Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng yang beberapa waktu lalu, ia memaksakan diri untuk memasak. Yanuar sudah melarang, menyarankan untuk memesan makanan dari luar. Namun, Chiara bersikeras membuatkan hidangan makan malam mereka. Ditambah pekerja yang ikut Chiara pikirkan juga.“Aku minta maaf, ya,” cicit Chiara pelan.Melihat bagaimana lesunya Yanuar setibanya di rumah tadi, Chiara jadi tak enak hati. Selain sibuk di kantor, Yanuar sampai rela menjemputnya di kampus. Apalagi sampai membawa mobil sendiri tanpa ada sopir.Yanuar menolehkan kepalanya cepat. Mengarah pada Chiara yang memasang raut sedih di salah satu kursi yang sepaket dengan meja makan.“Maaf?” ulangnya seraya meraih gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Lalu perhatiannya jatuh sepenuhnya pada si gadis. “Kenapa?”“Aku nggak tahu tempat tadi susah sinyal, jadi telat kasih kabar.”“It’s okay.” Yanuar mengulas senyum sembari sesekali mengunyah makanan di mulutnya. “Yang penting, kamu udah pulang dan kita bisa kete
Setelah obrolan yang terjadi malam itu, akhirnya Chiara setuju untuk pulang sebentar ke rumah orangtua. Meski berat meninggalkan Yanuar, rasa rindunya pada keluarga sudah tak terelakkan. Apalagi sudah berbulan-bulan ia tak menyantap masakan ibunya yang lezat dan menikmati tempat tidurnya yang keras, tapi nyaman itu.Lambaian tangan itu memicu lara. Chiara dengan segenap hatinya berusaha mengulas senyum di wajah saat Yanuar berdiri di dekat tiang setelah mengantarnya sampai ke tempat duduk di dalam bus. Perlahan, transportasi umum itu membawanya menjauh dari pandangan si pria.Dengan sisa rasa tenang, Chiara memerhatikan Yanuar yang masih berdiri tegap di sana. Sejatinya ini bukan perpisahan, tapi rasanya seperti ada batas pemisah di antara mereka. “Ih, cengeng banget gue,” keluhnya sambil merutuki diri sendiri. Kedua ujung matanya sudah basah tak terelakan. “Cuma lima hari, bukan lima tahun, dodol!”Alih-alih berhenti menangis, gadis itu makin sesenggukkan saja. Orang yang menempati
Chiara sudah bangun lebih awal dari anggota keluarganya di rumah. Ia menyiapkan sarapan untuk Abian serta Bapak yang harus berangkat kerja cukup pagi. Sementara Ibu sibuk di halaman belakang, panen singkong dan ubi bersama Ardan. Aroma masakan Chiara menguar baik ke penjuru ruangan, membuat Bapak dan Abian datang kompak ke meja makan.“Wanginya beuh.” Bapak sampai geleng-geleng kepala. “Semoga rasanya nggak kalah mantep!”Chiara terkekeh pelan. Lalu mengambilkan nasi ke piring untuk ayah dan adiknya. Menu masakannya pagi itu adalah sayur lodeh dan ikan asin, tak lupa sambal juga ikut disertakan.Pada suapan pertama, Bapak sudah mengacungkan jempol tinggi-tinggi. Ditambah Abian yang cepat menandaskan isian piring. Nasi baru habis setengah, pemuda itu langsung menyambar centong dan menambahnya.“Makan pelan-pelan, Bi.” Chiara mengingatkan sambil mengisi dua gelas dengan air. “Kalau takut lodehnya habis, biar Kakak masak lagi.”Abian menggeleng pelan. “Takut macet di jalan, jadi harus bu
"Tegang banget mukamu, Dek?" Ardan menyenggol lengan Chiara hingga gadis itu terhenyak dari lamunan.Bayangan tentang adegan demi adegan horor masih cukup membekas di kepala. Ia sampai meringis sendiri ketika sadar sudah duduk di sebuah warung makan dekat bioskop yang direkomendasikan Ardan."Penasaran, tapi takut juga akhirnya?" lanjut Ardan, belum puas menggoda Chiara. "Nanti kalau kamu ada pacar, nonton film bukan hal yang menakutkan lagi, Dek.""Emang kenapa, Kak?" Jujur, Chiara memang penasaran pada ucapan kakaknya. Ia bahkan mencondongkan tubuh ke depan hingga menempel di pinggiran meja.Ardan berdecih sambil menahan senyum geli. "Yakin mau tahu?" Chiara mengangguk spontan. "Kalau sama pacar, kamu bisa peluk dia, sembunyi di lengannya pas ada hantunya nongol," jelas Ardan dengan suara lirih, tapi masih bisa didengar jelas Chiara.Seketika Chiara teringat pada Yanuar. Ia membayangkan bagaimana lucunya ketika menonton film horor bersama. Mungkinkah ucapan Ardan sesuai dengan kenya
"Kelihatannya takut banget ya tinggal di rumah lebih lama?" tukas Ardan sewaktu Chiara sibuk membereskan pakaian di kamar. "Ada sesuatu yang kamu sembunyikan ya, Dek?"Semenjak diberi pertanyaan soal pacar, Chiara memilih bungkam. Ia mana bisa menjawab jujur soal pria yang memacarinya? Mengingat status Yanuar seorang duda kaya raya. Jangankan Ardan, Bapak dan Ibu mungkin saja tak setuju anak gadisnya memiliki hubungan dengan seorang duda?Daripada kena omel dan dilarang kembali ke rumah Yanuar, lebih baik Chiara simpan rapat-rapat fakta tersebut."Tuhkan! Kamu ditanya diam terus, ini Kakak ngomong, direspon, Dek!" gerutu Ardan tak sabaran. Pria itu membaringkan tubuh di atas ranjang bersama tatapan tajam menusuk mata Chiara.Memejam sesaat, Chiara mengatur napasnya singkat. "Rahasia apa, sih, Kak?" balasnya sebal. "Aku emang harus pulang hari ini, pekerjaanku nggak bisa ditinggal."Perlahan Ardan bangkit untuk duduk, matanya memicing penuh selidik. "Oke, alasan diterima, tapi kamu bis
Tubuh Yanuar bergerak maju, menutupi Chiara yang langsung diserbu banyak tekanan dari Junias. Di belakang punggung kekasihnya, Chiara menggigit bibir takut. Ia meremas tangannya sendiri demi menahan debar di jantung. Pupilnya bergetar sewaktu satu tangan Yanuar mengarah ke belakang, tepat tertuju padanya.Perlahan Chiara menggerakkan tangan, menyambut Yanuar. Miliknya yang kecil langsung tenggelam begitu saja. Ia merasakan hangat yang menyebar ke seluruh tubuh dan membuatnya berangsur tenang."Chiara?" panggil Junias sekali lagi."Lo tinggal ngomong ke gue, nggak usah bawa-bawa asisten gue, Jun!" sambar Yanuar yang terus mencoba melindungi Chiara. "Datang-datang nggak pakai ketuk pintu, mana sopan santun lo sebagai bawahan?"Kini ia menyerang dan menyeret tentang jabatan di perusahaan. Hal itu jelas membuat Junias kalah telak. Mengingat level Yanuar lebih tinggi dan tak bisa diganggugugat jika memerintah."Gue pengen Chiara jawab, lo jangan nutup-nutupin hal itu, bisa?" Di belakang,
“Kenapa nggak terang-terangan aja bilang soal hubungan lo dan Chiara itu emang benar?” Yabes menyeletuk ketika baru membuka pintu kamar hotel. Pria itu meletakkan dua koper di area ranjang. “Daripada begini, lonya malah gelisah dan banyak pikiran.”Banyak pikiran, ya …. Kalimat itu diulangnya hingga memenuhi kepala. Tubuh yang sudah kelewat lelah ditambah beban di pundak yang makin berat saja. Ucapan Sukma di telepon tadi menaruh perhatiannya lebih banyak.Ia bisa saja mengaku tentang sesuatu hal yang menyangkut Chiara pada ibunya. Namun, ia teringat pada kata-kata Abi—adik iparnya—yang sepertinya masih menaruh kekesalan padanya dan juga Chiara. Pria itu bisa saja melakukan sesuatu. Terlebih keluarga Iskandar cukup menyeramkan jika ada pihak berani menyenggol.“Tante Sukma pasti ngerti kondisi lo, Nu.” Yabes kembali angkat suara. “Dia pasti senang kalau cewek yang berhasil buat lo berubah begini adalah Chiara,” imbuhnya. “Lagian orang yang pertama kali merekrut Chiara kerja di rumah l
“Sejatinya sejak awal, saya kurang sreg dengan komisaris yang langsung menunjuk putra sulungnya jadi CEO.”“Benar, mainnya terlalu bersih. Berbeda sekali dengan Pak Prabu.”“Mungkin masih terbelenggu dengan kejadian di masa lalu, takut karma sama perusahaan sebelah.”“Anak muda kalau terlalu idealis juga kurang baik, kapan majunya? Cobalah pakai jalan pintas, yang terpenting untung dapat.”“Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara. Tunggu saja keputusan anak Pak Prabu itu. Siapa tahu ada jalan.”“Sayangnya aku tak yakin.”Kebetulan itu bukan lagi sekalinya terjadi. Yanuar tak sengaja mencuri dengar beberapa keluhan yang terlontar dari manager yang mengurus cabang di Kalimantan. Kebanyakan pria paruh baya yang masih setia bekerja di perusahaan. Mungkin lebih tepatnya masih ingin hidup dengan pundi-pundi uang.Dari sekian banyak, Yanuar tahu wajah-wajah itu adalah orang kepercayaan Papi. Namun, sikapnya sangat buruk jika berhadapan dengannya. Bahkan tak bisa menghormati posisi yang didapa