Yanuar mengesah panjang usai menutup telepon sepihak. Ia meraup wajahnya kasar sebelum memastikan keadaan sekeliling. Takut Chiara mendengar dan merasa iba pada kondisi hidupnya yang jauh dari kata baik.Ketika langkahnya kembali masuk ke kamar hotel dari balkon, Yanuar mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Ia bernapas lega karena Chiara masih belum menyelesaikan acara mandinya. Demi mengalihkan pikiran yang semrawut, ia memutuskan melepaskan colokan charger tablet dan beberapa alat elektronik yang dibawanya.Sebelum memasukkannya ke dalam tas, Yanuar merasa ada dua tangan melingkari perutnya. Disusul aroma segar buah peach menusuk hidung. Kepalanya refleks menoleh ke belakang sembari menyambut tangan itu dan mengusapnya lembut.“Mendadak banget peluk begini?” tanyanya bingung berselimut senang.“Diam dulu,” cegah Chiara saat Yanuar hendak memutar tubuh. “Aku lagi fokus kasih energi positif buat kamu. Sebentar, ya. Tunggu.”Yanuar melipat bibir, membasahinya guna menahan tawa
“Sejak kapan?” Yabes berdeham pelan.Yanuar yang sedang memasang sabuk pengaman akhirnya menoleh. Tampangnya terlihat seperti orang bingung ketika mendapati pertanyaan dari rekannya itu.“Kapan apanya?” Ia balas bertanya. “Ngomong yang jelas, jangan pakai kode.”Yabes cengar-cengir saja. Lalu menyalakan kendaraan roda empatnya dan melajukan perlahan. Sesaat ia menatap Yanuar dan kembali fokus pada kemudinya.“Chiara pasti nggak pakai kode-kode ya, pacarnya aja galak begini,” sindirnya telak yang kontan membuat mata Yanuar membelalak. “Sepulang dari Bali, kan, jadiannya? Udah sejauh mana nih?”Yanuar memutar kedua bola mata dan mendengkus. Ia malas sekali ketika Yabes mulai mengejeknya seperti ini.“Apa yang lo lihat?” Pertanyaannya bukan terdengar seperti pertanyaan biasa, melainkan ancaman yang dilontarkan dari seorang preman proyek. “Jawab!”“Ya gue lihat semuanya, udah pasti,” jawab Yabes. “Lo aja cium Chiara terang-terangan tadi. Udah kayak pamitan perang aja sama istri kelihatann
Chiara yang merasa kedua pipinya bersemu merah, langsung menangkupnya dengan kedua tangan. Ia mengerjap-kerjap di depan cermin kamarnya. Setelah berjalan mengendap-endap dan berhasil menghindar dari serbuan pertanyaan Endah, Chiara kini berusaha mengatur detak jantung yang masih berdebar dua kali lipat."Duh, tetap tenang … tetap tenang, Chia! Lo yang ngebet dicium, tapi kenapa jadi salting parah begini, sih?"Gadis itu mengajak bicara dirinya sendiri yang tampak bodoh. Memang jatuh cinta kerap membuat logika purna. Sama seperti apa yang terjadi padanya sekarang. Ini baru setengah jam sejak Yanuar diajak Yabes pergi, tapi Chiara sudah uring-uringan karena rindu."Lebay banget nggak sih, gue?" makinya dalam hati. "Chat aja kali ya, sepik-sepik tanya apa kek?"Chiara menyambar ponsel dari tempat tidurnya. Lekas mengetik beberapa kata membentuk kalimat yang siap dilayangkan Yanuar. Sebelum ibu jarinya mengetuk bagian ikon kirim, satu pesan dari sang pujaan muncul tanpa diprediksi.Si Kul
Mata sayu Chiara mengerjap-ngerjap ketika lengan dan pundaknya digoyang-goyangkan Yaya. Ia menggeliat untuk mengumpulkan kesadaran setelah tertidur selama setengah jam di perjalanan.“Kita udah mau sampai, bangun, Tuan Putri,” bisik Yaya sembari menggoda.Tak payah kesal, Chiara hanya mengangguk. Lalu buru-buru merogoh tas untuk mengambil ponsel. Ia sudah berniat memberi kabar Yanuar sekalian membaca balasan jika ada.Begitu layar ponsel dan data seluler dinyalakan, Chiara bisa membaca rentetan notifikasi dari Yanuar. 110 missed calls, 24 chat yang dikirimkan pria itu padanya. Mayoritas isi pesannya adalah pertanyaan lokasi program belajar mengajar yang diikutinya kali ini.Chiara hendak membagikan lokasi terkini, tapi sinyal mendadak hilang. Irisnya membelalak seketika dan mengangkat ponselnya ke sana-sini untuk mendapatkan sinyal agar bisa membalas pesan Yanuar segera. Ia takut pria itu kelewat khawatir atas kurangnya kabar darinya karena hal ini.“Ngapain lo?” tanya Yaya. “Nyari si
Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng yang beberapa waktu lalu, ia memaksakan diri untuk memasak. Yanuar sudah melarang, menyarankan untuk memesan makanan dari luar. Namun, Chiara bersikeras membuatkan hidangan makan malam mereka. Ditambah pekerja yang ikut Chiara pikirkan juga.“Aku minta maaf, ya,” cicit Chiara pelan.Melihat bagaimana lesunya Yanuar setibanya di rumah tadi, Chiara jadi tak enak hati. Selain sibuk di kantor, Yanuar sampai rela menjemputnya di kampus. Apalagi sampai membawa mobil sendiri tanpa ada sopir.Yanuar menolehkan kepalanya cepat. Mengarah pada Chiara yang memasang raut sedih di salah satu kursi yang sepaket dengan meja makan.“Maaf?” ulangnya seraya meraih gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Lalu perhatiannya jatuh sepenuhnya pada si gadis. “Kenapa?”“Aku nggak tahu tempat tadi susah sinyal, jadi telat kasih kabar.”“It’s okay.” Yanuar mengulas senyum sembari sesekali mengunyah makanan di mulutnya. “Yang penting, kamu udah pulang dan kita bisa kete
Setelah obrolan yang terjadi malam itu, akhirnya Chiara setuju untuk pulang sebentar ke rumah orangtua. Meski berat meninggalkan Yanuar, rasa rindunya pada keluarga sudah tak terelakkan. Apalagi sudah berbulan-bulan ia tak menyantap masakan ibunya yang lezat dan menikmati tempat tidurnya yang keras, tapi nyaman itu.Lambaian tangan itu memicu lara. Chiara dengan segenap hatinya berusaha mengulas senyum di wajah saat Yanuar berdiri di dekat tiang setelah mengantarnya sampai ke tempat duduk di dalam bus. Perlahan, transportasi umum itu membawanya menjauh dari pandangan si pria.Dengan sisa rasa tenang, Chiara memerhatikan Yanuar yang masih berdiri tegap di sana. Sejatinya ini bukan perpisahan, tapi rasanya seperti ada batas pemisah di antara mereka. “Ih, cengeng banget gue,” keluhnya sambil merutuki diri sendiri. Kedua ujung matanya sudah basah tak terelakan. “Cuma lima hari, bukan lima tahun, dodol!”Alih-alih berhenti menangis, gadis itu makin sesenggukkan saja. Orang yang menempati
Chiara sudah bangun lebih awal dari anggota keluarganya di rumah. Ia menyiapkan sarapan untuk Abian serta Bapak yang harus berangkat kerja cukup pagi. Sementara Ibu sibuk di halaman belakang, panen singkong dan ubi bersama Ardan. Aroma masakan Chiara menguar baik ke penjuru ruangan, membuat Bapak dan Abian datang kompak ke meja makan.“Wanginya beuh.” Bapak sampai geleng-geleng kepala. “Semoga rasanya nggak kalah mantep!”Chiara terkekeh pelan. Lalu mengambilkan nasi ke piring untuk ayah dan adiknya. Menu masakannya pagi itu adalah sayur lodeh dan ikan asin, tak lupa sambal juga ikut disertakan.Pada suapan pertama, Bapak sudah mengacungkan jempol tinggi-tinggi. Ditambah Abian yang cepat menandaskan isian piring. Nasi baru habis setengah, pemuda itu langsung menyambar centong dan menambahnya.“Makan pelan-pelan, Bi.” Chiara mengingatkan sambil mengisi dua gelas dengan air. “Kalau takut lodehnya habis, biar Kakak masak lagi.”Abian menggeleng pelan. “Takut macet di jalan, jadi harus bu
"Tegang banget mukamu, Dek?" Ardan menyenggol lengan Chiara hingga gadis itu terhenyak dari lamunan.Bayangan tentang adegan demi adegan horor masih cukup membekas di kepala. Ia sampai meringis sendiri ketika sadar sudah duduk di sebuah warung makan dekat bioskop yang direkomendasikan Ardan."Penasaran, tapi takut juga akhirnya?" lanjut Ardan, belum puas menggoda Chiara. "Nanti kalau kamu ada pacar, nonton film bukan hal yang menakutkan lagi, Dek.""Emang kenapa, Kak?" Jujur, Chiara memang penasaran pada ucapan kakaknya. Ia bahkan mencondongkan tubuh ke depan hingga menempel di pinggiran meja.Ardan berdecih sambil menahan senyum geli. "Yakin mau tahu?" Chiara mengangguk spontan. "Kalau sama pacar, kamu bisa peluk dia, sembunyi di lengannya pas ada hantunya nongol," jelas Ardan dengan suara lirih, tapi masih bisa didengar jelas Chiara.Seketika Chiara teringat pada Yanuar. Ia membayangkan bagaimana lucunya ketika menonton film horor bersama. Mungkinkah ucapan Ardan sesuai dengan kenya