"Sekali lagi terima kasih, Buk. Kami sangat menghargai niat baik Anda." Aku menyalami wanita paruh baya di depanku. Dialah donatur baru kami, seorang istri pejabat yang sangat perhatian dengan nasib-nasib anak terlantar. Dia berjanji akan mengirimkan dana setiap bulan untuk menunjang kegiatan sosial kami. Selain itu aku meminta agar beliau bisa merekomendasikan anak-anak hasil didikan rumah biru untuk dipekerjakan di tempat yang baik. Sangat mungkin, kan, istri pejabat memiliki banyak relasi?"Saya yang harusnya mengucapkan terima kasih sudah diberi wadah memanen pahala. Semoga sedikit dana yang saya sisihkan bisa bermanfaat."Aku dan teman-teman yang hadir di rumah singgah mengaminkan. Setelah berbasa-basi sejenak wanita itu pamit undur diri."Wah, kamu hebat. Ibuk tadi terlihat takjub mendengar presentasimu." Riana mencolek lenganku. Aku menoleh dan melihat gadis tersebut menatapku kagum."Ck, bukan aku yang hebat, tapi kita semua.""Hem, membumi banget, ya." Riana memanyunkan bibi
"Bangkai apa yang kau sembunyikan di belakangku?!"Suaraku menggelegar, sorot mataku berkobar seakan hendak membakar Bastian dengan amarah yang mengamuk di dada. Baru dua bulan saja begitu banyak yang lelaki itu sembunyikan, bagaimana kalau bertahun-tahun?"Bangkai apa?" Bastian mendekat ke arahku. Matanya melihat ponsel yang ada di tanganku."Apa hubunganmu dengan Nina? Kenapa kau tega berbohong padaku agar bisa menemani dia?" Tak ada lagi kelembutan di nada suaraku. Semua tergerus rasa sakit yang digores Bastian."Aku tidak--""Tidak apa?!" Aku menyela Bastian. Aku tahu dia pasti akan membantah tuduhanku. "Aku akan tanya karyawanmu apa kau ke sana tadi atau tidak, bagaimana?""Najwa, tidak usah berlebihan seperti itu.""Berlebihan katamu?" Aku semakin meradang mendengar jawaban Bastian. "Kau membohongiku demi wanita lain kau bilang berlebihan? Hebat!"Aku tertawa getir. Bastian sama saja! Aku seperti terlempar ke masa lalu di mana pernah berada di posisi yang sama. Aku berstatus ist
Bastian memutar kunci hingga mesin mobil berhenti menggerung. Dia menatap lamat-lamat bangunan di depannya. Rumah bercat putih yang pernah menjadi tempat paling nyaman dan satu-satu yang ingin dia datangi setelah bertarung dengan carut-marut pekerjaan seharian. Rasa lelahnya hilang begitu saja ketika melihat senyum Najwa menyambut di depan pintu rumah. Najwa yang cantik, wanita menggemaskan dengan tingkah manjanya juga malu-malunya.Namun, itu dulu di awal-awal pernikahan. Semua terasa manis laksana madu. Canda dan tawa kerap menghiasi istana kecil mereka. Najwa, nama yang berhasil membuat Bastian mabuk kepayang. Dia bahkan rela diabaikan selama berminggu-minggu menunggu wanita itu membuka hatinya. Dia akan melakukan apa saja agar bisa melihat senyum bahagia di bibir wanita pujaannya, tetapi lambat-laun semua terasa membosankan. Perasaan Bastian tak lagi menggebu-gebu seperti dulu, karena dia merasa Najwa terlalu posesif. Apa pun yang dia lakukan selalu dicurigai, padahal rumah tangg
"Cerai, kenapa selalu itu yang kamu minta? Kamu tidak mau lagi melanjutkan rumah tangga kita?""Apa?" Aku tertawa sumbang. "Kamu yang membuat aku begini. Sekarang aku tanya sama kamu, aku siapamu? Istrimu bukan?""Kamu ngomong apa, sih? Ya, jelas kamu istriku.""Kalau aku istrimu, kenapa kamu selalu membela Nina? Apa dia lebih penting dari aku?" Tangisku pecah. Aku tak mampu mengendalikan nyeri yang terus-menerus menggerus dada, yang aku minta dari Bastian hanya pengertian kalau aku tak nyaman interaksinya dengan Nina."Berapa kali aku katakan tidak ada hubungan dengan Mbak Nina. Kalau aku suka sama dia sudah sejak dulu menikahinya. Bukan sifatku berselingkuh." Nada suara Bastian melemah, rautnya terlihat frustrasi. "Cobalah percaya padaku sekali ini saja." Tangisku berubah menjadi tawa kering. Lucu sekali, Bastian meminta kepercayaan, tetapi sikapnya menunjukkan hal sebaliknya. "Kepercayaan katamu?" Aku mengusap dengan kasar air mata di pipi sembari membujuk hati agar tak merint
"Mbak, ini tidak apa-apa?"Pertanyaan dari Hanif membuat gerakan tanganku terhenti sejenak. Aku menatap baju koko yang baru saja kumasukkan ke dalam koper milik Bastian. Jantungku seperti tercubit menghadirkan nyeri yang merambati sekujur tubuh. Aku tak pernah mengira pernikahan ini hanya seumur jagung. Salahku gegabah menerima pinangan Bastian dengan niat yang salah. Andai mendiang Ayah tahu mungkin beliau sangat kecewa padaku."Mbak, masalah dalam rumah tangga itu wajar. Coba dibicarakan baik-baik, aku yakin ada jalan keluar selain perceraian."Aku tertawa lirih mendengar pemuda yang belum genap delapan belas tahun itu menasehatiku. "Tahu apa kamu soal pernikahan? Tahu apa kamu masalah perasaan?" tanyaku melirik Hanif sekilas sambil kembali memasukkan pakaian Bastian ke dalam koper.Kudengar helaan napas dalam dari bibir Hanif. Pemuda itu duduk bersila di depanku. "Aku memang belum pernah menikah. Boro-boro, Mbak, aku tidak mau pacaran, kata mendiang Wak Haji haram hukumnya."Aku te
"Bisa, ya? Mbak canggung berangkat sendiri ke resepsi pernikahan itu. Lagipula Mbak yang bikin baju akad sama gaun untuk resepsi. Nanti rencananya mau ambil foto, lumayan untuk promosi rancangan Mbak ke teman-teman."Aku masih diam mendengarkan permintaan Mbak Nina. Beberapa hari ini kepalaku penuh dengan bayangan Najwa. Kenapa wanita itu begitu keras kepala? Sulitkah baginya menerima tindakanku yang ingin membalas budi? Mbak Nina janda satu anak yang membutuhkan bantuan materi dariku. Sejak bercerai semua aset disita oleh mantan suaminya dengan alasan Mbak Nina berselingkuh denganku. Tentu saja aku menolak mentah-mentah tuduhan itu. Aku bahkan sudah menawarkan diri untuk menjelaskan kesalahpahaman itu, tetapi Mbak Nina mengatakan mantan suaminya sudah pindah ke luar negeri dan tidak berkomunikasi lagi.Perasaan bersalah menderaku melihat Mbak Nina tinggal di rumah kontrakan dan harus bekerja keras bekerja demi membiayai hidup dan sekolah putrinya. Aku merasa bertanggung jawab atas ap
Aku tidak mengira bertemu Bastian di sini. Apa dia datang sebagai tamu bersama Nina? Bagus, dia bersedia menemani wanita itu ke mana saja, padahal aku jauh-jauh hari sudah memberitahunya tentang pernikahan Riana, tetapi dia acuh tak acuh. Sepertinya lelaki itu benar-benar telah larut dalam drama yang didalangi Nina. Seperti apa hubungan kedua orang itu aku tak peduli. Walau dadaku nyeri mengetahui Bastian masih peduli pada Nina di tengah kecamuk rumah tangga kami, aku lega dia mengetahui seperti apa wanita yang dibela mati-matian selama ini. Aku menahan senyum melihat Nina memainkan lakon wanita baik, tetapi sepertinya tidak mempan lagi, sebab aku melihat Bastian sangat marah. Lelaki itu mengeluarkan kata-kata yang membuat Nina tidak bisa lagi berkutik.Aku jengah mendengar berbagai alibi Nina. Kurasa bukan tempatku berada di antara dua orang yang bersiteru. Aku tak mau tahu bagaimana Bastian menangani wanita tersebut. Namun, langkahku dihadang lelaki itu. Tampak penyesalan di sorot
"Maaf, Mas, Mbak bilang belum mau ketemu siapa-siapa.""Bagaimana keadaannya, apa sudah baikan?""Aku buatkan susu atau teh setiap pagi, sore, dan malam. Mbak tidak mau makan, aku takut kondisinya semakin drop.""Biar Mas yang bicara, Mas tidak mau terjadi sesuatu sama Mbakmu."Aku menjauh dari pintu kamar setelah mendengar Hanif menolak permintaan Bastian. Pemuda itu sangat menjaga amanahku untuk tidak membiarkan siapa pun masuk kamar menemuiku. Larangan itu bukan untuk Bastian saja, tetapi berlaku pada semua orang. Aku tidak peduli Riana yang terus-menerus mengetuk pintu kamar atau suara memohon Ibu Rafa yang meminta agar aku memaafkan putranya. Aku tak habis pikir, apakah wanita itu tak punya hati mengatakan Rafa khilaf? Andai Bastian tidak datang tepat waktu mungkin aku tak punya muka lagi menghadapi orang-orang.Dari Hanif aku tahu kalau Bastian melaporkan Rafa atas kasus percobaan rudapaksa dan UU ITE. Aku baru tahu kalau kematian Ayah ada hubungan dengannya. Hanif tidak sengaja
Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam
"Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med
Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi
"Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat
"Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay
"Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny
Aku mengecup pipi gembul Athar dengan pelan agar tidurnya tidak terusik. Senyumku mengembang melihat dia sudah tumbuh besar. Tak terasa lima tahun berlalu sejak membawa bayi merah itu ke rumah, kini dia tumbuh menjadi bocah periang dan menggemaskan. Athar sangat pintar, di usia yang belum cukup enam tahun dia sudah lancar membaca. Dia juga hapal beberapa surat pendek, karena sejak usia satu tahun aku mengajarkannya membaca ayat-ayat suci tersebut dalam setiap kesempatan. Sebelum tidur, saat bangun, dan di sela-sela bermain. Tidak ada yang mengira kalau dia putra angkatku dan Bastian, sebab wajahnya semakin lama menyalin parasku. Entah mitos atau kenyataan, orang-orang bilang walaupun tidak memiliki hubungan darah, tetapi bila lama hidup bersama paras pun akan menyerupai dengan siapa dia tinggal. Aku tidak mempermasalahkan benar atau tidak, yang penting Athar tumbuh sehat tidak kurang satu apa pun."Athar sudah tidur?" Pertanyaan Bastian menyambutku ketika keluar dari kamar Athar.Aku
'Terima kasih diriku telah berhasil bertahan hingga detik ini. Maafkan aku yang telah banyak menyusahkanmu. Untuk ke depan ayo kita saling mencintai, karena aku hanya punya kamu begitu pula sebaliknya. Aku tersenyum membaca barisan kata-kata yang lewat di beranda Instagramku. Kalimat yang mampu membuat mataku terasa hangat. Entah kebetulan atau sedang menyentilku agar tidak terus-menerus larut bersama kesedihan, konten-konten yang serupa sering FYP di akunku. Seperti sedang menasehati hidup ada pasang-surutnya. Tidak semua yang diinginkan baik menurut Tuhan, adakalanya kita dipaksa menerima kenyataan yang jauh berbeda dari ekspetasi. Meski tak suka, sebagai manusia kita bisa apa kalau Sang Mahakuasa tidak ridho dengan keinginan kita. Aku menghela napas dalam lalu melabuhkan pandangan ke pohon mangga yang daunnya bergoyang diembus angin. Satu tahun sudah sejak kehilangan calon bayi, aku mulai membuka diri. Awalnya sulit, karena aku telanjur melambung dengan anganku sendiri. Rencana-r
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent