Usai menepuk-nepuk bagian pinggiran rooftop rumahnya untuk diduduki, Yanuar mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Sebatang ditariknya, lalu dijepit menggunakan bibir. Sebelum akhirnya ia membakar ujungnya.Bersama langit gelap tanpa taburan bintang, Yanuar mencoba menghilangkan ruwet di kepala dengan menghisap asap nikotin. Lalu memejamkan mata selagi mengembuskan asap aroma itu. Hubungannya dengan Chiara sedang kurang baik, ditambah perkataan Endah yang membuatnya kurang nyaman berada di dekat kekasihnya.“Ya Tuhan ….”Satu napas berisi asap putih itu terhela panjang nan berat. Kepalanya mendongak, menatap langit dan merasakan sensasi dinginnya malam. Memang tak begitu dingin, tapi pengaruhnya jelas buruk untuk pria seusianya.Di sela sesi termenungnya, Yanuar menatap gamang gedung-gedung pencakar langit yang tampak berkelap-kelip. Ia mencoba hanyut dalam hingar-bingar ibukota, tapi suara Chiara kembali menyapanya.Byuuuuur!Lamunannya seketika berakhir ketika mendengar suar
Diamnya Yanuar sudah cukup menjawab serentetan pertanyaan Chiara. Pria itu tetap bergeming di tempat sewaktu Chiara hendak melesat ke kamar mandi. Di balik pintu, Chiara tenggelam dalam kekecewaannya sendiri.Chiara kelewat berharap banyak dan terlalu percaya diri. Sudah pasti Yanuar sulit melupakan mendiang istrinya dan tak semudah itu berpaling. Rupanya benar apa kata Endah tempo hari, ia hanyalah pelarian semata. Yanuar tak benar-benar cinta.Bahkan sekarang pun, pria itu tak berusaha menjelaskan apa pun. Chiara merutuki diri sekali lagi setelah kembali berharap Yanuar akan mengejarnya.“Tahu diri, Chia … sadar diri, sadar posisi,” gumamnya dalam benak.Tak ingin berlarut-larut dalam kubangan kecewa, Chiara beringsut. Ia berdiri di bawah guyuran shower menyala. Tubuhnya setengah menggigil sekarang, tapi itu bukanlah hal buruk. Ia bisa menahannya di bawah selimut tebal nanti agar asmanya tidak kumat.Dalam balutan handuk, Chiara keluar dari kamar mandi. Kakinya yang baru menapaki sa
Bertempat di Hotel Rin Aries, sesuai agenda yang ada, Yanuar disambut para staff. Dua orang mengarahkannya ke meeting room. Di sana, ia melihat beberapa rekan bisnis yang juga menjadi teman dekatnya —dulu. Salah satunya Narendra, pria yang kini cukup dekat dengan Abi.Mungkin kedekatan mereka sudah lama terjalin sejak Avita meninggal. Sejak Yanuar memilih membatasi diri dari dunia. Terutama dari hingar bingar pertemanannya yang cenderung hedon. Yanuar memilih bangku paling ujung, sementara Yabes belum mau bergabung karena harus mengurusi perintah Yanuar untuk mencari di mana keberadaan Chiara yang belum menunjukkan tanda-tanda kepulangan."Gimana?" Yanuar bertanya langsung ketika Yabes memasuki ruangan. "Udah ada perkembangan?"Yang ditanya menggeleng pelan. "Susah, Nu," katanya. "Orang-orang yang biasa gue sewa ini nggak bisa ngedeteksi Chiara. Kemungkinan hp dia dalam kondisi mati."Yanuar menghela napas kasar sambil menyugar rambutnya. "Astaga …." Rautnya tampak frustasi dan gunda
“Jangan merasa spesial karena lo bisa tinggal serumah sama Yanuar,” cebik Abi. “Sebelum lo datang, Yanu udah sering ke bar sama Yabes buat cari cewek untuk memuaskannya semalam penuh. Dia bahkan sampai sewa hotel berbintang!”Batin Chiara bagai ditusuk-tusuk mendengar hal itu. Ia ingin menutup kedua telinga, tapi Abi memegangi tangannya cukup kuat. Yang hanya bisa dilakukannya hanya menatap tajam Abi, meski pandangannya saat itu mengabur.“Lo itu nggak ada bedanya sama cewek yang Yanuar sewa! Gue juga sempat dengar lo sekamar sama dia beberapa kali dan nggak mungkin kalian nggak ngapa-ngapain!” sentak Abi tanpa ampun. “Jadi, kalau lo hamil anak Yanu, itu nggak berarti apa pun karena Yanu akan bilang kecelakaan. Gadis murahan kayak lo emang punya value apa selain beban karena miskin?”Chiara merasa kalah ketika wajahnya telah basah karena air mata yang tumpah ruah sekarang. Bibirnya yang gemetar, kini mulai berani angkat suara.“Lo boleh ngatain gue miskin, tapi gue nggak hamil! Gue ng
Chiara meringkuk di atas ranjang kamarnya. Belum lama ini, Yabes yang mengantarkannya pulang. Pria itu juga yang langsung memenuhi permintaannya untuk dirawat jalan, alih-alih menetap di rumah sakit semalam. Soal keberadaan Yanuar, jangan ditanya.Chiara masih ingat ucapan Yanuar yang akan kembali menemuinya di rumah sakit, tapi pria itu justru pergi entah ke mana. Meskipun hati Chiara masih pedih atas apa-apa yang ia curi dengar sewaktu Yanuar berbicara dengan Yabes.“Katanya jatuh cinta buat hati berbunga-bunga, aslinya malah buat hati porak poranda.” Chiara mendengkus. “Si Kulkas sialan!”Dua kepalan tangannya memukul keras tempat tidur hingga puas. Tak peduli orang luar mendengar perbuatannya di dalam. Ditambah Chiara sudah mengantisipasi sebelum melakukannya dengan mengunci pintu agar tak ada orang asal masuk tanpa izin.Setelah puas meluapkan emosi, Chiara beralih pada ponsel yang berada di nakas. Tepat sekali benda pipih itu berdering, menunjukkan pesan masuk secara beruntun. I
Malam itu, Chiara benar-benar kelaparan. Sebungkus roti yang dibelikan Yabes tak mampu memenuhi rasa kenyangnya. Lantas ia keluar kamar di pukul 11 malam untuk menggoreng telur dadar spesial. Satu butir telur sudah dipecahkan dan dikocok bersama sejumput garam. Baru setelahnya, ia mengambil teflon dan menuangkan olive oil. Ketika panas, telur tadi dimasukkan ke dalam penggorengan.Aroma harum langsung tercium begitu telur berubah kuning keemasan. Chiara sudah menyiapkan secentong nasi di piringnya dan siap disantap bersama telur dadar. "Saatnya ma—"Mulut Chiara yang sudah terbuka, bersiap menyantap sesuap nasi itu akhirnya tertutup. Matanya melirik ke arah pintu, tepat ketika ia mendengar derap langkah yang berjalan mengarah ruang tengah. Sampai kemudian, ia mendapati Mang Dar memanggil namanya.Di punggung Mang Dar sudah ada Yanuar dalam kondisi tak sadarkan diri. Hal paling mengejutkan adalah kemunculan Lily di sana. "Chiara?" Lily menyapa ramah. "Sori ganggu malam-malam, aku ma
Chiara mendorong tubuhnya turun dari mobil, tapi Junias menahan tangannya lebih dulu begitu ia berhasih melepas sabuk pengaman. Kepala si gadis tertoleh sambil mendengkus risih."Kamu boleh keluar dari kerjaan sekaligus rumah Yanu, tapi apa harus cuti kuliah juga?"Sepanjang perjalanan tadi, Chiara sudah banyak bicara tentang berbagai rencananya selama menetap di rumah orangtua. Salah satunya cuti satu semester, maksimal dua semester. Itupun kalau biaya belum bisa terkumpul.Mengingat uang di rekeningnya akan diserahkan pada sang kakak untuk biaya pendidikan. Selebihnya pasti kurang, meski ada sokongan beasiswa dari kampusnya."Lebih baik cuti daripada berhenti, Mas." Ia menatap Junias yang masih mencengkeram tangannya. "Lagi pula aku di rumah juga mau cari kerja, nggak kayak pengangguran yang nyusahin orang rumah."Pundak Junias mulanya menegang, lalu melemas. "Biar Mas yang cari kerjaan di kota, ada perusahaan lain yang—"Chiara berdecak. "Perusahaannya Abi Iskandar?" selanya seraya
Chiara baru saja membereskan pakaian dan barang-barangnya dari kardus yang dikirimkan Junias seminggu setelah kepulangannya. Lantas ia mendapati ibunya tengah duduk di ruang tengah sambil melipat pakaian bersama tv yang menyala. Menampilkan berita siang yang mengusung tema kekerasan.“Kok Kak Ardan di rumah terus, Bu?” tanyanya membuka percakapan. Satu tangan menyambar kaos untuk dilipat. “Emangnya nggak ke LPK buat lanjut diklat?”Chiara lumayan kaget mendapati kakaknya di rumah selama seminggu penuh. Ia mudah saja langsung bertanya, tapi beberapa terakhir ini, ia lebih betah menghabiskan waktu di kamar tanpa melakukan apa pun.Sementara itu, Chiara sadar betul tatapan orangtua dan kedua saudaranya khawatir. Dan juga penasaran tentang alasannya mendadak pulang seperti orang pindahan.Ibu menepuk paha Chiara pelan. “Sudah dua minggu ini, kakakmu di rumah. Maklumlah, Bapak masih cari tambahan dana. Sayangnya, nggak ada keluarga yang mau bantu pinjamin uang ke Bapak. Katanya belum ada,