"Maaf, Mas, Mbak bilang belum mau ketemu siapa-siapa.""Bagaimana keadaannya, apa sudah baikan?""Aku buatkan susu atau teh setiap pagi, sore, dan malam. Mbak tidak mau makan, aku takut kondisinya semakin drop.""Biar Mas yang bicara, Mas tidak mau terjadi sesuatu sama Mbakmu."Aku menjauh dari pintu kamar setelah mendengar Hanif menolak permintaan Bastian. Pemuda itu sangat menjaga amanahku untuk tidak membiarkan siapa pun masuk kamar menemuiku. Larangan itu bukan untuk Bastian saja, tetapi berlaku pada semua orang. Aku tidak peduli Riana yang terus-menerus mengetuk pintu kamar atau suara memohon Ibu Rafa yang meminta agar aku memaafkan putranya. Aku tak habis pikir, apakah wanita itu tak punya hati mengatakan Rafa khilaf? Andai Bastian tidak datang tepat waktu mungkin aku tak punya muka lagi menghadapi orang-orang.Dari Hanif aku tahu kalau Bastian melaporkan Rafa atas kasus percobaan rudapaksa dan UU ITE. Aku baru tahu kalau kematian Ayah ada hubungan dengannya. Hanif tidak sengaja
"Aku mencintaimu."Aku memejamkan mata berharap bayangan Bastian tak lagi mengganggu hari-hariku. Namun, semakin mencoba abai justru raut lelaki itu semakin enggan hengkang. Cinta ... dadaku bergetar saat Bastian mengucapkannya, ingin percaya, tetapi ragu masih mengekang hati ini. Aku memilih diam, tidak menerima tak juga menolak. Untuk saat ini aku tak peduli apa dia bersungguh-sungguh atau tidak, menyembuhkan hati prioritasku."Kita sampai." Suara Bastian melerai lamunanku menyadarkan kalau kami sudah sampai ditujuan."Kamu mau di mobil atau ikut masuk?" Lagi Bastian bertanya sembari menatapku dari kaca spion."Aku ikut," balasku singkat dan lebih dahulu memutus tatapan Bastian, tanganku bergerak membuka pintu mobil lalu keluar untuk menghindari interaksi terlalu banyak dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, sorot Bastian seakan mampu melihat apa yang tersembunyi di dadaku.Aku membiarkan Bastian dan Hanif berjalan di depan. Bangunan pesantren tempat yang dipilih Hanif untuk mondok terli
Kalau wanita normal merasakan sakit saat menstruasi mungkin hanya dua sampai tiga hari. Berbeda denganku yang harus bergelung selama satu minggu di atas tempat tidur, pinggang dan bagian bawah pusar terasa sangat nyeri. Selama itu pula Bastian rutin mengantarkan teh hangat dan makanan ke kamarku. Dia juga memanaskan bantal perut ketika aku sudah tertidur, sebab di pagi hari benda itu sudah dicas di atas meja rias. Cara Bastian menunjukkan kesungguhannya memperbaiki hubungan mampu mencairkan beku di dadaku, tetapi sampai hari ini aku tak pernah menunjukkan perasaanku. Aku ingin lihat usahanya lebih keras lagi agar dia ingat tak mudah mengobati hati yang tersakiti."Hai, aku sudah siapkan makan siang. Kupikir kamu mau makan di kamar lagi." Bastian tampak terkejut melihatku di ruang makan. Dia gegas meletakkan mangkok yang dibawa dari dapur ke atas meja."Aku sudah baikan." Aku menjawab singkat seraya melirik sop daging yang dimasak Bastian."Yah, udah, kita makan bersama. " Bastian siga
Aku mengembuskan napas kasar ketika melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah berapa kali aku mengintip ke luar, tetapi mobil Bastian belum juga tampak. Malam ini aku harus membuat lelaki itu bicara apa yang sedang dia rencanakan. Satu jam aku mengawasi dari dalam taksi melihatnya sibuk membantu para pekerja di warung. Apakah Bastian membuka usaha baru? Lalu bagaimana dengan restoran dan usaha percetakannya? Tadi aku juga sempat bertanya ke bendahara yang mengelola dana dari donatur, apakah Bastian masih memberi donasi? Bendahara bilang sumbangan dari lelaki tersebut lancar tanpa hambatan malah jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Aku kembali menyingkap kain gorden ketika mendengar deru mobil Bastian. Aku berjalan mondar-mandir sembari mencari kalimat pertama memulai percakapan dengannya, sebab sejak kami baikan selalu Bastian yang berinisiatif mengawali. "Lho, Najwa, belum tidur?" Aku tergagap tidak menduga Bastian langsung membuka pintu kamar. "Em,
"Ciee, yang berbunga-bunga.""Taman kali berbunga," balasku sambil melengos membuang wajah ke sembarang arah untuk menyembunyikan rasa malu. Dasar Riana, sejak tadi dia tak berhenti menggodaku."Memang, ya, berantem suami-istri itu bumbu pernikahan, abis berantem pasti mesranya ngalahin penganten anyar." Riana cekikikan. Sifat tengilnya tidak hilang walau sudah jadi mantu Kyai pemilik pesantren terkenal lagi."Hush, jangan ketawa seperti itu. Nanti suamimu kaget, dikira yang dinikahin kuntilanak." Giliran aku yang tertawa melihat Riana mencebik."Mana ada kunti, aku ini bidadari dari konoha. Suamiku aja bucin akut sama aku."Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah kocak Riana, tapi aku yakin dia seperti itu karena kami di ruang tertutup yang tidak terlihat santri putri. Buktinya ketika ada yang mengantar minuman untukku sikapnya langsung berubah drastis. Punggungnya tegak, senyum yang biasanya lebar sekarang seulas saja. "Nah, kalau kayak gini cocok jadi istrinya Gus. " Aku menggoda
"Sayang, kamu kenapa?" Aku tersentak melihat Bastian sudah berdiri di depanku. Reflek kudorong ponselnya masuk lebih dalam. "I, ini, aku lagi ngitung uang, tapi kepalaku tiba-tiba pusing." Aku berusaha tidak gugup meski suaraku terdengar bergetar.Bastian masuk ke meja kasir lalu menyentuh keningku dengan telapak tangannya. "Badanmu hangat, pulang saja, ya?"Aku mengangguk dan menurut saat Bastian meraih tas tangan lalu mendorong laci. Dia juga membantuku turun dari kursi. "Aku bisa pulang sendiri, kamu teruskan saja pekerjaanmu." "Kalau demam begini mana mungkin aku biarin kamu nyetir sendiri. Lagipula kamu lebih penting dari apa pun. Ayo."Aku tidak menolak ketika Bastian membimbingku masuk ke dalam mobil. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, dia menutup pintu lalu berjalan memutari bagian depan mobil."Tahu gini lebih baik kamu rehat di rumah. Aku tidak mau kamu sakit," celutuk Bastian sambil memasangkan sabuk pengaman di tubuhku."Maaf, aku tidak bermaksud merepotkanmu,
"Gimana, mau kami jodohkan dengan Sani?"Telingaku berdenging mendengar pertanyaan dari Mama Sani. Aku refleks menatap Bastian dan melihatnya tersenyum. Seketika dadaku terasa ngilu, inikah maksud lelaki itu itu membawaku ikut bersamanya? Apa dia ingin menunjukkan kalau ada wanita lain yang akan menggantikan posisiku? Percikan amarah membuat dadaku seakan terbakar. Aku bermaksud berbalik meninggalkannya, tetapi tanganku dipegang Bastian. "Wah, saya merasa terhormat, tapi mana pantas saya jadi mantu Bapak." Bastian menarik pinggangku membuat aku bingung. "Lagipula saya sudah menikah, ini istri saya. Namanya Najwa, cantik, kan?"Perkataan Bastian laksana hujan yang memadamkam bara di dalam dadaku. Hati istri mana yang tidak berbunga dipuji di depan orang yang menyodorkan putrinya untuk diperistri."Giliran ketiga orang di depan kami yang terlihat bingung, terutama Sani yang mulutnya menganga. Gadis itu menatapku dari kepala sampai kaki."Oh, Nak Bastian sudah menikah. Maaf, ya, kami t
Aku baru selesai mencuci piring bekas makan siang ketika bel berbunyi. Bastian yang sedang berbaring di sofa berkata kalau dia saja yang akan membuka pintu. Setelah membersihkan wastafel, menyusun sabun, lalu mengeringkan tangan aku menyusulnya ke luar. Langkahku memelan melihat Sani berdiri di depan pintu dengan wajah kusut dan mata sembab. "Mas, tolong mengerti perasaanku. Aku sudah terlanjur cinta sama kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu." Gadis itu merengek sambil berusaha memegang tangan Bastian, tetapi lelaki itu terus menepis tangan Sani. "Sani, apa yang kamu rasakan bukan tanggung jawabku. Apa aku pernah memberi harapan padamu? Apa aku pernah meladeni chat-chat yang kau kirimkan?" Bastian menjawab dengan nada lembut membuat aku gemas. Calon pelakor, kok, dilembutin. Ya, ngelunjak! "Tapi kamu tidak pernah bilang ke aku statusmu, kamu juga selalu baik sama aku." Sani terus menghiba memohon agar Bastian membalas cintanya. Bastian menggeleng. "Kamu salah paham. Sebagai pen