“Kenapa nggak terang-terangan aja bilang soal hubungan lo dan Chiara itu emang benar?” Yabes menyeletuk ketika baru membuka pintu kamar hotel. Pria itu meletakkan dua koper di area ranjang. “Daripada begini, lonya malah gelisah dan banyak pikiran.”Banyak pikiran, ya …. Kalimat itu diulangnya hingga memenuhi kepala. Tubuh yang sudah kelewat lelah ditambah beban di pundak yang makin berat saja. Ucapan Sukma di telepon tadi menaruh perhatiannya lebih banyak.Ia bisa saja mengaku tentang sesuatu hal yang menyangkut Chiara pada ibunya. Namun, ia teringat pada kata-kata Abi—adik iparnya—yang sepertinya masih menaruh kekesalan padanya dan juga Chiara. Pria itu bisa saja melakukan sesuatu. Terlebih keluarga Iskandar cukup menyeramkan jika ada pihak berani menyenggol.“Tante Sukma pasti ngerti kondisi lo, Nu.” Yabes kembali angkat suara. “Dia pasti senang kalau cewek yang berhasil buat lo berubah begini adalah Chiara,” imbuhnya. “Lagian orang yang pertama kali merekrut Chiara kerja di rumah l
“Sejatinya sejak awal, saya kurang sreg dengan komisaris yang langsung menunjuk putra sulungnya jadi CEO.”“Benar, mainnya terlalu bersih. Berbeda sekali dengan Pak Prabu.”“Mungkin masih terbelenggu dengan kejadian di masa lalu, takut karma sama perusahaan sebelah.”“Anak muda kalau terlalu idealis juga kurang baik, kapan majunya? Cobalah pakai jalan pintas, yang terpenting untung dapat.”“Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara. Tunggu saja keputusan anak Pak Prabu itu. Siapa tahu ada jalan.”“Sayangnya aku tak yakin.”Kebetulan itu bukan lagi sekalinya terjadi. Yanuar tak sengaja mencuri dengar beberapa keluhan yang terlontar dari manager yang mengurus cabang di Kalimantan. Kebanyakan pria paruh baya yang masih setia bekerja di perusahaan. Mungkin lebih tepatnya masih ingin hidup dengan pundi-pundi uang.Dari sekian banyak, Yanuar tahu wajah-wajah itu adalah orang kepercayaan Papi. Namun, sikapnya sangat buruk jika berhadapan dengannya. Bahkan tak bisa menghormati posisi yang didapa
“Cengar-cengir mulu, kesambet apaan lo?” tegur Yabes yang sontak menyudahi sesi senyum Yanuar.Ia baru merasakan sakit di bibirnya ketika sadar sejak tadi tersenyum cukup lebar. Saat mendapati pesan singkat dari Chiara, benaknya jadi berbunga-bunga. Ia kembali merasa seperti anak muda yang pertama kali jatuh cinta.Chiara: Aku baru nonton drama, soalnya gabut habis masak buat Mang Dar sama sopir di rumah.Yanuar terkekeh geli usai membaca balasan Chiara. Mengabaikan dehaman Yabes, ia sibuk mengotak-atik layar dan membalas pesan kekasihnya. Dalam pikirnya, dipenuhi bayangan Chiara.Sudahkah gadis itu makan siang? Drama apa yang ditontonnya, mungkinkah genre romansa atau horror? Apa yang Chiara masak hari ini dan kegiatan apa yang akan dilakukan gadis itu setelah menonton drama?Semua hal selalu tentang Chiara dan Chiara. Kendati demikian, Yanuar tak pernah bosan. Ia justru makin ingin tahu tentang gadis itu. Mengingat jarak mereka yang sedang berjauhan selama dua hari terakhir.“Benta
Iya, Chiara ingat pernah mengatakan hal itu di saat melihat bagaimana buruknya keadaan Yanuar. Namun, ia tak menduga jika berbalik padanya sekarang. Senyum Yanuar terhias di wajah saat dipandangi olehnya sekarang.Kemudian satu kecupan mendarat lagi dan berulang sampai beberapa kali. Chiara tak menampik perasaan membuncah yang dirasakannya ketika Yanuar memberikan hal itu secara tiba-tiba.“Kamu mau aku masakin apa?” tawarnya kemudian. “Habis angkat jemuran, aku mau masak dulu.”“Nggak usah masak.” Yanuar menahan tubuh Chiara dengan memegangi pinggangnya. “Aku udah suruh Yabes buat reservasi di restoran. Kita makan di luar berdua, ya?”Mengerjaup pelan, Chiara menimbang-nimbang ajakan itu. Pikirannya melambung pauda rumor yang masih sunter dibicarakan.Melihaut keraguan memenuhi raut si gadis, Yanuar angkat bicara, “Kamu keberatan?”u“Aku takut banyak media yang ekspos kita lagi di sana,” ungkap Chiara tanpa membalas tatapan Yanuar. “Apa nggak seubaiknya makan di rumah aja? Dan … buk
Semenjak Endah memarahi dan melemparinya dengan beragam tuduhan, Chiara jadi semakin menjaga jarak. Ia akan masuk ke kamar begitu Endah mulai bekerja. Namun sekarang, ia kecolongan. Chiara kurang menghitung waktu dengan tepat hingga terjebak di kitchen set di saat Endah masih membersihkan bagian ruang tengah bersama ibunya, Bi Asih.Chiara berjongkok, sengaja bersembunyi agar tidak bertemu muka dengan Endah. Meski dengan Bi Asih, ia tak memiliki masalah apa pun.“Lain waktu, kamu nggak boleh asal menghakimi, Ndah,” pesan Bi Asih yang tak sengaja dicuri dengar Chiara.“Buktinya aja udah jelas, Mak.” Endah menyentak. “Aku masih heran sama Pak Yanu, kok bisa melupakan Nyonya Avita yang dulu sangat dicintainya itu?”Chiara tertegun kala mendengarnya. Ia memejamkan mata berusaha mengalihkan pikiran. Lalu kedua tangan mencoba menutupi telinga, tapi di lain sisi, ia juga penasaran dengan pembicaraan ibu dan anak itu di sana.“Ndah, jangan keras-keras!”“Biar dia dengar sekalian! Lagian meman
“Maaf, Pak. Tadi Neng Chia pulang sama orang lain. Jadi, saya diminta balik ke rumah sendiri.”Yanuar baru menemukan waktu yang tepat untuk menghubungi sopir pribadinya. Namun informasi yang didapat justru jauh dari bayangan. Apabila Chiara pergi dengan orang lain, mengapa belum sampai rumah ketika waktu sudah menunjukkan matahari terbenam?Ketika ditanya orangnya, si sopir hanya menjawab satu nama. Orang itu Junias, sepupu Chiara. Kalau memang Junias yang mengantar Chiara pulang, Yanuar tak diberi kabar sama sekali hingga kini. Chiara bukan orang yang mengabaikannya dengan mudah, apalagi statusnya masih menjadi asistennya.Yanuar bangkit dari duduk setelah meraup wajahnya kasar. Ia ingin melempar asal barang-barang di mejanya ketika gemuruh merayapi dada. Namun, semua itu teralihkan ketika ia mendapati kotak bekal yang dibawakan Chiara sudah rangsek di tong sampah.“Astaga …..” Tatapan Yanuar menyipit. Ia meraih kotak itu yang isinya masih utuh. “Kok gue bisa nggak ngeh asal lempar b
Usai menepuk-nepuk bagian pinggiran rooftop rumahnya untuk diduduki, Yanuar mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Sebatang ditariknya, lalu dijepit menggunakan bibir. Sebelum akhirnya ia membakar ujungnya.Bersama langit gelap tanpa taburan bintang, Yanuar mencoba menghilangkan ruwet di kepala dengan menghisap asap nikotin. Lalu memejamkan mata selagi mengembuskan asap aroma itu. Hubungannya dengan Chiara sedang kurang baik, ditambah perkataan Endah yang membuatnya kurang nyaman berada di dekat kekasihnya.“Ya Tuhan ….”Satu napas berisi asap putih itu terhela panjang nan berat. Kepalanya mendongak, menatap langit dan merasakan sensasi dinginnya malam. Memang tak begitu dingin, tapi pengaruhnya jelas buruk untuk pria seusianya.Di sela sesi termenungnya, Yanuar menatap gamang gedung-gedung pencakar langit yang tampak berkelap-kelip. Ia mencoba hanyut dalam hingar-bingar ibukota, tapi suara Chiara kembali menyapanya.Byuuuuur!Lamunannya seketika berakhir ketika mendengar suar
Diamnya Yanuar sudah cukup menjawab serentetan pertanyaan Chiara. Pria itu tetap bergeming di tempat sewaktu Chiara hendak melesat ke kamar mandi. Di balik pintu, Chiara tenggelam dalam kekecewaannya sendiri.Chiara kelewat berharap banyak dan terlalu percaya diri. Sudah pasti Yanuar sulit melupakan mendiang istrinya dan tak semudah itu berpaling. Rupanya benar apa kata Endah tempo hari, ia hanyalah pelarian semata. Yanuar tak benar-benar cinta.Bahkan sekarang pun, pria itu tak berusaha menjelaskan apa pun. Chiara merutuki diri sekali lagi setelah kembali berharap Yanuar akan mengejarnya.“Tahu diri, Chia … sadar diri, sadar posisi,” gumamnya dalam benak.Tak ingin berlarut-larut dalam kubangan kecewa, Chiara beringsut. Ia berdiri di bawah guyuran shower menyala. Tubuhnya setengah menggigil sekarang, tapi itu bukanlah hal buruk. Ia bisa menahannya di bawah selimut tebal nanti agar asmanya tidak kumat.Dalam balutan handuk, Chiara keluar dari kamar mandi. Kakinya yang baru menapaki sa