Nafsu makan Chiara menguap seketika. Perlahan muak pada pemandangan yang ada di hadapannya. Yanuar sama sekali tak merasa risih ketika Winnie menepuk-nepuk pahanya beberapa kali ketika membicarakan hal yang bagi keduanya konyol.Daripada melihat mereka asyik sendiri, Chiara memilih mengarahkan kamera ponselnya pada langit jingga yang begitu menawan. Setidaknya hal itu bagus diperhatikannya sekarang. Tak lupa ia mengunggah potret bagus itu ke media sosial, dan langsung mendapat banyak respon dari pengikutnya, termasuk Dimas.Chiara mengulum senyum geli. Rupanya temannya itu masih memiliki waktu senggang untuk mengomentari unggahannya. Mengingat Dimas super sibuk untuk ukuran mahasiswa, membuat Chiara heran beberapa kali.“Astaga!” Chiara memekik dan langsung menutup mulutnya karena itu Yanuar menatapnya curiga. Ia mengabaikan reaksi pria itu dan langsung mengangkat panggilan dari seseorang.“Chia ….” Sewaktu Yanuar memanggil, Chiara izin pamit ke spot yang sepi untuk berbicara di telep
Papi is calling ….Pasang mata Yanuar langsung memerhatikan Chiara yang baru masuk ke kamar mandi. Ia menggeser layar sembari membuka pintu kaca yang mengarah pada balkon. Kemudian menutupnya kembali.Benda pipih itu ditempelkannya ke sisi telinga kanan. Meski perasaannya mulai tak karuan, Yanuar mencoba tetap tenang.“Halo, Pi—““Perusahaan lagi rusuh begini, kamu masih asyik nongkrong di Bali, Nu? Yang benar saja!” Pria itu langsung menyentak dan melempari Yanuar dengan omelan keras memenuhi telinga. Tanpa membiarkan jeda untuknya menjelaskan. “Apa etis seorang CEO santai-santai di Jimbaran sama pewaris perusahaan sebelah? Pakai otak kamu, Yanu!”Yanuar menelan ludah sambil memejamkan mata sejenak. Ia sudah kalang kabut jika ada mata-mata yang menyaksikan kedekatannnya bersama Chiara. Beruntung orang suruhan papinya menangkap keberadaan Winie di sana.“Pi, aku sekadar makan di Jimbaran. Ngobrol sama Winie juga ala kadarnya,” jelasnya membela diri.“Papi udah pesankan dua tiket ke Ja
Yanuar mengesah panjang usai menutup telepon sepihak. Ia meraup wajahnya kasar sebelum memastikan keadaan sekeliling. Takut Chiara mendengar dan merasa iba pada kondisi hidupnya yang jauh dari kata baik.Ketika langkahnya kembali masuk ke kamar hotel dari balkon, Yanuar mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Ia bernapas lega karena Chiara masih belum menyelesaikan acara mandinya. Demi mengalihkan pikiran yang semrawut, ia memutuskan melepaskan colokan charger tablet dan beberapa alat elektronik yang dibawanya.Sebelum memasukkannya ke dalam tas, Yanuar merasa ada dua tangan melingkari perutnya. Disusul aroma segar buah peach menusuk hidung. Kepalanya refleks menoleh ke belakang sembari menyambut tangan itu dan mengusapnya lembut.“Mendadak banget peluk begini?” tanyanya bingung berselimut senang.“Diam dulu,” cegah Chiara saat Yanuar hendak memutar tubuh. “Aku lagi fokus kasih energi positif buat kamu. Sebentar, ya. Tunggu.”Yanuar melipat bibir, membasahinya guna menahan tawa
“Sejak kapan?” Yabes berdeham pelan.Yanuar yang sedang memasang sabuk pengaman akhirnya menoleh. Tampangnya terlihat seperti orang bingung ketika mendapati pertanyaan dari rekannya itu.“Kapan apanya?” Ia balas bertanya. “Ngomong yang jelas, jangan pakai kode.”Yabes cengar-cengir saja. Lalu menyalakan kendaraan roda empatnya dan melajukan perlahan. Sesaat ia menatap Yanuar dan kembali fokus pada kemudinya.“Chiara pasti nggak pakai kode-kode ya, pacarnya aja galak begini,” sindirnya telak yang kontan membuat mata Yanuar membelalak. “Sepulang dari Bali, kan, jadiannya? Udah sejauh mana nih?”Yanuar memutar kedua bola mata dan mendengkus. Ia malas sekali ketika Yabes mulai mengejeknya seperti ini.“Apa yang lo lihat?” Pertanyaannya bukan terdengar seperti pertanyaan biasa, melainkan ancaman yang dilontarkan dari seorang preman proyek. “Jawab!”“Ya gue lihat semuanya, udah pasti,” jawab Yabes. “Lo aja cium Chiara terang-terangan tadi. Udah kayak pamitan perang aja sama istri kelihatann
Chiara yang merasa kedua pipinya bersemu merah, langsung menangkupnya dengan kedua tangan. Ia mengerjap-kerjap di depan cermin kamarnya. Setelah berjalan mengendap-endap dan berhasil menghindar dari serbuan pertanyaan Endah, Chiara kini berusaha mengatur detak jantung yang masih berdebar dua kali lipat."Duh, tetap tenang … tetap tenang, Chia! Lo yang ngebet dicium, tapi kenapa jadi salting parah begini, sih?"Gadis itu mengajak bicara dirinya sendiri yang tampak bodoh. Memang jatuh cinta kerap membuat logika purna. Sama seperti apa yang terjadi padanya sekarang. Ini baru setengah jam sejak Yanuar diajak Yabes pergi, tapi Chiara sudah uring-uringan karena rindu."Lebay banget nggak sih, gue?" makinya dalam hati. "Chat aja kali ya, sepik-sepik tanya apa kek?"Chiara menyambar ponsel dari tempat tidurnya. Lekas mengetik beberapa kata membentuk kalimat yang siap dilayangkan Yanuar. Sebelum ibu jarinya mengetuk bagian ikon kirim, satu pesan dari sang pujaan muncul tanpa diprediksi.Si Kul
Mata sayu Chiara mengerjap-ngerjap ketika lengan dan pundaknya digoyang-goyangkan Yaya. Ia menggeliat untuk mengumpulkan kesadaran setelah tertidur selama setengah jam di perjalanan.“Kita udah mau sampai, bangun, Tuan Putri,” bisik Yaya sembari menggoda.Tak payah kesal, Chiara hanya mengangguk. Lalu buru-buru merogoh tas untuk mengambil ponsel. Ia sudah berniat memberi kabar Yanuar sekalian membaca balasan jika ada.Begitu layar ponsel dan data seluler dinyalakan, Chiara bisa membaca rentetan notifikasi dari Yanuar. 110 missed calls, 24 chat yang dikirimkan pria itu padanya. Mayoritas isi pesannya adalah pertanyaan lokasi program belajar mengajar yang diikutinya kali ini.Chiara hendak membagikan lokasi terkini, tapi sinyal mendadak hilang. Irisnya membelalak seketika dan mengangkat ponselnya ke sana-sini untuk mendapatkan sinyal agar bisa membalas pesan Yanuar segera. Ia takut pria itu kelewat khawatir atas kurangnya kabar darinya karena hal ini.“Ngapain lo?” tanya Yaya. “Nyari si
Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng yang beberapa waktu lalu, ia memaksakan diri untuk memasak. Yanuar sudah melarang, menyarankan untuk memesan makanan dari luar. Namun, Chiara bersikeras membuatkan hidangan makan malam mereka. Ditambah pekerja yang ikut Chiara pikirkan juga.“Aku minta maaf, ya,” cicit Chiara pelan.Melihat bagaimana lesunya Yanuar setibanya di rumah tadi, Chiara jadi tak enak hati. Selain sibuk di kantor, Yanuar sampai rela menjemputnya di kampus. Apalagi sampai membawa mobil sendiri tanpa ada sopir.Yanuar menolehkan kepalanya cepat. Mengarah pada Chiara yang memasang raut sedih di salah satu kursi yang sepaket dengan meja makan.“Maaf?” ulangnya seraya meraih gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Lalu perhatiannya jatuh sepenuhnya pada si gadis. “Kenapa?”“Aku nggak tahu tempat tadi susah sinyal, jadi telat kasih kabar.”“It’s okay.” Yanuar mengulas senyum sembari sesekali mengunyah makanan di mulutnya. “Yang penting, kamu udah pulang dan kita bisa kete
Setelah obrolan yang terjadi malam itu, akhirnya Chiara setuju untuk pulang sebentar ke rumah orangtua. Meski berat meninggalkan Yanuar, rasa rindunya pada keluarga sudah tak terelakkan. Apalagi sudah berbulan-bulan ia tak menyantap masakan ibunya yang lezat dan menikmati tempat tidurnya yang keras, tapi nyaman itu.Lambaian tangan itu memicu lara. Chiara dengan segenap hatinya berusaha mengulas senyum di wajah saat Yanuar berdiri di dekat tiang setelah mengantarnya sampai ke tempat duduk di dalam bus. Perlahan, transportasi umum itu membawanya menjauh dari pandangan si pria.Dengan sisa rasa tenang, Chiara memerhatikan Yanuar yang masih berdiri tegap di sana. Sejatinya ini bukan perpisahan, tapi rasanya seperti ada batas pemisah di antara mereka. “Ih, cengeng banget gue,” keluhnya sambil merutuki diri sendiri. Kedua ujung matanya sudah basah tak terelakan. “Cuma lima hari, bukan lima tahun, dodol!”Alih-alih berhenti menangis, gadis itu makin sesenggukkan saja. Orang yang menempati