akan kabari segera soal racun itu. Aku mau tanya nih Mas. Misalnya rencana ini berhasil, Mas mau ngasih apa buat aku karena sudah mau bantuin Mas Nanda?" tanya Arina dengan serius. "Kamu mau minta imbalan? Kamu mau balikan terus kita nikah? Kayaknya cuma itu yang bisa aku tawarkan ke kamu sebagai imbalan, kamu mau?" Arina diam sambil berpikir. Dia jelas tidak akan menerima imbalan dari Nanda soal tawaran pernikahan itu. Meskipun misalnya dia masih sendiri pun, dia tidak akan pernah mau menikah dengan pria seperti Nanda yang penuh dengan ambisi dan menghalalkan segala cara untuk mendapat yang dia mau. "Mas enggak ada tawaran lain nih? Aku enggak akan terima tawaran menikah itu, gimana nanti nasib perempuan yang ngarep jadi istri Mas Nanda? Aku enggak mau ngambil apa yang mereka mau." Arina menolak dengan alasan lain, bukan dengan menjelaskan jika dia sudah menikah. "Kamu mau uang? Bukankah orang tuamu kaya raya, Rin? Kenapa masih mengharap harta?" "Enggak. Aku